Constitutional Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.801

Meaningful Participation in Local Regulation Making in Indonesia: A Study of Legislative Law


Meaningful Participation pada Pembuatan Peraturan Daerah di Indonesia: Sebuah Kajian Hukum Perundang-undangan

Sekolah Tinggi Hukum Bandung
Indonesia

(*) Corresponding Author

Knowledge of Legislation Meaningful Participation Regional Regulations

Abstract

The meaningful participation aspect is one of the conceptions born after the Constitutional Court's decision regarding job creation law. It is carefully considered, as well as the right to obtain answers and justifiable reasons for the aspirations that have been conveyed. This study examines the application of meaningful participation in forming Regional Regulations. This research is normative legal research with a concept and statutory approach. The research results confirm that meaningful participation must also be applied in preparing regional regulations as part of the legislation. In this case, meaningful participation in the drafting of Regional Regulations must also be proportional and meaningful in taking into account the dimensions and aspects of local wisdom in the regions. In a further application, the idea of meaningful participation needs to be strengthened in preparing regional regulations and regional legal products by emphasizing the meaningful participation aspect in the Permendagri regional legal products. That is so that the idea of meaningful participation can be adhered to by the regions in drafting regional legal products, particularly in drafting regional regulations.

Pendahuluan

Peraturan daerah sejatinya merupakan salah satu derivasi dari peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang memiliki fungsi untuk mengatur masyarakat di tingkat daerah[1]. Selain mengatur masyarakat di daerah, peraturan daerah juga memiliki orientasi untuk meneguhkan kearifan lokal yang berbasis pada kekhasan masing-masing daerah[2]. Peraturan daerah dalam hal ini juga merupakan wujud aktif dari daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mandiri, aktif, serta bertanggung jawab kepada masyarakat di daerah.

Peraturan daerah di Indonesia secara umum terdiri dari dua jenis, yaitu peraturan daerah di tingkat Provinsi dan peraturan daerah di tigkat Kabupaten/Kota[3]. Selain itu, di Indonesia ada juga jenis peraturan di tingkat daerah dengan karakter khusus yaitu peraturan daerah khusus yang terdapat di Provinsi di Indonesia dengan karakter khusus/istimewa seperti Papua, Aceh, serta Yogyakarta[4][5]. Meski memiliki berbagai jenis dan aktualisasi, namun esensi dari peraturan daerah adalah peraturan yang melibatkan masyarakat di daerah yang bertujuan untuk mengadopsi kearifan lokal yang hidup dan berkembang di daerah sekaligus berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Peraturan daerah yang merupakan satu kesatuan sistem dengan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional sejatinya juga tunduk pada ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU P3) beserta kedua perubahannya yaitu Undang-undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut Perubahan Pertama UU P3) serta Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut Perubahan Kedua UU P3). Selain itu, karena peraturan daerah secara sepsifik berada di lingkup daerah, maka pembentukan peraturan daerah juga mengacu pada ketentuan Permendagri No. 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (selanjutnya disebut Permendagri Produk Hukum Daerah).

Pasca Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 (selanjutnya disebut Putusan MK Cipta Kerja), salah satu aspek penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah mengenai aspek meaningful participation dalam pembentukan peraturan perundang-undangan[6]. Peraturan daerah sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan seyogyanya wajib mengacu serta memfasilitasi aspek meaningful participation dalam peraturan mengenai produk hukum daerah. Akan tetapi, dalam Permendagri Produk Hukum Daerah belum terdapat ketentuan khusus mengenai meaningful participation dalam pembentukan produk hukum daerah. Padahal, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, adanya Perubahan Kedua UU P3 sejatinya untuk memfasilitasi Putusan MK tentang Cipta Kerja, khususnya berkaitan dengan aspek meaningful participation dalam pembentukan produk hukum daerah. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan mengimplementasikan aspek meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah.

Penelitian mengenai pembentukan peraturan daerah sejatinya telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, seperti: penelitian yang dilakukan oleh Victor Juzuf Sedubun (2020) tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Selama Pandemi COVID-19 yang berfokus pada proses dan pembentukan peraturan daerah serta produk hukum daerah secara keseluruhan di masa pandemi COVID-19[7]. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Yosi Andhika Nirmala, Dani R. Pinasang, serta Donna O. Setiabudhi tentang Pelaksanaan Kewenangan Fasilitasi Gubernur dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah Di Provinsi Sulawesi Utara yang berfokus ppada fasilitasi Gubernur dalam pembentukan peraturan daerah beserta produk hukum daerah pada umumnya[8]. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Wisnu Indaryanto (2022) tentang Peraturan Daerah Horison dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 (Tinjauan Yuridis Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing) yang berfokus pada perlunya peraturan daerah yang berkaitan dengan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing[9]. Dari ketiga penelitian di atas, penelitian mengenai aspek meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah sejatinya belum terdapat pembahasan dan analisis yang komprehensif. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah yaitu: (i) Bagaimana eksistensi peraturan daerah sebagai bagian dari subsistem peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, serta (ii) Bagaimana implementasi meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah?.

