Islamic Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i0.959

Worship in the Mosque during the Pandemic: A Study of Islamic Law


Ibadah di Masjid pada Masa Pandemi: Telaah Hukum Islam

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Indonesia
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Indonesia
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Indonesia

(*) Corresponding Author

Congregational prayer Ijtihad method contemporary ulama Covid-19

Abstract

The Covid-19 pandemic has affected almost every aspect of Indonesian life, including religious aspects such as the ban on congregational prayers in mosques. The measures taken by the government are certainly controversial among the public. The purpose of this study was to find out the practice of holding congregational prayers during the Covid-19 pandemic in Medan City based on the contemporary Ulama Ijtihad method and Islamic law. The method used in this study is a qualitative research method. The results of the study show that congregations in Medan City can still perform congregational prayer at the mosque, but by implementing strict health protocols such as applying a distance of at least 1 metre for prayer, mandatory wearing of masks, using their prayer mats, performing ablution (wudu) at home respectively, congregations are not allowed to gather at the same time as well as not allowed to bring such children to the mosque.
Highlights:

  • Congregational prayers are allowed, with strict health protocols.
  • Measures include maintaining 1-meter distance, wearing masks, and using personal prayer mats.
  • Other precautions involve performing ablution at home, staggering arrival times, and prohibiting children in mosques.

Keywords: Congregational Prayer, Ijtihad method, contemporary ulama, Covid-19

 

Pendahuluan

Tahun 2019 tercatat sebagai salah satu tahun terburuk bagi dunia, dimana seluruh penjuru dunia dilanda oleh sebuah wabah global yang dikenal dengan sebutan Corona Virus Disease-2019 atau Covid-19. Oleh World Health Organization(WHO), Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) ditetapkan sebagai pandemi global[1]. Virus ini pertama sekali ditemukan di pasar ikan Wuhan, Tiongkok, Cina pada Bulan Desember 2019[2]. Namun dengan cepat virus ini terus menyebar keseluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Diduga penyebaran virus Covid-19 ini berkembang dengan sangat cepat disebabkan oleh tingginya mobilitas manusia dan interaksi sosial. Sementara itu, Covid-19 dilaporkan pertama kali masuk ke Indonesia pada Bulan Maret Tahun 2020 dan terus berkembang setiap harinya hingga memakan banyak korban jiwa. Selama kurun waktu 2019 hingga 2022 tercatat ada 6,02 juta kasus dengan korban jiwa sebanyak 155 ribu[2]. Merebaknya pandemi Covid-19 ini tentunya berdampak pada hampir seluruh lini kehidupan masyarakat dan juga beberapa sektor terkait. Sebagai bentuk respons pemerintah dalam hal pencegahan dan pemutusan mata rantai penyebaran virus corona, maka pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan,seperti diberlakukannya lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) seperti Work from Home (WFH), social distancing, dan sistem pembelajaran secara daring. Disamping itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk mengatur masalah peribadatan seperti pelaksanaan shalat berjama’ah selama pandemi Covid-19. Yang mana kebijakan ini kemudian menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa yang menjadi jawaban atau solusi bagi berbagai persoalan hukum yang ada di Indonesia. Dalam menghadapi kondisi pandemi Covid-19, MUI kemudian mengeluarkan beberapa fatwa terkait tentang pelaksanaan ibadah, yaitu (1) Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19, (2) Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan shalat Idul Fitri Saat Pandemi COVID-19, dan (3) Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Shalat Jum’at dan Jamaah Untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19[1]. Bersama dengan itu, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) juga mengeluarkan Bahthu Al-Masā’il Tentang Pelaksanaan Shalat Jum’at di Daerah Terjangkit Covid-19. Hal ini juga didukung dengan terbitnya Surat Edaran Nomor 02/EDR/I.0/E/2020 yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19[3].Adapun bunyi dari himbauan tersebut antara lain, yaitu Shalat Jum’at yang diganti dengan Shalat Dhuhur di rumah masing-masing serta menjaga jarak saat pelaksanaan shalat berjama’ah dengan cara merenggangkan shaf dan memakai masker.

Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentunya tidak serta merta diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia, muncul pro dan kontra dikalangan masyarakat dalam menghadapi kebijakan ini. Masyarakat merasa dihadapkan pada dua pilihan yaitu harus taat pada perintah Allah SWT dan juga tetap patuh pada peraturan pemerintah. Bahkan disisi lain juga muncul persepsi bahwa kebijakan ini seolah menjauhkan umat Islam dari kegiatan keagamaan di mesjid. [4. Hukum dalam Islam adalah sesuatu yang mengikat dan bersifat Menyeluruh. Artinya, banyak hal terkait ketika hendak memutuskan suatu hukum atau perkara seperti asas normatif, illat hukum dan maqasid al-syariah. Selain daripada itu, Situasi dan kondisi masyarakat setempat sangat berpengaruh untuk menerapkan sebuah penerapan hukum. Hukum Islam juga memiliki sifat fleksibel dan dinamis sehingga dibutuhkan wawasan yang luas dan keluwesan serta nurani dalam mengeluarkan suatu pendapat yang memiliki implikasi hukum. Dengan demikian, supaya agar menjadi solusi bagi setiap orang, pengambilan keputusan dalam penerapan hukum harus melihat dan mempertimbangkan aspek-aspek yang ada. [5. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan shalat berjama’ah masa pandemi di Kota Medan dengan menitik beratkan pada beberapa pembahasan, yaitu (1) mengetahui praktik pelaksanaan shalat berjama’ah di masa pandemi Covid-19, (2) menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap praktik pelaksanaan shalat berjama’ah di masa pandemi Covid-19, (3) menjelaskan pandangan ulama kontemporer terhadap praktik pelaksanaan shalat berjama’ah di masa pandemi Covid-19, dan (4) menjelaskan metode Ijtihad Ulama Kontemporer dalam memutuskan fatwa pelaksanaan shalat. Dalam penelitian terdahulu yang berjudul Fatwa Majelis Ulama Indonesia Fatwa MUI Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 Sebagai Langkah Antisipatif dan Proaktif Persebaran Virus Corona Di Indonesia” oleh Ahmad Mukri Aji dijelaskan bahwa Penyebaran wabah corona menjadi masalah penting yang harus dicarikan solusi dalam hal penyelenggaraan ibadah[6]. Dalam penelitian lain yang berjudul “Maslahah Mursalah al-Ghazali Sebagai Dasar Hukum Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid 19” oleh Risdianto menyebutkan bahwa fatwa MUI menjadi dasar hukum dalam pelaksnaaan ibadah di masa pandemi[7]. Hal ini dilakukan sebagai rujukan maslahah mursalah yang bersumber dari Al Ghozali. Penelitian selanjutnya oleh Bakhtiar dengan judul “Metode Ijtihad MUI Dalam Penyelenggaraan Ibadah Pada Situasi Pandemi Covid-19” menjelaskan bahwa salah satu metode yang digunakan dalam mengatasi problem pelaksanaan ibadah adalah dengan cara metode ijtihad para ulama’[8]. Semua penelitian diatas memiliki persamaan bahwa dasar pijakan dalam penyelenggaraan ibadah, khususnya shalat berjama’ah adalah melalui ijtihad fatwa majlis ulama’. Sedangkan perbedaannya adalah rujukan hukum yang digunakan masing-masing ulama’ berbeda madzhabnya. Namun hal ini tidak menjadi masalah utama sebab tujuan utamanya sama yaitu penyelenggaraan ibadah tetap berjalan meskipun di masa covid-19 dengan memperhatikan protocol Kesehatan yang ada.

Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Sosio Legal Approach merupakan pendekatan yang akan digunakan dalam riset ini. Karena penelitian ini memfokuskan pada adalah kondisi gejala hukum di masyarakat, dalam hal ini adalah mesjid dan masyarakat muslim di Kota Medan. Penelitian ini termasuk riset lapangan (field research) atau penelitian hukum Islam empiris.

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Pengumpulan data dengan teknik wawancara (interview) dilakukan dengan mewawancarai beberapa responden terkait dengan penetapan Fatwa MUI tentang pelaksanaan ibadah di masa Pandemi Covid-19. Adapun beberapa responden yang diwawancarai pada penelitian ini, yaitu Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara, Ketua BKM Al Musabbihin Komplek Tasbi, Jama’ah Mesjid Al Musabbihin Komplek Tasbi, Kesekretariatan Yayasan Mesjid Al-Jihad, dan Jama’ah Mesjid Al-Jihad. Sementara itu, studi literatur dilakukan untuk mengetahui Pandangan Ijtihad Ulama Kontemporer dan Hukum Islam mengenai kaidah fiqqiyah tentang pelaksanaan shalat di tengah kondisi wabah.

Hasil dan Pembahasan

Pandangan Hukum Islam Terhadap Praktik Pelaksanaan Shalat Berjama’ah di Masa Pandemi Covid-19

Dalam menghadapi kondisi Pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan salah satunya yaitu kebijakan yang mengatur tentang pelaksanaan shalat berjama’ah di masa pandemi. Kebijakan terkait masalah peribadatan ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saja, namun sebelumnya juga telah diterapkan di beberapa negara seperti Arab Saudi yang menutup Masjidil Haram untuk sementara waktu dan menolak kedatangan jama’ah umroh dari seluruh dunia. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi sebagai bentuk pencegahan dini terhadap bahaya Covid-19. Dapat diketahui bersama bahwa penularan Covid-19 ini sangat cepat dan peta penyebarannya sulit untuk dideteksi karena banyak sekali kasus yang tidak menunjukkan gejala (OTGJ).

