Environmental Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.955

Liability of Mining Companies Related to Environmental Pollution in the Perspective of Prophetic Law


Pertanggungjawaban Perusahaan Tambang Terkait Pencemaran Lingkungan dalam Perspektif Hukum Profetik

Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Prophetic Law Environmental Pollution Corporate Responsibility

Abstract

This study aims to analyze aspects of mining company liability related to environmental pollution in the perspective of prophetic law. A review of prophetic law is used as an analytical knife to confirm the existence of prophetic law, one of which emphasizes "unity" between the interests of humans and the universe (including the environment). This research is a normative legal research by prioritizing the concept and statutory approach. The results of the study confirm that proper legal responsibility for mining companies if it is proven that there is environmental pollution in a preventive manner or prevention, mining companies need to anticipate that before mining companies carry out mining activities, they must submit a post-mining reclamation plan and provide a post-mining reclamation guarantee fund. Then in the implementation of mining activities supervision must be carried out continuously and negotiate/persuade or supervise so that mining companies carry out their mining activities in compliance with permit conditions and other conditions for carrying out environmentally sound mining activities. Viewed from the perspective of prophetic law, legal accountability for mining companies in relation to environmental pollution is actually in accordance with three aspects of prophetic law, namely aspects of transcendence, humanization, and liberation. Therefore, in order to make law enforcement effective regarding legal liability for mining companies in relation to environmental pollution, it is necessary to harmonize and synchronize laws and regulations as well as the need for efforts to maintain coherence between statutory regulations and practice in the field.

Pendahuluan

Lingkungan yang baik sejatinya merupakan prasyarat dari negara demokrasi, dalam konteks ini adalah Indonesia yang dalam konstitusinya menegaskan diri sebagai negara demokrasi yang berkonstitusi[1]. Sebagai negara demokrasi, Indonesia menegaskan komitmen untuk memenuhi hak konstitusional warga negara, salah satunya adalah ha katas lingkungan hidup yang sehat dan layak[2]. Berkaitan dengan lingkungan hidup, UUD NRI 1945 telah menegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) yang secara substantif menegaskan bahwa hak atas lingkungan hidup merupakan hak konstitusional sehingga negara memiliki orientasi untuk memenuhi hak tersebut. Negara (dalam konteks ini termasuk pemerintah) memiliki hak untuk mewujudkan hak lingkungan hidup tersebut dalam kerangka produk hukum maupun kebijakan.

Berbagai kegiatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat diorientasikan oleh negara dalam hal ini secara teknis diselenggarakan oleh pemerintah. Meski dijalankan oleh pemerintah, namun kegiatan tersebut juga didukung oleh penyelenggaraan dari lingkup swasta. Hal ini dimaksudkan supaya pemerintah dapat mengontrol kegiatan pengelolaan sumber daya alam supaya dapat terselenggara secara tertib dan berkeadilan[3]. Kegiatan pertambangan sejatinya merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh pemerintah sebagai representasi negara untuk mengelola sumber daya yang ada[4]. Dalam konteks ini, sekalipun negara memiliki orientasi untuk mengelola sumber daya alam berupa pertambangan, swasta tetap diberi ruang dalam rangka untuk memakmurkan masyarakat melalui hasil tambang yang ada. Meski begitu, setali tiga uang dengan adanya upaya pertambangan sebagai salah satu upaya memakmurkan masyarakat, pertambangan juga memiliki potensi terkait dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Implikasi adanya kegiatan pertambangan sebagaimana dikemukakan oleh J. Barros dan J.M. Johnston, secara umum identik dengan lima aspek, yang meliputi[5]: pertama,pertambangan merupakan kegiatan ekplosif yang melibatkan berbagai aspek seperti zat kimia, zat radioaktif, hingga zat berbahaya lainnya. Kedua, kegiatan pertambangan memiliki karakter potensial adanya permasalahan yang dapat mengganggu aktivitas masyarakat secara umum. Ketiga,pertambangan dapat meningkatkan tingkat polusi udara karena hampir semua kegiatan pertambangan identik dengan industrialisasi yang semuanya mayoritas menggunakan mesin. Keempat, pertambangan berimplikasi pada lahan pertanian masyarakat yang mana lahan pertanian berpotensi terganggu baik tingkat kesuburan hingga proses pertanian pada umumnya dikarenakan adanya kegiatan pertambanganSelain pencemaran lingkungan, praktik pertambangan yang tidak terkelola dengan baik oleh negara juga berpotensi merugikan negara sebagaimana hasil kajian dari Kementerian ESDM yang mana tambang illegal hingga akhir tahun 2022 merugikan negara hingga 3,6 Triliun Rupiah[6].

Potensi adanya pencemaran serta kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan membuat negara mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pertambangan, diantaranya: UU No. 4 Tahun Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (selanjutnya disebut UU Minerba), UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (selanjutnya disebut perubahan UU Minerba), UndangUndang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas), Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda), dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Dalam kegiatan usaha pertambangan di Indonesia tidak bisa dipungkiri dapat saja menimbulkan dampak baik maupun dampak buruk bagi beberapa aspek kehidupan masyarakat Indonesia tidak terkecuali berdampak pada lingkungan sekitar wilayah aktivitas pertambangan. Aktivitas pertambangan dapat menimbulkan berbagai dampak yang buruk bagi lingkungan secara lokal maupun global. Untuk itu dalam melakukan kegiatan pertambangan harus memperhatikan beberapa aspek kehidupan seperti, aspek ekonomi, sosial budaya serta lingkungan[7].

Tata kelola pertambangan yang baik seharusnya mendasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan[8]. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu orientasi yang mana pembangunan diorientasikan untuk amsa kini dan yang akan datang[9]. Dalam kaitannya dengan industri pertambangan, pembangunan berkelanjutan menekankan pada tiga aspek, yaitu, kegiatan pertambangan yang berfokus pada pelestarian lingkungan, tahap pemulihan lingkungan pasca tambang (reklamasi), hingga taraf pembangunan kembali lingkungan untuk generasi mendatang.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek pertanggungjawaban perusahaan tambang terkait dengan pencemaran lingkungan dalam perspektif hukum profetik. Tinjauan hukum profetik digunakan sebagai pisau analisis untuk meneguhkan eksistensi hukum profetik yang salah satunya menekankan “bersatunya” antara kepentingan manusia dan alam semesta (termasuk lingkungan hidup).

