This normative research aimed to examine the extent of ministerial circular letters in Indonesia and whether a particular circular letter violates the Law Number 17 of 2014. Through a qualitative literature review and legal analysis, the study found that Minister of Finance Circular Letter Number S-841/Mk.02/2014 does not fall under the category of legislative rules and lacks external application, thus rendering it illegal. The study suggests that ministerial circular letters must adhere to the law, philosophy, and social considerations to be considered legitimate. The findings have implications for the proper implementation and interpretation of ministerial circular letters in Indonesia.
Highlights:
Pada tahun 2001 dilakukan perubahan ketiga UUD 1945 dengan turut sertanya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPD RI. Dengan disahkannya UUD 1945, DPD RI mengambil tempat sebagai badan perwakilan daerah. DPD RI adalah lembaga pemerintah yang mengadvokasi kepentingan Rhode Island di Washington. Mereka juga harus bekerja untuk menyediakan checks and balances di dalam badan legislatif negara bagian dan di antara cabang-cabang pemerintahan negara bagian lainnya.
DPD RI Indonesia merupakan model bagaimana seharusnya lembaga perwakilan daerah berfungsi. “Majelis Tinggi” adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut badan perwakilan daerah di luar Indonesia. Sejarah panjang nama merek ini dapat ditelusuri. Sejak tahun 1949 hingga tahun 1950, sebelum DPD RI berdiri, Senat RIS menjabat sebagai badan legislatif untuk 16 Negara Bagian RIS. NIT juga memiliki senat sementara yang terdiri dari 13 wilayah berbeda. Senat dihapuskan bersama dengan RIS dan NIT. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki badan terpusat yang bertugas mengadvokasi kepentingan daerahnya secara nasional. [1]
DPD-RI merupakan upaya mengefektifkan pelayanan federal untuk dukungan daerah yang lebih baik. Meskipun demikian, daerah mencari suara dalam pilihan politik yang akan mempengaruhi mereka. MPR memiliki perwakilan daerah sebelum Perubahan Ketiga UUD 1945, tetapi mereka tidak memainkan peran yang cukup signifikan untuk mewakili kepentingan daerah secara memadai. Pengesahan UUD, pemilihan presiden dan wakil presiden, serta garis besar kebijakan MPR merupakan kekuasaan MPR saat itu. [2]
Dari ide sederhana ini berkembang keyakinan bahwa harus ada otoritas pusat dengan kekuatan untuk mewakili kepentingan negara bagian sekaligus menjaga keseimbangan antara mereka dan pemerintah federal. Anggota organisasi perwakilan daerah tertentu ditunjuk bukan dipilih. Beberapa organisasi tetap mendukung sistem MPR yang terdiri dari DPR, wakil daerah, dan wakil kelas. Meskipun demikian, DPR RI adalah organisasi politik sehingga terbagi menjadi dua kamar (bikameral). [3]
Kekhawatiran muncul ketika peran DPD dalam pemerintahan dibahas dalam kaitannya dengan fungsi legislasi dan tugas-tugas lain seperti pengawasan dan penganggaran. Beberapa orang menganjurkan peran legislatif yang seimbang baik untuk DPD maupun DPR. Dengan cara yang sama seperti Senat dan Dewan Perwakilan Amerika Serikat menjalankan tugasnya. Baik majelis Kongres maupun Senat memiliki fungsi legislatif yang sah yang dapat ditinjau dan diseimbangkan secara independen. Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah dua majelis yang membentuk Kongres di Amerika Serikat. Setelah itu, terserah presiden untuk menyetujuinya atau memveto sesuai dengan undang-undang dari Kongres sebelumnya.
Munculnya DPD sebagai lembaga tinggi negara di Republik Indonesia pasca reformasi 1998 tampaknya dilatarbelakangi penolakan publik terhadap struktur pemerintahan otoriter, oligarki, dan sentralistik yang diciptakan Orde Baru. Di mana saya telah bekerja selama 32 tahun terakhir. Tujuan mendasar dari gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 adalah untuk mengubah UUD 1945 untuk membentuk sistem pemerintahan yang lebih representatif dan terdesentralisasi, dan DPD RI tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tersebut. Untuk mempertahankan Negara Kesatuan yaitu Republik Indonesia, perubahan konstitusi baru-baru ini telah mengharuskan penghapusan komitmen lama negara terhadap demokrasi berbasis desentralisasi.
