Notarial Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i1.968

Notaries at Risk: Urgent Need for Legal Protection Against Criminal Acts


Notaris Berisiko: Kebutuhan Mendesak akan Perlindungan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Indonesia

(*) Corresponding Author

Notarial Law Legal Protection Criminal Acts Harmonization Professional Duties

Abstract

This study aims to address the legal protection issues faced by notaries in relation to potential criminal acts and proposes ideas for regulating legal protection. Utilizing a normative legal research approach, data was collected through literature reviews, document analysis, and legal interviews, with conceptual and legal framework analysis conducted. The results reveal a lack of legal harmonization between notarial law and criminal law, which challenges the provision of adequate legal protection for notaries. Harmonization of legal provisions is critical to ensure optimal notarial services and protect against potential criminal acts. The findings emphasize the urgency of implementing legal provisions for notaries' adequate protection and offer valuable insights for policymakers and legal practitioners in crafting effective legal frameworks.

Highlights:

  • Legal harmonization between notarial and criminal law is needed for adequate protection of notaries.

  • Protection is necessary for optimal services and protection against criminal acts.

  • Harmonizing legal provisions is critical for effective protection.

Keywords: Notarial Law, Legal Protection, Criminal Acts, Harmonization, Professional Duties

 

 

Pendahuluan

Notaris merupakan salah satu profesi hukum yang memiliki orientasi untuk menjaga keotentikan akta yang merupakan bukti adanya perbuatan hukum di masyarakat[1]. Akta yang otentik dapat menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum tertentu yang dalam hal ini berkaitan dengan adanya akibat hukum berupa hak dan kewajiban dari para pihak[2]. Oleh karena itu, akta yang otentik merupakan hal penting supaya perbuatan hukum yang dilakukan dapat menjamin kepastian hukum di masyarakat. Upaya untuk menjamin kepastian hukum di masyarakat terkait akta otentik ini lah yang menjadi tugas utama dari profesi Notaris.

Notaris sebagai profesi juga layak didudukkan sebagai officium nobile atau profesi yang memimiliki kemuliaan di masyarakat[3]. Hal ini dikarenakan tugas Notaris yang memiliki orientasi untuk menjaga keotentikan akta sebagai bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum[4]. Menjaga keotentikan akta berarti turut serta menjaga salah satu nilai dasar hukum, yaitu kepastian hukum[5]. Dengan ikut berupaya untuk menjaga kepastian hukum, maka Notaris juga sejatinya berupaya untuk menjaga ketertiban di masyarakat. Hal ini karena dengan tidak terjaminnya kepastian hukum dapat berpotensi adanya sengketa yang tidak jarang menimbulkan adanya konflik di masyarakat.

Kewenangan profesi Notaris yang mulia tersebut dihadapkan pada problematika mengenai adanya potensi pemidanaan Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya[6]. Hal ini karena sebagai profesi yang tugasnya menjaga keaslian akta otentik, maka tak jarang para pihak yang memberikan keterangan kepada Notaris justru tidak memberikan informasi yang semestinya sehingga berdampak pada akta otentik yang dikeluarkan oleh Notaris[7]. Hal ini tak jarang berujung pada tindak pidana pada Notaris sekalipun menjalankan tugas dan kewenangannya. Beberapa ketentuan KUHP yang berpotensi menjerat Notaris diantaranya: (i) Pasal 263 ayat (1) KUHP mengenai pemalsuan surat, (ii) Pasal 266 ayat (1) KUHP mengenai keterangan palsu dalam akta otentik, (iii) Pasal 242 KUHP mengenai keterangan palsu di bawah sumpah, (iv) Pasal 372 ayat (1) KUHP mengenai penggelapan, serta berbagai ketentuan pidana lainnya yang bersifat pidana khusus seperti pencucian uang yang juga dapat menjerat profesi Notaris.

Adanya ketentuan pemidanaan terhadap profesi Notaris dalam berbagai ketentuan hukum pidana di atas sejatinya merupakan hal yang positif untuk mengantisipasi adanya potensi penyalahgunaan tugas dan kewenangan oleh Notaris untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang melanggar hukum. Akan tetapi, jika mengacu pada pelaksanaan tugas dan kewenangan Notaris yang secara serta merta untuk selalu dijerat dengan hukuman pidana sejatinya merupakan anomali karena seyogyanya terdapat upaya tertentu untuk melindungi Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam adanya potensi sanksi pidana. Hal ini diperlukan supaya terjadi keoptimalan Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Adanya posisi yang “lemah” bagi Notaris terkait potensi tindak pidana dalam menjalankan tugas dan kewenangannya ini lah yang menjadi urgensi dari penelitian ini yaitu dengan mengacu pada konsepsi hukum inklusif untuk memberikan perlindungan hukum bagi Notaris terkait adanya potensi tindak pidana dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Konsepsi hukum inklusif dipilih karena konsepsi hukum inklusif memiliki esensi penguatan dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dinilai rentan terhadap hukum.

Profesi Notaris dalam kaitannya dengan potensi pemidanaan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya ini lah yang membuat Notaris menjadi rentan untuk dipidanakan padahal Notaris dalam kedudukan untuk menjalankan tugas dan kewenangan profesinya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua isu hukum yaitu: (i) Problematika perlindungan hukum bagi Notaris terkait potensi tindak pidana, dan (ii) Orientasi pengaturan ke depan berbasis hukum inklusif terkait perlindungan hukum bagi Notaris terkait potensi tindak pidana.

