Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.802

Indonesian Legal Framework Related to Online Game Phenomena: A Criminological Review


Kerangka Hukum Indonesia Terkait Fenomena Game Online: Sebuah Tinjauan Kriminologis

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
Indonesia

(*) Corresponding Author

Online Games Criminology Law Is A Social Engineering

Abstract

The development of online games is part of technological developments. Even so, the development of online games negatively impacts criminal acts and crimes caused by online game addiction. This research seeks to analyze the impact of online games from a criminological perspective as well as efforts to formulate future arrangements to minimize the existence of people who are addicted to online games and commit criminal acts due to addiction to online games. This type of research is normative legal research by prioritizing conceptual and statutory approaches. The study results show that the impact of online game addiction from a legal and criminological perspective can lead to crimes or criminal acts due to online game addiction. The occurrence of the crime or criminal acts caused by online games is also influenced by the surrounding environment, which also seems to justify or at least allow the occurrence of these crimes. Therefore, future regulatory efforts to minimize the impact of online games are to make revisions related to the provisions contained in the Regulation of the Minister of Communication and Informatics No. 11 of 2016 concerning the Clarification of Electronic Interactive Games, especially to emphasize the existence of sanctions and coercive elements so that various provisions in the Regulation can be implemented optimally and need to get a follow-up in the form of public policy.

Pendahuluan

Game online merupakan bagian dari perkembangan zaman yang mana telah menjadi trend, khususnya bagi generasi muda atau lazim disebut sebagai generasi molenial. Generasi muda atau milenial ini cenderung beraktivitas di dunia maya atau dunia virtual[1]. Hal ini termasuk juga dalam aspek game atau permainan di gawai maupun ponsel yang lebih menyukai game online. Game online sejatinya lebih menarik karena dalam permainannya dapat menggerakkan lebih dari satu pihak. Dalam hal ini lah, maka dalam game online dikenal dengan istilah “main bareng” yang kemudian diakronomkan menjadi “Mabar”[2]. Dengan bermain secara bersama-sama di ruang virtual ini lah yang membuat game online semakin digandrungi oleh generasi muda.

Popularitas game online khususnya bagi generasi muda semakin meningkat sejalan dengan jumlah pengguna internet yang didominasi oleh generasi muda atau milenial[3]. Berdasarkan data We Are Social, hingga awal tahun 2022, tercatat pengguna internet di Indonesia mencapai 191 Juta pengguna yang mana 87,5% diantaranya adalah generasi milenial dengan rentang usia 15-30 tahun[4]. Lebih lanjut, dalam data yang sama yaitu We Are Social dalam tahun 2022, dari 87,5% pengguna internet di Indonesia, 94,5% adalah memainkan game online secara aktif atau sebanyak 160 Juta generasi milenial Indonesia dengan usia 15-30 tahun yang memainkan game online[5]. Dari jumlah tersebut bahkan menjadikan Indonesia sebagai pengguna game online terbanyak di Asia, setelah Filipina dan Thailand di posisi pertama dan kedua.

Masifnya jumlah pengguna game online yang didominasi oleh generasi muda tersebut tidak selamanya memiliki orientasi positif, akan tetapi penggunaan game online yang berlebihan justru berdampak negatif dalam kehidupan di masyarakat. Beberapa dampak negatif dari game online diantaranya: menyebabkan rasa malas hingga intensitas untuk belajar berkurang[6]. Padahal, usia muda atau remaja adalah usia produktif untuk belajar. Selain itu, dampak negatif dari game online adalah berkurangnya fungsi mata sehingga menyebabkan penyakit mata seperti rabun di usia muda[7]. Hal ini karena terkadang dalam memainkan game online kontak antara mata dengan gadget begitu intensif sehingga berpotensi merusak fungsi mata secara optimal. Selain dampak tersebut, dampak lainnya dari kecanduan game online adalah terkait dengan adanya tindak pidana baru sebagai dampak kecanduan game online. Salah satu adanya kriminalitas sebagai dampak kecanduan game online sebagaimana yang dilakukan oleh pemuda di Bangka karena terlilih hutang chip game High Domino yang merupakan salah satu platform game onlne sejumlah enam juta rupiah[8]. Lebih lanjut, pencurian akibat kecanduan game online juga terjadi di Klaten yang mana sejumlah pemuda nekat mencuri barang berharga di beberapa sekolahan di Klaten dengan tujuan untuk membayar permainan dalam game online[9].

Tentunya, selain dua contoh kasus kriminalitas di atas, sejatinya lebih banyak lagi kasus criminal akibat kecanduan game online. Penelitian ini berupaya menganalisis dampak game online dalam perspektif kriminologi serta upaya merumuskan pengaturan ke depan dalam meminimalisasi adanya masyarakat yang kecanduan game online dan melakukan aksi kriminal sebagai dampak kecanduan bermain game online. Beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai game online telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti yang dilakukan oleh:

  1. Sapto Irawan1 dan Dina Siska W (2021) yang mengkaji mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecanduan Game Online Peserta Didik dengan fokus analisis dan menggambarkan berbagai faktor yang mempengaruhi kecanduan game online pada peserta didik[10]; dan
  2. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Hadisaputra, Andi Asywid Nur, dan Sulfiana (2022) yang membahas mengenai Fenomena Kecanduan Game Online di Kalangan Remaja Pedesaan (Studi Kasus Dua Desa di Sulawesi Selatan) yang berfokus pada kajian studi kasus atas kecanduan game online pada remaja di salah satu desa di Sulawesi Selatan[11].