Dari perspektif representasi politik, DPD merupakan cerminan keragaman etnis, agama, dan budaya. Keberagaman perspektif politik ini tercermin dalam keterwakilan DPD RI. Sebaliknya, mereka melambangkan setiap ideologi sosial, minat, dan demografis. Mereka beranggotakan empat orang dari setiap provinsi yang bergabung dalam organisasi tersebut.
Tanggal 1 Oktober 2022, DPD RI sudah berdiri selama 18 tahun. Pada periode itu, DPR RI telah menyusun kurang lebih 1072 undang-undang, pandangan dan pendapat, pertimbangan, hasil pemantauan, pertimbangan terkait anggaran, saran untuk Program Legislasi Nasional, rekomendasi, pemantauan, dan peninjauan. Tanpa kerjasama Sekretariat Jenderal, DPD RI tidak akan mampu menjalankan amanat legislasi, pengawasan, dan penyiapan APBN. [4]
Sesuai dengan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPD RI mempunyai wewenang sebagai berikut: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemantapan daerah, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan daerah. Perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam daerah dan sumber daya ekonomi lainnya (Perda). Kedua, dalam rangka memenuhi tugasnya sebagai wakil daerahnya masing-masing pada Dewan Perwakilan Daerah Republik (Consejo Regional de Representantes de la Republica) berdasarkan Pasal 95A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Undang-Undang (UU P3). DPD RI diatur dalam UU 17 Tahun 2014 yang juga dikenal dengan UU MPR, UU DPR, UU DPD, dan UU DPR RI. Menurut pasal 252 ayat 4, anggota DPD yang masih aktif bertempat tinggal dan menyelenggarakan kantor kabupaten di ibu kota provinsi. Untuk lebih menegaskan hal tersebut, ayat 3 Pasal 8 Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Tertib Tata Tertib menyebutkan, “Anggota yang menjalankan fungsinya adalah penduduk di daerah pemilihan atau ibu kota provinsi.”
Di Indonesia, surat edaran menteri tidak pernah secara eksplisit diatur dalam undang-undang. Surat edaran menteri masih dalam pembahasan apakah harus dianggap sebagai peraturan atau ketentuan, dan oleh karena itu belum dilaksanakan. Meskipun Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjabarkan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak diatur dalam Surat Edaran Menteri, namun tingkat dan kepangkatan Surat Edaran Menteri tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pasal 7 UU 12 Tahun 2011 memuat daftar peraturan perundang-undangan. [4]
Mengingat hal tersebut di atas, DPD RI harus segera membentuk cabang di seluruh ibukota provinsi dan kabupaten/kota. Yogyakarta (di Daerah Istimewa), Kupapang (di Nusa Tenggara Timur), Denpasar (di Pulau Bali), dan Cianjur (di Sumatera Selatan) merupakan lokasi empat kantor perwakilan DPD RI saat tulisan ini dibuat (Palembang). Dalam Surat Edaran No S-841/MK.02/2014 tanggal 16 Desember 2014, Menteri Keuangan menyampaikan hal-hal sebagai berikut terkait kemungkinan penundaan atau moratorium pembangunan gedung perkantoran pemerintah: Pertama, per tahun 2015, tidak boleh ada gedung kantor pemerintah baru yang dibangun karena Penundaan atau Moratorium Pembangunan Gedung Pemerintah. [5]
Dua pengecualian terhadap aturan umum penundaan atau penghentian adalah pembangunan fasilitas pelayanan masyarakat (seperti rumah sakit dan sekolah), kelanjutan pekerjaan dari tahun sebelumnya, dan pembangunan bangunan yang hancur akibat bencana.
Ketiga, peningkatan anggaran bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a pada dasarnya bersifat self limiting. Lampiran I PMK 136/PMK.02/2014, Pedoman Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL, menyatakan bahwa kementerian dan lembaga dapat mengusulkan realokasi dana untuk mendukung kegiatan dan keluaran prioritas nasional, tetapi tidak terbatas pada kegiatan.