Penelitian mengenai potensi pemidanaan bagi profesi Notaris sejatinya telah dilakukan penelitian oleh tiga peneliti sebelumnya, yang pertama dilakukan oleh Priyanto, dkk. (2021) yang berfokus pada aspek pentingnya kedudukan dan peran Majelis Kehormatan Notaris untuk menentukan adanya proses penegakan hukum pidana terhadap Notaris[8]. Keunggulan penelitian ini adalah pada aspek penegasan kedudukan, kewenangan, serta fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam kaitannya dengan upaya menentukan Notaris untuk dapat dipidana atau tidak dalam kaitannya dengan menjalankan tugas dan kewenangannya. Kekurangan dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini belum memberikan contoh kasus yang spesifik mengenai kasus atau permasalahan yang melibatkan Majelis Kehormatan Notaris.

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Irawan, dkk. (2022) yang membahas mengenai upaya pemberian perlindungan hukum bagi Notaris berkaitan dengan pembuaatan akta otentik yang diakibatkan oleh adanya keterangan palsu dari para pihak[9]. Keunggulan dari penelitian ini yaitu telah menjelaskan mengenai jenis-jenis perlindungan hukum yang diperoleh oleh Notaris berkaitan dengan pembuaatan akta otentik yang diakibatkan oleh adanya keterangan palsu dari para pihak. Kekurangan dari penelitian ini yaitu belum adanya pendekatan kasus yang relevan untuk menganalisis secara mendalam problematika perlindungan hukum yang diperoleh oleh Notaris berkaitan dengan pembuaatan akta otentik yang diakibatkan oleh adanya keterangan palsu.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Abdillah (2023) yang membahas mengenai isu hukum Pasal 51 KUHP dan kaitannya dengan upaya perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan profesinya[10]. Keunggulan dari penelitian ini yaitu terdapat perspektif hukum pidana yang melihat bagaimana seyogyanya dalam menjalankan tugasnya Notaris sejatinya tidak dapat dipidana. Kelemahan dalam penelitian ini yaitu belum terdapat konstruksi hukum terkait harmonisasi antara peraturan di bidang kenotariatan dengan peraturan di bidang hukum pidana.

Dari ketiga penelitian sebelumnya terdahulu sejatinya penelitian yang membahas mengenai konsepsi hukum inklusif untuk memberikan perlindungan hukum bagi Notaris terkait adanya potensi tindak pidana dalam menjalankan tugas dan kewenangannya belum pernah dilakukan. Hal ini mempertegas penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal dengan kebaruan berupa adanya konstruksi hukum mengenai harmonisasi hukum antara substansi hukum pidana dengan substansi hukum kenotariatan yang pada intinya memberikan upaya perlindungan hukum bagi Notaris saat menjalankan tugas profesinya sehingga Notaris dapat optimal dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.

Metode

Penelitian yang membahas mengenai konsepsi hukum inklusif untuk memberikan perlindungan hukum bagi Notaris terkait adanya potensi tindak pidana merupakan penelitian hukum normatif yang fokus kajiannya adalah berupa peraturan perundang-undangan[11]. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan konsep dan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu: UUD NRI 1945, Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, Putusan MK No.16/PUU-XVIII/2020, KUHP, UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UU Notaris), dan UU No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Jabatan Notaris (Perubahan UU Notaris). Bahan hukum sekunder meliputi: artikel jurnal, buku, serta hasil penelitian yang berkaitan dengan Notaris dan tindak pidana kepada Notaris. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa.

Hasil dan Pembahasan

Problematika Perlindungan Hukum Bagi Notaris Terkait Potensi Tindak Pidana

Perlindungan dalam KBBI bermakna sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hal melindungi, dalam konteks ini melindungi berarti upaya untuk menjaga, merawat, serta memberikan hal yang seyogyanya menjadi hak pihak lain[12]. Dalam konteks ini, KBBI memberikan pemahaman bahwa perlindungan berkaitan dengan upaya pemberian hak yang seharusnya diterima oleh salah satu pihak dari pihak lain. KBBI juga memberikan penegasan bahwa dalam kotneks perlindungan terdapat upaya untuk menempatkan segala sesuatu di bawah standar atau patokan umum. Jika mengacu pada rumusan KBBI tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan upaya untuk menempatkan hukum secara “supreme” (berdaulat) untuk menjamin hak-hak pihak yang seyogyanya mendapatkan jaminan hak tersebut[13].

Perlindungan hukum dalam ilmu hukum menempati kajian yang strategis karena salah satu esensi keberlakuan hukum adalah dilihat pada fungsinya untuk melindungi masyarakat[14]. Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa esensi dari perlindungan hukum adalah upaya memberikan pengayoman kepada masyarakat yang difasilitasi oleh negara[15]. Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, negara berkedudukan sebagai “sentral” dalam memberikan perlindungan hukum[16]. Terlebih lagi, perlindungan hukum dalam perspektif Satjipto Rahardjo dengan mengedepankan peran negara adalah dalam upaya untuk menjamin terpenuhinya hak-hak yang seharusnya diterima.