Penelitian mengenai pertanggungjawaban perusahaan tambang terkait dengan pencemaran lingkungan telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya: 1) Chrisdon Zakaria Purba, Hisar Siregar, Lesson Sihotang (2021) tentang Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Usaha Yang Melakukan Usaha Penambangan Tanpa IUP, IPR Atau IUPK (Studi Putusan Nomor 556/Pid.Sus/2019/Pn Bls yang berfokus pada analisis pertanggungjawaban pidana pelaku usaha pertambangan yang tidak disertai IUP, IPR Atau IUPK[10]. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh 2) Hesti Lestari dan Megawati Barthos (2022) tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berkaitan Dengan Dumping Limbah Tanpa Izin Pada Perusahaan Tambang PT. Indominco Mandiri Di Kalimantan yang berfokus pada pertanggungjawaban pidana korporasi atas dumping limbah tanpa izin yang dilakukan oleh PT. Indominco Mandiri[11]. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Popi Amaria Simatupang, Pricilia Fanesha Pinangkaan, Febri Adi Prasetio (2022) tentang Upaya Pemerintah Kota Balikpapan Dalam Mengatasi Praktik Pertambangan Batubara Ilegal yang berfokus pada berbagai upaya baik hukum maupun non hukum yang dilakukan Pemerintah Kota Balikpapan untuk mengantisipasi sekaligus mengatasi tambang batu bara illegal[12]. Dari ketiga penelitian terdahulu, penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang orisinal karena belum terdapat pembahasan komprehensif mengenai tanggung jawab perusahaan tambang terkait kerusakan lingkungan dalam perspektif hukum profetik.

Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: 1) Apakah pertanggungjawaban hukum yang tepat bagi perusahaan pertambangan apabila terbukti adanya pencemaran lingkungan? Dan 2) Bagaimana perspektif hukum profetik terkait pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan?,

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini yang berkaitan dengan tinjauan hukum profetik terkait pertanggungjawaban perusahaan tambang dalam kaitannay dengan pencemaran lingkungan penelitian hukum (legal research)[13]. Penelitian hukum merupakan penelitian yang mengedepankan logika koherensional, yang artinya menautkan logika koherensi pada asas, teori, serta aturan hukum[14]. Penelitian ini menggunkan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Bahan hukum primer dalam penelitian ini, diantaranya: UUD NRI 1945, UU Minerba, perubahan UU Minerba, UU Migas, UU Pemda, UU PPLH. Bahan hukum sekunder terdiri dari artikel jurnal, buku, serta website terkait yang relevan dengan kajian ini. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa.

Hasil dan Pembahasan

Pertanggungjawaban Hukum Perusahaan Pertambangan Terkait Pencemaran Lingkungan

Pertambangan sejatinya merupakan kegiatan untuk menggali serta mengoptimalkan berbagai sumber daya alam yang ada di bumi Indonesia[15]. Pengertian pertambangan secara otentik berdasarkan Pasal 1 butir 1 UU Minerba menitikberatkan pada berbagai kegiatan yang meliputi penyelidikan umum eksplorasi, studi kelayakan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang yang ditujukan untuk mengambil, menggali, serta mencari sumber daya mineral yang ada. Sekalipun kegiatan pertambangan telah mendapatkan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah, namun kurang optimalnya pengawasan dan penegakan hukum masih membuat kegiatan pertambangan terdapat berbagai pelanggaran yang dapat merusak fungsi lingkungan[16]. Perusahaan pertambangan berperan besar dalam menimbulkan adanya kerusakan lingkungan[17]. Dalam konteks ini, ada dua permasalahan terkait perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan yaitu pertama terkait dengan tidak optimalnya peran pengawasan dan inspeksi dari pemerintah supaya perusahaan tetap berpegang teguh pada koridor untuk melestarikan lingkungan serta kedua, terdapat beberapa perusahaan tambang illegal yang justru berdiri dan beroperasi tidak mendapatkan izin dari pemerintah. Problematika ini diperparah ketika perusahaan tambang tersebut justru dimiliki oleh para pihak yang memiliki “kuasa” di daerah sehingga melakukan penegakan hukum atas perusahaan tambang illegal merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

Dampak negatif sebagai akibat aktivitas tambang seringkali berulang di berbagai tempat. Hal tersebut terjadi karena aktivitas pertambangan yang masih dilaksanakan tanpa menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, sehingga telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup warga masyarakat. Terjadinya kerusakan jalan, terjadinya pencemaran sungai, terjadinya polusi udara, terganggunya lahan pertanian/perkebunan, berkurangnya areal pertanian/perkebunan, menurunnya prduktivitas pertanian/perkebunan, serta terjadinya kerusakan flora dan fauna adalah bentuk-bentuk dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan[18]. Hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk milieurecht) sejatinya merupakan tinjauan hukum lingkungan dalam perspektif hukum perdata[19]. Secara umum, hukum lingkungan keperdataan dipahami sebagai bidang kajian hukum lingkungan yang berorientasi pada aspek privat atau keperdataan[20]. Aspek keperdataan menekankan adanya pertanggungjawaban individu yang ketat. Manifestasinya adalah adanya kesalahan harus segera diberi ganti kerugian sesuai dengan tingkat kesalahannya. Hal ini sesuai dengan adagium hukum bahwa dimana ada hak, di situ terdapat kapasitas untuk menuntut (Ibi ius ibi remidium)[21].