Penelitian menggunakan "strategi yuridis", yang mencakup pemeriksaan topik penelitian dari sudut pandang hukum dan mengambil berbagai sumber data, termasuk sumber data sekunder dan data dari literatur. Tiga jenis bahan penelitian hukum yang tersedia online adalah sumber primer, sekunder, dan tersier. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 dengan Perubahan keduanya merupakan undang-undang yang penting. Yaitu, (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Undang-Undang; dan (2) Peraturan Perundang-undangan Tentang Masalah Yang Dihadapi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPRD, Dan Hal Sejenis Lainnya (MD3). Sumber hukum sekunder, termasuk buku, jurnal, dan makalah penelitian tentang topik yang melengkapi dokumen hukum primer, dan bahan hukum tersier, termasuk kamus hukum yang mendefinisikan konsep hukum primer dan sekunder.
Penulis melakukan penelitian untuk debat ini dengan membaca, meninjau, dan berkonsultasi dengan karya-karya yang ada. Ketika bahan atau data dikumpulkan dari berbagai sumber data dan dokumen hukum, analisis dilakukan. Meringkas dan memilih data yang akan digunakan untuk mengatasi masalah tertentu adalah tahap pertama dalam setiap proses analisis data.
Norma kebijakan hukum seringkali berbentuk surat edaran. Setiap orang harus mematuhi peraturan yang dituangkan dalam dokumen resmi dan surat edaran komunitas dengan cara yang sama. Namun, pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya menjadi persyaratan hukum yang mengikat. Sistem adalah “suatu organisasi yang komponen atau aspeknya saling mempengaruhi. Tujuan negara diatur, disarankan, didukung, dan didukung oleh hukum sistem hukum. Tiga hal yang mendukung sistem hukum (budaya): struktur (kerangka hukum), substansi (isi hukum), dan budaya. [5]
Prinsip lex superior derogate legi inferiori menyatakan bahwa hukum dan kebiasaan sekunder harus tunduk pada hukum primer. Sikap ini tercermin misalnya dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-Undang.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, diadopsi pada tahun 1945; Ketetapan MPR; undang-undang atau peraturan pemerintah yang berfungsi sebagai undang-undang; peraturan; Keputusan Presiden; peraturan daerah; peraturan daerah kabupaten atau kota; dan terakhir, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang diadopsi pada tahun 1945.
Tata tertib dan dokumen lain yang berkekuatan hukum tercantum dalam urutan didahulukan dalam Pasal 81. Peraturan perundang-undangan yang tidak ditentukan dalam Pasal 7 ayat 1 diundangkan oleh MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial , Bank Indonesia, Kementerian, dan Badan Regulator.
Undang-undang tersebut selanjutnya mengatur proses pembentukan undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjamin bahwa kebijakan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan secara sengaja, metodis, terarah, dan terpadu bagi kebijakan-kebijakan pada dasarnya. kerangka. Norma hukum negara selalu berlapis dan berjenjang, artinya norma di bawahnya diturunkan dari norma di atasnya hingga sampai pada norma yang tertinggi, yang disebut norma dasar. Hal ini sesuai dengan teori Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre” yang merupakan pengembangan dari teori tingkatan norma gurunya. Mengingat sambutannya Jika gagasan sebelumnya berlaku, maka peraturan yang ditetapkan tidak boleh bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya. Misalnya, aturan lokal tidak boleh melanggar undang-undang federal.
Agar keberadaan dan ruang lingkup peraturan perundang-undangan diketahui dan diikuti secara luas. Banyak peraturan kebijakan (juga dikenal sebagai "beleidregels") diadopsi dengan cara yang berbeda dari peraturan undang-undang, meskipun perbedaannya terkadang tidak langsung terlihat. Bahasa Freies Ermessen merupakan bagian integral dari aturan kebijakan. Pembuatan kebijakan di Belanda berbentuk "jurische regels", yang dapat berbentuk apa saja, mulai dari rekomendasi, pengumuman, surat edaran, hingga pernyataan kebijakan langsung [4]. Istilah "Free Ermessen" mengacu pada praktik di mana entitas atau pejabat administratif dapat bergerak atau beroperasi tanpa sepenuhnya dibatasi oleh aturan dan peraturan (Hakim, 2011). Memang, konsep negara kesejahteraan inilah yang menyebabkan berkembangnya kehendak bebas. Sebagai kaidah hukum, Freies Ermessen memuat unsur-unsur antara lain sebagai berikut: 1) Bermaksud untuk melaksanakan tugas pelayanan publik. Kedua, aparatur negara yang menganut falsafah Freies Ermessen mengambil tindakan sendiri. Konsep Freies Ermessen mengacu pada pola pikir yang memotivasi orang untuk bertindak atas kemauan sendiri. 4) Freies Ermessen adalah cara berpikir dan bertindak yang berupaya mengatasi masalah mendesak yang muncul.
Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan berupa aturan, arahan, pengumuman, dan surat edaran dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya. Beleidsregel adalah surat edaran yang wajib dipatuhi peraturan guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang efektif. Ia juga harus mematuhi aturan untuk menciptakan kebijakan dan peraturan yang efektif (bebeselen van behoorlijke regelgeving). siaran, dan surat edaran. Kata Belanda untuk surat edaran adalah beleidsregel, dan seperti perangkat peraturan atau undang-undang lainnya, ada pedoman yang harus dipatuhi untuk menciptakan peraturan yang efektif. Penting juga untuk mematuhi pedoman saat merumuskan peraturan (bebeselen van behoorlijke regelgeving). Jika norma kebijakan masyarakat tidak sesuai dengan landasan formal dan material yang mendasari peraturan perundang-undangan, maka akan timbul kesulitan. Banyak fakta tentang aturan kebijakan yang perlu kita perhatikan. Tiga hal dapat dikatakan tentang aturan: 1) mereka didirikan pada undang-undang formal, baik secara eksplisit maupun implisit; 2) mereka memberikan arahan yang luas; dan 3) tidak tertulis tetapi dapat diatur bagaimanapun yang dipandang perlu oleh pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintahan.
Ciri-ciri regulasi kebijakan dalam memahami hukum Indonesia. Konsep pembatasan dan peninjauan kebijakan tidak mungkin diterapkan; wetmatigheid (kriteria yang digunakan untuk menilai peraturan perundang-undangan) tidak dapat diterapkan pada peraturan kebijakan; (4) aturan kebijakan didasarkan pada kebebasan fungsi Ermessen. 5) Melihat pelaksanaan aturan kebijakan yang menitikberatkan pada doelmatigheid (patokan AAUPB); dalam bentuk arahan dan pilihan.
Faktor yang harus dipertimbangkan saat menyusun peraturan kebijakan. Pedoman kebijakan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan. Peraturan kebijakan tidak boleh bertentangan dengan akal sehat. Ketiga, peraturan kebijakan harus dibuat dan dirundingkan dengan hati-hati; keempat, isi regulasi kebijakan harus memperjelas kewajiban dan hak masyarakat terdampak; kelima, dasar pertimbangan dan tujuan harus dibuat jelas; dan keenam, regulasi kebijakan harus memenuhi syarat kepastian hukum. [4]
Peraturan kebijakan tetap dapat dianggap sebagai peraturan perundang-undangan asalkan memenuhi kriteria kekuasaan untuk membuat peraturan daerah secara historis dibatasi oleh undang-undang.
Undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan sebagai pengganti undang-undang; keempat, peraturan pemerintah; kelima, keputusan presiden; keenam, peraturan daerah; dan ketujuh, peraturan kabupaten atau kota; dan kedelapan, keputusan MPR
Peraturan perundang-undangan yang baik hanya dapat dikembangkan dengan berpegang pada seperangkat norma itu sendiri. Beberapa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: a) sederhana dalam pelaksanaannya; b) membantu dan efektif; c) ditempatkan pada lembaga atau pejabat yang sesuai; d) berguna dan efektif; e) jelas dalam bahasa mereka; dan g) terbuka. Seperti yang telah dikatakan, konsep penerapan menyatakan bahwa keefektifan peraturan perundang-undangan dalam praktiknya harus dipertimbangkan selama pembuatannya.
Landasan filosofis dari sistem hukum adalah item dan pembenaran yang menunjukkan bahwa nilai-nilai kehidupan dan kesadaran dipertimbangkan selama proses legislatif. Semua fakta faktual tentang bagaimana persoalan masyarakat dan tuntutan negara berkembang dari masa ke masa, serta suasana mistik dan filosofi bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UU No. UUD 1945, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan berbagai cara.
