Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i0.970

Trust and Accountability: Legal Implications of Train Delays


Kepercayaan dan Akuntabilitas: Implikasi Hukum dari Keterlambatan Kereta Api

Politeknik Perkeretaapian Indonesia Madiun
Indonesia

(*) Corresponding Author

Train delays legal responsibility ethical accountability progressive perspective public trust

Abstract

This normative legal research with statutory and conceptual approaches aims to analyze the implications of train delays according to schedule in a progressive legal perspective and to construct ethical and legal responsibility for such delays. The results reveal that train delays not only harm passengers but also decrease public trust in rail services. In a progressive legal perspective, trust is the fundamental element for law to serve human interests. To address this issue, a minister of transportation regulation should be established to hold train service managers accountable for delays and provide ethical and legal obligations to passengers. By learning from the accountability of aircraft delays, such regulations can be adapted to rail transportation.

 

Highlights:

  1. Train delays have negative consequences for passengers and public trust in rail services.
  2. Trust is a fundamental element for law to serve human interests.
  3. A minister of transportation regulation should be established to hold train service managers accountable for delays and provide ethical and legal obligations to passengers.

 

Pendahuluan

Transportasi merupakan suatu perpindahan barang dan/atau manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan tertentu melalui alat angkut[1]. Alat angkut tersebut dapat melalui alat angkut darat, udara, serta laut. Dalam konteks ilmu hukum, pengangkutan merupakan bidang kajian dalam ilmu hukum yang lazim disebut dengan hukum pengangkutan[2]. Bahkan, tak jarang istilah hukum pengangkutan dalam ilmu hukum juga sering disinonimkan dengan hukum transportasi. Meski begitu, baik penggunaan istilah hukum pengangkutan maupun hukum transportasi sejatinya tidak perlu dipersoalkan karena kedua istilah tersebut sejatinya mengacu pada esensi yang sama[3].

Transportasi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia karena hampir setiap kebutuhan manusia dipenuhi melalui adanya transportasi atau pengangkutan[4]. Kepentingan bahan pokok hingga aspek sandang (pakaian) manusia juga memerlukan pengangkutan yaitu adanya distribusi dari pabrik ke toko yang dekat ke masyarakat. Selain itu, kepentingan mobilitas manusia juga memerlukan transportasi atau pengangkutan terlebih lagi di era globalisasi yang mana mobilitas semakin masif bahkan bersifat antarnegara[5].

Peran penting transportasi atau pengangkutan dalam kehidupan manusia khususnya berkaitan dengan mobilitas sejatinya dilakukan dengan memanfaatkan transportasi udara, laut, hingga darat[6]. Kementerian Perhubungan hingga akhir Desember 2022 menegaskan bahwa terdapat 3,8 Juta masyarakat Indonesia bepergian menggunakan angkutan umum yang mana lebih dari 4,8 Juta masyarakat Indonesia menggunakan transportasi darat[7]. Hal ini menegaskan bahwa transportasi darat masih menjadi moda transportasi favorit bagi masyarakat Indonesia. Dari data transportasi darat tersebut, berdasarkan data dari GoodStats sebanyak 45% masyarakat memilih transportasi berupa Kereta Api[8][9]. Secara kumulatif, Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa jumlah penumpang Kereta Api di Indonesia sepanjang tahun 2022 mencapai 26.924 orang yang naik sebesar 86% dari tahun 2021[10]. Kenaikan jumlah pengguna Kereta Api di tahun 2022 dikarenakan pada tahun 2021 akibat adanya kebijakan PSBB yang membatasi mobilitas masyarakat dengan tujuan untuk menanggulangi pandemi COVID-19[11].

Meningkatnya jumlah penggunaan moda transportasi Kereta Api dikarenakan Kereta Api merupakan moda transportasi yang aman, nyaman, serta menjamin kepastian baik waktu berangkat maupun waktu kedatangan. Meski begitu, dalam kondisi tertentu ternyata terdapat keterlambatan Kereta Api atau adanya delay Kereta Api yang tidak sesuai jadwal. Terdapat beberapa faktor menyebabkan keterlambatan Kereta Api atau adanya delay Kereta Api seperti kejadian September 2022 yang menbuat sepuluh perjalanan Kereta Api tidak sesuai jadwal akibat adanya kecelakaan yaitu Kereta Kahuripan yang menabrak Truk di Cilacap. Selain faktor kecelakaan, faktor adanya bencana alam juga menjadi salah satu faktor penyebab tidak tepat waktunya Kereta Api baik dalam waktu keberangkatan maupun waktu kedatangan sebagaimana yang terjadi karena adanya amblesan rel di daerah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang membuat Kereta Api terhenti selama 8,5 jam dari jadwal.

Berbagai penyebab keterlambatan jadwal Kereta Api di atas sejatinya berimplikasi pada pemenuhan tanggung jawab yuridis dan tanggung jawab etis yang perlu dilakukan oleh PT KAI selaku pengelola Kereta Api kepada para penumpang atau pengguna jasa Kereta Api[12]. Urgensi penelitian ini yaitu pada konstruksi pertanggungjawaban etika dan hukum keterlambatan Kereta Api sesuai jadwal dengan berbasiskan pada perspektif hukum progresif. Perspektif hukum progresif digunakan sebagai “pisau analisis” karena hukum progresif menekankan pada dimensi kemanusiaan yang salah satunya adalah terpenuhinya hak-hak pribadi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua isu hukum, yaitu: (i) implikasi hukum keterlambatan Kereta Api sesuai jadwal serta (ii) orientasi pertanggungjawaban etik dan hukum keterlambatan Kereta Api dalam perspektif hukum progresif.