Metode

Penelitian dan kajian ini merupakan penelitian dengan jenis yuridis-normatif dengan isu hukum berupa kekosongan hukum ketentuan meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah[10]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi UUD NRI 1945, Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, UU P3 beserta perubahan pertama dan kedua, serta Permendagri Produk Hukum Daerah. Bahan hukum sekunder meliputi penelitian dan kajian yang membahas mengenai pembentukan peraturan daerah, khususnya pasca revisi UU P3 yang kedua dan pasca hadirnya Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Pembahasan

Peraturan Daerah sebagai Bagian Dari Subsistem Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan daerah sejatinya merupakan salah satu produk hukum di tingkat daerah. Sebagai produk hukum di tingkat daerah, maka peraturan daerah memiliki orientasi dan tujuan supaya hukum dapat bekerja di suatu daerah secara saksama serta memiliki orientasi untuk menyejahterakan masyarakat[11]. Bekerjanya hukum di masyarakat dalam pandangan Roscoe Pound sejatinya memiliki orientasi untuk merekayasa masyarakat[12]. Dalam konteks ini, merekayasa masyarakat dimaknai supaya hukum dapat berorientasi pada dua aspek, yaitu memfasilitasi maupun mengubah perilaku masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Memfasilitasi masyarakat maksudnya bahwa hukum melegalisasi serta memfasilitasi berbagai praktik nyata dan kebutuhan hukum masyarakat yang kian berkembang sesuai dengan perkembangan zaman[13]. Mengubah masyarakat maksudnya hukum memiliki orientasi untuk mengajak masyarakat pada suatu perilaku tertentu dengan orientasi adanya kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat[14].

Peraturan daerah sebagai bagian dari produk hukum di daerah sejatinya memiliki tujuan untuk memfasilitasi maupun mengubah masyarakat. Peraturan daerah harus responsif serta memfasilitasi berbagai perkembangan di daerah[15]. Dalam konteks ini maka peraturan daerah juga harus melihat sekaligus menggali berbagai muatan lokal maupun kekhasan masyarakat di daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya peraturan daerah sebagai produk hukum untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat di daerah. Selain itu, peraturan daerah juga memiliki orientasi untuk mengubah perilaku masyarakat di daerah sesuai dengan nilai dan tujuan tertentu. Hal ini dimaksudkan supaya peraturan daerah dapat mengoptimalkan fungsinya untuk merekayasa masyarakat serta mengarahkan masyarakat pada perilaku dan nilai tertentu yang sesuai dengan kemaslahatan di masyarakat.

Peraturan daerah dalam tataran yang lebih lanjut, sejatinya merupakan salah satu manifestasi dari otonomi daerah[16]. Otonomi daerah sejatinya merupakan konsepsi yang berkembang secara masif di Indonesia khususnya saat reformasi tahun 1998 dan pasca lengsernya rezim orde baru[17]. Gagasan otonomi daerah sejatinya menekankan pada kemandirian, partisipasi, sekaligus keaktifan dari daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri[18]. Dalam konteks ini, otonomi daerah memerlukan aspek hukum dalam mengatur dan mengelola daerahnya baik dalam rangka mewujudkan tujuan dan program kebijakan nasional maupun mewujudkan program-program di tingkat daerah.

Relasi antara otonomi daerah dan peraturan daerah oleh Enny Nurbaningsih diklasifikasikan dalam tiga aspek[19], yaitu: pertama, peraturan daerah sebagai dasar operasional dari otonomi daerah. Hal ini dapat dipahami karena penyelenggaraan otonomi daerah perlu mendapatkan pengaturan hukum positif yang jelas, pasti, serta dapat dijalankan (applicable). Dalam konteks ini, peraturan daerah menentukan garis-garis kebijakan sebagai pelaksanaan otonomi daerah. Dalam menetapkan garis-garis kebijakan tersebut, peraturan daerah memberikan pedoman serta panduan dalam menjalankan otonomi daerah. Kedua, peraturan daerah merupakan manifestasi dari otonomi daerah. Sebagai manifestasi dari otonomi daerah, maka peraturan daerah harus seluas mungkin memberikan kreativitas bagi daerah dalam mengatur, mengelola, serta menetapkan kebijakan di daerah. Meski pun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat peraturan daerah yang dibuat dalam rangka mengatur ketentuan lebih lanjut dari peraturan di atasnya[20], namun peraturan daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah harus sebisa mungkin mendapatkan ruang yang lebih luas supaya peraturan daerah dapat relevan dengan perkembangan dan kondisi di daerah.