Perlindungan dalam konteks profesi Notaris sejatinya merupakan hal penting dan esensial, setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi, bahwa: pertama, Notaris sebagai profesi yang fungsi utamanya adalah menjamin kepastian hukum mengenai akta otentik sejatinya memerlukan jaminan perlindungan hukum[17]. Hal ini dikarenakan, dalam menjalankan fungsinya tidak jarang Notaris harus dipidanakan atau dipersalahkan secara hukum bukan karena kesalahannya, melainkan karena adanya iktikad buruk para pihak yang menggunakan jasa Notaris. Kedua, bidang pekerjaan profesi Notaris merupakan bidang pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yang dalam hal ini, Notaris berpotensi mendapatkan permasalahan tertentu baik yang sifatnya yuridis maupun non-yuridis[18]. Hal ini mengindikasikan bahwa perlindungan hukum bagi Notaris perlu ditegaskan dan diaktualisasikan sebagai upaya melindungi Notaris dari potensi adanya permasalahan baik yang bertendensi yuridis maupun non-yuridis.

Ketiga, perlindungan hukum bagi Notaris diperlukan dikarenakan bidang pekerjaan Notaris memiliki implikasi tanggung jawab baik dalam ranah etik (kode etik Notaris), ranah keperdataan, hingga ranah pidana[19]. Khusus berkaitan dalam ranah pidana ini lah maka Notaris seringkali dikriminalisasi sekalipun Notaris telah berupaya untuk menjalankan tugasnya sesuai ketentuan peraturan yang ada akan tetapi adanya iktikad buruk dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan aspek tertentu untuk keuntungan pribadi maka Notaris seringkali terkena imbasnya untuk dipidanakan. Dari ketiga argumentasi pentingnya perlindungan hukum bagi Notaris di atas, sejatinya telah tegas dan jelas pentingnya perlindungan hukum bagi Notaris, khususnya dalam kaitannya dengan permasalahan yang beraspek pidana memerlukan jaminan baik dalam ketentuan hukum positif serta jaminan aktualisasi dalam pelaksanaannya.

Perlindungan hukum bagi Notaris khususnya dalam kaitannya dengan permasalahan yang beraspek pidana sejatinya merupakan manifestasi dari ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang secara prinsip menegaskan perlunya perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat yang merupakan hak konstitusional sehingga harus dipenuhi oleh negara. Khusus mengenai Notaris perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum bagi Notaris dalam kaitannya dengan potensi pemidanaan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sejatinya telah ditegaskan dalam Pasal 66 Perubahan UU Notaris yang merupakan penyempurnaan dari Pasal 66 UU Notaris. Pasal 66 Perubahan UU Notaris secara umum menegaskan mengenai tiga aspek, yaitu: pertama, dalam kaitannya dengan adanya potensi pemidanaan dalam menjalankan tugas dan kewenangan bagi Notaris dalam hal ini wajib melibatkan Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Kedua, kedudukan MKN dalam adanya potensi pemidanaan dalam menjalankan tugas dan kewenangan bagi Notaris dalah esensial, karena berwenang memberikan persetujuan bagi aparat penegak hukum seperti: penyidik, hakim, serta penuntut umum dalam kaitannya dengan proses sistem peradilan pidana[20]. Ketiga, aspek kepastian hukum berkaitan dengan adanya persetujuan MKN dalam proses sistem peradilan pidana sebagaimana dalam Pasal 66 ayat (3) Perubahan UU Notaris yang menegaskan jangka waktu maksimal tiga puluh hari kerja untuk memberikan persetujuan kepada penyidik, hakim, serta penuntut umum.

Pemberian jangka waktu terkait pemberian persetujuan oleh MKN kepada penyidik, hakim, serta penuntut umum dalam proses peradilan kepada Notaris juga dipertegas dalam ketentuan Pasal 66 ayat (4) Perubahan UU Notaris yang menegaskan diberlakukannya asas fiktif positif yang mana jika MKN tidak kunjung memberikan persetujuan bagi penyidik, hakim, serta penuntut umum, maka jika telah sesuai bahkan melampaui jangka waktu maksimal tiga puluh hari kerja sebagaimana dalam Pasal 66 ayat (3) Perubahan UU Notaris, maka MKN dianggap menyetujui dengan berdasarkan pada asas fiktif positif[21]. Penerapan asas fiktif positif dalam Pasal 66 ayat (3) Perubahan UU Notaris dalam kaitannya pemberian persetujuan oleh MKN kepada penyidik, hakim, serta penuntut umum dalam proses peradilan kepada Notaris dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum serta jaminan mengenai proses peradilan yang cepat, tepat, dan dapat menghadirkan esensi keadilan[22].

Ketentuan Pasal 66 Perubahan UU Notaris di atas yang melibatkan persetujuan MKN dalam kaitannya dengan adanya proses pro-justisia dalam proses pidana sejatinya berawal dari adanya Putusan MK No. 49/PUU-X/2012. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 secara inkonstitusional menyatakan bahwa adanya persetujuan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana dalam Pasal 66 UU Notaris terkait adanya potensi tindak pidana yang menjerat Notaris yang harus mendapatkan persetujuan Majelis Pengawas Daerah[23]. Hal ini berimplikasi bahwa jika persetujuan tidak kunjung didapat dari Majelis Pengawas Daerah, maka proses hukum yang dilakukan oleh penyidik, hakim, serta penuntut umum dalam proses peradilan tidak dapat dilanjutkan. Ditinjau dari aspek orientasi penegakan hukum bagi masyarakat Indonesia, maka Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 berupaya menegaskan eksistensi penegakan hukum tanpa pandang bulu sehingga sekalipun profesi Notaris juga harus tunduk pada ketentuan hukum acara pidana[24].