Penelitian mengenai tanggung jawab PT KAI dalam kaitannya dengann jasa transportasi Kereta Api telah dilakukan oleh tiga penelitian terdahulu, yang meliputi: (i) penelitian yang dilakukan oleh Setiadji dkk. (2020) yang berfokus pada kajian mengenai tanggung jawab PT KAI atas korban kecelakaan yang diakibatkan pada saat berorperasinya Kereta Api[13]. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh (ii) Sukama (2020) yang membahas mengenai tanggung jawab yuridis pada pengawasan barang dan penumpang yang dilakukan oleh PT KAI[14]. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh (iii) Pura dkk. (2022) yang menganalisis mengenai potensi pertanggungjawaban hukum PT KAI akibat adanya perlintasan Kereta Api illegal[15]. Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, fokus penelitian mengenai konstruksi pertanggungjawaban etika dan hukum keterlambatan Kereta Api sesuai jadwal dengan berbasiskan pada perspektif hukum progresif sejatinya belum pernah dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal.

Metode

Penelitian ini yang membahas mengenai konstruksi pertanggungjawaban etika dan hukum keterlambatan Kereta Api sesuai jadwal dengan berbasiskan pada perspektif hukum progresif merupakan penelitian hukum normatif yang berfokus pada analisis atas peraturan perundang-undangan[16]. Peraturan perundang-undangan yang dikaji meliputi: UUD NRI 1945, UU No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian (UU Kereta Api), PP No. 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (PP Kereta Api), serta PP No. 61 Tahun 2016 Tentang Perubahan PP Kereta Api (PP Perubahan PP Kereta Api) yang merupakan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah artikel jurnal, buku, serta kajian dan penelitian yang membahas tanggung jawab pengangkutan khususnya Kereta Api dan hukum progresif. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa.

Hasil dan Pembahasan

Implikasi Hukum Keterlambatan Kereta Api Sesuai Jadwal

Kereta Api sebagai moda transportasi darat di Indonesia sejatinya menjadi salah satu moda transportasi favorit masyarakat[17]. Hal ini dapat dipahami karena Kereta Api memiliki keunggulan dibandingkan dengan moda transportasi darat yang meliputi: pertama, Kereta Api merupakan moda transportasi yang efektif dan efisien yang mana dari proses pemesanan tiket hingga proses naik ke Kereta Api dapat dilakukan secara online berbasis aplikasi melalui KAI Acces. Hal ini tentu sangat efektif dan efisien sehingga menghemat waktu masyarakat pengguna transportasi Kereta Api. Kedua, pelayanan dan fasilitas di Stasiun hingga di dalam Kereta Api memiliki kualitas yang prima, bersih, serta relatif lengkap bahkan untuk kategori ekonomi sekalipun. Fasilitas yang baik ini lah yang membuat masyarakat merasa nyaman menggunakan moda transportasi Kereta Api.

Ketiga, kepastian waktu keberangkatan dan kedatangan menjadi salah satu keunggulan moda transportasi Kereta Api[18]. Hal ini karena jadwal keberangkatan dan kedatangan Kereta Api beserta nama Kereta Api serta Stasiun tujuan telah secara pasti ditentukan dalam tiket Kereta Api. Hal ini tentu memberikan rasa nyaman dan aman terkait kepastian waktu keberangkatan dan kedatangan Kereta Api yang relevan bagi masyarakat yang akan melanjutkan perjalanan menggunakan moda transportasi lain atau pun para pelajar maupun pekerja yang dapat memastikan waktu kapan sampai ke tempat tujuan. Ketiga keunggulan Kereta Api dibandingkan dengan moda transportasi darat lainnya sejatinya merupakan hasil perjalanan panjang adanya pembaruan di tubuh PT KAI untuk memberikan pelayanan yang prima di sektor moda transportasi Kereta Api.

Pembaruan PT KAI dimulai sejak Ignasius Jonan secara resmi menjadi Direktur Utama PT KAI pada tahun 2009[19]. Sebelum dilakukan pembaruan di PT KAI dan pelayanan Kereta Api, moda transportasi Kereta Api selalu identik dengan moda transportasi dengan harga murah namun risikonya keamanan dan keselamatan menjadi taruhan dibalik murahnya harga tiket[20]. Penumpang yang overcapacity hingga bergelantungan di pinggir dan atas gerbong Kereta Api merupakan pemandangan yang lumrah dan wajar sebelum dilakukan pembaruan[21]. Hal ini ditambah dengan pelayanan yang belum memadai baik di Stasiun maupun di dalam gerbong Kereta Api seperti kebersihan toilet yang belum terjaga serta masih terdapat beberapa penumpang yang tidak memiliki tiket. Berbagai problematika dalam moda transportasi Kereta Api tersebut mengisyaratkan bahwa sebelum dilakukan pembaruan, Kereta Api merupakan moda transportasi yang terkenal dengan moda transportasi yang cenderunf “kumuh”, berdesak-desakan, serta tidak terjaminnya keamanan bagi penumpang[22].