Untuk menjaga kejelasan hukum dan rasa keadilan, peraturan perundang-undangan baru harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya, yang akan diubah atau dihilangkan, dan ini dikenal sebagai "landasan yuridis". Kebenaran dan keadilan bagi semua orang. Ketika membahas bahan kimia atau bahan yang tunduk pada peraturan, komponen hukum berkaitan dengan masalah hukum. Dengan kata lain, aturan dan hukum baru perlu ditetapkan. Beberapa masalah hukum ini termasuk aturan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya atau yang bertentangan satu sama lain, aturan yang tidak sekuat hukum dan tidak berfungsi dengan benar, peraturan yang sudah ada tetapi tidak cukup baik, atau aturan yang tidak ada sama sekali. Undang-undang, peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota semuanya memiliki landasan filosofis, sosial, dan hukum, yang sering dinyatakan dalam pembukaan.
Filsafat diikuti oleh sosiologi, dan kemudian hukum. Penggabungan kehidupan, kesadaran, dan asas-asas hukum ke dalam proses pengambilan keputusan hukum ditunjukkan oleh aspek-aspek filosofis. Spiritualitas dan filosofi bangsa Indonesia dapat ditelusuri kembali ke Pembukaan Undang-Undang dan Pancasila. UUD 1945. Dari sudut pandang sosiologis, undang-undang berfungsi untuk menunjukkan bahwa aturan dibuat untuk mengatasi masalah-masalah khusus dalam masyarakat. Jika kita mempertimbangkan peraturan yang sudah ada sebelumnya, yang akan diubah atau dicabut untuk memberikan kejelasan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat, kita melihat bahwa peraturan dirancang untuk memperbaiki kesulitan hukum atau mengisi kesenjangan hukum.
Dalam hirarki legislatif, empat konsep berikut mendominasi: 1) Menurut prinsip "Lex superior derogat legi inferiori", tingkatan hukum yang berbeda tidak dapat bertentangan secara langsung satu sama lain. Kedua aturan untuk dua aturan terpisah ini sama-sama penting tetapi tidak bersamaan. Adapun bagian kedua dari pertanyaan Anda, "Leks spesialis derogat legi generali" berarti undang-undang yang lebih khusus lebih diutamakan daripada undang-undang yang lebih umum. Aturan ini relevan ketika ada dua aturan pada level yang sama dari kumpulan aturan yang memberikan informasi yang identik. Ketiga, “aturan baru mengesampingkan yang lama” (lex posteriori derogat legi priori). Gagasan ini digunakan untuk membuat undang-undang menjadi tidak ambigu ketika dua peraturan berada pada tingkat hierarki yang sama. Suatu aturan hanya dapat diubah atau dicabut oleh aturan yang setingkat atau lebih tinggi. [6]
Menelaah Surat Edaran Menteri dari segi hukum, filosofis, dan sikap hukum, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, dari segi hukum, tidak ada persyaratan bagaimana surat edaran menteri harus disusun. Pemerintah, di sisi lain, bebas mengirimkan apa saja yang dianggapnya pantas sepanjang tidak melanggar hukum. Surat edaran menteri dikeluarkan ketika ada kebutuhan filosofis untuk memberikan penjelasan teknis aturan yang tidak mudah terlihat dari surat edaran. Berbicara secara sosiologis, surat edaran menteri diperlukan pada saat krisis dan untuk mengatasi kesenjangan legislatif, tetapi tidak boleh bertentangan langsung dengan norma yang lebih menyeluruh.
Penulisan peraturan perundang-undangan secara tertib memerlukan pembedaan antara pilihan peraturan (regeling) dan keputusan administratif (beschikking). [5] Politisi di level tertinggi memiliki kewenangan untuk merekrut dan memberhentikan sesuka hati. [4]
Peraturan perundang-undangan dalam pengertian terbatas meliputi Undang-Undang Dasar atau yang sederajat, anggaran dasar, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah, peraturan gubernur, dan bupati atau walikota. Kebalikan dari ini adalah keputusan, atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum. Ketetapan dan ketetapan MPR setara dengan UUD dan Rancangan Perubahan Undang-Undang, meskipun sebenarnya bukan peraturan baru. Dari MPR muncul UUD dan Bill of Rights. Bisa jadi keputusan presiden sama pentingnya dengan keputusan menteri, pilihan gubernur bisa sama pentingnya dengan peraturan gubernur, keputusan bupati atau kota sama pentingnya dengan keputusan bupati atau kota, dan seterusnya. Karena tingkat keputusan administrasi sama dengan tingkat peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (ambtsdrager), maka dapat diterima untuk mengatur arti keputusan administrasi menurut urutan kronologis di mana undang-undang dan peraturan baru diundangkan. bahwa ini murni keputusan administratif yang tidak mencakup tindakan yang menguntungkan publik. Perintah eksekutif ini tidak sama dengan undang-undang dan harus diperlakukan berbeda. [3][2]
Sebagai alternatif, Anda dapat memanggil peraturan kebijakan (atau beleidsregels). Namun ia bertumpu pada sisi deolmatigheid dari kerangka konsep "kebebasan bertindak", atau "beoordelingsvrijheid", yang memungkinkan pemerintah bertindak bebas untuk mencapai tujuan yang sah. Semuanya dilihat sebagai rekomendasi daripada aturan, termasuk instruksi presiden, keputusan presiden, dan surat edaran menteri, yang semuanya menjunjung tinggi gagasan kebebasan bertindak.