Bercermin pada kebijakan yang telah diterapkan di negara-negara Islam, maka Pemerintah Indonesia tentunya juga harus turut andil dalam merespon permasalah global tersebut. Dimana situasi ini memaksa MUI sebagai organisasi independen yang menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengeluarkan fatwa sebagai jawaban terhadap permasalahan hukum yang ada di Indonesia. MUI sebagai organisasi Islam yang terdiri dari para ulama dan cendikiawan bertanggung jawab untuk menuntun umat Islam dalam melaksanakan ibadah di masa pandemi dan juga menciptakan kemaslahatan bersama khususnya kaum muslimin. [9] Beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terkait masalah ibadah di masa pandemi yaitu:

  1. Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
  2. Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan shalat Idul Fitri Saat Pandemi Covid-19.
  3. Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Shalat Jum’at dan Jamaah Untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19. [10]

Sementara itu, untuk mengetahui pelaksanaan praktik shalat berjamaah di Kota Medan maka penulis melakukan wawancara terhadap beberapa responden tentang implementasi pelaksanaan shalat berjama’ah di masa pandemi Covid-19 di Kota Medan dalam Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020. Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Drs. H. Ahmad Sanusi Lukman, Lc, MA (Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara), beliau mengatakan bahwa tidak ada dalil secara khusus dalam Al-Qur’an tentang pelaksanaan shalat berjama’ah. Namun secara umum ada, yaitu lafazh firman Allah yang berbunyi Aqiimusshalat yang bermakna dirikanlah shalat sesempurnanya mencakup rukun qouli, fi’li, dan qolbi. Sementara itu, menyikapi kebijakan tentang pelaksanaan shalat dengan shaf yang berjarak, beliau berpendapat bahwa pada prinsipnya shaf berjarak di dalam shalat tidak dibenarkan. Namun, karena kondisi darurat maka shaf berjarak dibenarkan, tapi hukumnya minimal makruh. Sebagaimana hadist yang berbunyi:

SawwuShufuuFakum fa innataswiyatassufufi min tamamisshalah

Artinya:

Anas r.a. berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari, No. 723 dan Muslim, No. 433)

Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara ini juga menjelaskan bahwa shalat berjamaah yang dilakukan dengan shaf tidak rapat pada masa pandemi Covid-19 ini akan tetap sah dikerjakan, namun pahalanya tidak sempurna. Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Sayyid Fakhrijal (Ketua BKM Al Musabbihin Komplek Tasbi), beliau mengatakan bahwa jama’ah tetap melaksanakan shalat berjama’ah di mesjid namun dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti shalat dengan menjaga jarak (minimal 1 meter dengan memberi tanda khusus), memakai masker, menggunakan sajadah sendiri, mengambil wudhu di rumah, menyediakan fasilitas cuci tangan/handsanitizer, dan di depan pintu mesjid juga disediakan petugas khusus dari BKM yang ditunjuk oleh Satgas Covid untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan. Beliau juga menjelaskan bahwa BKM juga telah mengatur jumlah jama’ah yaitu sebesar 50%, jumlah ini diperoleh karena adanya jarak antar jamaah ketika shalat yaitu minimal 1 meter. Adapun dasar yang digunakan dalam penentuan shaf yang berjarak dalam shalat adalah Peraturan Pemerintah dan Fatwa MUI. Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu jama’ah Mesjid Al Musabbihin Komplek Tasbi yaitu Bapak Meloki Arkan. Beliau mengatakan bahwa penerapan protokol kesehatan di area Mesjid Al Musabbihin Komplek Tasbi sangat ketat. Seperti adanya himbauan untuk mematuhi prokes ketika memasuki area mesjid, mesjid selalu disterilkan, bagi yang tidak memakai masker maka pihak BKM akan membagikan masker kepada jama’ah, jama’ah mengambil wudhu di rumah masing-masing, untuk shaf shalat diberi tanda di lantai agar menjaga jarak minimal 1 meter, adanya fasilitas mencuci tangan dan handsanitizer di area mesjid, tidak berkumpul dalam waktu bersamaan, dan jama’ah tidak diperkenankan untuk membawa anak-anak pergi shalat ke mesjid. Menurut beliau ketatnya penerapan prokes di lingkungan Mesjid Al Musabbihin ini dilakukan karena sudah banyak korban jama’ah yang terkena wabah Covid-19, ada sekitar belasan orang dan ada juga jama’ah yang meninggal dunia.