Pembaruan terkait fasilitas dan pelayanan di Kereta Api dilakukan oleh Ignasius Jonan selaku Direktur Utama PT KAI. Pada awalnya orientasi perbaikan fasilitas Kereta Api difokuskan pada kebersihan toilet-toilet baik di Stasiun maupun di dalam gerbong Kereta Api. Dimulai dari orientasi kebersihan toilet ini lah yang kemudian perlahan mulai memperbaiki pada aspek yang lebih besar seperti pemberian fasilitas AC pada setiap gerbong termasuk Kereta Api jenis ekonomi, hingga pelayanan dan fasilitas di dalam gerbong, di Stasiun, hingga peningkatan pelayanan dan fasilitas dalam memesan tiket yang secara efektif dan efisien sehingga memudahkan masyarakat. Hasil dari pembaruan fasilitas dan pelayanan di Kereta Api tidak hanya berdampak pada kepercayaan masyarakat pada moda transportasi Kereta Api, tetapi juga berdampak pada pendapatan PT KAI yang pada tahun 2012 mencapai 300 Miliar Rupiah, padahal di tahun 2008 (setahun sebelum Ignasius Jonan menjadi Direktur Utama PT KAI), PT KAI merugi hingga 80 Miliar Rupiah[19].

Masifnya perkembangan PT KAI khususnya setelah adanya pembaruan dan perbaikan mengenai fasilitas dan pelayanan Kereta Api sejatinya semakin meneguhkan Kereta Api sebagai moda transportasi favorit masyarakat. Sebagai moda transportasi favorit masyarakat, salah satu hal penting dalam moda transportasi Kereta Api adalah adanya jaminan pertanggungjawaban bagi pengguna jasa moda transportasi Kereta Api apabila terdapat beberapa permasalahan tekait penggunaan jasa moda transportasi Kereta Api. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh penumpang atau penggunaan jasa moda transportasi Kereta Api salah satunya adalah adanya jadwal keberangkatan dan/atau kedatangan yang tidak sesuai jadwal sehingga merugikan penumpang atau penggunaan jasa moda transportasi Kereta Api[23]. Tanggung jawab pengelola Kereta Api dipertegas dalam Pasal 157 ayat (1) UU Kereta Api yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban ditanggung oleh penyelenggara pengelola sarana Kereta Api apabila berdampak pada kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia bagi penumpang. Tanggung jawab tersebut dikecualikan apabila kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia bagi penumpang tersebut terjadi bukan karena aspek pengoperasian Kereta Api apabila berdampak pada kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia bagi sebagaimana dalam Pasal 157 ayat (4) UU Kereta Api.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban kepada penumpang ditegaskan dalam Pasal 168 ayat (2) PP Kereta Api yang menegaskan bahwa ganti kerugian kepada penumpang Kereta Api didasarkan pada dampak yang dialami oleh penumpang Kereta Api, seperti: diberikannya ganti kerugian, biaya pengobatan, atau adanya santunan bagi korban yang meninggal. Berkaitan dengan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal, jika dikaitkan dengan konstruksi UU Kereta Api dan PP Kereta Api maka dapat dikaitkan dengan adanya kerugian atau potensi kerugian yang dihadapi oleh penumpang atau pengguna jasa Kereta Api. Meski begitu, baik dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api sejatinya tidak mempertegas dan memperinci mengenai makna dan jenis kerugian dalam kaitannya dengan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal.

UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api bahkan ketiga memberikan penjelasan mengenai kerugian cenderung menegaskan “Cukup jelas” sehingga makna dan jenis kerugian dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api perlu dilakukan penemuan hukum untuk dapat memahami kerugian seperti apa yang dimaksudkan dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api. Mengacu pada konsepsi dalam ilmu hukum, sejatinya mengenai kerugian dibagi menjadi dua jenis, yaitu kerugian materil dan immateril[24]. Kerugian materil adalah kerugian yang secara nyata diderita oleh pihak yang dirugikan[25]. Dalam konteks kerugian yang dialami oleh pengguna jasa Kereta Api atau penumpang Kereta Api, maka kerugian materil berkaitan dengan kerugian secara faktual dan nyata yang terjadi akibat pengoperasian Kereta Api. Hal ini tentu berbeda dengan kerugian immateril yang mana kerugian ini berkaitan dengan manfaat atau keuntungan yang mungkin diterima apabila tidak terdapat suatu perbuatan hukum yang menyebabkan terjadinya kerugian immateril[26]. Dengan demikian, kerugian immaterial sejatinya merupakan kerugian potensial yang secara langsung dialami sebagai akibat adanya suatu perbuatan hukum yang menyebabkan terjadinya kerugian immateril. Dalam konteks adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal, maka dapat dilihat bawa mayoritas yang dialami oleh masyarakat adalah adanya kerugian immateril sekalipun terdapat juga beberapa hal yang menimbulkan kerugian materil.

Karena adanya ketidakjelasan dalam aturan UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api berkaitan dengan jenis kerugian dan bagaimana jenis ganti ruginya jika terdapat kerugian materil dan immaterial berimplikasi pada adanya ketidakpastian hukum berkaitan dengan jenis kerugian dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api termasuk juga berkaitan dengan bentuk ganti kerugian yang diterima. Adanya ketidakpastian hukum dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api dalam kaitannya adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal berpotensi merugikan pengguna jasa atau penumpang Kereta Api karena jika pengguna jasa atau penumpang Kereta Api mengajukan klaim pertanggungjawaban tetap saja adanya kedudukan yang tidak setara antara pengguna jasa atau penumpang Kereta Api dengan pengelola Kereta Api berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pengguna jasa atau penumpang Kereta Api yang diakibatkan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal.

