Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v9i0.971

Forced Defense in Indonesia: Striking a Balance between Proportionality and Subsidiarity


Pembelaan Diri di Indonesia: Menegakkan Keseimbangan antara Proporsionalitas dan Subsidiaritas

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Self-defense Forced defense Proportionality Subsidiarity Legal truth

Abstract

This study aimed to assess the compliance of the decision made by the Kepanjen District Court Number 1 /Pid.Sus-Child/2020/Pn Kpn with the provisions of criminal law book of article 49 paragraph 1 and paragraph 2, which govern forced defense as a means of self-defense. Using the normative method, the study examined legal literature to establish the truth of the matter. The study found that a forced defense must adhere to the principles of proportionality and subsidiarity to be considered legitimate. The conclusion drawn from this study is that the decision of the Kepanjen District Court must be evaluated based on these two requirements to establish the legal truth of the matter.

Highlights:

  1. Proportional and subsidiarity requirements are essential for a forced defense to be considered legitimate.
  2. Excessive actions that go beyond the threat faced may not be considered a forced defense.
  3. The actions of the victim must be considered in evaluating the legitimacy of a forced defense.

Pendahuluan

Pembelaan terpaksa sebagaimana dimaksud menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan suatu tindakan yang dilakukan sebagai pembelaan terhadap diri sendiri atau orang lain dalam keadaan darurat. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas merupakan suatu pembelaan diri karena adanya ancaman yang menyebabkan seseorang marah sehingga dapat menghilangkan nyawa orang yang menyerang, tidak dipidana. [1]

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas sama seperti pembelaan terpaksa akan tetapi harus benar-benar ada serangan atau ancaman pada saat itu juga. Misalnya orang membela diri menggunakan pistol, maka membela diri dengan cara memukul kayu sudah cukup. Dalam undang-undang melapaui batas diperbolehkan, dengan alasan karena jiwa terguncang muncul dari adanya penyerangan tersebut. [2]

Beberapa kasus pembelaan terpaksa sering terjadi di negara kita. Salah satunya kasus pembelaan terpaksa yang melampaui batas pada suatu tindakan pidana pembunuhan yang dilakukan anak di bawah umur. Hal tersebut dapat terjadi karena berbagai alasan. Diantaranya karena keadaan mendesak yang menyebabkan anak melaksanakan membela diri akan tetapi pembelaan yang sudah terlaksanakan tersebut melampaui batas.

Kasus pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan akan mengakibatkan hilang nya nyawa melibatkan anak sebagai pelaku, salah satunya terjadi pada tahun 2019 di Kabupaten Malang. Tersangka yang merupakan anak di bawah umur diketahui melakukan perbuatan pembelaan diri yang menyebabkan korbannya meninggal. Dengan cara menusukkan sebuah pisau di bagian belakang anggota tubuh korban, yang mana korban mengancam akan merampas harta anak dan meminta berhubungan seksual dengan anak saksi.

Perkara anak sebagai pelaku pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan akan mengakibatkan hilang nya nyawa tersebut telah dilaksanakan sidang pada Pengadilan Negeri Kepanjen pada bulan Januari 2020 mengeluarkan putusan nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Kpn. Melalui putusan tersebut, penulis hendak melakukan penelitian dalam menganalisis secara yuridis kasus anak yang berkonflik dengan hukum, atas pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan akan mengakibatkan hilang nya nyawa.

Dari uraian diatas, disimpulkan apabila semua orang yang mendapat ancaman atau serangan kejahatan dari orang lain. Maka orang yang membela diri secara terpaksa dibenarkan secara hukum. Pembelaan terpaksa harus diabsahkan meskipum dilaksanakan dengan metode terlarang yang menyebabkan penyerangnya rugi.

Maka dari itu, penelitian ini berusaha mengkaji putusan pengadilan terkait perlindungan dan pendampingan anak sebagai pelaku pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan akan mengakibatkan hilang nya nyawa. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian dengan judul Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1 /Pid.Sus-Anak/2020/Pn Kpn. Tentang Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweerexces) Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian.

Dari latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Analisis Yuridis Dalam Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Kpn. Manfaat dalam penelitian ini sebagai pengetahuan terhadap masyarakat terkait Analisis Yuridis Dalam Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Kpn serta sebagai referensi jika ada kasus yang sama.