Ketiga, peraturan daerah merupakan bagian kecil dari otonomi daerah sehingga dengan adanya peraturan daerah belum tentu otonomi daerah telah terlaksana secara paripurna. Hal ini artinya, adanya peraturan daerah belum tentu telah dijalankannya otonomi daerah[21]. Akan tetapi, adanya peraturan daerah tersebut harus dilihat eksistensi, implementasi, serta dampaknya bagi masyarakat. Hal ini karena otonomi daerah tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum, khususnya pembentukan peraturan daerah. Otonomi daerah sejatinya merupakan konsepsi yang bersifat holistik yang berkaitan dengan pengelolaan dan kemandirian daerah yang melibatkan aspek politik, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya[22]. Dari ketiga relasi antara peraturan daerah dengan otonomi daerah di atas, dapat disimpulkan bahwa peraturan daerah menempati kedudukan penting dalam upaya untuk menerapkan konsepsi otonomi daerah.

Peraturan daerah selain memilik kedudukan penting dalam upaya untuk mengimplementasikan konsepsi otonomi daerah juga memiliki orientasi penting dalam dinamika peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam Pasal 7 UU P3 yang menjelaskan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, sejatinya peraturan daerah menjadi bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Terlebih lagi, dalam Pasal 7 UU P3, ditegaskan secara expressive verbis bahwa peraturan daerah yang didalamnya termasuk peraturan daerah di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota secara hukum terkualifikasi dalam hierarki peraturan perundang-undangan di tingkat nasional.

Peraturan daerah yang dalam hierarki hukum positif merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di tingkat nasional sejatinya menimbulkan tiga implikasi bahwa: pertama, sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan daerah harus sejalan, selaras, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang secara hierarkis berada di atas peraturan daerah. Dalam konteks pengaturan di peraturan daerah, dapat dimungkinkan peraturan daerah secara substansial berisi peraturan lebih lanjut dari peraturan di atasnya. Dengan demikian, dalam pembuatan peraturan daerah, perumus peraturan perundang-undangan harus update serta mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya. Kedua, sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, maka peraturan daerah diperkenankan mengedepankan aspek kearifan lokal “khas” daerah meskipun harus tetap menjaga supaya peraturan daerah sebagai upaya untuk memfasilitasi aspek kearifan lokal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Keharusan untuk mengikuti peraturan perundang-undangan di atasnya ini sejatinya sejalan dengan konsep hierarki norma hukum sebagaimana digagaskan oleh Hans Kelsen serta Hans Nawiasky bahwa norma hukum itu memiliki karakter berjenjang, hierarki, serta antara yang atas dan bawah secara hierarki memiliki hubungan hukum yang kuat. Oleh karena itu, setiap jenjang norma hukum baik peraturan yang ada di atas dan di bawah harus koheren; hal ini berarti antara peraturan yang ada di bawahtidak diperkenankan bertentangan dengan peraturan di atasnya [23][24].

Ketiga, peraturan daerah dalam kaitannya dengan hierarki peraturan perundang-undangan dan merupakan bagian dari satu kesatuan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional menegaskan bahwa perkembangan konsepsi maupun praktik penyusunan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional berdampak pula pada konsepsi maupun praktik penyusunan peraturan daerah. Dalam konteks ini, lahirnya Putusan MK tentang Cipta Kerja yang memuat konsepsi meaningful participation sejatinya juga berimplikasi pada praktik penyusunan peraturan daerah[25]. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua argumentasi bahwa, pertama, sekalipun Putusan MK tentang Cipta Kerja yang memuat substansi meaningful participation merupakan jawaban atas pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya dengan metode omnibus law dalam Undang-Undang Cipta Kerja, namun karena peraturan daerah merupakan bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan di tingkat nasional maka substansi meaningful participation seyogyanya juga wajib diterapkan dalam pembentukan peraturan daerah[26][27]. Kedua, konsepsi meaningful participation yang dipertegas dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja yang ditegaskan lagi dalam Perubahan Kedua UU P3 sejatinya mengamanatkan bahwa aspek meaningful participation diterapkan juga pada seluruh peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini tidak terkecuali harus diakomodasi dalam penyusunan peraturan daerah.

Berdasarkan uraian di atas, eksistensi peraturan daerah sebagai bagian dari subsistem peraturan perundang-undangan di tingkat nasional sejatinya menegaskan bahwa sebagai subsistem dalam peraturan perundang-undangan di tingkat nasional serta berpedoman pada hierarki peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, maka peraturan daerah harus selalu menyesuaikan dan mengadopsi berbagai perkembangan baik dari aspek konseptual maupun teknik penyusunan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Hadirnya konsepsi meaningful participation yang dipertegas dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja yang ditegaskan lagi dalam Perubahan Kedua UU P3 sejatinya juga berimplikasi pada perlunya upaya penerapan aspek meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah.