Orientasi Pertanggungjawaban Etik dan Hukum Keterlambatan Kereta Api dalam Perspektif Hukum Progresif

Ketntuan dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api yang tidak secara tegas dan jelas dalam mengatur mengenai pertanggungjawaban terkait dengan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal menimbulkan problematika ketidakpastian hukum yang berimplikasi pada tidak adanya kejelasan bagi pengguna jasa transportasi[27]. Selain itu, ketidakjelasan mengenai jenis pertanggungjawaban oleh pengelola Kereta Api juga dapat berimplikasi pada tidak terpenuhinya hak hukum pengguna jasa transportasi Kereta Api mengingat relasi antara pengguna jasa Kereta Api dan pengelola Kereta Api sejatinya bersifat timpang yang artinya kedudukan pengelola Kereta Api lebih kuat khususnya dalam memberikan interpretasi sepihak terhadap ketentuan dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api[28].

Pertanggungjawaban dalam KBBI bermakna bahwa suatu upaya untuk menanggung atau memikul tanggung jawab atas apa yang menjadi kewajibannya[29]. Dalam ilmu hukum, istilah pertanggungjawaban dimaknai dalam konteks liability atau suatu pertanggungjawaban yang oleh hukum wajib diberikan akibat adanya kapasitas hukum tertentu[30]. Pemahaman tanggung jawab dalam aspek hukum tersebut untuk membedakan istilah tanggung jawab yang berkembang dalam ranah lain seperti istilah responsibility yang merupakan tanggung jawab dalam arti politik[31]. Dengan demikian, penekanan pada tanggung jawab yang berkaitan dengan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal adalah tanggung jawab hukum (liability). Hal ini dikarenakan tanggung jawab yang berkaitan dengan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal adalah tanggung jawab yang seyogyanya diberlakukan oleh pengelola Kereta Api sesuai dengan kewajibannya[32].

Pertanggungjawaban hukum dalam perkembangannya tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai legal liability. Pertanggungjawaban hukum secara ekstensif harus pula dimaknai sebagai pertanggungjawaban etika dan hukum sekaligus[33]. Pentingnya perluasan pemahaman pertanggungjawaban hukum dalam kaitannya dengan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal sejatinya didasarkan pada tiga argumentasi, yaitu: pertama, di era modernisasi hukum, peran etika dan hukum sejatinya tidak dapat disipahkan karena sekalipun norma etika dan norma hukum memiliki perbedaan namun etika dapat melengkapi suatu sanksi hukum supaya lebih “mengena” serta menjadi komitmen moral bagi pelanggar hukum[34]. Dalam konteks ini, sekalipun sanksi etika tidak dapat memperingan dijatuhkannya sanksi hukum, namun sanksi etika dapat melengkapi sanksi hukum untuk mewujudkan keadilan di masyarakat.

Kedua, sanksi etika yang diterapkan secara bersamaan dengan sanksi hukum sejatinya merupakan identitas hukum Indonesia dengan berbasis pada cita hukum Pancasila[35]. Dalam cita hukum Pancasila, penegakan hukum dijalankan dan dilaksanakan selaras dengan penegakan etika. Hal ini berarti, dalam suatu penegakan hukum berbasis pada Pancasila, penegakan etika menempati posisi penting untuk ditegakkan secara bersama-sama dengan penegakan atas norma hukum[36]. Ketiga, Kereta Api sebagai penyedia jasa layanan umum tentu menekankan aspek kepercayaan dan pelayanan yang optimal bagi penumpang Kereta Api. Dalam konteks ini, maka terdapat aspek “kepercayaan publik” yang harus dijaga oleh pihak Kereta Api. Oleh karena itu, upaya menjaga “kepercayaan publik” tidak cukup hanya menegakkan norma hukum yang ada, akan tetapi juga termasuk penegakan atas norma etika yang berlaku[37].

Dari ketiga argumentasi di atas, pertanggungjawaban hukum dalam kaitannya dengan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal sejatinya tidak hanya ditekankan pada aspek pertanggungjawaban hukum saja, tetapi juga perlu konstruksi berupa pertanggungjawaban etika atas adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal[38]. Pentingnya diberlakukannya pertanggungjawaban etika dan hukum tersebut menemui relevansinya dalam perspektif hukum progresif. Hukum progresif merupakan konsepsi hukum yang menekankan perlunya eksistensi hukum untuk memenuhi harkat dan martabat kemanusiaan. Karakteristik utama hukum progresif adalah dimensi keindonesiaan, yang mana hukum tidak boleh hanya dijalankan dan ditegakkan di ruang hampa, tetapi dijalankan di ruang yang penuh nilai dan makna yang bernama Indonesia[39].