Penelitian terdahulu berperan sangat penting dalam melakukan penulisan karya ilmiah. Penelitian pertama yang dilakukan Wenlly Dumgair dengan judul pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) sebagai alasan penghapus pidana. Dengan tujuan untuk mengetahui pembelaan terpaksa bisa dilaksanakan sebagai alasan penghapus pidana serta Bagaimana syarat-syarat dalam pembelaan terpaksa dalam pasal 49 KUHP. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini terkait Pembelaan Terpaksa dan Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas. Sebagai Alasan Penghapus Pidana. Syarat-Syarat Mengenai Pembelaan Terpaksa. Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa alasan penghapus pidana yaitu suatu kondisi yang menjadikan seorang melaksanakan tinak pidana tetapi tidak diberikan hukuman. Syarat-syarat dalam pembelaan terpaksa harus ada serangan. [3]

Penelitian kedua yang dilakukan Revani Engeli Kania Lakoy dengan judul syarat proporsionalitas dan subsidaritas dalam pembelaan terpaksa dalam pasal 49 KUHP. Tujuan untuk mengetahui Bagaimana pengaturan pembelaan terpaksa dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP sebagai suatu alasan penghapus pidana serta bagaimana syarat proporsionalitas dan syarat subsidaritas dalam pembelaan terpaksa. Metode penelitian yang dilakukan ini menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini menjelaskan pengaturan Pembelaan Terpaksa dalam pasal 49 ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana. Syarat Proporsionalitas dan Syarat subsidaritas dalam Pembelaan Terpaksa di antara para penulis hukum pidana dapat dikatakan sebagai terpaksa apabila memenuhi dua syarat, yaitu syarat proporsionalitas dan syarat subsidaritas. Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa Pengaturan pembelaan terpaksa dalam Pasal 49 ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana sebagai suatu alasan penghapus pidana serta syarat proporsionalitas berarti kepentingan orang lain akan terkorbankan dalam pembelaan terpaksa harus seimbang dengan kepentingan yang dilindungi, dan syarat subsidaritas berarti pembelaan harus dilakukan dengan cara yang paling ringan. [4]

Penelitian ketiga yang dilakukan Nursolihi Insani dengan judul hilangnya pidana terhadap seseorang yang melakukan pembelaan diri terkait pasal 49 KUHP. Tujuan untuk mengetahui peraturan hukum pidana terhadap pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapusan pidana serta batasan dan syarat yang harusnya terpenuhi agar tidak dikatakan sebagai tindak pidana. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini yaitu mengkaji peraturan hukum pidana yang dikaitkan dengan pembelaan terpaksa. Alasan Penghapusan Pidana ada 3 macam yaitu alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan penghapus penuntutan. Alasan penghapusan pidana berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam bertanggungjawab. Batasan dan syarat pembelaan diri harus terpenuhi agar tidak dianggap sebagai tindak pidana, Syarat pembelaan diri harus ada serangan yang melawan hukum, pada saat itu. Kesimpulan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa peraturan hukum pidana terhadap pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapusan pidana ada 3 macam yaitu alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan penghapus penuntutan serta batasan dan syarat yang harus dipenuhi karna melakukan membela diri agar tidak dianggap sebagai tindak pidana. [5]

Namun, perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu lebih terarah dalam fakta hukum daari suatu kejadian dengan menganalisa putusan yang diambil oleh hakim dalam persidangan peristiwa hukum siswa yang membunuh orang yang dianggap begal di malang.

Metode

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif yaitu bentuk penelitian yang menemukan kebenaran berdasarkan bahan-bahan hukum dari literatur yang fokus mengkaji hukum tertulis agar peraturan-peraturan serta doktrin-doktrin hukum menjadi lebih jelas dan dimengerti. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus atau biasa disebut dengan case approach yaitu dengan cara menganalisis kasus/putusan yang berkaitan dengan isu hukum. Bahan hukum yang digunakan ialah Bahan hukum primer diantaranya: Kitab undang-undang hukum pidana, Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, dan Putusan Nomor 1/Pid.Sus-anak/2020/PN Kpn. Sedangkan bahan hukum sekunder diantaranya jurnal ilmiah, buku, doktrin dan literatur. Dan analisa bahan hukum penulis menggunakan metode deduktif.