Pandangan dari pakar hukum lingkungan yaitu Siti Sundari Rangkuti memperkuat dimensi pertanggungjawaban keperdataan dari hukum lingkungan keperdataan[22]. Tanggung jawab dalam hukum lingkungan keperdataan dapat diidentifikasi dengan mudah serta prosesnya lebih mudah dan ganti rugi dapat disalurkan secara lebih cepat[23]. Ganti rugi keperdataan dalam hukum lingkungan keperdataan dalam penegakannya diawali dengan upaya preventif untuk mencegah adanya kerugian masyarakat atas tindakan pertambangan[23][24]. Akan tetapi, jika masih terdapat kerugian akibat proses pertambangan, maka tetap dilanjutkan bentuk keperdataan berupa ganti rugi sepadan dengan tingkat kerugian yang dialami. Selain tanggung jawab keperdataam, bentuk perlindungan hukum lainnya adalah melalui upaya hukum di pengadilan yang mengedepankan logika kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam menjamin hak yang proporsional masyarakat atas kelestarian lingkungan[25]. Meski begitu, penyelesaian sengketa pertambangan di masyarakat masih belum efektif karena terdapat logika putusan penagadilan yang hanya berdasarkan tinjauan yuridis-tekstualis, tanpa memerhatikan dimensi susbtansi dan fakta hukum yang terjadi secara realistis.

Putusan pengadilan belum menggambarkan pertanggungjawaban mutlak yang dianut oleh UUPPLH[26]. Isi putusan pengadilan hanya menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena kurangnya pihak yang dijadikan tergugat, gugatan kabur serta error in persona. Padahal, dalam putusan pengadilan terkait dengan hukum lingkungan perlu menekankan intensitas pengelolaan sumber daya alam, khususnya aktivitas pertambangan yang tinggi seringkali telah menimbulkan risiko atau dampak terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia, yang menimbulkan masalah lingkungan yang memiliki konsekuensi pertanggungjawaban hukum terhadap pelakunya. Penentuan tentang bentuk pertanggungjawaban hukum ini ditetapkan dengan melihat sifat kegiatan, apakah sebuah kegiatan masih termasuk dalam batas-batas kelaziman atau telah berada di luar batas-batas kelaziman[27]. Dengan demikian penentuan bentuk pertanggungjawaban hukum atas masalah lingkungan ditentukan dengan melihat seberapa besar masalah lingkungan yang ditimbulkan telah menyebabkan kemunduran kualitas lingkungan, yakni berpotensi menimbulkan apakah pencemaran, kerusakan, pengurasan, dan gangguan terhadap lingkungan hidup warga masyarakat, sehingga dapat diberlakukan bentuk pertanggungjawaban hukum tertentu dalam hal telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

Penurunan kualitas lingkungan seyogyanya tidak dilihat dari dampak negatif yang secara nyata dan langsung, namun seyogyanya penurunan kualitas lingkungan hidup harus dapat dideteksi sejak awal aktivitas pertambangan dilakukan[28]. Tanggung gugat lingkungan sejatinya berisi komitmen bagi pencemar atau perusak lingkungan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan[29]. Konsep ini mendasarkan pada pemahaman bahwa pelaku pencemaran lingkungan wajib membayar ganti kerugian jika terbukti bersalah dan menimbulkan kerusakan lingkungan[30]. Hal yang sebaliknya adalah apabila tidak terbukti, maka para pihak tidak dapat dikenakan tanggung jawab keperdataan. Selain itu, dalam hukum lingkungan terdapat pula konsepsi mengenai strict liability yaitu tanggung jawab mutlak atas pencemaran yang dilakukan kepada lingkungan[31]. Meski begitu, penerapan doktrin strict liability harus dilaksanakan secara hati-hati dengan mengedepankan logika dan fakta hukum yang relevan. Dalam hal ini, peran hakim di pengadilan menjadi kunci dalam meenrapkan doktrin strict liability

Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk mengganti kerugian[32]. Meskipun demikian, mengingat penyelesaian sengketa lingkungan akibat aktivitas tambang yang diselesaikan melalui gugatan di pengadilan belum sepenuhnya menjamin pemulihan kerugian warga masyarakat yang terdampak atau berisiko akan mengalami dampak pencemaran atau kerusakan lingkungan, maka penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan negosiasi, persuasi, dan supervise agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin ditaati. (compliance/pemenuhan).

Tangung jawab sebagaimana ditegaskan dalam KBBI merupakan suatu bentuk pemberian atas suatu akibat yang telah disebabkan oleh pihak yang berkepentingan[33]. Dalam kepustakaan ilmu hukum, tanggung jawab identik dengan istilah liability dan responsibility[34]. Liability secara terminologis berkaitan dengan tanggung jawab yuridis, yang artinya untuk dapat bertanggungjawab digunakan standar dan prosedur hukum. Berbeda dengan responsibility yang berdimensi politik yang mana bentuk pertanggungjawabannya bersifat kebijakan atau political oriented[35]. Dalam khasanah ilmu hukum, digunakanlah konsepsi liability sebagai tanggung jawab. Hans Kelsen berpandangan bahwa tanggung jawab identik dengan penekanan pada logika impunitas yang mana subjek hukum yang melakukan suatu pebuatan hukum, bertanggung jawab atas dampak dari perbuatan hukum[36].

Lingkungan hidup yang terganggu keseimbangannya perlu dikembalikan fungsinya sebagai kehidupan dan memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan keadilan antar generasi dengan cara meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum. Pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu sektor yang ditargetkan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan negara, maka pemerintah dengan berbagai upaya mendorong para investor untuk melakukan usaha pertambangan dengan mengembangkan potensi sumber daya alam yang tersedia. Perkembangan industri modern yang semakin canggih seringkali telah menimbulkan risiko atau dampak yang sangat besar terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia.

Masalah lingkungan adalah kemunduran kualitas lingkungan. Kemunduran kualitas dimaksud mengenai tiga hal, yaitu pencemaran, pengurasan, dan gangguan[43]. Pengurasan berarti unsur-unsur lingkungan hidup dihilangkan sedemikian rupa atau dengan kecepatan begitu jauh sehingga membahayakan lingkungan. Gangguan adalah kemunduran kualitas lingkungan hidup yang tidak disebabkan oleh pemcemaran dan pengurasan. Kualitas lingkungan pada hakikatnya adalah nilai yang dimiliki lingkungan untuk kesehatan manusia, keamanan, dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya serta lingkungan hidup itu sendiri (nilai intrinsik).Adapun wujud atau bentuk masalah lingkungan hidup dalam realitanya dapat berupa pencemaran, atau perusakan, atau pencemaran dan perusakan lingkungan hidup secara bersamaan dan berakumulasi[44]. Masalah lingkungan hidup ini dapat berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh tindakan manusia (masalah lingkungan hidup antropogenik) dan juga dapat disebabkan oleh alam (masalah lingkungan hidup geologis).