Implementasi Meaningful Participation Dalam Pembentukan Peraturan Daerah

Putusan tentang Cipta Kerja sebagai bagian dari upaya pengujian atas Undang-Undang Cipta Kerja sejatinya memiliki kedudukan penting tidak hanya berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang yang dilakukan constitutional review[28]. Putusan MK tentang Cipta Kerja memiliki implikasi hukum yang luas termasuk juga dalam perkembangan teoretik maupun praktik penyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja tersebut, MK juga menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus adalah hal yang konstitusional selama UU P3 kemudian memfasilitasi serta memedomani praktik pembentukan peraturan perundang-undangan dengan motode omnibus[29].

Putusan tentang Cipta Kerja juga berimplikasi pada penyusunan peraturan perundang-undangan yang diharuskan mengedepankan pada aspek meaningful participation. Gagasan meaningful participation hadir untuk menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan partisipasi masyarakat adalah hal yang penting dan menjadi bagian dari keabsahan suatu peraturan perundang-undangan[30]. Suatu peraturan perundang-undangan yang tidak mengacu, melihat, sekaligus memerhatikan partisipasi masyarakat maka keabsahan suatu peraturan perundang-undangan tersebut dipertanyakan[31]. Terlebih lagi, dalam penyusunan suatu Undang-Undang yang mana Undang-Undang merupakan perjanjian antara rakyat dengan penguasa (pemerintah)[32]. Meskipun merupakan perjanjian antara rakyat dengan penguasa (pemerintah), namun rakyat di sini diwakili oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meski diwaliki oleh wakil-wakilnya tentu rakyat juga harus mendapatkan kesempatan serta proporsi untuk turut dipertimbangkan dalam penyusunan Undang-Undang[33].

Wakil rakyat tidak dapat dimaknai “sepenuhnya” mewakili rakyat dalam pembentukan Undang-Undang[34][35]. Sekalipun diwakili oleh wakil rakyat, rakyat juga harus dilibatkan dalam pembentukan Undang-Undang sebagai bagian dari partisipasi masyarakat. Gagasan meaningful participation sebagaimana yang tercantum dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja yang diperkuat dengan Perubahan Kedua UU P3 sejatinya memberikan konstruksi bahwa meaningful participation, meliputi: (1) hak masyarakat untuk didengar dan diperhatikan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk mendapatkan pertimbangan yang mendalam terkait pendapat maupun aspirasinya, serta (3) hak masyarakat untuk mendapatkan jawaban, penjelasan, maupun alasan terkait dengan aspirasi maupun pendapat yang telah disampaikan dalam kaitannya dengan pembuatan Undang-Undang[36].

Hak masyarakat untuk didengar dan diperhatikan pendapatnya menegaskan bahwa masyarakat atau rakyat tidak hanya sekadar diperbolehkan atau diperkenankan untuk berpendapat, tetapi pendapat tersebut wajib didengar dandiperhatikan, khususnya dalam rangka pembentukan Undang-Undang. Hal ini sejatinya merupakan upaya untuk mengimbangi kepentingan pihak-pihak tertentu dalam pembentukan Undang-Undang yang mana lazimnya suara dan aspirasi rakyat hanya secara formal didengarkan[37]. Hal ini berarti seringkali suara rakyat diabaikan karena indikator partisipasi rakyat hanya sekadar rakyat mengikuti pembahasan pemebntukan Undang-Undang. Tuntutan substantif dari rakyat seringkali hanya menjadi “pajangan” atau hal yang sering dilupakan oleh pembentuk Undang-Undang. Selanjutnya, hak masyarakat untuk mendapatkan pertimbangan yang mendalam terkait pendapat maupun aspirasinya sejatinya berkaitan dengan feedback yang didapat oleh masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang[38]. Masyarakat tidak hanya sekadar diberikan waktu untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya tetapi berhak mendapatkan pertimbangan secara mendalam atas substansi dari aspirasinya. Hal ini menegaskan bahwa pembentuk Undang-Undang berkewajiban untuk memberikan pertimbangan secara mendalam atas partisipasi dan aspirasi dari masyarakat[39].

Hak masyarakat untuk mendapatkan jawaban, penjelasan, maupun alasan terkait dengan aspirasi maupun pendapat yang telah disampaikan berkaitan hak masyarakat untuk mendapatkan kejelasan terkait dengan aspirasi yang telah diperjuangkan oleh masyarakat. Masyarakat berhak mendapatkan jawaban, penjelasan, maupun alasan baik dalam aspek yuridis maupun politis terkait dengan aspirasinya apakah aspirasinya ditolak, diterima sebagian atau diterima seluruhnya disertai dengan alasan maupun penjelasannya[40]. Hal ini sejatinya merupakan upaya untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang substantif dalam pembentukan Undang-Undang. Partisipasi yang substantif dalam konteks di atas tidak hanya menekankan pada hadirnya masyarakat, tetapi juga menekankan pada keterlibatan sekaligus perhatian dan umpan balik masyarakat atas aspirasi yang telah dinyatakan dalam pembentukan Undang-Undang[41][42].