Hasil dan Pembahasan

Penerapan Syarat Proporsional pada Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1/pid.sus-anak/2020/Pn.Kpn.

Syarat proporsional ialah suatu tindakan yang diperbolehkan dalam peristiwa pembelaan terpaksa jika terpenuhinya keseimbangan antara cara yang digunakan dalam tujuan yang hendak dicapai. Dalam pembelaan diri, suatu kelayakan pembelaan diri dinilai dengan mempertahankan objek ataupun suatu kepentingan tertentu.[6] Lebih jelasnya syarat proporsional yaitu kepentingan yang dikorbankan dengan kepentingan yang dilindungi harus seimbang.

Satochid Kartanegara mengatakan syarat proporsionalitas ialah tindakan yang harus seimbang pada keperluan hukum yang memiliki perlindungan pada suatu keperluan hukum yang tidak dilakuan. everedigheid beginsel juga mengatakan harus adanya unsur yang seimbang antara suatu keperluan hukum yang dilakukan pembelaan dengan keperluan hukum yang tidak dilakukan atau melanggar.[7]

Dari fakta yang terungkap di dalam putusan bahwa tindakan terdakwa dalam hal melindungi diri sendiri dan temannya atau anak saksi sebab ancaman perbuatan asusila serta harta benda yaitu handpone yang dirampas oleh korban M. Dari korban M tidak ditemukan serangan fisik yang dilakukan kepada anak dan juga anak saksi namun hanya merupakan upaya permintaan perbuatan asusila, korban juga tidak sedikitpun mencoba menyentuh ataupun melakukan tindakan pelecehan secara fisik terhadap anak saksi.. Maka dari itu, tindakan tersebut tidak terkategori pembelaan terpaksa dikarenakan kepentingan yang dibela dengan kepentingan yang dikorbankan tidak seimbang. Dalam hal ini korban yang merampas kunci motor, handpone anak dan upaya permintaan berbuat asusila kepada teman anak telah meninggal dunia. Sehingga syarat proporsionalitas tidak terpenuhi.

Penerapan Syarat Subsidaritas dalam Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1/pid.sus-anak/2020/Pn.Kpn.

Selanjutnya mengenai syarat subsidaritas, yakni suatu pembelaan yang dilakukan melalui jalan yang seringan-ringannya.

Hoge Raad, mengatakan bahwa “apabila terhadap suatu serangan secara melawan hak yang terjadi seketika itu, masih tersedia lain-lain upaya pembelaan yang diizinkan bagi orang yang diserang, maka perbuatan yang telah dilakukan itu bukanlah upaya pembelaan yang diperlukan”[8]. Bahwa serangan tidak boleh melampaui batas dari kepentingan yang dibela atau disebut sebagai asas subsidiaritas yaitu pembelaan harus dilakukan dengan cara yang paling ringan [9].

Jika dikaitkan dari putusan nomor 1/pid.sus-anak/2020/Pn.Kpn terdakwa melakukan pembelaan dengan menusukkan sebuah pisau kepada dada korban untuk suatu bentuk upaya menakut-nakuti korban Misnan dan melindungi diri dan atau suatu harta benda kepemilikannya, dikarenakan pada peristiwa tersebut tidak terdapat upaya lain yang dapat dilakukan terdakwa untuk melarikan diri dari peristiwa pembegalan tersebut. Sehingga anak berfikir jalan satu-satunya dengan membunuh korban. Dalam hal ini tidak terkategori pembelaan yang dilakukan secara ringan karena tindakan anak terkategori penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Dalam KUHP pasal 351 ayat 3 dijelaskan yang berbunyi : menganiaya seseorang yang menyebabkan kematian akan dikenakan hukuman selama – lamanya 7 tahun. Akan tetapi terdakwa ini masih dalam kategori anak di bawah umur maka diberi keringanan yakni dengan hukuman 1 tahun di lembaga sosial kemasyarakatan. Sehingga syarat subsidaritas tidak terpenuhi.