Masalah lingkungan hidup tersebut merupakan masalah lingkungan hidup antropogenik[45]. Semakin tinggi tingkat intentitas kegiatan manusia yang umumnya sejalan dengan tingkat kemajuan ekonomi dan iptek/kebudayaan yang dicapai, semakin besar pula kemungkinan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut, baik secara yuridis terlebih-lebih secara ekologis (pencemaran/perusakan lingkungan hidup secara yuridis menurut sistem hukum lingkungan Indonesia sebagaimana terkandung dalam peraturan perundang-undangan khususnya UU PPLH, maupun tidak identik dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup secara ekologis/fisik.

Klasifikasi lain yakni menempatkan masalah lingkungan hidup dalam tiga bentuk perwujudan pencemaran lingkungan, pengurasan, dan gangguan lingkungan hidup[47]. Dalam konteks ini, pencemaran dikaitkan dengan faktor introduksi ke dalam lingkungan hidup yang dapat berupa zat atau fisik lainnya, yang berakibat pada kesehatan. dalam arti luas, yang menghendaki/menuntut adanya substansi hukum lingkungan di bidang kesehatan. Sementara pengurasan (yang dapat disejajarkan dengan perusakan) lingkungan dikaitkan dengan adanya pemanfaatan yang berlebihan, yang mengakibatkan unsur-unsur lingkungan dihilangkan sedemikian rupa (seperti cekungan-resapan air), atau karena kecepatan yang begitu jauh, dalam pengertian yang melebihi kemampuan dan daya dukung lingkungan hidup, sehingga membahayakan lingkungan hidup.

Adapun degradasi lingkungan yang tidak disebabkan oleh pencemaran dan pengurasan dikategorikan sebagai gangguna lingkungan hidup yang kesemuanya itu terkait langsung dengan perkembangan sosial, seperti pertumbuhan penduduk, tingkah laku sosial dalam memproduksi dan mengonsumsi hasil produksinya itu. Faktor penyebab masalah lingkungan hidup dapat bermacam-macam, seperti kegiatan pertambangan, industri, pertanian, dan relokasi penduduk atau transmigrasi[48]. Di samping itu juga karena peristiwa-peristiwa alam, seperti letusan gunung, gempa, dan tsunami. Dapat juga terjadi disebabkan oleh peristiwa alam yang dipicu oleh kegiatan-kegiatan manusia seperti pertanian, pemanfaatan kawasan hutan yang tidak terkendali, dan pertambangan. Masalah lingkungan hidup ini berkaitan langsung dengan masalah daya dukung dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagai salah satu instrumen yuridisnya.

Dalam penegakan hukum lingkungan beberapa doktrin bentuk pertanggungjawaban hukum dapat diterapkan dalam hal terjadi ketidakseimbangan yang menimbulkan kerugian baik kerugian pada masyarakat terdampak maupun kerugian pada lingkungan itu sendiri. Dikenal bentuk-bentuk pertanggungjawaban seperti pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan/liability based on fault (ini merupakan bentuk pertanggungjawaban tradisional), bentuk tanggungjawab mutlak (strict liability)[22]. Dalam gugatan pencemaran, bentuk pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan penggugat harus membuktikan keterkaitan antara zat kimia yang dikeluarkan dengan kerugian yang diderita, sehingga dikembangkanlah teori pertanggungjawaban mutlak atau strick liability, yang mana teori ini, apabila seseorang menjalankan kegiatan yang dapat digolongkan sebagai ultrahazardous (teramat sangat berbahaya), maka ia diwajibkan memikul segala kerugian yang ditimbulkan meskipun ia telah bertindak sangat hati-hati (utmost care) untuk mencegah bahaya atau kerugian tersebut, walaupun dilakukan tanpa kesengajaan[31].

Gangguan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh aktivitas tambang perusahaan tambang dapat diselesaikan dengan mengacu pada ketentuan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UU PPLH terkait ketentuan tentang penyelesaian sengketa lingkungan yang dapat melalui jalur litigasi maupun non-litigasi. Dalam hal bentuk pertanggungjawaban hukum perusahaan tambang yang memiliki dampak berupa gangguan lingkungan hidup yang ditempuh adalah pemberian kompensasi dampak yang disepakati antara pihak perusahaan dengan masyarakat setempat yang terdampak. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UUPPLH terkait ketentuan tentang penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Sebagaimana dari uraian sebelumnya bahwa akibat aktivitas tambang perusahaan tambang yang dikategorikan sebagai gangguan lingkungan hidup, bukan sebagai pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, namun demikian ketentuan Pasal 85 UUPPLH tersebut dapat saja dijadikan landasan bagi para pihak dalam menyelesaikan konflik mengenai besaran ganti kerugian, seperti ganti kerugian atas lahan warga yang termasuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan perusahaan tambang, yang mana akibat beroperasinya perusahaan tambang, masyarakat tidak lagi dapat mengusahakan lahannya. Dampak lain yang ditimbulkan akibat adanya aktivitas tambang seperti debu, lumpur, ataupun rusaknya jalan desa. Pihak perusahaan harus memerhatikan usaha-usaha sebagai tindakan antisipasi terhadap gangguan yang ditimbulkan, misalnya melakukan penyiraman jalan setiap sore untuk mengurangi dampak debu dan membuat beberapa titik sedimen pon untuk mengantisipasi adanya longsoran lumpur akibat galian tanah permukaan (yang belum mengandung ore) pada saat hujan, selain itu, melakukan teknik pertambangan yang berwawasan lingkungan.