Hukum progresif sejatinya mendasarkan pada tiga orientasi dasar dalam berhukum, yaitu: pertama, hukum progresif menekankan aspek kemanusiaan sebagai aspek terutama yang harus dipenuhi oleh hukum[40]. Hal ini berarti hukum tidak boleh bertentangan dengan substansi kemanusiaan. Substansi kemanusiaan dalam hal ini berkaitan dengan hak-hak hukum individu yang mana tidak terpenuhinya hak hukum merupakan suatu bentuk pereduksian atas makna hukum yang berdimensi kemanusiaan. Dalam konteks ini, hukum progresif berfokus pada pemenuhan hak-hak hukum setiap individu[41]. Kedua, hukum progresif tidak hanya berfokus pada hukum sebagai norma (legal rules), tetapi juga menekankan dimensi perilaku dari hukum (legal behavior)[42]. Hukum progresif memandang bahwa memahami hukum hanya sebagai norma adalah memahami hukum secara parsial. Hukum yang dimaknai hanya sebatas norma adalah suatu bentuk pemahaman hukum yang sifatnya pseudo-legal yang artinya pemahaman hukum yang tidak menyeluruh[43]. Pemahaman hukum yang tidak menyeluruh tersebut membutuhkan peran perilaku untuk menegaskan eksistensi hukum. Tanpa perilaku hukum manusia, maka norma-norma hukum hanya akan menjadi “pasal-pasal mati” yang tanpa makna.

Ketiga, hukum progresif menekankan pemahaman secara holistik atas suatu fenomena hukum sehingga fenomena hukum harus dilihat juga dalam aspek non-hukum. Dalam konteks ini, peran bidang atau ilmu pengetahuan di luar hukum penting untuk menunjang keberlakuan dan eksistensi hukum sehingga hukum dapat menjadi solusi dalam setiap permasalahan manusia[44]. Dari tiga orientasi dasar hukum progresif di atas, dalam konteks konstruksi pertanggungjawaban hukum dan etika dalam adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal sejatinya dapat dilihat pada tiga parameter, yaitu: (i) hukum progresif yang pro-pemenuhan atas hak-hak hukum bagi pengguna jasa Kereta Api, (ii) hukum progresif yang berupaya memadukan aspek norma dan perilaku dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan jasa Kereta Api, dalam konteks ini sinergi antara pertanggungjawaban etik dan hukum secara bersamaan, dan (iii) perlunya pemahaman atas kondisi dan situasi di lingkungan Kereta Api yang berpotensi menimbulkan keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal, sehingga dapat dilihat perlu tidaknya pengelola Kereta Api untuk bertanggungjawab terhadap adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal.

Dari aspek pemenuhan atas hak-hak hukum bagi pengguna jasa Kereta Api, hukum progresif sejatinya mengkritik rumusan ketentuan dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api yang masih secara umum menjelaskan mengenai kerugian yang dialami oleh pengguna jasa Kereta Api. Dengan mengacu pada aturan pada moda transportasi lainnya yaitu aturan mengenai keterlambatan atau delay dalam moda transportasi penerbangan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Permenhub Penerbangan) sejatinya telah detail dan spesifik dalam mengatur mengenai jenis keterlambatan dan bentuk pertanggungjawabannya[45][46]. Permenhub Penerbangan sejatinya mengklasifikasi bentuk jenis keterlambatan dan bentuk pertanggungjawabannya dalam enam kategori sehingga memberikan jaminan kepastian hukum serta pemenuhan hak-hak hukum bagi masyarakat[47]. Dalam konteks Kereta Api, luputnya pengaturan sejenis dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api sejatinya berdampak pada tidak pastinya bentuk jenis keterlambatan dan bentuk pertanggungjawaban yang wajib diberikan oleh pengelola Kereta Api. Ketiadaan pengaturan spesifik mengenai jenis keterlambatan dan bentuk pertanggungjawaban dalam pengaturan perkeretaapian sejatinya tidak sesuai dengan esensi hukum progresif berupa pemenuhan atas hak hukum masyarakat.

Dari aspek pertanggungjawaban hukum maupun etika dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api yang belum jelas dan tegas dirumuskan, maka hal ini dapat berpotensi menimbulkan terhambatnya pertanggungjawaban yang diberikan oleh pengelola Kereta Api atas adanya keterlambatan yang merugikan pengguna jasa Kereta Api, baik kerugian yang sifatnya materil maupun yang bersifat immateril. Selain itu, perlu juga dikonstruksikan mengenai pertanggungjawaban etik atas adanya keterlambatan yang merugikan pengguna jasa Kereta Api. Pertanggungjawaban etik di sini dimaksudkan sebagai salah satu identitas berhukum bangsa Indonesia yang salah satunya menekankan pada aspek etika dan hukum untuk ditegakkan secara bersama-sama.

Dari aspek pentingnya pemahaman non-hukum atas fenomena hukum yang berkaitan dengan keterlambatan yang merugikan pengguna jasa Kereta Api, pemahaman non-hukum perlu dilakukan dengan menekankan pada sebab-sebab teknis terjadinya keterlambatan yang merugikan pengguna jasa Kereta Api. Selain itu, pemahaman non-hukum perlu dilakukan dalam melihat kerugian immateril yang dirasakan oleh pengguna jasa Kereta Api akibat kerugian yang dialami akibat adanya keterlambatan yang merugikan pengguna jasa Kereta Api. Hal ini diperlukan supaya suatu permasalahan hukum berupa keterlambatan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal dipahami secara komprehensif dengan mengacu pada aspek non-hukum.