Menurut hasil wawancara penulis dengan Bapak Muhammad Hatta (bagian Kesekretariatan Yayasan Mesjid Al-Jihad), beliau menerangkan bahwa sejauh ini BKM Mesjid Al-Jihad telah menerapkan protokol kesehatan di area mesjid ini. Bahkan penerapan prokes di Mesjid Al-Jihad dilakukan secara ketat selama 6 bulan. Diawal merebaknya kasus pandemi Covid-19 terhitung hanya sedikit jama’ah yang datang ke mesjid, sehingga secara otomatis pengurus mesjid tidak perlu mengatur jumlah jama’ah. Beliau juga menjelaskan jika dasar dalam penentuan shaf berjarak dalam shalat mengacu pada Surat Edaran Walikota Medan, Kecamatan, Kelurahan, dan Fatwa MUI. Sejauh ini beliau juga menambahkan bahwa tidak ada anjuran dari pengurus mesjid bagi jama’ah untuk berwudhu di rumah[11].

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Indra Sahdu Sukmana (Jama’ah Mesjid Al Jihad), beliau mengatakan bahwa pelaksanaan shalat berjamaah di Mesjid Al Jihad dengan menerapkan shaf berjarak. Menurut beliau hal ini dilakukan berdasarkan surat edaran dan kesadaran diri dari para jama’ah. Beliau juga menambahkan bahwa tertibnya penerapan protokol kesehatan di lingkungan mesjid tidak terlepas dari kerjasama yang baik antara pengurus mesjid/ BKM Mesjid Al-Jihad dan para jamaah. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan seluruh responden di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pelaksanaan shalat berjama’ah selama masa pandemi Covid-19 di Kota Medan cenderung berjalan dengan baik dan kondusif. Dimana para jama’ah masih diperbolehkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah di mesjid, namun dengan tetap mematuhi protokol kesehatan secara ketat, seperti shaf berjarak minimal 1 meter, shalat memakai masker, mengambil wudhu di rumah, membawa sajadah sendiri, dll. Pihak BKM mesjid juga menyediakan fasilitas cuci tangan/handsanitizer di area mesjid, membuat baliho dan pengumuman di pintu mesjid agar jama’ah tetap menerapkan prokes, serta disediakan petugas khusus dari BKM yang ditunjuk oleh Satgas Covid-19 untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan. Hal ini sebagai bentuk antisipasi BKM dalam mencegah penularan Covid-19 antar jama’ah.

Proses penetapan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020, Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2020, serta Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 tentang pelaksanaan shalat berjama’ah dalam situasi pandemi Covid-19 ini sebenarnya telah merujuk pada hukum Islam. Dimana para ulama menggunakan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas dan dalil lain yang mu’tabar. Proses penetapan fatwa oleh MUI ini bersifat responsif, argumentatif (memiliki kekuatan hujjah), proaktif dan antisipatif, kontekstual (waqi’iy), legitimatif (menjamin penilaian keabsahan hukum), aplikatif dan juga moderat[9]. Sementara itu berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara, beliau menjelaskan bahwa Metode Ijtihad yang digunakan oleh Ulama Kontemporer dalam hal ini adalah MUI Sumatera Utara yaitu Ijtihad Jama’i. Dimana MUI SUMUT berfatwa bahwa pelaksanaan shalat berjama’ah dengan shaf berjarak hukumnya adalah makruh. Penerapan Ijtihad Jama’iini dilakukan secara kelompok dan bukan Ijtihad Fardhi. Menurut Al-Syarafi (1998), Abdul Majid al-Sausah al-Syarafi berpandangan bahwa Ijtihad Jama’i atau disebut Ijtihad Kolektif merupakan alternatif kekinian dalam menjawab dan menuntaskan permasalahan sesuai zaman[12]. Metode Ijtihad Jama’idilakukan dengan runut dengan melibatkan para ahli ilmu dalam jumlah yang banyak, sehingga putusan atau fatwa yang dihasilkan lebih mendekati pada kebenaran dan kemashlahatan.

Dalil-dalil Al-Qur’an yang digunakan oleh para ulama untuk menetapkan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 155-156, QS. Al-Taghabun ayat 11, dan QS. Al-Hadid Ayat 22-23. Dimana para ulama mengasumsikan bahwa pandemi Covid-19 sebagai bencana yang datangnya dari Allah dan telah menjadi ketetapan Allah. MUI juga menggunakan dalil dari QS. At-Taubah ayat 51 dan QS. Al-Anfal ayat 25, yang bersifat sebagai informasi bahwa musibah yang diberikan oleh Allah tidak hanya semata-mata menimpa orang yang dzalim, namun orang yang beriman juga dapat tertimpa musibah (dalam hal ini terkena virus) [13]. Disamping itu, penetapan fatwa tersebut juga merujuk pada Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

Rasulullah SAW bersabda: Jika kamumendengarwabah lepra disuatu wilayah, makajanganlah kalian memasuki wilayah tersebut. Tetapijikaterjadiwabahditempatkamuberada, makajanganlah kalian meninggalkantempatitu.” (HR. Al-Bukhari)