Meskipun aktivitas tambang tidak selamanya langsung berdampak pada pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup warga masyarakat sekitar area pertambangan, namun perlu dicermati akan timbulnya dampak terhadap lingkungan dalam rentang waktu beberapa lama, karena kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama, maka bsa saja yang awalnya hanya terjadi dampak berupa gangguan lingkungan, pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran maupun kerusakan lingkungan. Maka perlu dilakukan pengawasan terhadap perubahan lingkungan sekitar area pertambangan secara lebih di awal dan terus-menerus. Sebagai contoh, dalam penelitian penulis ada sedimen pon yang dibuat tidak permanen, sehingga lambat laun akan mengikis tanah di sekitar sedimen pon [23]. Dalam rentang beberapa lama, tentu hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan tanah dan lebih luas lagi berdampak pada terjadinya bencana banjir. Akibat aktivitas tambang, penting untuk menjadi perhatian semua pihak dalam pengelolaan tambang, seperti pada saat kegiatan di pit area tanah permukaan yang digali di gulung ke dalam ke arah pegunungan, tidak dibuang ke arah luar yang dapat menyebabkan tanah jatuh ke pemukiman warga.

Hal yang tidak kalah pentingnya untuk mengantisipsi agar tidak terjadi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan pascatambang, sebelum perusahaan tambang melakukan aktivitas pertambangan, harus telah menyerahkan rencana reklamasi pascatambang dan menyediakan dana jaminan reklamasi pascatambang. Kemudian dalam pelaksanaan aktivitas tambang pengawasan harus dilakukan secara terus menerus dan melakukan negosiasi/persuasi atau supervise agar perusahaan tambang melakukan aktivitas pertambangannya menaati syarat-syarat izin maupun syarat-syarat lain yang melakukan kegiatan pertambangan yang berwawasan lingkungan. Selain itu, terkait dengan kewajiban pascatambang, setiap perusahaan tambang selaku perusahaan pemegang IUP harus telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sesuai dengan IUP yang telah ditentukan pada Pasal 99 dan Pasal 100 UU Minerba.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat bagi perusahaan pertambangan apabila terbukti adanya pencemaran lingkungan secara preventif atau pencegahan perusahaan tambang perlu mengantisipasi dengan sebelum perusahaan tambang melakukan aktivitas pertambangan, harus telah menyerahkan rencana reklamasi pascatambang dan menyediakan dana jaminan reklamasi pascatambang. Kemudian dalam pelaksanaan aktivitas tambang pengawasan harus dilakukan secara terus menerus dan melakukan negosiasi/persuasi atau supervise agar perusahaan tambang melakukan aktivitas pertambangannya menaati syarat-syarat izin maupun syarat-syarat lain yang melakukan kegiatan pertambangan yang berwawasan lingkungan. Selain itu, terkait dengan kewajiban pascatambang, setiap perusahaan tambang selaku perusahaan pemegang IUP harus telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sesuai dengan IUP yang telah ditentukan pada Pasal 99 dan Pasal 100 UU Minerba. Secara represif, maka ketentuan dalam UU Minerba dan UU PPLH harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum supaya bagi perusahaan tambang yang melakukan perbuatan melawan hukum, terdapat ganti kerugian lingkungan bagi masyarakat sekitar tambang.

Perspektif Hukum Profetik Terkait Pertanggungjawaban Hukum Perusahaan Pertambangan Dalam Hal Pencemaran Lingkungan

Gagasan hukum profetik terkait dengan pertanggungjawaban hukum perusahaan pertambangan dalam hal pencemaran lingkungan menemui relevansinya karena gagasan hukum profetik secara tersirat juga menekankan adanya orientasi terhadap kelestarian lingkungan. Gagasan hukum profetik sejatinya merupakan gagasan hukum yang berupaya menyeimbangkan dimensi manusia dan kemanusiaan sebagai ”titik utama” pembangunan hukum[49]. Hukum profetik juga mendasarkan pandangannya pada paham religiusitas yang memandang manusia sebagai khalifah atau pemimpin yang memiliki tugas dan orientasi untuk mengatur dan mengelola alam semesta[50]. Dalam mengatur dan mengelola alam semesta, manusia wajib memerhatikan aspek kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia terkadang lupa akan dimensi kemanusiaan sehingga alih-alih menjadi manusia yang manusiawi manusia justru terjerumus pada kecongkakan yang salah satu implementasinya adalah bersifat sewenang-wenang dalam mengelola sumber daya alam.

Adanya manusia yang tidak manusiawi sehingga merusak alam dan sumber daya lainnya juga berimplikasi pada keseimbangan lingkungan yang kian terganggu. Berbagai problematika berkaitan dengan lingkungan seperti: perubahan iklim, pemanasan global, hingga bencana alam yang kian masif sejatinya didominasi oleh perilaku manusia yang tidak manusiawi dalam mengelola sumber daya. Oleh karena itu, hukum profetik selain merupakan gagasan sejatinya juga berorientasi pada gerakan untuk menjadikan manusia yang berkarakter manusiawi sehingga dapat mengelola sumber daya secara proporsional dan berkelanjutan[51].

Gagasan hukum profetik sejatinya diawali dari pandangan ilmu sosial profetik yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo yang menekankan bahwa keilmuan sosial sejatinya selain berkarakter horizontal yang berfokus pada perilaku manusia juga wajib memerhatikan aspek vertikal yang berupa nilai moral dan etika yang bersumber pada ajaran agama[52]. Dalam bidang keilmuan hukum, gagasan hukum profetik kian mengemuka ketika di masyarakat terdapat fenomena separatisasi antara hukum dan nilai moral religiusitas. Separatisasi tersebut membuat hukum adalah hukum sebagaimana yang tertuang dalam hukum positif. Pandangan ini jelas mereduksi hukum sebagai substance of value yang bersendikan pada nilai-nilai[53].