Meski begitu, Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 dalam perspektif profesi Notaris sejatinya memiliki problematika tersendiri karena belum menjamin perlindungan hukum bagi Notaris[25]. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 sejatinya terdapat tiga problematika hukum berkaitan dengan perlindungan terhadap profesi Notaris yang mana problematika tersebut meliputi: pertama, Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 yang menganulir persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam adanya potensi tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris sejatinya berpotensi menjadikan Notaris untuk dengan mudah dikriminalisasi[26]. Notaris sebagai profesi tentu menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan ketentuan hukum serta kode etik profesi Notaris[27]. Hal ini menegaskan bahwa Notaris tidak serta merta dapat dilakukan pemeriksaan dalam kaitannya dengan adanya potensi tindak pidana sebagaimana masyarakat pada umumnya. Hal ini lah yang sejatinya menegaskan bahwa pentingnya peran Majelis Pengawas Daerah atau lembaga lain yang sejenis.

Kedua, Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 telah salah mendudukkan profesi Notaris dalam proses penegakan hukum karena secara yuridis menempatkan proses penegakan hukum terhadap profesi Notaris adalah dipersamakan dengan proses penegakan hukum pada umumnya. Notaris sebagai profesi khususnya dengan karakter officium nobile tentu tidak dapat dipersamakan prosedur penegakan hukumnya sebagaimana penegakan hukum yang diberlakukan kepada masyarakat umum[28]. Ketiga, Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 juga belum menjamin kepastian hukum mengenai jangka waktu maksimal persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam adanya potensi tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang berimplikasi pada adanya ketidakoptimalan penegakan hukum karena harus menunggu persetujuan Majelis Pengawas Daerah yang belum jelas waktunya. Selain itu, dalam konteks hukum, Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 juga belum menyinggung mengenai keberlakuan asas fiktif negatif ketika Pasal 66 UU Notaris berlaku dan berpotensi menimbulkan adanya kendala dalam proses penegakan hukum[29].

Adanya problematika yuridis pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 kemudian membuat pembentuk Undang-Undang berinisiatif untuk merevisi ketentuan UU Notaris menjadi Perubahan UU Notaris. Dalam Pasal 66 Perubahan UU Notaris terdapat dua perubahan substansial yaitu, pertama, berkaitan dengan perubahan lembaga yang menyetujui adanya proses hukum yang pada awalnya adalah Majelis Pengawas Daerah yang dalam Perubahan UU Notaris diubah menjadi MKN. Kedua, dalam Perubahan UU Notaris telah ditegaskan adanya batas waktu persetujuan MKN dalam proses hukum yaitu maksimal tiga puluh hari kerja. Hal ini mengindikasikan Perubahan UU Notaris telah mengubah paradigma waktu persetujuan lembaga atau badan dalam proses hukum yang pada awalnya memberlakukan fiktif negatif menjadi fiktif positif[30].

Setelah disahkannya Perubahan UU Notaris, pengujian di MK juga dilakukan terhadap ketentuan Pasal 66 Perubahan UU Notaris pada akhirnya membuat lahirnya Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020. Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 sejatinya tidak memiliki implikasi hukum karena putusan tersebut menyatakan telah menolak permohonan dari pemohon. MK dalam ratio decidendi Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa ketentuan Pasal 66 Perubahan UU Notaris telah menjamin kepastian hukum serta pemberian izin kepada MKN bukanlah merupakan upaya untuk mereduksi penegakan hukum, tetapi justru merupakan upaya untuk melakukan penegakan hukum secara tepat dan optimal kepada profesi Notaris[31]. Dari ratio decidendi Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 66 Perubahan UU Notaris adalah sesuai dengan nilai-nilai konstitusi.

Dari perspektif Notaris, Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 sejatinya telah menjamin kepastian hukum khususnya penegasan bahwa pemberian izin kepada MKN bukanlah merupakan upaya untuk mereduksi penegakan hukum, tetapi justru merupakan upaya untuk melakukan penegakan hukum secara tepat dan optimal kepada profesi Notaris[32]. Selain itu, Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 juga menegaskan pentingnya peran MKN dalam melakukan bimbingan dan pembinaan bagi Notaris untuk menjalankan tugas dan kewenangannya serta menaati kode etik profesi Notaris. Meski pasca Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 secara normatif ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi Notaris terkait adanya potensi tindak pidana, namun adanya ketentuan dalam substansi hukum pidana (dalam hal ini KUHP) yang belum harmonis dengan perlindungan hukum bagi Notaris juga masih menjadi problematika tersendiri[33].

Dalam KUHP misalnya terdapat beberapa ketentuan yang masih berpotensi menimbulkan upaya kriminalisasi bagi Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya yang meliputi: Pasal 263 ayat (1) KUHP mengenai pemalsuan surat, Pasal 266 ayat (1) KUHP mengenai keterangan palsu dalam akta otentik, Pasal 242 KUHP mengenai keterangan palsu di bawah sumpah, Pasal 372 ayat (1) KUHP mengenai penggelapan, serta berbagai ketentuan pidana lainnya yang bersifat pidana khusus seperti pencucian uang yang juga dapat menjerat profesi Notaris[34]. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa sekalipun Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 sudah menegaskan adanya peran MKN dalam penegakan hukum kepada Notaris, namun adanya berbagai ketentuan dalam KUHP maupun di luar KUHP sejatinya masih menimbulkan problematika terkait perlindungan hukum bagi Notaris mengenai adanya potensi pemidanaan Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya[35].