Dari uraian di atas, sejatinya dapat disimpulkan bahwa gagasan meaningful participation sebagai gagasan urgen dan penting dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja yang diperkuat dengan Perubahan Kedua UU P3 sejatinya merupakan sesuatu yang positif serta substantif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua argumentasi bahwa: pertama, gagasan meaningful participation sejatinya merupakan upaya untuk meneguhkan partisipasi masyarakat sebagai “jantung” perumusan peraturan perundang-undangan[43]. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa hanya partisipasi masyarakat yang bermakna dan proprosional yang diakui serta menjadi bagian dari upaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Kedua, gagasan meaningful participation sejatinya merupakan upaya untuk mengkritisi fenomena partisipasi semu (pseudo-participation) yang sering terjadi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang[44]. Fenomena partisipasi semu (pseudo-participation) sering terjadi dengan alasan efektivitas dan efisiensi waktu supaya peraturan perundang-undangan cepat disahkan dan cepat diberlakukan. Akan tetapi, dampak negatif dari partisipasi semu adalah hadirnya peraturan yang secara substantif tidak populis dan cenderung diskriminatif[45]. Hal ini dikarenakan minimnya partisipasi berpotensi menimbulkan rumusan substansi norma peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, maka gagasan meaningful participation merupakan langkah maju dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

Meaningful participation dalam kerangka penyusunan peraturan daerah juga layak menjadi acuan dan pedoman dalam perumusannya. Hal ini setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi bahwa: pertama, sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan yang tunduk pada hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam UU P3, maka sudah seyogyanya perkembangan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional baik dalam tataran konseptual maupun praktik juga seyogyanya mendapatkan perhatian dan penerapan dari pembentukan produk hukum di daerah, khususnya dalam kaitannya dengan penyusunan peraturan daerah[46]. Kedua, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik dalam skala nasional maupun daerah sejatinya memiliki orientasi dan urgensi yang sama yaitu pelibatan masyarakat. Dalam konteks ini, fenomena partisipasi semu (pseudo-participation) yang terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional juga lazim terjadi di tingkat daerah[47][48]. Upaya untuk mengantisipasi adanya partisipasi semu sejatinya dapat dilakukan dengan menerapkan meaningful participation dalam pembentukan produk hukum daerah, khususnya pembentukan peraturan daerah.

Ketiga, sejatinya meaningful participation sejatinya layak diterapkan dalam penyusunan peraturan daerah dikarenakan berdasarkkan metode penemuan hukum argumentum per analogian, maka sejatinya antara pembentukan peraturan daerah dengan pembentukan Undang-Undang yang sudah terdapat pengaturan mengenai meaningful participation, sejatinya terdapat tiga poin persamaan yaitu: (i) dibentuk oleh penguasa (pemerintah) bersama dengan wakil rakyat, (ii) memerlukan partisipasi masyarakat, serta (iii) bersifat umum dan memerlukan feedback antara pembentuknya dengan masyarakat[49]. Dari ketiga aspek tersebut, sejatinya antara pembentukan peraturan daerah dengan pembentukan Undang-Undang memiliki tiga persamaan substantif sebagaimana yang ditegaskan di atas, dengan penejalasan bahwa baik peraturan daerah maupun Undang-Undang sama-sama dibentuk oleh penguasa (pemerintah) bersama dengan wakil rakyat. Jika dalam pembentukan Undang-Undang wakil rakyat adalah DPR dan DPD, maka dalam pembentukan peraturan daerah wakil rakyat di daerah adalah DPRD.

Persamaan substantif selanjutnya antara pembentukan peraturan daerah dengan pembentukan Undang-Undang yaitu dalam aspek memerlukan partisipasi masyarakat[50]. Baik peraturan daerah dengan pembentukan Undang-Undang sama-sama memerlukan partisipasi masyarakat karena partisipasi masyarakat adalah perwujudkan dari kedaulatan rakyat yang mana baik peraturan daerah dan Undang-Undang dibentuk dengan berdasarkan konsepsi kedaulatan rakyat. Hal ini berarti, aspirasi dan partisipasi rakyat dalam pembentukan peraturan daerah dengan pembentukan Undang-Undang tidak hanya sekadar difasilitasi tetapi harus dipertimbangkan secara matang baik dalam pembentukan Undang-Undang maupun pembentukan peraturan daerah[51].