Dari kedua penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai aspek game online dalam perspektif hukum dan kriminologi belum pernah dilakukan analisis dan kajian secara holistik dan komprehensif. Oleh karena itu, kebaruan penelitian yang penulis lakukan yaitu analisis dalam perspektif hukum dan kriminologi terkait dengan dampak kecanduan game online dan kaitannya dengan kriminalitas di masyarakat. Penelitian ini memiliki orientasi menjawab dua rumusan masalah, yaitu:

  1. Bagaimana dampak kecanduan game online dalam perspektif hukum dan kriminologi?
  2. Bagaimana upaya pengaturan ke depan dalam meminimalisasi dampak game online?

Metode

Penelitian mengenai analisis dalam perspektif hukum dan kriminologi terkait dengan dampak kecanduan game online dan kaitannya dengan kriminalitas di masyarakat ini merupakan penelitian hukum normatif yang berfokus pada analisis atas peraturan hukum positif yang berlaku[12]. Peraturan hukum positif yang berlaku dalam penelitian ini yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 11 Tahun 2016 Tentang Klarifikasi Permainan Interaktif Elektronik (yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan Permen Game Online) yang merupakan bahan hukum primer. Penelitian dan pengkajian mengenai aspek hukum dalam game online baik dalam artikel jurnal, buku, maupun website terkait menjadi bahan hukum sekunder dalam penelitian ini. Bahan non-hukum dalam penelitian ini menggunakan kamus hukum untuk mencerahkan istilah-itilah hukum sebagai bagian dari proses analisis dalam penelitian ini. Upaya mengoptimalkan analisis dalam penelitian ini digunakan pendekatan konsep dan perundang-undangan sebagai upaya menjawab rumusan masalah yang telah dicantumkan sebelumnya.

Pembahasan

Game Online dan Dampaknya dalam Perspektif Kriminologi

Fenomena game online sejatinya merupakan fenomena yang lazim terjadi di masyarakat, khususnya pada generasi muda atau generasi milenial. Hal ini dapat dipahami bahwa game online merupakan bagian dari perkembangan teknologi[13]. Perkembangan teknologi yang kian masif, khususnya teknologi digital berdampak pada hadirnya game online. Pada umumnya game online memanfaatkan teknologi digital yang bersumber pada internet sebagai komponen utamanya. Sebagai bagian dari perkembangan teknologi, tentu perkembangan game online tidak dapat ditolak[14]. Akan tetapi, mengamini sepenuhnya perkembangan game online juga tidak dapat dibenarkan. Hal ini karena game online khususnya pada generasi muda yang kecanduan dapat berdampak negatif bagi pribadi maupun masyarakat.

Perkembangan game online yang masif sejatinya memerlukan upaya pengamanan berupa “filter” atau penyaring supaya game online tidak menjadi “liar” dan buas yang justru merugikan masyarakat[15]. Secara umum, game online berkembang secara masif dikarenakan adanya hal menarik dari game online dibandingkan dengan game konvensional yang meliputi: pertama, game online yang memanfaatkan internet sebagai salah satu komponennya dapat dilakukan secara bersamaan atau lebih dari satu orang (multi-player)[16]. Dalam hal ini, game online dianggap lebih seru karena dapat dilakukan secara bersamaan lebih dari satu orang. Terlebih lagi dengan memanfaatkan internet yang membuat jangkauan game online menjadi lebih luas serta dapat digunakan siapa pun asalkan tersambung dengan jaringan internet[17]. Kedua, game online selain berorientasi pada permainan juga memiliki orientasi ekonomis[18]. Hal ini dapat dilihat dalam praktiknya terdapat praktik jual beli dengan objek berupa akun game online. Selain itu, game online juga “seakan” telah menjadi mata pencaharian tersendiri karena dalam game online terdapat transaksi ekonomi yang bersifat menguntungkan[19].

Dari dua hal yang menarik dari game online di atas, jika dibandingkan dengan game konvensional maka selain jangkauannya yang lebih luas, game online juga menjanjikan aspek lain selain aspek permainan, yaitu keuntungan ekonomis. Adanya transaksi serta perputaran ekonomi dalam game online sejatinya telah membuat game online bukanlah sekadar permainan (more than a game), tetapi interaksi yang memiliki nilai ekonomis[20]. Karena memiliki orientasi ekonomis tersebut, maka dalam game online memicu terjadinya tindakan-tindakan yang melanggar hukum, khususnya dalam rangka mengejar keuntungan ekonomis tersebut. Adanya pelanggaran hukum yang diakibatkan oleh orientasi ekonomis dalam game online sejatinya menarik dilihat dalam perspektif kriminologi.

Kriminologi yang lazimnya disebut sebagai “ilmu tentang kejahatan” sejatinya dalam perspektif filsafat ilmu merupakan bagian dari ilmu sosial terapan (applied social science)[21]. Sebagai ilmu sosial terapan, tentu fokus dari kriminologi adalah pada aspek perilaku masyarakat[22]. Meski merupakan bagian dari ilmu sosial terapan, namun bukan berarti kriminologi tidak dapat dijadikan analisis terhadap aspek hukum, khususnya dalam aspek bekerjanya hukum di masyarakat. Meski pun ilmu hukum sejatinya merupakan ilmu yang “memiliki karakteristik unik dan tersendiri” (sui generis)[23][24], namun dalam bekerjanya di masyarakat, hukum tidak dapat dipisahkan dengan ilmu bantu dan ilmu pendukung yang relevan dengan bidang yang dihadapi dalam hukum[25]. Contoh sederhananya adalah dalam bidang kedokteran forensik yang mana terdapat integrasi dan irisan antara ilmu hukum dengan ilmu kedokteran. Hal yang sama berlaku dalam bidang politik hukum yang mana dalam bidang tersebut terdapat irisan antara bidang ilmu hukum dengan ilmu politik[26].