Hukum profetik dalam upayanya untuk menjadikan manusia yang manusiawi sejatinya mendasarkan pandangannya pada tiga aspek, yaitu: transendensi, humanisasi, dan liberasi[54]. Aspek transendensi sejatinya merupakan aspek penting dalam hukum profetik karena menekankan dimensi ketuhanan dalam aspek hukum. Dalam hukum profetik, Tuhan disebut sebagai pencipta hukum pertama dan terutama yang mana hukum Tuhan terejawentah dalam dua hal, yaitu hukum religi dan hukum alam. Hukum religi merupakan hukum Tuhan yang berdasarkan pada kitab suci dan disebarkan oleh utusan Tuhan untuk menata manusia menuju pada jalan kebenaran dan kebaikan. Hukum alam merupakan hukum Tuhan yang termanifestasi dalam realitas alam semesta yang jika diamati secara mendalam dapat membentuk hukum yang berdasarkan pada keteraturan tertentu. Dalam konteks hukum, nilai transendensi dalam hukum profetik menekankan bahwa hukum harus bersendikan pada nilai religiusitas yang teraplikasi pada moralitas. Hal ini berarti, tanpa moralitas, hukum yang ada bukanlah hukum tetapi hanya aturan yang bersifat memaksa. Hal ini juga dipertegas oleh pandangan Thomas Aquinas bahwa unjust law is not law yang secara harfiah bermakna sesuatu disebut hukum karena ada cita moral dalam substansinya; dan begitu pula sebaliknya, tanpa cita moral sesuatu yang dianggap hukum sejatinya bukanlah hukum[55].

Aspek humanisasi dalam hukum profetik sejatinya menekankan bahwa selain harus mengacu pada hukum Tuhan, hukum beserta manifestasinya juga harus memiliki jiwa kemanusiaan. Jiwa kemanusiaan ini berorientasi pada nilai etis manusia secara mendalam sehingga berada dalam tataran normatif. Jiwa kemanusiaan ini tidak menegaskan bahwa manusia lebih ”superior” dibandingkan makhluk lainnya, tetapi manusia dapat menjadi ”mentor” bagi makhluk lainnya dalam mengelola sumber daya alam. Dari aspek humanisasi ini lah sejatinya tercetus ide kelestarian lingkungan sebagai nilai dasar untuk membentuk dan menguji suatu produk hukum. Aspek liberasi menekankan pada hakikat manusia sebagai ”pembebas” sesamanya termasuk makhluk lainnya. Pembebas di sini dimaknai sebagai pembaharu atau inovator yang mana manusia dengan akal, budi, dan kreativitasnya dapat mengelola sumber daya alam secara bijak, bertanggung jawab serta berorientasi ke depan dan berkelanjutan.

Mengacu pada tiga nilai dalam hukum profetik di atas, yang meliputi: transendensi, humanisasi, dan liberasi, sejatinya pertanggungjawaban hukum perusahaan pertambangan dalam hal pencemaran lingkungan sebagaimana dalam UU Minerba beserta perubahannya dan UU PPLH telah sejalan dengan gagasan hukum profetik. Dalam aspek transendensi, sanksi bagi perusahaan pertambangan dalam hal pencemaran lingkungan sejatinya merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanat Tuhan yang menegaskan bahwa manusia tidak boleh serakah serta merusak lingkungan. Dalam perspektif Ketuhanan, manusia yang serakah serta merusak lingkungan harus mendapatkan sanksi baik di dunia maupun di akhirat. Sannksi di dunia adalah sanksi yang diterapkan oleh ulil amri (pemerintah yang berdaulat) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sanksi di akhirat adalah ketentuan Tuhan yang merupakan akibat dari tindakan buruk manusia di dunia. Dari aspek humanisasi, adanya pertanggungjawaban hukum perusahaan pertambangan dalam hal pencemaran lingkungan sejatinya merupakan hal yang tepat, namun aspek humanisasi juga menekankan upaya pencegahan (preventif) sebelum adanya bentuk pertanggungjawaban hukum perusahaan pertambangan. Oleh karena itu, selain sanksi pasca adanya pencemaran lingkungan, aspek humanisasi juga menekankan aspek pencegahan yang mana dalam kaitannya dengan perusahaan pertambangan maka pemerintah perlu mengoptimalkan berbagai sarana pencegahan yang tersedia secara ketat untuk meminimalkan adanya pencemaran lingkungan. Sarana pencegahan tersebut dapat berupa optimalisasi fungsi perizinan serta optimalisasi pada AMDAL sehingga kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan dapat dikontrol secara masif.

Dari aspek liberasi, tentu inovasi dan gagasan kebaruan diperlukan supaya ke depan pertanggungjawaban hukum perusahaan pertambangan dapat berjalan secara optimal maka perlu harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan dan lingkungan hidup supaya efektif dan dapat dijalankan. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa adanya ketidakharmonisan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan dan lingkungan hidup juga berpotensi menghalangi upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Selain itu, upaya koherensi antara aturan perundang-undangan dengan praktik di lapangan juga harus mendapatkan perhatian supaya peraturan yang ada dapat ditegakkan secara proporsional sehingga selain mencegah adanya pencemaran lingkungan, peraturan hukum berkaitan dengan pertambangan dan lingkungan hidup juga dapat ditegakkan dengan membebankan berbagai bentuk pertanggungjawaban pada perusahaan pertambangan apabila melakukan pencemaran lingkungan.

Perspektif hukum profetik terkait pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan sejatinya menegaskan bahwa pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan adalah telah sesuai dengan tiga aspek dalam hukum profetik yaitu aspek transendensi, humanisasi, dan liberasi. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan penegakan hukum terkait pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan perlu harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan serta perlunya upaya untuk menjaga koherensi antara aturan perundang-undangan dengan praktik di lapangan.

Simpulan

Pertanggungjawaban hukum yang tepat bagi perusahaan pertambangan apabila terbukti adanya pencemaran lingkungan secara preventif atau pencegahan perusahaan tambang perlu mengantisipasi dengan sebelum perusahaan tambang melakukan aktivitas pertambangan, harus telah menyerahkan rencana reklamasi pascatambang dan menyediakan dana jaminan reklamasi pascatambang. Kemudian dalam pelaksanaan aktivitas tambang pengawasan harus dilakukan secara terus menerus dan melakukan negosiasi/persuasi atau supervise agar perusahaan tambang melakukan aktivitas pertambangannya menaati syarat-syarat izin maupun syarat-syarat lain yang melakukan kegiatan pertambangan yang berwawasan lingkungan. Selain itu, terkait dengan kewajiban pascatambang, setiap perusahaan tambang selaku perusahaan pemegang IUP harus telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sesuai dengan IUP yang telah ditentukan pada Pasal 99 dan Pasal 100 UU Minerba. Secara represif, maka ketentuan dalam UU Minerba dan UU PPLH harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum supaya bagi perusahaan tambang yang melakukan perbuatan melawan hukum, terdapat ganti kerugian lingkungan bagi masyarakat sekitar tambang.