Kemudian juga ada dalil yang melarang untuk menyatukan orang yang sakit dengan orang yang sehat. Sebab dapat menimbulkan peluang jika yang sehat dapat menjadi sakit. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: Saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: “Janganlah kalian mencampurkanantara yang sakitdengan yang sehat.” (HR. Al-Bukhari)

Hadist-hadist ini digunakan oleh MUI untuk mengatur orang-orang yang telah positif terpapar Covid-19 untuk dapat melakukan isolasi mandiri di rumah, serta menjaga jarak (social distancing) agar tidak terjadi penularan terhadap orang lain. Fatwa ini juga yang mengharuskan orang-orang yang telah terpapar virus corona untuk tidak melaksanakan shalat jum’at berjama’ah di mesjid dan menggantinya dengan shalat dzuhur di rumah masing-masing, karena shalat jum’at merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massiv. Bahkan diharamkan bagi seseorang yang telah terpapar dan dinyatakan positif Covid-19 untuk melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang untuk terjadinya penularan massal, seperti jamaah shalat lima waktu (rawatib), shalat tarawih, shalat idul fitri, shalat idul adha, serta menghadiri tabligh akbar/ pengajian di mesjid atau tempat umum lainnya[14].

Bagi orang-orang yang tinggal di suatu daerah/wilayah yang termasuk dalam zona merah, maka pelaksanaan shalat berjama’ah di daerah tersebut hukumnya makruh bahkan bisa haram. Hukum makhruh hingga haram ini sangat tergantung pada jumlah pasien yang terpapar virus corona di daerah tersebut. Berdasarkan pengamatan dari para dokter, banyak sekali ditemukan kasus pasien tanpa gejala yang berpotensi besar untuk menularkan virus kepada orang lain. Sehingga kebijakan untuk shalat berjama’ah di rumah lebih diutamankan daripada shalat di mesjid[15]. Sementara itu, hukum shalat berjama’ah di daerah yang masuk dalam zona kuning adalah mubah. Menurut fatwa MUI bahwa penyebaran virus corona pada zona ini tidak menjadi larangan untuk melaksanakan shalat tetapi uzur. Yang mana hukum uzur memberi ketetapan bahwa boleh melaksanakan shalat berjama’ah di mesjid dan juga boleh melaksanakan shalat di rumah. Ketetapan ini tidak menimbulkan pandangan yang berbeda karena tergantung pada ketetapan zona pada suatu wilayah[16].Berdasarkan pengamatan penulis, praktik pelaksanaan shalat berjama’ah di Kota Medan d6iizinkan selama jama’ah tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dalam beribadah di mesjid. Meskipun dalam hal ini Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara berpendapat bahwa secara manshush shaf harus rapat, karena jika tidak rapat akan dimasuki syaitan yang menggoda orang sedang sholat. Namun, beliau menambahkan oleh karena kondisi darurat maka shaf berjarak dibenarkan dan hukumnya minimal makruh. Agama Islam sebenarnya tidak mempersulit dan tidak pula untuk dimudah-mudah tanpa musabab tertentu. Hukum Islam mempermudah karena didasarkan pada alasan yang jelas yaitu penyebaran virus corona yang membahayakan manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan agama (Maqashid al-Syaria’ah) bahwa seluruh aktivitas dan pelaksanaan ibadah tanpa terkecuali dilaksanakan dalam rangka untuk menjaga agama, diri, keturunan, akal dan harta[17].

Pandangan Ulama Kontemporer Terhadap Praktik Pelaksanaan Shalat Berjama’ah di Masa Pandemi Covid-19