Luasnya bidang yang diampu oleh ilmu hukum membuat hukum harus bersinergi dengan ilmu lainnya yang relevan termasuk juga melihat dan mengikuti perkembangan yang ada[27]. Jika hukum luput dalam mengikuti perkembangan yang ada maka hukum seolah-olah hanya rangkaian “pasal-pasal mati” tanpa jiwa yang digerakkan berdasarkan logika otomasi pada bidang kehidupan manusia[28]. Menggerakkan hukum dengan logika otomat sejatinya mempersempit makna hukum hanya menjadi sekadar aturan (rule and logic) yang orientasinya berupa ketertiban. Padahal, hukum bukan hanya sekadar peraturan, hukum juga meliputi perilaku, nilai, serta cita keadilan yang hendak diwujudkan oleh hukum[29]. Oleh karena itu, hukum sejatinya merupakan moralitas yang memancar dalam hukum positif yang berlaku[30].

Keilmuan bidang kriminologi menjadi salah satu bidang keilmuan yang “dekat dan bertetangga” dengan ilmu hukum[31]. Hal ini karena fokus dari ilmu kriminologi adalah pada aspek kejahatannya, baik timbulnya kejahatan hingga penanganan kejahatan[32]. Ilmu hukum sejatinya tidak berfokus pada aspek kejahatannya, tetapi berfokus pada pelanggaran atas norma hukum, yang lazimnya dicantumkan dalam hukum positif[33]. Oleh karena itu, dekatnya hubungan antara kriminologi dan kajian hukum, khususnya hukum pidana dapat digambarkan layaknya hubungan antara “perahu dengan air laut”. Jika hukum pidana dianggap sebagai perahu maka kriminologi dapat diibaratkan sebagai air laut. Untuk membuat perahu dapat berlayar dengan lancar menuju pulau yang bernama “keadilan”, maka perahu membutuhkan bantuan air laut yang tenang, kondusif, serta memperlancar pelayaran. Hal ini berlaku pula dalam hukum pidana yang mana dalam praktiknya untuk benar-benar memberantas kejahatan, maka hukum pidana memerlukan bantuan ilmu kriminologi untuk mendapatkan sebab-sebab terjadinya tindak pidana sekaligus upaya efektif dalam mencegah serta menanggulangi tindak pidana[34].

Perkembangan bidang kriminologi baik secara langsung maupun tidak langsung memang berkaitan dengan orientasi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan. Hal ini dapat dilacak dari studi kesejarahan mengenai lahirnya istilah “kriminologi” yang dipelopori oleh Paul Topinard yang sejatinya merupakan ahli antropologi fisik[35]. Istilah kriminologi digunakan oleh Paul Topinard untuk mengidentifikasi korelasi antara bentuk fisik manusia dan orientasi kejahatan yang dilakukan. Meski istilah kriminologi diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Paul Topinard, namun kajian kriminologi sejatinya telah mendapatkan perhatian dari berbagai tulisan maupun karya yang ditulis oleh Jeremy Bentham maupun Cesare Beccaria[36]. Tulisan maupun kajian dari Jeremy Bentham maupun Cesare Beccaria sejatinya menunjukkan bahwa kajian mengenai kriminologi sejatinya sudah menjadi fokus kajian para scholar bahkan sebelum istilah kriminologi itu sendiri diperkenalkan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, kriminologi mengkaji berkaitan dengan pada aspek penyebab, pengendalian, pencegahan, serta upaya penanganan suatu tindak pidana[37]. Dalam perspektif kriminologi, kejahatan tidak terjadi dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan, suatu kejahatan pasti dilakukan atas dasar sebab-sebab tertentu. Apabila sebab-sebab itu dapat diketahui serta ditangani, maka potensi terjadinya suatu kejahatan atau tidak pidana sejatinya dapat diminimalisasi[38]. Lebih lanjut dalam pandangan Edwin Sutherland, kriminologi sejatinya mengkaji beberapa aspek pokok, meliputi: penyebab kejahatan (yang lazim disebut etiologi), dimensi sosial pembentukan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kejahatan atau tindak pidana (aspek sosiologi hukum), serta penologi mengkaji terkait pencegahan, penanganan, serta penindakan atas suatu tindak pidana atau kejahatan[39]. Dari fokus kajian kriminologi di atas, sejatinya kriminologi memiliki karakter dimanis dan elastis yang artinya kriminologi dapat berkaitan dengan bidang-bidang keilmuan yang lain termasuk juga dapat digunakan sebagai “pisau analisis” atas suatu tindak pidana atau kejahatan yang berkembang sebagai akibat dari perkembangan teknologi.

Pentingnya kriminologi sebagai analisis dalam pengkajian hukum sejatinya didasarkan pada tiga argumentasi, yaitu: pertama, dalam aspek ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana, kriminologi tidak hanya melihat tindak pidana secara sempit yang hanya merupakan pelanggaran norma. Ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana hanya memandang suatu tindak pidana sebagai pelanggaran norma dengan mendasarkan pada logika koherensi[40]. Kriminologi tidak hanya melihat kejahatan atau tindak pidana sebagai pelanggaran norma tetapi sebagai fenomena yang kompleks, dengan asumsi bahwa: tidak ada suatu kejahatan tanpa adanya sebab serta alasan yang memicu terjadinya suatu kejahatan. Hal ini membuat kriminologi penting bukan hanya sekadar “membantu” ilmu hukum pidana dalam “membaca” realitas kejahatan atau tindak pidana, tetapi juga berperan dalam membantu ilmu hukum pidana dalam mencegah terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana.