Persamaan antara pembentukan peraturan daerah dengan pembentukan Undang-Undang juag terdapat pada aspek bersifat umum dan memerlukan feedback antara pembentuknya dengan masyarakat[52]. Baik Undang-Undang maupun peraturan daerah sejatinya merupakan norma hukum umum yang bersifat abstrak[53]. Hal ini dikarenakan keberlakuannya yang bersifat umum dan membutuhkan pengaturan lebih lanjut berupa regeling atau peraturan teknis pemerintahan[54]. Yang membedakan antara Undang-Undang dan peraturan daerah hanya pada aspek jangkauan keberlakuannya yang mana Undang-Undang jangkauan keberlakuannya mencapai satu negara sedangkan peraturan daerah jangkauan keberlakuannya terbatas pada daerah yang bersangkutan baik itu Provinsi, kabupaten, maupun kota. Selain itu, baik Undang-Undang maupun peraturan daerah sejatinya memerlukan pengawasan, masukan, serta feedback dari masyarakat baik dalam aspek perencanaan, penyusunan, hingga dalam tahap penerapannya. Dengan demikian, berdasarkan metode penemuan hukum argumentum per analogian maka antara Undang-Undang maupun peraturan daerah memiliki persamaan substantif dengan demikian, jika meaningful participation diterapkan dan diatur dalam penyusunan Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, maka meaningful participation seyogyanya juga diterapkan dalam pembentukan peraturan daerah[55].

Upaya mengimpelmentasikan meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah sejatinya dapat dilakukan dengan melakukan revisi atas Permendagri Produk Hukum Daerah dengan menyertakan substansi meaningful participation yang tegas dan jelas tercantum dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja serta dalam Perubahan Kedua UU P3 untuk secara mutatis mutandis diterapkan juga dalam pembentukan peraturan daerah dengan merevisi ketentuan dalam Permendagri Produk Hukum Daerah. Dalam hal ini, revisi terhadap Permendagri Produk Hukum Daerah selain wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja serta dalam Perubahan Kedua UU P3 juga wajib mengadopsi partisipasi “khas” masyarakat di daerah yang seyogyanya hal tersebut diatur tersendiri dalam peraturan daerah masing-masing.

Simpulan

Eksistensi peraturan daerah sebagai bagian dari subsistem peraturan perundang-undangan di tingkat nasional sejatinya menegaskan bahwa sebagai subsistem dalam peraturan perundang-undangan di tingkat nasional serta berpedoman pada hierarki peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, maka peraturan daerah harus selalu menyesuaikan dan mengadopsi berbagai perkembangan baik dari aspek konseptual maupun teknik penyusunan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Hadirnya konsepsi meaningful participation sebagaimana dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja yang ditegaskan lagi dalam Perubahan Kedua UU P3 sejatinya juga berimplikasi pada perlunya upaya penerapan aspek meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah.

Impelmentasi meaningful participation dalam pembentukan peraturan daerah sejatinya dapat dilakukan dengan melakukan revisi atas Permendagri Produk Hukum Daerah dengan menyertakan substansi meaningful participation sebagaimana yang terdapat dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja serta dalam Perubahan Kedua UU P3 untuk secara mutatis mutandis diterapkan juga dalam pembentukan peraturan daerah dengan merevisi ketentuan dalam Permendagri Produk Hukum Daerah. Dalam hal ini, revisi terhadap Permendagri Produk Hukum Daerah selain wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Putusan MK tentang Cipta Kerja serta dalam Perubahan Kedua UU P3 juga wajib mengadopsi partisipasi “khas” masyarakat di daerah yang seyogyanya hal tersebut diatur tersendiri dalam peraturan daerah di daerah masing-masing.