Ulama (العلماء) dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata 'alim yang berarti orang-orang yang berilmu. Kontemporer memiliki arti masa kini, berubah menuju perbaikan, keadaan sekarang yang telah terkontaminasi dengan modernisasi. Bila digabungkan, maka ulama kontemporer memiliki arti yaitu orang-orang yang memahami ilmu dengan menggunakan metodologi yang disesuaikan dengan zamannya (era sekarang). Umumnya ulama kontemporer berorientasi pada pemikiran-pemikiran baru/kekinian sebagai pembaharuan dari pemikiran zaman terdahulu. Ulama kontemporer sangat dibutuhkan oleh umat untuk memecahkan masalah-masalah masa kini yang terjadi dalam dunia Islam, serta mampu memberi jawaban atas permasalahan yang terjadi ditengah umat untuk mencapai kemaslahatan. Dalam penelitian ini, penulis merujuk pada pendapat MUI Sumatera Utara yaitu Bapak Drs. H. Ahmad Sanusi Lukman, Lc, MA. Dimana beliau mengatakan bahwa secara khusus tidak ada dalil dari Al-Qur’an yang menyeru tentang shalat berjama’ah. Namun demikian, secara umum perintah shalat dalam Al-Qur’an disebutkan dengan kata Aqimisshalaah yang berarti dirikanlah shalat sesempurnanya yang mencakup rukun qauli, fi'lidan qalbi. Perihal aturan tentang shaf shalat berjarak minimal 1 meter yang kini dilaksanakan selama pandemi Covid-19, beliau berpendapat bahwa pada prinsipnya shaf berjarak dalam shalat tidak dibenarkan karena ketika shaf tidak rapat maka syaitan akan masuk untuk menggoda orang yang shalat. Oleh karena kondisi sedang darurat wabah corona, maka shaf berjarak diperolehkan namun hukumnya minimal makruh. Mengenai hukum sah atau tidaknya shalat dengan shaf berjarak, beliau mengatakan bahwa shalat dengan shaf berjarak tetap sah, namun pahalanya tidak sempurna. Beliau juga menjelaskan bahwa ada hadist yang berbunyi SawwuShufuuFakum Fa Inna TaswiyatasSufufi Min TamamisShalahyaitu anjuran untuk meluruskan shaf-shaf dalam shalat agar pahala shalatnya menjadi sempurna. Disamping itu adapula hadist nabi yang berisi tentang perintah meniru shalat nabi adalah “Shollu kama roaitumuni usholli” yang artinya “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Sementara itu, Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumut ini juga mengatakan bahwa menurut Ijma’ secara umum tidak ada pendapat ulama yang digunakan dalam menentukan shaf shalat berjama’ah di mesjid, jikalau pun ada maka merujuk pada Ijma’ Sukuti. Sementara itu, praktik pelaksanaan shalat berjama’ah selama pandemi Covid-19 di kota lainnya seperti Jawa Timur merujuk pada pandangan Syarifuddin Syarif dkk yang merupakan tokoh dari Bahtsul Masail Syuriyah NU Jawa Timur. Beliau mengatakan bahwa berdasarkan hasil keputusan i’jtihadbeberapa ulama dapat dirumuskan bahwa bagi orang yang berada di daerah dengan zona aman, atau di daerah yang telah dinyatakan terdapat penyebaran virus namun tetap dalam kondisi sehat, maka mereka tetap berkewajiban untuk melaksanakan shalat jum’at berjama’ah di mesjid[18]. Dalam khutbah Syaikh Yusri yang merupakan seorang ulama dan dokter ahli bedah, beliau berpendapat bahwa orang yang dirawat hanyalah orang yang dinyatakan sakit, sementara orang yang sehat diperbolehkan untuk melakukan ativitas sehari-hari. Adapun yang opini yang mengatakan jika orang muslim tidak takut mati, hal tersebut muncul karena mereka berharap mati dalam keadaan husnul khatimah. Namun demikian, tetap diperlukan kehati-hatian dengan tidak boleh mencelakai dan memberikan kemudharatan pada orang banyak, karena dapat merugikan orang lain. Pandangan lainnya dikemukakan oleh Syafiq Hasyim, beliau menyatakan bahwa terdapat hikmah postif di balik pandemi Covid-19 ini yaitu “wabah ini tidak hanya dapat mempersatukan antar sesama umat Islam, namun juga menyatukan seluruh umat beragama di dunia. Dimana kita semua bersatu dan bersama-sama dalam memerangi wabah Covid-19. Orang-orang saling bersatu tanpa memandang latar belakang agama, ras, gender, dll. Seyogyanya umat Islam Indonesia perlu menjadikan momentum pandemi Covid-19 ini sebagai sebagai sisi positif dari realitas bangsa Indonesia yang majemuk dari sisi etnis, suku dan agama, bahasa, dan juga budaya.