Kedua, kriminologi dalam upaya untuk menganalisis permasalahan hukum tidak hanya berfokus pada pelaku dan perbuatan saja, tetapi berfokus pula pada “lingkungan tempat terjadinya kejahatan atau tindak pidana”[41][42]. Faktor lingkungan adanya kejahatan atau tindak pidana sejatinya menjadi faktor penting terjadinya suatu tindak pidana. Faktor lingkungan mendapatkan perhatian dalam kajian kriminologi karena dengan membangun lingkungan yang baik, maka setidaknya tindak pidana dapat diminimalisasi. Ketiga, kriminologi sebagai “pelengkap” dalam pengkajian hukum, khususnya hukum pidana juga berkaitan dengan upaya mengoptimalkan aspek politik hukum pidana. Politik hukum pidana sejatinya berkaitan dengan garis-garis kebijakan hukum negara terkait dengan adanya fenomena kejahatan atau tindak pidana dengan merespon kebijakan hukum yang tepat, apakah itu melakukan revisi terhadap suatu aturan maupun mengganti aturan dengan aturan yang baru[43].

Kebijakan hukum pidana sebagai salah satu kajian utama dalam kriminologi berupaya melihat bahwa perumusan dan perancangan suatu aturan pidana tidak dapat dilepaskan oleh faktor perilaku dan realitas sosial-kemasyarakatan tentang tindak pidana atau kejahatan. Hal ini berarti, perilaku dan realitas sosial-kemasyarakatan harus menjadi “basis utama” perumusan kebijakan hukum pidana. Dalam konteks ini, kebijakan hukum pidana akan optimal jika dirancang dengan melibatkan bidang kriminologi.

Dari ketiga aspek pentingnya pengkajian psikologi terkait fenomena hukum di masyarakat, maka dalam menyikapi fenomena game online yang berdampak pada adanya tindak pidana seperti pencurian, pemerasan, hingga penipuan maka kriminologi meninjau dari tiga aspek fenomena game online yang berdampak pada adanya tindak pidana tersebut, yaitu: pertama, karakter utama kriminologi yaitu melihat kejahatan sebagai “fenomena paripurna” yang meliputi berbagai aspek dan faktor dapat dilihat bahwa hadirnya kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online sejatinya didasarkan pada karakter game online yang tidak hanya berkaitan dengan permainan, tetapi juga memiliki dimensi ekonomis. Dalam dimensi ekonomis ini lah cenderung lahirnya kejahatan-kejahatan turunan yaitu suatu kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh adanya keterpaksaan dalam kaitannya dengan dimensi ekonomis. Dalam konteks ini lah, maka kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online terjadi karena adanya keterpaksaan yang didorong oleh motif ekonomi.

Kedua, mengacu pada terjadinya tindak kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online, maka faktor lingkungan juga memengaruhi terjadinya tindak kejahatan atau tindak pidana tersebut. Terjadinya fenomena kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online pasti diakibatkan oleh lingkungan yang mayoritas kecanduan game online. Selain itu, demi alasan ekonomis dalam game online, lingkungan sekitar juga seolah “membenarkan” atau setidak-tidaknya “membiarkan” terjadinya tindak pidana tersebut. Hal ini lah yang sejatinya menjadi faktor penting mengapa tindak kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game onlinemasih marak dan masif terjadi karena tidak ada kontrol sosial dari masyarakat dalam penanggulangan tindak kejahatan. Ketiga, belum terdapat aturan maupun regulasi yang secara khusus mengatur mengenai kebijakan hukum untuk meminimalisasi dampak kejahatan dari adanya game online. Sejatinya, hanya terdapat satu aturan yang berkaitan dengan game online yaitu Permen game onlineyang fokusnya bukan pada aspek pengaturan terkait dampak negatif dari game online, tetapi lebih merupakan pengaturan mengenai batasan usia pengguna game online serta perlunya penggunaan pendampingan orang tua dalam penggunaan game online oleh remaja atau generasi milenial.

Berdasarkan uraian di atas, dampak kecanduan game online dalam perspektif hukum dan kriminologi sejatinya dapat menimbulkan adanya tindak kejahatan atau tindak pidana sebagai akibat kecanduan game online. Aspek ekonomis dalam game online cenderung berdampak pada lahirnya kejahatan-kejahatan turunan yaitu diakibatkan oleh adanya keterpaksaan dalam kaitannya dengan dimensi ekonomis. Dalam konteks ini lah, maka kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online terjadi karena adanya keterpaksaan yang didorong oleh motif ekonomi. Terjadinya fenomena kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online juga dipengaruhi olehlingkungan sekitar juga seolah “membenarkan” atau setidak-tidaknya “membiarkan” terjadinya tindak pidana tersebut. Hal yang tak kalah penting juga adalah belum terdapat aturan maupun regulasi yang secara khusus mengatur mengenai kebijakan hukum untuk meminimalisasi dampak kejahatan dari adanya game online.