Perspektif hukum profetik terkait pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan sejatinya menegaskan bahwa pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan adalah telah sesuai dengan tiga aspek dalam hukum profetik yaitu aspek transendensi, humanisasi, dan liberasi. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan penegakan hukum terkait pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan pertambangan dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan perlu harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan serta perlunya upaya untuk menjaga koherensi antara aturan perundang-undangan dengan praktik di lapangan.

References

  1. N. L. Pohwain, J. J. Pietersz, and R. V. Rugebregt, “Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Hukum Adat Yang Lingkungan Hidupnya Tercemar,” TATOHI J. Ilmu Huk., vol. 1, no. 5, pp. 508–516, 2021.
  2. D. E. P. Adam Ilyas, “Problematika Peraturan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya,” Konstitusi, vol. 19, no. 4, p. 807, 2022.
  3. Ibrahim, Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa di Kawasan Tambang, 1st ed. Yogyakarta: LeutikaPrio, 2018.
  4. A. Suherman, “Esensi Asas Legalitas dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan,” Bina Huk. Lingkung., vol. 5, no. 1, p. 135, 2020.
  5. P. Haryadi, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2022.
  6. CNBC Indonesia, “Dirjen Minerba: Negara Rugi Triliunan dari Tambang Ilegal.” www.cnbcindonesia.com, p. 1, 2022.
  7. D. Wahyuhono, S. Purwono, and D. Mutiarin, “Kontrol Pemuda Terhadap Tata Kelola Migas Dan Implikasinya Pada Ketahanan Wilayah Di Kawasan Migas Blok Cepu Kabupaten Bojonegoro,” J. Ketahanan Nas., vol. 25, no. 1, p. 1, 2019, doi: 10.22146/jkn.38265.
  8. N. & R. S. & Y. A. & R. J. Arsjah, “Sustainability Performance and Sustainable Development Goals,” Int. J. Sustain. Dev. World Policy, vol. 10, no. 1, pp. 1–7, 2021.
  9. K. D. Cahya, “Teksas Wonocolo di Bojonegoro, Wisata Migas ala Texas AS.” Kompas, Jakarta, 2020.
  10. L. S. Chrisdon Zakaria Purba, Hisar Siregar, “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Usaha Yang Melakukan Usaha Penambangan Tanpa IUP, IPR Atau IUPK (Studi Putusan Nomor 556/Pid.Sus/2019/Pn Bls,” PATIK J. Huk., vol. 10, no. 1, p. 40, 2021.
  11. M. B. Hesti Lestari, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berkaitan Dengan Dumping Limbah Tanpa Izin Pada Perusahaan Tambang PT. Indominco Mandiri Di Kalimantan,” ONSTITUTUM J. Ilm. Huk., vol. 1, no. 1, p. 48, 2022.
  12. F. A. P. Popi Amaria Simatupang, Pricilia Fanesha Pinangkaan, “Upaya Pemerintah Kota Balikpapan Dalam Mengatasi Praktik Pertambangan Batubara Ilegal,” Lex Suprema, vol. 4, no. 1, p. 1051, 2022.
  13. P. Langbroek, K. van den Bos, M. S. Thomas, M. Milo, and W. van Rossum, “Methodology of legal research: Challenges and opportunities,” Utr. Law Rev., vol. 13, no. 3, pp. 1–8, 2017, doi: 10.18352/ulr.411.
  14. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 13th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  15. M. B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat,” J. Konstitusi, vol. 16, no. 1, p. 148, 2019, doi: 10.31078/jk1618.
  16. Mayer Hayrani DS, “Pengaturan Pengawasan Pusat Terhadap Izin Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Era Otonomi Daerah,” J. Legis. Indones., vol. 16, no. 1, p. 133, 2018.
  17. G. N. Nathanael, “Industri Batubara Dari Sisi Ekonomi, Politik, Dan Lingkungan,” Parapolitika J. Polit. Democr. Stud., vol. 2, no. 1, p. 2021, 2021.
  18. Y. Z. Frendly Albertus, “Dampak Dan Pengaruh Pertambangan Batubara Terhadap Masyarakat Dan Lingkungan Di Kalimantan Timur,” LEGALITAS, vol. 4, no. 1, p. 44, 2019.
  19. A. A. Amrurobbi, “Problematika Sampah Visual Media Luar Ruang: Tinjauan Regulasi Kampanye Pemilu dan Pilkada,” J. Adhyasta Pemilu, vol. 4, no. 2, pp. 66–78, 2021, doi: 10.55108/jap.v4i2.50.
  20. and L. H. Hadrian, Endang, Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi Dan Mediasi, 1st ed. Sleman: Deepublish, 2020.
  21. T. Z. Kamilovska, “Effective Remedy For Excessive Length Of Proceedings: A Macedonian Perspective,” Access to Justice East. Eur., vol. 4, no. 1, pp. 62–63, 2021.
  22. S. S. Rangkuti, Hukum lingkungan dan kebijaksanaan lingkungan nasional. Surabaya: Airlangga University Press, 2015.
  23. P. P. Pradiatmika, I. A. P. Widiati, and N. M. S. Karma, “Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat di Daerah Pertambangan,” J. Analog. Huk., vol. 2, no. 2, pp. 252–257, 2020, doi: 10.22225/ah.2.2.1929.252-257.
  24. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Peradaban, 2007.
  25. H. A. Santoso, “Perspektif Keadilan Hukum Teori Gustav Radbruch Dalam Putusan Pkpu ‘PTB,’” Jatiswara, vol. 36, no. 3, p. 329, 2021.
  26. Nuradi, D. A. Budisetyowati, E. Rohaedi, and T. Setiadi, “Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Pasca Berlakunya Uu Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,” Pakuan Law Rev., vol. 8, no. 1, pp. 154–169, 2022, doi: 10.33751/palar.v8i1.4689.