References

  1. M. Farid, “Analisis Yuridis Mekanisme Pengundangan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau,” J. Law Policy Transform., vol. 3, no. 2, pp. 128–141, 2018.
  2. E. N. Kristiyanto, “Kedudukan Kearifan Lokal dan Peranan Masyarakat dalam Penataan Ruang di Daerah (Local Wisdom Position and Role of Society in Spatial Planning in the Region),” Rechts Vinding, vol. 6, no. 2, pp. 159–177, 2017.
  3. A. Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 1st ed. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
  4. D. M. Leonita, “Politik Pembentukan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Dan Penerapannya Pada Masyarakat Adat Kabupaten Teluk Bintuni,” Otentik’s J. Huk. Kenotariatan, vol. 4, no. 2, pp. 186–194, 2022.
  5. I. W. G. Suacana, Desentralisasi dan Otonomi Asimetris bagi Provinsi Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta, 1st ed. Pasuruan: Qiara Media, 2020.
  6. D. P. D. Kasih, “Perseroan Perorangan Pasca UU Cipta Kerja: Perubahan Paradigma Perseroan Terbatas Sebagai Asosiasi Modal,” Arena Huk., vol. 15, no. 1, p. 25, 2022.
  7. V. J. Sedubun, “Pembentukan Produk Hukum Daerah Selama Pandemi COVID-19,” Suloh, vol. Edisi Khus, no. 1, p. 5, 2020.
  8. D. O. S. Nyoman Yosi Andhika Nirmala, Dani R. Pinasang, “Pelaksanaan Kewenangan Fasilitasi Gubernur dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah Di Provinsi Sulawesi Utar,” Lex Adm., vol. 9, no. 1, p. 97, 2021.
  9. W. Indaryanto, “Peraturan Daerah Horison dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 (Tinjauan Yuridis Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing),” Legis. Indones., vol. 19, no. 3, p. 341, 2022.
  10. I. M. P. Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke. Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
  11. F. F. Busroh, “Konseptualisasi Omnibus Law Dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan,” Arena Huk., vol. 10, no. 2, pp. 227–250, 2017, doi: 10.21776/ub.arenahukum.2017.01002.4.
  12. N. Lathif, “Teori Hukum Sebagai Sarana Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat,” Palar | Pakuan Law Rev., vol. 3, no. 1, pp. 73–94, 2017, doi: 10.33751/palar.v3i1.402.
  13. B. Z. Tamanaha, A realistic theory of law, 1st ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2017.
  14. M. Z. Aulia, “Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma-atmadja: Mengarahkan Pembangunan atau Mengabdi pada Pembangunan?,” Undang J. Huk., vol. 1, no. 2, pp. 363–392, 2018.
  15. M. Jamin, Mulyanto, and S. T. Widodo, “Reformulation of a legal policy affirming recognition of Indigenous community units,” Int. J. Innov. Creat. Chang., vol. 11, no. 8, pp. 473–490, 2020.
  16. N. Y. Yuningsih, “Modernisasi Politik Sistem Pemerintah Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung Tahun 2012,” CosmoGov, vol. 1, no. 1, p. 167, 2017, doi: 10.24198/cosmogov.v1i1.11805.
  17. M. Al Arif, “Mengkaji Konstruksi Politik Hukum Pengaturan Otonomi Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,” Arena Hukum, vol. 11, no. 1. pp. 119–138, 2018, doi: 10.21776/ub.arenahukum.2018.01001.7.
  18. A. Rusli, Zaili and D. Mashur, Pembangunan Berkelanjutan dalam Bingkai Otonomi Daerah, 1st ed. Pekanbaru: Taman Karya, 2020.
  19. E. Nurbaningsih, Problematika Pembentukan Peraturan Daerah: Aktualisasi Wewenang Mengatur dalam Era Otonomi Luas, 1st ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2019.
  20. Muh. Rival Payapo, Muchlis Hamdi, and Megandaru Widhi Kawuryan, “Proses Pembentukan Perda Mengenai Desa Adat Di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku,” VISIONER J. Pemerintah. Drh. di Indones., vol. 11, no. 2, pp. 205–216, 2020, doi: 10.54783/jv.v11i2.198.
  21. D. Sufianto, “Pasang Surut Otonomi Daerah Di Indonesia,” J. Acad. Praja, vol. 3, no. 2, pp. 271–288, 2020, doi: 10.36859/jap.v3i2.185.
  22. A. S. Bambang Karsono, Otonomi Daerah: Perspektif Human Security dalam Negara Demokrasi, 1st ed. Bekasi: Ubhara Jaya Press, 2021.
  23. T. Olechowski, “Legal Hierarchies in the Works of Hans Kelsen and Adolf Julius Merkl,” in Reconsidering Constitutional Formation II Decisive Constitutional Normativity From Old Liberties to New Precedence, 1st ed., Ulrike Müßig, Ed. Passau: Springer, 2018, pp. 353–362.
  24. M. Harun, “Philosophical Study of Hans Kelsen ’ s Thoughts on Law and Satjipto Rahardjo ’ s Ideas on Progressive Law,” Walisongo Law Rev., vol. 1, no. 2, pp. 195–220, 2019, doi: 10.21580/Walrev/2019.1.2.4815.
  25. G. Gunatilleke, “Justifying Limitations on the Freedom of Expression,” Hum. Rights Rev., vol. 22, no. 1, pp. 91–108, Mar. 2021, doi: 10.1007/s12142-020-00608-8.
  26. Satria, “Implikasi Putusan MK terhadap Substansi Undang-Undang Cipta Kerja.” ugm.ac.id, 2021.
  27. A. J. Saiya, S. S. Alfons, and H. M. Y. Tita, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja,” TATOHI J. Ilmu Huk., vol. 1, no. 6, p. 619, 2021.