Upaya Pengaturan Ke Depan dalam Meminimalisasi Dampak Game Online

Dari perspektif kriminologi, adanya game online khususnya bagi pihak yang kecanduan dengan game online berpotensi menimbulkan adanya suatu tindak pidana atau kejahatan tertentu. Dari aspek kriminologi, pemicu hadirnya tindakan kejahatan yang disebabkan oleh kecanduan game online sejatinya dikarenakan aspek ekonomis dan lingkungan terkait dengan game online[44]. Aspek ekonomis dalam hal ini dikarenakan game online juga memiliki dimensi ekonomis yang mana pemain game online memiliki orientasi untung dan rugi. Dalam konteks ini, maka setiap pemain game online selalu mengorientasikan serta mendambakan keuntungan[45]. Akan tetapi, ketika kerugian yang didapat oleh pemain game online, maka tindakan-tindakan kriminal serta melanggar hukum menjadi salah satu orientasi dari pemain game online. Selain itu, faktor lingkungan yang mayoritas pengguna game online juga belum mendukung berbagai upaya dan mekanisme untuk meminimalisasi adanya suatu tindakan-tindakan kriminal[46]. Karena seolah-olah “dibiarkan” ini lah maka pengguna game online melalukan tindak pidana atau kriminalitas sebagai dampak kecanduan game online yang memiliki orientasi ekonomis.

Hukum yang memiliki fungsi serta instrumen untuk mengatur masyarakat sejatinya memiliki peran untuk mengatur masyarakat supaya dampak kecanduan game online tidak menimbulkan aksi kriminalitas di masyarakat. Faungsi hukum untuk mengatur ini relevan dengan fungsi hukum sebagai sarana mengubah dan merekayasa masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound[47]. Dalam pandangan Pound, fungsi hukum untuk merekayasa masyarakat sejatinya merupakan fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat[48]. Dalam perspektif yang lebih luas, sebagai sarana perubahan masyarakat hukum sejatinya merupakan mekanisme integrasi yang mmapu mengharomoniskan antara hukum dan pembangunan[49]. Dalam konteks ini, hukum menempati aspek penting dalam pembangunan masyarakat, khususnya dalam melakukan perubahan masyarakat.

Dalam konteks dampak game online, fungsi hukum terkait dengan pembaruan masyarakat penting supaya game online tidak menjadi salah satu penyebab tingginya kriminalitas di masyarakat. Mengacu pandangan Mochtar Kusumaatmadja, maka fungsi hukum dalam pembaruan masyarakat setidaknya dapat diidentifikasi menjadi tiga aspek, yaitu: pertama, dalam kaitannya dengan upaya mengubah masyarakat menuju suatu masyarakat dengan sikap dan orientasi tertentu, maka hukum tidak boleh abai dan bahkan melupakan landasan filosofis masyarakat berupa cita hukum serta realitas hukum yang berkembang di masyarakat[50]. Dalam konteks cita hukum masyarakat, maka dalam upaya untuk merekayasa dan mengubah masyarakat, hukum perlu menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai “nilai utama” yang wajib dipegang oleh negara dalam mengatur masyarakat melalui instrumen hukum[51]. Selain itu, dalam menjalankan fungsi pengaturannya, hukum juga wajib melihat realitas kemasyarakatan. Realitas kemasyarakatan dalam hal ini seperti perkembangan masyarakat seperti perkembangan teknologi yang membuat masifnya pengguna internet dan game online[52]. Dalam konteks ini, tentu hukum tidak boleh menolak atau bahkan melarang perkembangan teknologi.

Kedua, fungsi hukum dalam kaitannya dengan pembaruan masyarakat mengetengahkan fungsi hukum untuk secara integral berkaitan dengan kebijakan publik[53]. Integrasi hukum dan kebijakan publik ini diperlukan supaya upaya untuk mengubah masyarakat dapat berjalan lebih efektif. Kebijakan publik perlu menindaklanjuti ketentuan hukum supaya hukum yang telah dirancang untuk memperbarui masyarakat dapat diterapkan secara optimal di masyarakat. Ketiga, hukum harus mendayagunakan keteladanan bagi masyarakat sehingga pihak-pihak tertentu yang merupakan abdi masyarakat (dalam hal ini birokrasi) dapat menjadi garda terdepan dalam memberikan contoh bagi masyarakat terkait dengan tindakan maupun perbuatan tertentu yang hendak dicita-citakan oleh hukum[54].

Dari ketiga orientasi hukum dan pembangunan di atas, maka dalam upayanya untuk mengatur mengenai game online maka hukum harus mengacu pada tiga aspek yaitu: (i) aspek pengaturan dalam norma hukum, (ii) aspek perumusan kebijakan, serta (iii) aspek pelaksanaan kebijakan. Dari aspek pengaturan hukum, peraturan hukum mengenai dampak dari game online hanya terdapat dalam Permen Game Online. Dari beberapa ketentuan Permen Game Online, sejatinya terdapat beberapa substansi positif dalam upaya untuk menanggulangi efek kecanduan game online yang meliputi: adanya mekanisme pendaftaran identitas sebelum memainkan game online. Pendaftaran identitas sebagaimana diatur dalam Permen Game Online dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, khususnya dalam aspek perlindungan data pribadi maupun perlindungan bagi masyarakat di bawah umur untuk tidak memainkan game online karena berpotensi mengalami kecanduan yang dapat mengganggu kegiatan belajar[55]. Hal ini dapat dipahami karena dalam konsideran menimbang Permen Game Online telah mencantumkan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang menyiratkan bahwa Permen Game Online memiliki orientasi untuk melindungi anak terkait dengan bahaya kecanduan game online.