Berdasarkan uraian analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika perlindungan hukum bagi Notaris terkait potensi tindak pidana sekalipun pasca Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 sduah terdapat orientasi untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi Notaris mengenai adanya potensi pemidanaan Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya melalui pemberian izin dari MKN, namun masih adanya ketentuan dalam KUHP maupun di luar KUHP yang masih berpotensi mengkriminalisasi profesi Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Orientasi Pengaturan Ke Depan Berbasis Hukum Inklusif Terkait Perlindungan Hukum Bagi Notaris Terkait Potensi Tindak Pidana

Adanya potensi kriminalisasi bagi Notaris terkait potensi tindak pidana dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dengan adanya berbagai ketentuan dalam KUHP maupun di luar KUHP yang masih berpotensi mengkriminalisasi profesi Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sejatinya merupakan problematika tersendiri terhadap profesi Notaris[36]. Hal yang perlu dipertegas di sini bahwa upaya memberikan perlindungan hukum bagi Notaris terkait potensi tindak pidana dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bukan berarti dalam rangka untuk membuat Notaris menjadi “kebal” dan bersifat “superbody” atas proses penegakan hukum pidana[37]. Orientasi penegakan hukum pidana tetaplah menjadi aspek yang utama tetapi perlu adanya mekanisme tertentu sehingga setiap Notaris menjalankan tugas dan kewenangannya, tidak serta merta ditakuti bahkan diancam dengan adanya pemidanaan baik yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP[38].

Problematika utama terkait potensi kriminalisasi Notaris terkait potensi tindak pidana dalam menjalankan tugas dan kewenangannya setidaknya didasarkan pada dua faktor, pertama yaitu faktor regulasi dan kedua adalah faktor budaya hukum penegak hukum pidana[39]. Dari faktor regulasi dapat dipahami bahwa ketentuan dalam KUHP masih didominasi oleh corak dan “langgam” positivisme hukum dari WvS Belanda[40]. Hal ini membuat substansi hukum dalam KUHP masih belum menyentuh perlindungan hukum pada profesi tertentu, khususnya pada profesi Notaris. Belum adanya spirit dalam KUHP untuk melindungi profesi Notaris juga diikuti oleh beberapa ketentuan peraturan pidana lainnya di luar KUHP, salah satunya ketentuan dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang[41]. Konstruksi UU Tindak Pidana Pencucian Uang juga masih belum memberikan orientasi perlindungan bagi profesi Notaris sehingga potensi adanya kriminalisasi masih menjadi salah satu problematika bagi profesi Notaris. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari aspek regulasi problematika bagi profesi Notaris terkait adanya potensi tindak pidana dalam menjalankan tugas dan kewenangannya belum terdapat semangat untuk memberikan perlindungan bagi profesi tertentu, khususnya bagi profesi Notaris.

Dari aspek budaya hukum penegak hukum pidana terhadap profesi Notaris masih dipandang sebagai proses penegakan hukum pidana sebagaimana yang diterapkan pada masyarakat pada umumnya. Padahal, sekalipun esensi penegakan hukum pidana adalah menjamin equality before the law, namun bukan berarti harus mempersamakan cara penegakan hukum secara umum dengan penegakan hukum pada profesi tertentu, khususnya bagi Notaris[42]. Upaya mempersamakan proses penegakan hukum secara umum dengan penegakan hukum pada profesi tertentu, khususnya bagi Notaris sejatinya merupakan upaya yang tidak adil dan cenderung mendiskreditkan profesi Notaris[43]. Dalam konteks ini, bukan perlindungan hukum yang didapatkan oleh profesi Notaris, namun justru profesi Notaris mendapatkan “penindasan” hukum akibat budaya hukum penegak hukum pidana yang cenderung mempersamakan penegakan hukum pada umumnya dengan penegakan hukum pada profesi Notaris[44].

Dilihat dari aspek regulasi dan budaya hukum penegak hukum pidana, maka sejatinya profesi Notaris masih rentan untuk dikriminalisasi[45]. Oleh karena itu upaya untuk memperkuat perlindungan hukum bagi profesi Notaris adalah dengan mengoptimalkan konsepsi hukum inklusif. Gagasan hukum inklusif sejatinya menempatkan hukum pada kondisi yang seimbang dan adil bagi para pihak sehingga keadilan dapat diwujudkan[46]. Dalam konteks profesi Notaris yang masih rentan untuk dikriminalisasi, maka hukum inklusif berupaya menawarkan penguatan perlindungan hukum supaya profesi Notaris tidak mudah dikriminalisasi. Mengacu pada hukum inklusif dengan lima asumsi paradigmatiknya yang meliputi: kebebasan akademik, keberagaman, sistem hukum yang tidak otonom, non-linieritas dalam hukum, serta pemihakan pada pihak yang lemah, maka dalam konteks profesi Notaris yang masih rentan untuk dikriminalisasi maka perlu pengaturan ke depan berbasis hukum inklusif dengan mengedepankan pada tiga aspek, yaitu: aspek regulasi, aspek budaya penegak hukum, serta aspek integritas profesi Notaris[47].