  27. A. G. Mahardika, “Implikasi Penghapusan Strict Liability Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Lingkungan Hidup Di Era Sustainable Development Goals,” Leg. J. Huk. dan Perundang-undangan, vol. 2, no. 1, p. 59, 2022.
  28. H. Dancer, “Harmony with Nature: towards a new deep legal pluralism,” J. Leg. Plur. Unoff. Law, vol. 1, no. 1, pp. 1–21, 2020, doi: 10.1080/07329113.2020.1845503.
  29. H. Effendi, M. Mursalin, and R. Sonaji, “Dinamika persetujuan lingkungan dalam perspektif Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 dan peraturan turunannya,” J. Pengelolaan Lingkung. Berkelanjutan (Journal Environ. Sustain. Manag., vol. 5, no. 3, pp. 759–787, 2022, doi: 10.36813/jplb.5.3.759-787.
  30. G. P. Larasati, “Penerapan Prinsip Pencemar Membayar Terhadap Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3),” Pacta Sunt Servanda, vol. 3, no. 2, pp. 183–193, 2022.
  31. L. A. N. Kusuma, “Environmental Disputes Without Protection Of Strict Liability Principles : Again , Law On Job Creation,” Law Justice, vol. 7, no. 1, pp. 1–13, 2022, doi: 10.23917/laj.v7i1.699.
  32. I. Harahap, R. Pratiwi, and Y. Yalid, “Perbandingan Mekanisme Gugatan Kelompok Masyarakat Dan Gugatan Oleh Organisasi Lingkungan Hidup,” J. Karya Ilm. Multidisiplin, vol. 2, no. 1, pp. 18–23, 2022.
  33. KBBI, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.” KBBI, 2022.
  34. Viswandoro, Kamus Istilah Hukum: Sumber Rujukan Peristilahan Hukum, Cetakan ke. Yogyakarta: Penerbit Medpress Digital, 2014.
  35. F. P. Disantara, “TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MASA PANDEMI COVID-19,” JCH (Jurnal Cendekia Hukum), vol. 6, no. 1, pp. 48–60, Sep. 2020, doi: 10.33760/jch.v6i1.262.
  36. M. A. S. Jimly Asshidiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, 1st ed. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
  37. F. A. Samekto, “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif-Filosofis,” J. Huk. Progresif, vol. 7, no. 1, p. 1, 2019, doi: 10.14710/hp.7.1.1-19.
  38. Markus Y Hage and P. K. Ningrum, “Corrective Justice And Its Significance On The Private Law,” JILS J. Indones. Leg. Stud., vol. 7, no. 1, pp. 339–390, 2022.
  39. P. N. H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Cetajkan k. Jakarta: Kencana, 2015.
  40. I. Sari, “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata,” J. Ilm. Huk. Dirgant., vol. 11, no. 1, pp. 53–70, 2020, doi: https://doi.org/10.35968/jh.v11i1.651.
  41. F. N. R. Muhammad Addi Fauzani, “Problematik Penyelesaian Sengketa Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa Di Peradilan Administrasi Indonesia (Studi Kritis Terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019),” Widya Pranata Huk., vol. 2, no. 1, p. 23, 2020.
  42. A. Y. Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, 4th ed. Jakarta: Kencana, 2014.
  43. N. Astriani, “Pengaturan Air dalam Sistem Hukum Indonesia,” Bina Huk. Lingkung., vol. 5, no. 2, p. 374, 2021.
  44. Y. K. Artanto, “Bapongka, Sistem Budaya Suku Bajo dalam Menjaga Kelestarian Sumber Daya Pesisir,” Sabda, vol. 12, no. 1, pp. 52–69, 2017.
  45. A. Suntoro, “Implementasi Pencapaian Secara Progresif dalam Omnibus Law Cipta Kerja,” J. HAM, vol. 12, no. 1, pp. 1–18, Apr. 2021, doi: 10.30641/ham.2021.12.1-18.
  46. S. Bustani, “Budaya Hukum Masyarakat Dalam Mengantisipasi Dampak Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perkembangan Bioteknologi Pertanian,” Huk. Pidana dan Pembang. Huk., vol. 2, no. 2, p. 10, 2020.
  47. M. I. Farma Rahayu, A. F. Susanto, and L. Sukma Muliya, “Gerakan Sosial Pemberdayaan Hukum Dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Berbasis Kearifan Lokal Melalui Metode Patanjala,” Bina Huk. Lingkung., vol. 2, no. 1, pp. 47–56, 2017, doi: 10.24970/jbhl.v2n1.5.
  48. A. H. Rachman, “Ketidakpastian Status Lahan dan Potensi Deforestasi Dalam Wacana Pembangunan Bandar Antariksa Biak,” Jentera J. Huk., vol. 4, no. 1, p. 394, 2021.
  49. E. all. Absori, Paradigma Hukum Profetik: Ragam Paradigma Menuju Hukum Berketuhanan, 1st ed. Yogyakarta: CV Genta Fisa Utama, 2018.
  50. S. Mutholingah, “Tasawuf ‘Irfani Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Agama Islam,” PIWULANG, vol. 3, no. 1, p. 35, 2020, doi: 10.32478/piwulang.v3i1.503.
  51. A. Farhani and I. S. Chandranegara, “Penguasaan Negara terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Alam Ruang Angkasa Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” J. Konstitusi, vol. 16, no. 2, p. 235, 2019, doi: 10.31078/jk1622.
  52. R. Anisa, S. Z. Soraya, and D. U. Nurdahlia, “Konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam,” Kuttab, vol. 05, no. 02, pp. 93–99, 2021.
  53. A. B. Khudzaifah Dimyati, Haedar Nashir, Elviandri, Absori, Kelik Wardiono, “Indonesia as a legal welfare state: A prophetic-transcendental basis,” Heliyon, vol. 7, no. 8, pp. 1–8, 2021.
  54. M. Syamsuddin, Ed., Ilmu Hukum Profetik: Gagasan Awal, Landasan Kefilsafatan, dan Kemungkinan Penerapannya di Era Postmodern, 1st ed. Yogyakarta: FH UII Press, 2013.
  55. S. L. Brock, The Light that Binds: A Study in Thomas Aquinas’s Metaphysics of Natural Law. Eugene: Pickwick Publications, 2020.