Selain pendaftaran identitas, Permen Game Online juga memberikan klasifikasi usia pengguna game online, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) Permen Game Online yang mengklasifikasikan pengguna game online dalam rentang usia yang meliputi: usia 3 tahun, 7 tahun, 13 tahun, 18 tahun, serta untuk semua usia. Pengaturan mengenai klasifikasi usia tersebut dimaksudkan supaya penggunaan game online sesuai dengan perkembangan psikologis dan perkembangan usia dari pengguna game online. Perkembangan psikologis dan tumbuh kembang berdasarkan usia menjadi aspek penting supaya penggunaan game online tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang secara psikologis belum mencapai usia yang sepatutnya[56][57]. Selain itu, hal yang menarik dari Permen Game Online adalah adanya anjuran bagi orang tua untuk mendampingi anak dalam menggunakan game online.

Meski secara umum, Permen Game Online secara komprehensif telah mengatur mengenai berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam menggunakan game online, namun menurut hemat penulis, dalam Permen Game Online terdapat dua kelemahan substansial, yaitu: pertama, Permen Game Online dalam berbagai rumusannya semacam bersifat “anjuran” sehingga tidak terdapat upaya untuk menindaklanjuti Permen Game Online dengan kebijakan publik. Hal ini menurut penulis berpotensi tidak memaksimalkan aspek positif dalam Permen Game Online yang seyogyanya harus terimplementasi dalam kebijakan publik. Kedua, melanjutkan dari sifat Permen Game Online yang seakan berkarakter “anjuran” hal ini dapat dilihat dari tidak terdapatnya sanksi maupun ketentuan yang sifatnya memaksa terkait dengan substansi pengaturan game online dalam Permen Game Online. Dalam hal ini, seandainya rentang usia yang telah dicanangkan oleh Permen Game Online dan dalam praktiknya banyak dilanggar, maka hal tersebut sejatinya berpotensi untuk tidak dapat ditegakkan karena tidak terdapat sanksi maupun instrumen pemaksa dalam Permen Game Online.

Upaya pengaturan ke depan dalam meminimalisasi dampak game online yaitu melakukan revisi terkait dengan ketentuan yang terdapat dalam Permen Game Online khususnya dalam upaya untuk menegaskan adanya sanksi maupun unsur pemaksa supaya berbagai ketentuan dalam Permen Game Online dapat dijalankan secara optimal. Selanjutnya, ketentuan dalam Permen Game Online perlu mendapatkan tindak lanjut berupa kebijakan publik supaya berbagai ketentuan dalam Permen Game Online dapat diterapkan dan diimpelmentasikan di masyarakat sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat.

Simpulan

Dampak kecanduan game online dalam perspektif hukum dan kriminologi sejatinya dapat menimbulkan adanya tindak kejahatan atau tindak pidana sebagai akibat kecanduan game online. Aspek ekonomis dalam game online cenderung berdampak pada lahirnya kejahatan-kejahatan turunan yaitu diakibatkan oleh adanya keterpaksaan dalam kaitannya dengan dimensi ekonomis. Dalam konteks ini lah, maka kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online terjadi karena adanya keterpaksaan yang didorong oleh motif ekonomi. Terjadinya fenomena kejahatan atau tindak pidana yang diakibatkan oleh game online juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar juga seolah “membenarkan” atau setidak-tidaknya “membiarkan” terjadinya tindak pidana tersebut. Hal yang tak kalah penting juga adalah belum terdapat aturan maupun regulasi yang secara khusus mengatur mengenai kebijakan hukum untuk meminimalisasi dampak kejahatan dari adanya game online.

Upaya pengaturan ke depan dalam meminimalisasi dampak game online yaitu melakukan revisi terkait dengan ketentuan yang terdapat dalam Permen Game Online khususnya dalam upaya untuk menegaskan adanya sanksi maupun unsur pemaksa supaya berbagai ketentuan dalam Permen Game Online dapat dijalankan secara optimal. Selanjutnya, ketentuan dalam Permen Game Online perlu mendapatkan tindak lanjut berupa kebijakan publik supaya berbagai ketentuan dalam Permen Game Online dapat diterapkan dan diimpelmentasikan di masyarakat sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat.