Dari aspek regulasi, upaya untuk memperkuat perlindungan hukum supaya profesi Notaris tidak mudah dikriminalisasi adalah dengan melakukan pembaruan semangat serta substansi hukum pidana baik di dalam KUHP maupun yang di luar KUHP[48]. Di dalam KUHP sendiri, momentum ini sejatinya telah ada dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 2023 yang mengkonstruksikan KUHP baru. Upaya perumusan KUHP baru ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang optimal serta tidak mudah mengkriminalisasi profesi Notaris, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dari aspek budaya penegakan hukum, adanya pembaruan hukum pidana melalui pengesahan KUHP baru sejatinya juga harus diimbangi dengan semangat KUHP baru yang salah satunya adalah memberikan karakteristik khusus dalam penegakan hukum pidana terhadap profesi tertentu, salah satunya adalah profesi Notaris[49]. Perubahan semangat bagi penegak hukum ini diharapkan dapat mengoptimalkan semangat budaya hukum inklusif supaya tidak mudah mengkriminalisasi profesi Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya[50]. Dari aspek integritas profesi Notaris, peran MKN dalam membina, mengawasi, sekaligus mencegah adanya potensi tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya juga diperlukan supaya MKN menjadi badan yang dapat mengoptimalkan fungsi dan peranan Notaris sekaligus terhindar dari potensi tindak pidana[51].

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa orientasi pengaturan ke depan berbasis hukum inklusif terkait perlindungan hukum bagi Notaris terkait potensi tindak pidana dappat dilakukan dengan mengedepankan tiga aspek yaitu: aspek regulasi, aspek budaya penegak hukum, serta aspek integritas profesi Notaris. Dari aspek regulasi, upaya untuk memperkuat perlindungan hukum supaya profesi Notaris tidak mudah dikriminalisasi adalah dengan melakukan pembaruan semangat serta substansi hukum pidana baik di dalam KUHP maupun yang di luar KUHP. Dari aspek budaya penegakan hukum, adanya pembaruan hukum pidana melalui pengesahan KUHP baru sejatinya juga harus diimbangi dengan semangat KUHP baru yang salah satunya adalah memberikan karakteristik khusus dalam penegakan hukum pidana terhadap profesi tertentu, salah satunya adalah profesi Notaris serta Dari aspek integritas profesi Notaris, peran MKN dalam membina, mengawasi, sekaligus mencegah adanya potensi tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya juga diperlukan supaya MKN menjadi badan yang dapat mengoptimalkan fungsi dan peranan Notaris sekaligus terhindar dari potensi tindak pidana.

Simpulan

Guna memperkuat perlindungan hukum bagi Notaris terkait potensi tindak pidana pasca Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020, tiga aspek penting harus dikedepankan, yaitu: aspek regulasi, aspek budaya penegak hukum, dan aspek integritas profesi Notaris. Pembaruan regulasi dalam KUHP dan peraturan di luar KUHP diperlukan untuk mengurangi potensi kriminalisasi profesi Notaris. Selain itu, budaya penegakan hukum harus diubah dengan memberikan karakteristik khusus dalam penegakan hukum pidana terhadap profesi tertentu, termasuk Notaris. Terakhir, peran MKN dalam membina, mengawasi, dan mencegah tindak pidana oleh Notaris harus ditingkatkan untuk mengoptimalkan fungsi dan peranan Notaris serta mencegah potensi tindak pidana.

Implikasi dari upaya ini meliputi keberhasilan dalam menjaga integritas profesi Notaris dan memastikan kepastian hukum dalam menjalankan tugas mereka. Perubahan yang diajukan akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi Notaris dan melindungi kepentingan masyarakat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi dampak perubahan regulasi dan budaya penegak hukum terhadap profesi Notaris serta mengidentifikasi strategi efektif dalam memastikan integritas profesi dan mencegah tindak pidana.