Metode Ijtihad Ulama Kontemporer Dalam Memutuskan Fatwa Pelaksanaan Shalat

Metode yang digunakan oleh MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan dengan tiga metode, yaitu pendekatan nasqathi, pendekatan qauli, dan pendekatan manhaji. Pendekatan nasqathi dilakukan dengan merujuk pada nas Al-Qur’an dan Hadist untuk semua masalah hukum jika masalah yang ditetapkan tersebut terdapat dalam nas Al-Qur’an dan Hadist secara jelas. Namun jika tidak terdapat di dalam nas Al-Qur’an dan Hadist, maka untuk mencari jawabannya dapat dilakukan melalui pendekatan qaulidan manhaji. Pendekatan qauli adalah proses penetapan fatwa yang merujuk pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (Al-Kutub Al-Mu‟tabarah) [16].MUI mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang dikenal dengan metode istinbath (pemahaman, penggalian, dan perumusan) hukum. Metode tersebut berlaku dalam penetapan fatwa-fatwa ekonomi syariah, produk halal dan keagamaan, kecuali apabila disebutkan secara spresifik. Sistem dan prosedur yang diterapkan oleh MUI dalam penetapan fatwa merupakan bagian dari i’jtihad, sebagaimana telah diperkenalkan oleh para ahli ilmu Ushul Fiqh. I’jtihad dilakukan untuk dapat mengetahui atau menjelaskan hukum Islam yang belum diketahui secara jelas.Dalam penelitian ini, metode i’jtihad yang digunakan oleh ulama kontemporer yakni MUI Sumatera Utara adalah Ijtihad Jama’i. Menurut Khalid Husein Al-Khalid, Ijtihad Jama’i (Ijtihad Kolektif) yaitu usaha pengerahan Ijtihad sekumpulan Ulama dalam pembahasan dan musyawarah untuk menistinbathkan hukum syari’at di dalam permasalahan dzanni’ atau usaha pengerahan Ijtihad sekumpulan dari para Fuqaha Muslim yang adil dalam pembahasan dan pandangan mereka sesuai dengan metode ilmu Ushul fiqh, kemudian mereka bermusyawarah di dalam satu majelis khusus untuk mengistinbath atau mengambil kesimpulan hukum syari’at dalam permasalahan syari’at yang dzanni’[19].

Menurut hasil wawancara penulis dengan Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara, beliau menjelaskan tentang metode Ijtihad dilaksanakan yaitu:

  1. Sebelum komisi fatwa tersebut mengeluarkan fatwa, maka setiap anggota komisi fatwa diberikan tugas masing-masing yaitu harus membawa kitab-kitab referensi, baik klasik dan kontemporer pada hari penetapannya;
  2. Lalu referensi tersebut dibaca masing-masing oleh para ulama;
  3. Kemudian dilakukan kajian muqaranah atau perbandingan terhadap pendapat-pendapat para ulama.
  4. Setelah itu, dicari pendapat yang paling mashlahat bagi umat. Oleh karena kita tinggal di Indonesia dan menganut Mazhab Syafi’i, maka dalil pada Mazhab Syafi’i tersebut lebih diutamakan selama hal tersebut mendukung. Namun jika tidak mendukung, maka akan memakai mazhab yang lain (MazhahibulArba’ah). Ketika anggota komisi fatwa dengan jajarannya membutuhkan seorang pakar ahli yang kompeten di bidangnya, maka akan dipanggil ahlinya, seperti pakar di bidang kesehatan yang menyampaikan sesuatu yang berkaitan tentang apa yang akan difatwakan;
  5. Hasil Ijtihad diumumkan setelah disepakati oleh Anggota Komisi Fatwa, setelah diperbaiki lalu disidangkan secara paripurna adakah yang perlu ditambah atau dikurangi;
  6. Setelah disepakati semua, lalu ditanda tangani oleh Ketua Komisi Fatwa dan Sekretaris Komisi Fatwa. Kemudian diketahui oleh Ketua Umum lalu di tanfidz, sebelum diketahui oleh Ketua Umum hasil fatwa tidak boleh di tanfidz;
  7. Setelah itu hasil fatwa akan disampaikan kepada masyarakat jika dimints, karena sifat fatwa ada 3, yaitu responsif (masuk surat/tanya jawab), proaktif (jemput bola), dan antisipatif (tidak tinggal diam).

MUI Sumatera Utara juga menghukumkan bahwa shaf berjarak dalam pelaksanaan shalat berjama’ah selama masa Pandemi Covid-19 adalah makruh. MUI Sumatera Utara melalui Ketua Dewan Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat dengan shaf berjarak dalam kondisi darurat pandemi ini tetap sah dilaksanakan, namun pahalanya tidak sempurna. Proses Ijtihad ini dilakukan secara kelompok (Ijtihad Jama’i).

Simpulan

Selama masa pandemi Covid-19 jama’ah tetap dapat melaksanakan shalat berjama’ah di mesjid namun dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, seperti shalat dengan menjaga jarak (minimal 1 meter), memakai masker, menggunakan sajadah sendiri, mengambil wudhu di rumah masing-masing, tidak diperkenankan berkumpul dalam waktu bersamaan, dan tidak diperbolehkan untuk membawa anak-anak ke mesjid. Sementara itu, Ulama Kontemporer dalam hal ini yakni MUI Sumatera Utara menetapkan bahwa hukum shalat dengan shaf berjarak dalam masa Pandemi Covid-19 adalah makruh. Dimana shalat dengan shaf berjarak tetap sah namun pahalanya tidak sempurna. Penetapan Ijtihad yang dilakukan oleh MUI Sumatera Utara adalah Ijtihad Jama’i yaitu penetapan fatwa yang dilakukan secara berkelompok. Metode Ijtihad Jama’idilakukan dengan runut dengan melibatkan para ahli ilmu dalam jumlah yang banyak, sehingga putusan atau fatwa yang dihasilkan lebih mendekati pada kebenaran dan kemashlahatan.