References

  1. M. Jacky, “Bloggers and Deliberative Democracy in Indonesia ’ s Blogosphere,” Asian Soc. Sci., vol. 11, no. 28, pp. 15–28, 2017, doi: 10.5539/ass.v11n28p15.
  2. R. P. C. W. Maria Agustina Lebho, M. Dinah Charlota Lerik and S. K. A. Littik, “Perilaku Kecanduan Game Online Ditinjau dari Kesepian dan Kebutuhan Berafiliasi pada Remaja,” J. Heal. Behav. Sci., vol. 2, no. 2, p. 205, 2020.
  3. F. Anwar, “Perubahan dan Permasalahan Media Sosial,” J. Muara Ilmu Sos. Humaniora, dan Seni, vol. 1, no. 1, p. 137, 2017, doi: 10.24912/jmishumsen.v1i1.343.
  4. W. are Social, “Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2022.” //andi.link/, 2022.
  5. C. M. Annur, “Ada Berapa Pengguna Internet dan Media Sosial di Seluruh Dunia?” databoks.katadata.co.id, 2022.
  6. Y. P. Matur, M. G. Simon, and T. A. Ndorang, “Hubungan Kecanduan Game Online Dengan Kualitas Tidur Pada Remaja Sma Negeri Di Kota Ruteng,” 55 Jwk, vol. 6, no. 2, pp. 2548–4702, 2021.
  7. R. Nur Kurniawan, I. Wijaya, and A. Yani, “Konstruksi Sosial Remaja Pecandu Game Online di Kota Makassar,” Media Publ. Promosi Kesehat. Indones., vol. 4, no. 1, pp. 110–115, 2021, doi: 10.56338/mppki.v4i1.1395.
  8. R. Riadi, “Terlilit Hutang Game High Domino, Seorang Pemuda Diciduk Tim Gabungan Karena Nekat Curi Mobil Pick Up.” babel.polri.go.id, 2022.
  9. Radar Solo, “Kecanduan Game Online, Pemuda Asal Gergunung Ini Nekat Bobol Sekolah.” radarsolo.jawapos.com, 2022.
  10. D. S. W. Sapto Irawan, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecanduan Game Online Peserta Didik,” J. Konseling Gusjigang, vol. 7, no. 1, p. 11, 2021.
  11. S. Hadisaputra, Andi Asywid Nur, “Fenomena Kecanduan Game Online di Kalangan Remaja Pedesaan (Studi Kasus Dua Desa di Sulawesi Selatan),” Edu Cendikia, vol. 2, no. 2, p. 393, 2022.
  12. R. I. T. Efendi, A’an, Dyah Ochtorina Susanti, Penelitian Hukum Doktrinal. Yogyakarta: LaksBang Justitia, 2019.
  13. R. D. Yogaswara, “Artificial Intelligence Sebagai Penggerak Industri 4.0 Dan Tantangannya Bagi Sektor Pemerintah dan Swasra,” Masy. Telemat. dan Inf., vol. 10, no. 1, pp. 67–72, 2019.
  14. J. Abbas, J. Aman, M. Nurunnabi, and S. Bano, “The impact of social media on learning behavior for sustainable education: Evidence of students from selected universities in Pakistan,” Sustain., vol. 11, no. 6, pp. 1–23, 2019, doi: 10.3390/su11061683.
  15. B. A. Pribadi, Media dan Teknologi dalam Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017.
  16. I. R. Yusup, T. Kurniati, A. L. P. Airin, D. Rahayu, and L. Fuziawati, “Pengaruh Penggunaan Game Online Terhadap Minat Belajar Siswa SMP,” J. Educ. FKIP UNMA, vol. 7, no. 1, pp. 36–39, 2021, doi: 10.31949/educatio.v7i1.763.
  17. L. P. Supratman, “Penggunaan Media Sosial oleh Digital Native,” J. ILMU Komun., vol. 15, no. 1, pp. 47–60, 2018, doi: 10.24002/jik.v15i1.1243.
  18. D. R. Nourmayansa Vidya Anggraini, “Perilaku Bermain Game Online Terhadap Insomnia Pada Remaja Di Bogor Nourmayansa,” J. Keperawatan Muhammadiyah, vol. 7, no. 1, p. 51, 2022.
  19. A. Asnawi, “Kesiapan Indonesia Membangun Ekonomi Digital Di Era Revolusi Industri 4.0,” J. Ilm. Indones., vol. 7, no. 1, 2022.
  20. A. J. G. Yehoshua Yohan Ary Anando, “Pengaruh Antusiasme Belajar dan Media Belajar Website ‘Sekolah Digital SMKN 3 Salatiga’ Terhadap Prestasi Belajar Simulasi Digital,” J. Ilm. Wahana Pendidik., vol. 8, no. 2, p. 179, 2022, doi: 10.5281/zenodo.6133247.
  21. A. A. Mustikajati, A. R. Ramadhan, and R. A. Fitriono, “Tradisi carok Adat Madura dalam Perspektif Kriminologi dan Alternatif Penyelesaian Perkara Menggunakan Prinsip Restorative Justice,” Intelektiva, vol. 3, no. 4, pp. 95–107, 2021.
  22. S. A. Roikan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif Ilmu Politik, 1st ed. Jakarta: Kencana, 2019.
  23. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 13th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  24. P. M. Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, 10th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  25. Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, 1st ed. Semarang: Thafa Media, 2013.
  26. M. Ahmad Iffan, “Kajian Sosio Legal dalam Pemahaman Syariat Islam dan Hukum Sosial ....,” J. el-Qanuniy J. Ilmu-Ilmu Kesyariahan dan Pranata Sos., vol. 7, no. 1, pp. 95–115, 2021.
  27. A. Harding, “Theories of Law and Development,” Asian J. Soc. Sci., vol. 46, no. 4–5, pp. 421–444, Sep. 2018, doi: 10.1163/15685314-04604003.
  28. F. Afandi, “Penelitian Hukum Interdisipliner Reza Banakar: Urgensi dan Desain Penelitian Sosio-legal,” Undang J. Huk., vol. 5, no. 1, p. 240, 2022.
  29. S. Sayuti, “Arah Kebijakan Pembentukan Hukum Kedepan (Pendekatan Teori Hukum Pembangunan, Teori Hukum Progresif, dan Teori Hukum Integratif),” Al Risal., vol. 13, no. 2, pp. 11–22, 2018.