References

  1. H. I. W. Utomo, “Legal Counseling By a Notary As a Means To Produce a Balanced Agreement,” NOTARIIL J. Kenotariatan, vol. 7, no. 1, pp. 1–8, 2022, doi: 10.22225/jn.7.1.2022.1-8.
  2. T. Taofik and S. Kusriyah, “The Role of Notaries in Problem Solution of Inheritance Rights,” Sultan Agung Notary Law Rev., vol. 3, no. 4, p. 1463, 2022, doi: 10.30659/sanlar.3.4.1463-1471.
  3. S. F. Burhanuddin, “Analysis of notary deed as a basic reference to evidence in civil Law,” Leg. Br., vol. 10, no. 2, pp. 280–286, 2021.
  4. F. Muhammad, “Investment In Digital Age: The Future Role Of Notary In Company Establishment,” Indones. Law J., vol. 15, no. 1, pp. 964–968, 2022.
  5. G. G. Bateman, “The Ough To Be a Law: Gustav Radbruch, Lon L. Fuller, and H.L.A. Hart on The Choice Between Natural Law and Legal Positivism,” J. Jurisprud., vol. 271, no. 1, pp. 13–15, 2019, doi: 10.1093/ojls/gqi042.
  6. N. Muna and A. Mashdurohatun, “The Role And Notary Responsibilities Of Establishment Of A Commanditary Fellow,” J. Akta, vol. 7, no. 2, p. 277, 2020, doi: 10.30659/akta.v7i2.7632.
  7. M. Humaira and P. E. Latumeten, “Policy of notary deed in Indonesia, Netherland, and Belgium during the Covid-19 pandemic,” JPPI (Jurnal Penelit. Pendidik. Indones., vol. 8, no. 2, p. 289, 2022, doi: 10.29210/020221374.
  8. N. M. Dwikayanti and I. M. D. Priyanto, “Kedudukan Keputusan Majelis Kehormatan Notaris Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Notaris Theresia K. Dimu,” Acta Com., vol. 6, no. 02, p. 410, 2021, doi: 10.24843/ac.2021.v06.i02.p15.
  9. K. U. Andriana and A. D. Irawan, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Dalam Pembuatan Akte Berdasarkan Keterangan Palsu Dari Para Pihak,” Academicos, vol. 1, no. 1, pp. 25–37, 2022.
  10. S. Abdillah, “Batasan Kewenangan dan Tanggung Jawab Notaris-PPAT dalam Edukasi Prosedur Pembuatan Akta Otentik Ditinjau dari Pasal 51 KUHP,” J. Educ. Res., vol. 4, no. 1, pp. 67–72, 2023.
  11. T. A. S. Negara, “Normative Legal Research In Indonesia: Its Origins And Approaches,” ACLJ, vol. 4, no. 1, p. 5, 2023.
  12. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
  13. A. Hamid, M. R. Aldila, and A. M. Intan, “The urgency of labor law for informal sector workers in the welfare state concept: An evidence in Indonesia,” Int. J. Res. Bus. Soc. Sci. (2147- 4478), vol. 11, no. 6, pp. 528–541, 2022, doi: 10.20525/ijrbs.v11i6.2036.
  14. A. L. Imam Koeswahyono, Diah Pawestri Maharani, “Legal breakthrough of the Indonesian job creation law for ease, protection, and empowerment of MSMEs during the COVID-19 pandemic,” Cogent Soc. Sci., vol. 8, no. 1, p. 8, 2022.
  15. S. Rahardjo, Ilmu Hukum, 7th ed. Bandung, 2012.
  16. Y. D. Herlindah, “Development Legal Theory and Progressive Legal Theory : A Review , in Indonesia ’ s Contemporary Legal Reform,” Perad. J. Law Soc., vol. 1, no. 1, p. 18, 2022.
  17. F. Al Kaff, M. Muhaimin, and L. M. H. Haq, “Comparative Study of the Legal Position of Notary in Indonesia and the United Arab Emirates,” Int. J. Multicult. …, no. 2, pp. 348–359, 2021.
  18. I. P. Suwantara and P. A. Pratama Sukma, “Konsep Cyber Notary Dalam Menjamin Keautentikan Terhadap Transaksi Elektronik,” Acta Com., vol. 6, no. 01, p. 173, 2021, doi: 10.24843/ac.2021.v06.i01.p15.
  19. I. Lubis, T. Murwadji, D. Sukarja, and R. Rosmalinda, “Penetration of International Economic Law in the Development of the Cyber Notary Concept in Indonesia,” Al-Risalah Forum Kaji. Huk. dan Sos. Kemasyarakatan, vol. 22, no. 1, pp. 125–138, 2022, doi: 10.30631/alrisalah.v22i1.868.
  20. Heriyanti, “Notary responsibility for the application of the principle of identifying the beneficiary of the corporation,” Int. J. Business, Econ. Law, vol. 24, no. 5, pp. 101–107, 2021.
  21. A. E. A. Tr, “The Essence Of Notary Legal Offering In West Land Rights Disputes (Eigendom Verklaring),” Int. J. Soc. Policy Law, vol. 2, no. 1, pp. 1–13, 2021.
  22. Y. Yetniwati, T. Yahya, and P. Pahlefi, “Legal Constructions of Apprenticeship for Notary Candidates in the Framework of Rechtsidee,” Jambe Law J., vol. 4, no. 1, pp. 93–110, 2021, doi: 10.22437/jlj.4.1.93-110.
  23. J. A. Hartanto and S. Sulaksono, “The notary’s responsibility toward the authenticity of credit bank guarantees in Indonesia,” Banks Bank Syst., vol. 14, no. 2, pp. 164–173, 2019, doi: 10.21511/bbs.14(2).2019.14.
  24. I. M. P. Dharsana and I. Kresnadjaja, “The Role of The Notary to Prevent Money Laundering Actions,” Community Serv. J. Law, vol. 2, no. 1, pp. 18–23, 2023.
  25. T. Azhari, T. K. D. A, and J. Leviza, “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.16/Puuxviii/2020 Dalam Perkara Pengajuan Yudicial Review Pasal 66 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,” Wahana Inov., vol. 11, no. 1, p. 134, 2022.
  26. R. Azhari, W. Ramadhani, and T. O. Randa, “Juridical Review of Electronic Signature Implementation of Duties of Notary Offices in Contracting in Agreements in The COVID-19,” Syiah Kuala Law J., vol. 5, no. 1, pp. 26–40, 2021, doi: 10.24815/sklj.v5i1.20734.