References

  1. E. Irawan, S. Arif, A. R. Hakim, and U. Fatmahanik, "Strategi Beribadah di Masa Pandemi," Jurnal Ar Risalah, vol. 8, no. 2, 2020.
  2. K. F. Ajhuri and S. Ain, Pendidikan Tinggi Di Masa Pandemi: Transformasi, Adaptasi, dan Metamorfosis Menyongsong New Normal, Yogyakarta, Indonesia: Zahir Publishing, 2020.
  3. Hasbiyallah, R. Suntiah, H. Ainisyifa, and T. Fatimah, Fikih Corona (Studi Pandangan Ulama Indonesia terhadap Ibadah dalam Kondisi Dharurat Covid-19), Bandung, Indonesia: Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI, UIN Sunan Gunung Djati, 2020.
  4. F. Isroani, "Strengthening Character Education Through Holistic Learning Values," Quality Journal, vol. 10, no. 2, 2021.
  5. Al-Khalid, H., Al-Ijtihad Al-Jama'i Fi Al-Fiqh Al-Islami, Dubai, UAE: Markaz Jam'ah Al-Majid Li Al-Tsaqafah Wa Al-Turats, 2009.
  6. H. A. Rothan and S. N. Byrareddy, "The Epidemiology and Pathogenesis of Coronavirus Disease (COVID-19) Outbreak," Journal of Autoimmunity, vol. 109, 2020.
  7. Risdianto, "Maslahah Mursalah al-Ghazali Sebagai Dasar Hukum Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid 19," Misykat al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat, vol. 4, no. 1, 2021. [Online]. Available: https://jurnal.umj.ac.id/index.php/MaA16/issue/view/492.
  8. Bahtiar, "Metode Ijtihad MUI Dalam Penyelenggaraan Ibadah Pada Situasi Pandemi Covid-19," Jurnal Al Ahkam, vol. 12, no. 1, pp. 1-20, 2021. [Online]. Available: https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/alahkam/article/view/2917/1917.
  9. M. Aji, "Fatwa Majelis Ulama Indonesia Fatwa MUI Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 Sebagai Langkah Antisipatif dan Proaktif Persebaran Virus Corona Di Indonesia," Jurnal Salam: Budaya dan Sosial Syar'I, vol. 7, no. 2, pp. 36-45, 2020. [Online]. Available: https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/17059.
  10. F. Isroani, "Pengaruh Media Google Classroom Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti Terhadap Prestasi Belajar Siswa," Sustainable: Jurnal Kajian Mutu Pendidikan, vol. 12, no. 2, 2021.
  11. JHU CSSE Covid-19, "COVID-19 Data Repository," 2022. [Online]. Available: https://github.com/CSSEGISandData/COVID-19.
  12. Majelis Ulama Indonesia, "Bayan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Tentang Fatwa MUI Terkait Pelaksanaan Ibadah Dalam Masa Pandemi Nomor: Kep-28/Dp-MUI/III/2022," 2022.
  13. M. Rizka, "Saat Muhammadiyah-NU Kompak Serukan Sholat Tarawih di Rumah," Jabar News, 2020. [Online]. Available: https://m.jabarnews.com.
  14. H. Al-Mathiri, "Pembahasan Terperinci Tentang Maqashid Syar'i Dan Haramnya Menghentikan Fungsi Masjid," 2020. [Online]. Available: https://telegra.ph/Pembahasan-Terperinci-Tentang-Maqashid-Syari-dan-Haramnya-Menghentikan-Fungsi-Masjid-03-26?fbclid=IwAR3yvxc-Ocfvnn_ZmACm18uxyaziivCRzsknIw6JdMWL5B2DPAT6T9mEdI.
  15. A. Mutakabbir and R. A. R. Said, "Dinamisasi Hukum Islam, Analisis Fatwa MUI Masa Pandemi Covid 19," Palita: Journal of Social Religion Research, vol. 6, no. 2, 2021.
  16. A. Saeful, "Menelaah Kembali Fatwa MUI Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19," Syar'i: Jurnal Pemikiran Ekonomi Islam, vol. 3, no. 2, 2020.
  17. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
  18. Pedoman Penetapan Fatwa MUI, Kemenag RI, 2020.
  19. M. Abdul Al-Syarafi, Al-Ijtihad Al-Jama'i Fi Al-Tasyri' Al-Islami, Qatar: Wizarah Al-Awqaf Wa Al-Syuun Al-Islamiyyah, 1998.
  20. World Health Organization, "Naming the Coronavirus Disease (COVID-19) and the Virus that Causes It," 2020. [Online]. Available: https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-guidance/naming-the-coronavirus-disease-(covid-2019)-and-the-virus-that-causes-it.