  30. Peter Mahmud Marzuki, Teori Hukum, 1st ed. Jakarta: Kencana, 2020.
  31. G. Duke, “Law’s Normative Point,” Law Philos., vol. 38, no. 1, pp. 1–27, Feb. 2019, doi: 10.1007/s10982-018-9334-8.
  32. D. E. Purwoleksono, Hukum Pidana, 1st ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2016.
  33. E. M. Al Amaren, A. M. A. Hamad, O. F. Al Mashhour, and M. I. Al Mashni, “An introduction to the legal research method: To clear the blurred image on how students understand the method of the legal science research,” Int. J. Multidiscip. Sci. Adv. Technol., vol. 1, no. 9, pp. 50–55, 2020.
  34. E. O. S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2019.
  35. S. Jacques, “The Story of Jeremy Bentham on Police: Bridging the Bentham Project to Criminology,” in Jeremy Bentham on Police, London: UCL Press, 2021, p. 12.
  36. P. Tarantino, Philosophy, Obligation and the Law: Bentham’s Ontology of Law, 1st ed. New York: Routledge, 2018.
  37. J. Barton-Crosby, “The nature and role of morality in situational action theory,” Eur. J. Criminol., vol. 1, no. 1, pp. 1–17, 2020, doi: 10.1177/1477370820977099.
  38. R. Leider, “The Modern Common Law of Crime,” J. Crim. Law Criminol., vol. 111, no. 2, pp. 412–413, 2021.
  39. W. Desideria Nyinaq, Harkirtan Kaur, “Assessing The View Of Criminology Science In Seniority Violence Cases,” Int. J. Soc. Policy Law, vol. 2, no. 3, p. 30, 2021.
  40. R. S. Rico Yodi Tri Utama, “Independensi Dan Urgensi Restrukturisasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan Aspek Kekuasaan Kehakiman,” Ajudikasi J. Ilmu Huk., vol. 5, no. 1, pp. 52–70, 2017.
  41. A. Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, 1st ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
  42. K. H. Edi Setiadi, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum di Indonesia, 1st ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  43. A. Pristiono, “Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dengan Konsep Mediasi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum (Penipuan Dan Penggelapan) Pada Bagwassidik Ditreskrimum Polda Sumut,” J. Ilm. Muqoddimah J. Ilmu Sos. Polit. dan Hummanioramaniora, vol. 4, no. 1, p. 34, 2020, doi: 10.31604/jim.v4i1.2020.34-43.
  44. R. J. Santi, D. Setiawan, and I. A. Pratiwi, “Perubahan Tingkah Laku Anak Sekolah Dasar Akibat Game Online,” J. Penelit. dan Pengemb. Pendidik., vol. 5, no. 3, p. 385, 2021, doi: 10.23887/jppp.v5i3.38576.
  45. N. Anggraeni, H. Agustiani, L. E. Novianti, and R. H. Ninin, “The Description of Internet Game Online Addiction Among Teenagers,” JPPP - J. Penelit. dan Pengukuran Psikol., vol. 10, no. 1, pp. 5–17, 2021, doi: 10.21009/jppp.101.02.
  46. Nurnainah, A. Palembai, and Jumasnatang, “Faktor yang Mempengaruhi Resiko Perilaku Adiksi Bermain Game Online pada Remaja Siswa,” J. Keperawatan Jiwa Perawat Persat. Nas. Indones., vol. 9, no. 3, pp. 629–636, 2021.
  47. N. Lathif, “Teori Hukum Sebagai Sarana Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat,” Palar | Pakuan Law Rev., vol. 3, no. 1, pp. 73–94, 2017, doi: 10.33751/palar.v3i1.402.
  48. H. Matnuh, “Law as a Tool of Social Engineering,” in 1st International Conference on Social Sciences Education "Multicultural, 2018, vol. 147, no. Icsse 2017, pp. 118–120, doi: 10.2991/icsse-17.2018.28.
  49. A. Ismayawati, “Pancasila sebagai Dasar Pembangunan Hukum Di Indonesia,” Yudisia, vol. 8, no. 1, 2017.
  50. S. Shidarta, “Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,” Undang J. Huk., vol. 3, no. 2, pp. 441–476, Dec. 2020, doi: 10.22437/ujh.3.2.441-476.
  51. D. G. Atmadja, “Asas - asas hukum dalam sistem hukum,” Kertha Wicaksana, vol. 12, no. 2, pp. 145–155, 2018.
  52. Dicky Eko Prasetio Adam Ilyas Felix Ferdin Bakker, “Membangun Moralitas dan Hukum Sebagai Integrative Mechanism di Masyarakat Dalam Perspektif Hukum Progresif,” Mimb. Keadilan, vol. 14, no. 2, pp. 128–138, 2021.
  53. M. Z. Aulia, “Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma-atmadja: Mengarahkan Pembangunan atau Mengabdi pada Pembangunan?,” Undang J. Huk., vol. 1, no. 2, pp. 363–392, 2018.
  54. R. Atmasasmita, Teori hukum integratif rekonstruksi terhadap teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif. Yogyakarta: Genta Publishing, 2012.
  55. S. Anggraini and A. Rudi Yanto, “Edukasi Pencegahan Bahaya Kecanduan Game Onlinepada Remajadi Smpn Alok Maumere,” J-Abdi J. Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 1, no. 8, pp. 1–8, 2022.
  56. Febriany, “Sejarah, Transformasi, Dan Konsekuensi Game Online,” J. Selasar KPI Ref. Media Komun. dan Dakwah, vol. 2, no. 1, pp. 50–65, 2022.
  57. S. A. N. Shieva Nur Azizah Ahmad, Siti Latipah, Elang Wibisana, “Hubungan Kecanduan Bermain Game Online Terhadap Motivasi Belajar Siswa di SMA X,” J. Ilm. Keperawatan Indones., vol. 5, no. 1, pp. 29–44, 2021.