Berdasarkan perspektif hukum progresif, maka Dari aspek pemenuhan atas hak-hak hukum bagi pengguna jasa Kereta Api perlu adanya revisi atas ketentuan dalam PP Kereta Api dengan menjelaskan secara rinci mengenai bentuk kesalahan dan pertanggungjawaban apa yang seyogyanya didapat oleh pengguna jasa Kereta Api sebagaimana mengacu dan melakukan konstruksi hukum dari susbtansi dalam Permenhub Penerbangan. Dari aspek pertanggungjawaban hukum maupun etika, PP Kereta Api juga perlu menegaskan jenis-jenis pertanggungjawaban etika apabila adanya keterlambatan seperti: permohonan maaf, mendatangi pengguna jasa Kereta Api yang dirugikan akibat adanya keterlambatan, serta pertanggungjawaban etika lainnya. Pertanggungjawaban etika dilaksanakan sejalan dengan pertanggungjawaban hukum yang wajib dipertegas dalam revisi PP Kereta Api sebagaimana dalam Permenhub Penerbangan. Dari aspek pentingnya pemahaman non-hukum atas fenomena keterlambatan Kereta Api, maka pemahaman non-hukum perlu dilakukan dengan menekankan pada sebab-sebab teknis terjadinya keterlambatan yang merugikan pengguna jasa Kereta Api sekaligus untuk melihat kerugian immateril yang dirasakan oleh pengguna jasa Kereta Api akibat kerugian yang dialami akibat adanya keterlambatan yang merugikan pengguna jasa Kereta Api.

Orientasi pertanggungjawaban etik dan hukum keterlambatan Kereta Api dalam perspektif hukum progresif dapat dilakukan dengan revisi atas PP Kereta Api yang mana pertanggungjawaban etikanya dapat berupa jenis-jenis pertanggungjawaban etika apabila adanya keterlambatan seperti: permohonan maaf, mendatangi pengguna jasa Kereta Api yang dirugikan akibat adanya keterlambatan, serta pertanggungjawaban etika lainnya. Pertanggungjawaban hukum juga perlu dipertegas dalam revisi atas PP Kereta Api yaitu dengan menjelaskan secara rinci mengenai bentuk kesalahan dan pertanggungjawaban apa yang seyogyanya didapat oleh pengguna jasa Kereta Api sebagaimana mengacu dan melakukan konstruksi hukum dari susbtansi dalam Permenhub Penerbangan.

Simpulan

Implikasi adanya ketidakpastian hukum berkaitan dengan jenis kerugian dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api termasuk juga berkaitan dengan bentuk ganti kerugian yang diterima. Adanya ketidakpastian hukum dalam UU Kereta Api maupun dalam PP Kereta Api dalam kaitannya adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal berpotensi merugikan pengguna jasa atau penumpang Kereta Api karena jika pengguna jasa atau penumpang Kereta Api mengajukan klaim pertanggungjawaban tetap saja adanya kedudukan yang tidak setara antara pengguna jasa atau penumpang Kereta Api dengan pengelola Kereta Api berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pengguna jasa atau penumpang Kereta Api yang diakibatkan adanya keterlambatan dalam keberangkatan maupun kedatangan Kereta Api yang tidak sesuai jadwal.

Orientasi pertanggungjawaban etik dan hukum keterlambatan Kereta Api dalam perspektif hukum progresif dapat dilakukan dengan revisi atas PP Kereta Api yang mana pertanggungjawaban etikanya dapat berupa jenis-jenis pertanggungjawaban etika apabila adanya keterlambatan seperti: permohonan maaf, mendatangi pengguna jasa Kereta Api yang dirugikan akibat adanya keterlambatan, serta pertanggungjawaban etika lainnya. Pertanggungjawaban hukum juga perlu dipertegas dalam revisi atas PP Kereta Api yaitu dengan menjelaskan secara rinci mengenai bentuk kesalahan dan pertanggungjawaban apa yang seyogyanya didapat oleh pengguna jasa Kereta Api sebagaimana mengacu dan melakukan konstruksi hukum dari susbtansi dalam Permenhub Penerbangan.