Di atas segalanya, Surat Edaran Menteri bukanlah undang-undang. Hal ini disebabkan tidak adanya pedoman perilaku (seperti larangan, perintah, izin, dan pengecualian), kewenangan (seperti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan), atau klausula yang dicantumkan dalam Surat Edaran Menteri tersebut.
Kedua, surat edaran adalah publikasi resmi yang menyebarluaskan informasi, mengklarifikasi, dan/atau memberikan petunjuk cara pelaksanaannya. Ketiga, surat edaran bukanlah argumen hukum yang sah untuk membatalkan perintah presiden atau menteri. Hanya klarifikasi atas interpretasi aturan yang diumumkan yang dapat dikeluarkan melalui surat edaran. [3]
Ketiga, surat edaran lebih berharga daripada surat karena memberikan arahan dan pembenaran untuk bertindak. Surat edaran adalah semacam pemberitahuan. Karena sifat situasi yang tidak biasa, tidak ada dampak yang diharapkan.
Kelima, surat edaran adalah semacam perintah yang dikirimkan oleh seorang atasan atau pengawas kepada semua orang yang berada di bawah pengawasannya.
Surat Edaran Menteri adalah kategori surat edaran yang luas. Karena orang yang mengeluarkan surat edaran tidak memiliki wewenang untuk melakukannya, surat edaran tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Surat edaran adalah aturan kebijakan yang hanya dapat dikeluarkan atas dasar kewenangan bebas, oleh karena itu tidak diperlukan landasan hukum bagi pejabat yang mengeluarkannya untuk melakukannya. Namun, sebelum mengeluarkan surat edaran, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: terbatas pada keadaan yang mengerikan, Kadang-kadang perlu melanggar aturan karena terlalu kabur. Isinya tidak melanggar norma atau peraturan apapun. Tanggung jawab moral didukung dengan berpegang pada cita-cita tata pemerintahan yang baik.
Arahan atau penjelasan yang tidak dapat dilaksanakan disebut sebagai "surat edaran" dalam sistem hukum. Tidak ada yang akan mendapat masalah jika mereka tidak mengikuti.
Penundaan atau pembatalan pembangunan gedung Asisten Perdana Menteri dan Kementerian Keuangan tertuang dalam Surat Edaran No. S-841/Mk.02/2014, tanggal 16 Desember 2014. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah badan legislatif yang dipengaruhi oleh muatan dari banyak kementerian dan lembaga negara, yang merupakan Badan Pelaksana. Cabang eksekutif dan legislatif berbeda satu sama lain dari perspektif teoretis. Dalam hal legislasi, kedua cabang pemerintahan memiliki fungsi yang berbeda dan tidak dapat saling mengganggu.
Simpulan
Jika mencermati hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka disadari bahwa Surat Edaran Menteri bukanlah peraturan yang dapat berlaku untuk masyarakat umum melainkan hanya untuk kementerian atau lembaga. Surat edaran dan rekomendasi lain yang diterbitkan (internal) tidak termasuk dalam kategori ini karena tidak termasuk komponen yang merupakan norma legislatif. Surat edaran menteri dianggap unik jika tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi dan dikembangkan serta dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan hukum, filosofis, dan sosial.
Menkeu dan Mensesneg Perbandingan Surat Edaran No. S-841/Mk.02/2014 tanggal 16 Desember 2014 perihal penundaan atau penghentian pembangunan gedung perkantoran kementerian negara atau lembaga yang bertentangan langsung dengan Pasal 252 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.