  28. M. Crouch, “The challenges for court reform after authoritarian rule: The role of specialized courts in indonesia,” Const. Rev., vol. 7, no. 1, pp. 1–25, 2021, doi: 10.31078/consrev711.
  29. B. D. Anggono and F. R. Firdaus, “Omnibus Law in Indonesia: A Comparison to the United States and Ireland,” Lentera Huk., vol. 7, no. 3, pp. 319–336, Nov. 2020, doi: 10.19184/ejlh.v7i3.19895.
  30. B. D. Anggono, “OMNIBUS LAW SEBAGAI TEKNIK PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG: PELUANG ADOPSI DAN TANTANGANNYA DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA,” J. Rechts Vinding Media Pembin. Huk. Nas., vol. 9, no. 1, p. 17, Apr. 2020, doi: 10.33331/rechtsvinding.v9i1.389.
  31. H. Xanthaki, “Legislative drafting:a new sub-discipline of law is born,” IALS Student Law Rev., vol. 1, no. 1, pp. 57–62, 2017.
  32. J. Asshidiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
  33. K. Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, 6th ed. Jakarta: Kencana, 2019.
  34. S. Sampe, “Why Political Parties don’t and do Matter in Local Government Elections in Indonesia: A Manado Case,” Rev. Sociol. e Polit., vol. 29, no. 77, pp. 1–19, 2021, doi: 10.1590/1678-987321297703.
  35. D. M. Aritonang, “Perkembangan Pengaturan Format Dekonsentrasi Di Indonesia (The Evolution of Deconcentration Form Arrangements in Indonesia),” J. Legis. Indones., vol. 14, no. 2, pp. 199–210, 2017.
  36. F. R. Artioko, “Pengadopsian Partisipasi Masyarakat Yang Bermakna (Meaningful Participation) Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” Al Qisth Law Rev., vol. 6, no. 1, p. 56, 2022.
  37. A. M. F. Hesty Kartikasari, “Penolakan Masyarakat Terhadap Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja dalam Perspektif Sosiologi Hukum,” Doktrina, vol. 4, no. 1, p. 43, 2021.
  38. Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, 1st ed. Semarang: Thafa Media, 2013.
  39. M. Loughlin, “The contemporary crisis of constitutional democracy,” Oxf. J. Leg. Stud., vol. 39, no. 2, pp. 435–454, 2019, doi: 10.1093/ojls/gqz005.
  40. Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Revisi. Sleman: Kanisius, 2020.
  41. Z. Zaid, F. A. Dawaki, and S. K. Ololade, “Should the State Control Tariffs?,” J. Gov. Public Policy, vol. 8, no. 1, pp. 22–36, 2021, doi: 10.18196/jgpp.811340.
  42. G. A. Nasir, “KEKOSONGAN HUKUM & PERCEPATAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT,” J. Huk. Replik, vol. 5, no. 2, pp. 172–183, 2017.
  43. Maria Farida Indrati, Ed., A. Hamid S. Attamimi: Gesetzgebungwissenschaft sebagai Salah Satu Upaya Menanggulangi Hutan Belantara Peraturan Perundang-Undangan, 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021.
  44. A. Hidayat and Z. Arifin, “Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di Indonesia,” J. Ius Const., vol. 4, no. 2, pp. 147–159, 2019, doi: 10.26623/jic.v4i2.1654.
  45. M. A. Mahfud, “the Relevance of Ronald Dworkin ’s Theory for Creating Agrarian Justice in Indonesia,” Yustisia, vol. 8, no. 3, pp. 385–399, 2019, doi: 10.20961/yustisia.v8i3.27386.
  46. B. D. Anggono, “Tertib Jenis, Hierarki,dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan: Permasalahan Dan Solusinya,” Masal. - Masal. Huk., vol. 47, no. 1, pp. 1–2, 2018.
  47. D. A. W. Eriko Fahri Ginting, “Dualisme Kewenangan Pengawasan Rancangan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Daerah,” J. Ilm. Kebijak. Huk., vol. 14, no. 1, pp. 75–90, 2020.
  48. R. Satria, “Penerapan Metode Regulatory Impact Assessment (Ria) Dalam Penyusunan Regulasi Daerah,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 44, no. 2. p. 178, 2015, doi: 10.14710/mmh.44.2.2015.178-189.
  49. J. Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum. Jakarta: Konstitusi Press dan PT Syaamil Cipta Media, 2005.
  50. U. S. Martha Eri Safira, “Analisis Pendekatan Teori Keadilan John Rawls dan Teori Moralitas Immanuel Kant Terhadap Caleg Mantan Narapidana yang Lolos Sebagai Anggota Legislatif dalam Pemilu 2019,” Leg. Standing, vol. 3, no. 1, pp. 131–146, 2019.
  51. S. M. Pratama and H. D. Pambudhi, “Kedudukan, Fungsi, dan Pengawasan Peraturan Kebijakan Kepala Daerah dalam Kerangka Sistem Otonomi Daerah,” Anal. Huk., vol. 4, no. 1, p. 121, 2021.
  52. A. Ali, Menguak Tabir Hukum, 2nd ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  53. Khalid, Ilmu Perundang-Undangan, 1st ed. Medan: CV Manhaji, 2014.
  54. K. Prawiranegara, “Implementasi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Pada Pemerintahan Kabupaten Dompu,” J. Lex Renaiss., vol. 6, no. 3, pp. 591–604, 2021, doi: 10.20885/jlr.vol6.iss3.art11.
  55. A. Z. Fanani, “Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum: Telaah Filsafat Hukum.” http://pa-bengkulukota.go.id, p. 3, 2021.