References

  1. R. Hadiningtyas, “the Legal Protection for Transport Passengers During the Covid-19 Pandemic,” J. Pembaharuan Huk., vol. 8, no. 2, p. 232, 2021, doi: 10.26532/jph.v8i2.15374.
  2. M. Amin and Jufrin, “Peranan Pengangkutan Laut Sebagai Sarana Transportasi Masyarakat Indonesia,” Fundam. J. Ilm. Huk., vol. 9, no. 2, pp. 191–207, 2020, doi: 10.34304/fundamental.v9i2.26.
  3. R. I. Saputri, B. T. Iswanto, H. Heniyatun, and N. Nurwati, “Tanggungjawab pengangkut terhadap hilangnya barang kiriman (studi kasus ekspedisi dharma raya Muntilan),” Borobudur Law Rev., vol. 3, no. 2, pp. 99–110, 2021, doi: 10.31603/burrev.4735.
  4. S. Noer, N. Saleh, Dan, and R. Diani, “Hukum Perjanjian Pengangkutan Darat Antara Pt Bgr Dengan Pt Pusri Palembang,” J. Ilmu Huk., vol. 1, no. September, pp. 1–11, 2021.
  5. I. W. W. Sancaya and I. M. A. M. Putra, “Tanggungjawab Perusahaan Angkutan Terhadap Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Kelalaian Pengemudi Selama Kegiatan Penyelenggaraan Pengangkutan,” Kertha Wicaksana, vol. 15, no. 1, pp. 47–43, 2021, doi: 10.22225/kw.15.1.2822.47-43.
  6. Mey Anjani, I Nyoman Putu Budiartha, and Desak Gde Dwi Arini, “Penyelesaian Sengketa Cargo atas Keterlambatan terhadap Pengangkutan Muatan Melalui Kapal Laut (Studi Kasus Di Pt. Bali Intercont Cargo),” J. Interpret. Huk., vol. 3, no. 1, pp. 113–117, 2022, doi: 10.22225/juinhum.3.1.4722.113-117.
  7. Kementerian Perhubungan, “Hingga 30 Desember 2022, Kemenhub Catat 8,3 Juta Lebih Orang Bepergian dengan Angkutan Umum.” dephub.go.id, p. 1, 2022.
  8. N. Naurah, “Survei Goodstats: Kereta Api Jadi Transportasi Massal Paling Banyak Digemari Untuk Liburan.” goodstats.id, p. 1, 2022.
  9. H. W. Puruhita, S. M. Lestari, T. M. Agustriana, A. Aghastya, and S. Triwijaya, “Pengenalan Keselamatan Perkeretaapian sejak Dini (Lokasi: SD Negeri Tebon 1 Magetan),” Madiun Spoor (JPM), vol. 1, no. 1, pp. 48–60, 2021, doi: 10.37367/jpm.v1i1.145.
  10. A. M. H. Putri, “Bye Pandemi! Jumlah Penumpang Kereta Meroket 86%.” www.cnbcindonesia.com, p. 1, 2023.
  11. P. Ricardianto et al., “Covid-19: Implikasi Transportasi Darat dan Logistik di Indonesia,” J. Manaj. Transp. Logistik, vol. 08, no. 02, pp. 155–170, 2021.
  12. A. Ya, Murzala, and R. Nurliyantika, “Legal certainty of cabotage principle regarding sea transportation in Indonesia,” Sriwij. Law Rev., vol. 5, no. 1, pp. 71–85, 2021, doi: 10.28946/slrev.Vol5.Iss1.603.pp71-85.
  13. S. S. Arief Rachmad Hidayat, Hufron, “Tanggung Jawab Pt. Kereta Api (Persero) Terhadap Penumpang Yang Menjadi Korban Kecelakaan Kereta Api,” J. Akrab Juara, vol. 5, no. 1, pp. 9–25, 2020.
  14. Sukama, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Pt. Kereta Api Indonesia (Persero) Atas Penumpang Dan Barang Dihubungkan Dengan Ketentuan Undang-Undang Ri Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Kereta Api,” Focus (Madison)., vol. 21, no. 1, pp. 1–9, 2020.
  15. M. H. P. Hisni Insiyah, “Aspek Hukum Perlintasan Kereta Api Ilegal Di Wilayah Warungbambu Karawang,” Meta-Yuridis, vol. 5, no. 1, pp. 20–35, 2022.
  16. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 13th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  17. R. H. B. Putra, “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Kereta Api Dalam Peristiwa Kecelakaan Kereta Api Di Indonesia,” Al Qodiri J. Pendidikan, Sos. dan Keagamaan, vol. 19, no. 85, pp. 1–23, 2021.
  18. E. R. Chan, E. H. Jeremy, and T. Sinulingga, “Efektifitas Penggunaan Rantai Pengaman pada Rangkaian Kereta,” J. Penelit. Sekol. Tinggi Transp. Darat, vol. 11, no. 2, pp. 49–57, 2020, doi: 10.55511/jpsttd.v11i2.554.
  19. Pusat Data dan Analisa TEMPO, Profil dan Perjalanan Ignasius Jonan. Jakarta: Penerbit Buku Tempo, 2019.
  20. Rusmiyah, “Upaya Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Angkutan Kereta Api Di Indonesia,” J. Legisia, vol. 14, no. 2, pp. 152–164, 2022.
  21. W. A. Fernando Sakti Toding Rompas, Karel Y. Umboh, “Tanggung Jawab Penyelenggara Prasarana Perkretaapian Atas Kerugian Sebagai Akibat Kecelakaan,” Lex Priv., vol. 9, no. 11, pp. 5–15, 2021.
  22. Y. N. T. Androvaga Renandra Tetama, Suharno, “Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Memaknai Konsultasi Publik Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengadaan Tanah,” Widya Bhumi, vol. 2, no. 2, pp. 136–151, 2022.
  23. E. Teguh Rama Prasja Anggraini Dwi MilandryKurniasih, “Perlindungan Konsumen Dalam Hal Pelaksanaan Tanggung Jawab Pengusaha Travel Tanpa Izin Operasional,” J. Anal. Huk., vol. 5, no. 2, pp. 231–244, 2022, doi: 10.38043/jah.v5i2.3741.
  24. W. F. Nedi Pernando, Busyra Azheri, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Kerusakan Barang Pengguna Jasa Pengiriman Angkutan Online,” Soumatera Law Rev., vol. 4, no. 1, p. 6, 2021.