  27. S. S. Nasution, “Peranan Notaris Terhadap Kepastian Hukum Perjanjian Di Bawah Tangan Sebagai Alat Bukti Perdata Di Pengadilan,” Jure Crit. Laws J., vol. 2, no. 1, pp. 1–8, 2021.
  28. A. Iriantoro, “Notarial Deeds Related To Defaults, Fraud and Embezzlement,” Notariil J. Kenotariatan, vol. 7, no. 2, pp. 84–88, 2022, doi: 10.22225/jn.7.2.2022.84-88.
  29. M. R. Saifulloh, “Examination and Confiscation of Notarial Deeds for The Purpose of Criminal Law Enforcement without Approval from The Notary Honorary Council,” J. Penelit. Huk. Jure, vol. 22, no. 4, p. 423, 2022, doi: 10.30641/dejure.2022.v22.423-436.
  30. H. S. Yulfita Rahim, Syafrinaldi, Thamrin S, “Legal Protection of Notary Officials according to Indonesian positive law,” Tech. Soc. Sci. J., vol. 28, no. 1, pp. 101–105, 2022.
  31. J. Kesuma, “The Duties And Liability Of Notary As Public Official In Criminal Law Perspective,” Int. J. Lat. Notary, vol. 1, no. 1, pp. 1–4, 2020.
  32. M. Roesli, D. Ayu, S. Arinningtyas, and A. Kadir, “Juridical Review of Cancellation of Notary Deed,” Yurisdiksi, vol. 18, no. 3, pp. 278–290, 2022.
  33. R. Sembiring, Z. Chairi, and I. N. Rambe, “Analysis Legal Protection Of Instrumentary Witnesses In The Making Of Notary Acts (Study Of Indonesian Notary Association Of Regional Management Of Medan City),” Morfai J., vol. 2, no. 3, pp. 631–638, 2022.
  34. H. P. Wing Dhevya Ichsanty, Rehnalemken Ginting, “Legal Protection Of Notaries Involved In Criminal Cases Apart From Their Duties And Positions,” South East Asia J. Contemp. Business, Econ. Law, vol. 26, no. 1, pp. 330–334, 2022.
  35. I. Anggraeny and T. Tongat, “Notary Liability over their Involvement in Document Falsification Crime,” Varia Justicia, vol. 16, no. 1, pp. 31–38, 2020, doi: 10.31603/variajusticia.v16i1.3307.
  36. S. Edy Lisdiyono, “A Review Of Supreme Court Of Indonesia Decision Number 1014 K / Pid / 2013 On Notary Responsibilities In Making Deeds,” J. Posit. Sch. Psychol., vol. 6, no. 12, pp. 779–792, 2022.
  37. A. M. Risqullah, “Peran Notaris Cegah Transaksi Illegal Melalui Goaml,” Kertha Semaya, vol. 10, no. 6, pp. 1426–1439, 2022.
  38. M. S. Urip Prayitno, “The Urgency of Applying Article 39 paragraph (2) UUJN Against Prevention of Indications of Criminal Acts in Notary Deeds,” Jurisprudensi, vol. 15, no. 2, pp. 55–66, 2023.
  39. Herdiawan, “Pemidanaan Korektif Terhadap Notaris Yang Tidak Menjalankan Pasal 16 Ayat (1) Huruf A Undang-Undang Jabatan Notaris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor 132/Pid.B/2017/Pn Gin),” Otentik’s J. Huk. Kenotariatan, vol. 2, no. 2, pp. 1–23, 2020.
  40. F. Silaswaty Faried, H. Mahmud, and S. Suparwi, “Mainstreaming Restorative Justice in Termination of Prosecution in Indonesia,” J. Hum. Rights, Cult. Leg. Syst., vol. 2, no. 1, pp. 66–77, 2022, doi: 10.53955/jhcls.v2i1.31.
  41. R. I. A. Retno Wulandari, “Tindak Pidana Penipuan Oleh Notaris (Ratio Decidendi Putusan Perkara Pidana Nomor: 2200/Pid.B/2020/Pn.Sby),” Perspektif, vol. 27, no. 2, p. 127, 2022.
  42. P. B. F. Pintoko, “Pertanggungjawaban Notaris/PPAT Sebagai Intelectual Dader Dibidang Perpajakandalam Melaksanakan Tugas Jabatan,” J. Educ. Dev. Inst. Pendidik. Tapanuli Selatan, vol. 9, no. 4, pp. 148–152, 2021.
  43. Qonitah Annur Aziza, Aprilia Trisanti, and Kiki Aristyanti, “Penormaan dan Pelaksanaan Kewajiban Ingkar Notaris,” Perspekt. Huk., pp. 113–138, 2020, doi: 10.30649/ph.v20i2.23.
  44. T. Effendi, J. R. S. Fatmawati, P. Labu, and J. Selatan, “Penerapan Delik Penyertaan Terhadap Notaris/ Ppat Dalam Tindak Pidana Korupsi,” in National Conference For Law Studies: Pembangunan Hukum Menuju Era Digital Society A., 2020, pp. 978–979.
  45. I. H. Rifai, A. Razak, and H. Halim, “Penegakan Hukum Terhadap Notaris dalam Melaksanakan Tugas Jabatan,” Pagaruyuang Law J., vol. 4, no. 2, pp. 229–244, 2021, doi: 10.31869/plj.v4i2.2469.
  46. J. Thontowi, Hukum Inklusif Perspektif Indonesia. Yogyakarta: Total Media, 2019.
  47. A. Rahmat, “Kebebasan Berpikir Hukum Kreatif: Sebuah Kerangka Interpretasi untuk Hukum (yang) Inklusif,” no. August. p. 3, 2020, doi: 10.13140/RG.2.2.19177.93289.
  48. N. M. Putri and H. Marlyna, “Pelanggaran Jabatan dan Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Notaris dalam Menjalankan Kewenangannya,” Acta Diurnal J. Ilmu Huk. Kenaotariatan, vol. 5, no. 1, pp. 63–77, 2021.
  49. Y. Ridho Ilham, Elwi Danil, “Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Oleh Notaris Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” Swara Justisia, vol. 3, no. 4, p. 395, 2020.
  50. G. Y. Yustyawan, S. Hamidah, and H. Susilo, “Aspek Pertanggungjawaban Pidana Notaris Pada Pembuatan Akta Pihak (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1099/Pid/2010,” J. IUS Kaji. Huk. dan Keadilan, vol. 6, no. 2, p. 274, 2018, doi: 10.29303/ius.v6i2.560.
  51. P. N. Triwahyuni, “Dampak Hukum Terhadap Wasiat Tanpa Akta Notaris,” Jimhum, vol. 2, no. 3, pp. 1–13, 2022.