Para ahli hukum berpendapat cara yang paling ringan (subsidair) yaitu melarikan diri. E. Utrecht mengatakan ada dua pendapat terkait apakah melarikan diri merupakan cara yang paling ringan? Beberapa ahli berpendapat bahwa apabila terdapat hal yang memungkinkan untuk melarikan diri maka yang memperoleh serangan diharuskan melarikan diri dan apabila yang mendapatkan serangan masih merupakan diri, maka suatu pembelaan tersebut tidak bisa dinilai sebagai bentuk dari pembelaan darurat apabila dilihat dari Pasal 49 ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana. Penjelasan ini dinilai penting di Indonesia, karena suatu adat istiadat memberikan kewajiban dalam hal melakukan pembelaan diri, melakukan suatu pembelaan terhadap kepentingan suku, dan sebagainya [10].

Di antara para ahli hukum pidana berpendapat apabila pembelaan bisa disebut sebagai tindakan terpaksa (noodzakelijk) jika terpenuhinya dua syarat, yakni syarat proporsionalitas dan syarat subsidaritas. Dari hasil analisis diatas sudah dijelaskan bahwa syarat proporsionalitas dan syarat subsidaritas tidak terpenuhi. Maka tindakan anak tidak terkategori suatu pembelaan terpaksa.

Dalam kitab undang – undang hukum pidana pasal 351 ayat 3 dijelaskan suatu tindakan menganiaya seseorang yang menyebabkan kematian dijatuhkan hukuman selama – lamanya 7 tahun. Selanjutnya dijelaskan juga pada Pasal 80 ayat 3 Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan pembinaan di lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama dalam kurun waktu 24 (dua puluh empat) bulan.

Maka dari itu, dalam putusan pengadilan nomor 1/pid.sus-anak/2020/Pn.Kpn hakim memutuskan terdakwa dijatuhkan hukuman berupa pembinaan di lembaga sosial kemasyarakatan selama 1 tahun.

Simpulan

Syarat proporsional dan syarat subsidaritas tidak terpenuhi karena tindakan korban M yang telah merampas kunci motor, handpone anak dan anak saksi serta upaya permintaan berbuat asusila kepada teman anak tidak seimbang dengan tindakan anak yang menyebabkan hilangnya nyawa korban M. Sehingga tindakan anak tidak termasuk pembelaan terpaksa karena pembelaan bisa disebut pembelaan terpaksa (noodzakelijke) apabila terpenuhinya syarat proporsional dan syarat subsidaritas.

References

  1. S. Hasanah, “Arti noodweer exces dalam hukum pidana,” Hukumonline, 2018. [Online]. Available: https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-inoodweer-exces-i-dalam-hukum-pidana lt5ae67c067d3af. [Accessed: Dec. 10, 2021].
  2. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor, Indonesia: Politeia, 1991.
  3. W. Dumgair, “Pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) sebagai alasan penghapus pidana,” J. Lex Crimen, vol. V, no. 5, Jul. 2016.
  4. R. E. K. Lakoy, “Syarat proporsionalitas dan subsidiaritas dalam pembelaan terpaksa menurut pasal 49 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana,” J. Lex Crimen, vol. IX, no. 2, Apr.-Jun. 2020.
  5. N. Insani, “Hilangnya pidana terhadap seseorang yang melakukan pembelaan diri menurut pasal 49 ayat 1 dan 2 kitab undang-undang hukum pidana,” J. Surya Kencana, vol. X, no. 2, Oct. 2019.
  6. J. Remmelink, “The principle of proportionality in the case-law of the European Court of Human Rights,” Netherlands Q. Hum. Rts., vol. 21, no. 2, pp. 295–311, 2003.
  7. S. Kartanegara, “Hukum pidana kumpulan-kumpulan kuliah,” Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, Indonesia, 2006, pp. 286.
  8. P. A. F. Lamintang and C. D. Samosir, Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 1983.
  9. A. Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Indonesia: PT Rineka Cipta, 1994, pp. 158–159.
  10. E. Utrecht, “Pertanggungjawaban atas tindak pidana,” in Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar, C. M. D. Rijanto and A. M. Djojosudharmo, Eds. Jakarta, Indonesia: PT. Pradnya Paramita, 1984, pp. 369–370.