  25. A. Z. Deni, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Ojek Online Pada Saat Pandemi,” Commer. Law, vol. 2, no. 2, p. 360, 2021.
  26. R. D. Haloho, J. Sidauruk, and U. Utomo, “Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Angkutan terhadap Barang Niaga Melalui Darat,” PATIK J. Huk., vol. 7, no. 3, pp. 178–191, 2018.
  27. D. P. Gusti, B. Supriyono, H. Wardhono, M. Rozikin, and B. S. Riyadi, “Public policy: Inconsistency of online and conventional land transportation regulations in Indonesia on social conflict implications,” Int. J. Criminol. Sociol., vol. 10, no. 22, pp. 729–744, 2021, doi: 10.6000/1929-4409.2021.10.87.
  28. Y. Truntsevsky, V. Lez’er, S. Belyasov, and A. Kopytova, “Legal aspects in development of transport infrastructure in the city of Tyumen,” E3S Web Conf., vol. 157, pp. 0–7, 2020, doi: 10.1051/e3sconf/202015703016.
  29. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
  30. C. I. P. Fradhana Putra Disantara, Ruetaitip Chansrakaeo, Mohamad Jazuli, Ni Putu Ratnayutika, Rini Triastutiek Umiasih, “The Enigma of Ethics: Code of Ethics Enforcement on Covid-19 Health Protocol,” Lega Lata, vol. 7, no. 1, p. 3, 2021.
  31. A. I. Dicky Eko Prasetio, “Judicial Activism dalam Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang Ratifikasi,” NEGARA Huk., vol. 13, no. 2, p. 258, 2022.
  32. Desak Nyoman Oxsi Selina and I. M. W. Darma, “Legal Protection for Online Transportation Service Providers in Transporting Passengers,” J. Huk. Prasada, vol. 8, no. 2, pp. 70–77, 2021, doi: 10.22225/jhp.8.2.2021.70-77.
  33. E. Fahamsyah and F. P. Disantara, “The Dignified Justice Perspective on the Enigma of Health Protocols COVID-19 as a Code of Ethics,” J. Pembaharuan Huk., vol. 9, no. 1, pp. 1–15, 2022, doi: http://dx.doi.org/10.26532/jph.v9i1.17413.
  34. G. H. Shill, “The future of law and transportation,” Iowa Law Rev., vol. 106, no. 5, pp. 2107–2124, 2021.
  35. T. Prasetyo and T. A. Handayani, “Theory of Dignified Justice as A Legal Foundation of Law Reform in Indonesia,” Surakarta Law Soc. J., vol. 1, no. 1, pp. 46–54, 2018.
  36. S. Koos, “Digital globalization and law,” Lex Sci. Law Rev., vol. 6, no. 1, pp. 33–68, 2022, doi: 10.15294/lesrev.v6i1.55092.
  37. M. S. Purba and F. R. Sinaga, “the Legal Liability of Online Driver for Passengers Accident in Consumer Protection Law,” Int. J. Law Reconstr., vol. 5, no. 2, p. 341, 2021, doi: 10.26532/ijlr.v5i2.17945.
  38. F. Lauwtania, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Perkeretaapian Terkait Dengan Pelecehan Seksual yang Terjadi di Atas Kereta Api Dikaji Oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus PT. Kereta Api Indonesia),” Binamulia Huk., vol. 10, no. 1, pp. 69–78, 2021, doi: 10.37893/jbh.v10i1.242.
  39. W. Andriawan, “Pancasila Perspective on the Development of Legal Philosophy: Relation of Justice and Progressive Law,” Volksgeist J. Ilmu Huk. dan Konstitusi, vol. 5, no. 1, pp. 1–11, 2022, doi: 10.24090/volksgeist.v5i1.6361.
  40. Y. Neta, Budiyono, and A. A. Firmansyah, “The Model of Local Regulation of the Human Rights Fulfillment Based on Progressive Law,” JALREV, vol. 3, no. Special Issue, pp. 18–34, 2021.
  41. M. Vatter, “Dignity and the Foundation of Human Rights: Toward an Averroist Genealogy,” Polit. Relig., vol. 13, no. 2, pp. 304–332, 2020, doi: 10.1017/S1755048319000336.
  42. Dicky Eko Prasetio Adam Ilyas Felix Ferdin Bakker, “Membangun Moralitas dan Hukum Sebagai Integrative Mechanism di Masyarakat Dalam Perspektif Hukum Progresif,” Mimb. Keadilan, vol. 14, no. 2, pp. 128–138, 2021.
  43. Y. D. Herlindah, “Development Legal Theory and Progressive Legal Theory : A Review , in Indonesia ’ s Contemporary Legal Reform,” Perad. J. Law Soc., vol. 1, no. 1, p. 18, 2022.
  44. T. A. S. Negara, “Normative Legal Research In Indonesia: Its Origins And Approaches,” ACLJ, vol. 4, no. 1, p. 5, 2023.
  45. I. W. W. Febrina Rizka Lilya Wati David, “Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Sebagai Pengguna Jasa Angkutan Udara Atas Keterlambatan Penerbangan,” Kertha Semaya, vol. 8, no. 3, p. 258, 2020.
  46. D. Bagus Hari Mahardika, “Perlindungan Konsumen Terkait Dengan Jadwal Penerbangan Tidak Efektif Pt. Citilink Jog Adisutjipto,” Flight Attend. Kedirgant. J. Public Relation, Pelayanan, Pariwisata, vol. 4, no. 1, pp. 75–81, 2022, doi: 10.56521/attendant-dirgantara.v4i1.539.
  47. S. Hanisa, S. Suparto, and T. Handayani, “Tangggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Terkait Kebijakan Covid-19 Yang Tercantum Dalam Permenhub 25 Tahun 2020,” J. Sains Sosio Hum., vol. 5, no. 1, pp. 442–453, 2021, doi: 10.22437/jssh.v5i1.14156.