Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i1.973

The Elusive Justice: Analyzing Disparities in Judges' Decisions on Domestic Psychic Violence Cases


Keadilan yang Sulit Dipahami: Menganalisis Disparitas Putusan Hakim dalam Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga

Universitas Esa Unggul
Indonesia Bio
Universitas Esa Unggul
Indonesia Bio
Universitas Esa Unggul
Indonesia Bio
Universitas Esa Unggul
Indonesia Bio

(*) Corresponding Author

Psycho violence household Law Number 23 of 2004 judges' considerations decision disparities

Abstract

This study aimed to analyze the basis for judges' considerations in cases of domestic psychological violence and to examine the causes of disparities in judges' decisions. The research employed a normative juridical research method. The results showed that judges' considerations in domestic psychological violence cases were based on three factors: juridical, sociological, and ideal philosophical considerations, which resulted in different decisions. The study found that disparities in judges' decisions could not be eliminated due to various influencing factors. Nonetheless, the act of psychological violence is considered a crime that disturbs family harmony and is prohibited by Law No. 23 of 2004. This research has implications for the need to establish clear guidelines for judges in handling domestic psychological violence cases to ensure consistency and fairness in the legal system.

Highlights:

  1. The judge's considerations in domestic psychological violence cases include juridical, sociological, and ideal philosophical aspects.
  2. Different considerations can result in different decisions, even in similar cases.
  3. Acts of psychological violence in the household are prohibited by Law No. 23 of 2004 and can disrupt family harmony.

Pendahuluan

Setiap keluarga memiliki hak dan kewajiban yang didasarkan pada agama dan teologi kemanusiaan, yang harus ditanamkan untuk memperkuat keutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, keberhasilan dalam upaya ini tergantung pada kemampuan setiap individu dalam lingkup rumah tangga, khususnya dalam mengendalikan sikap dan perilaku mereka. Ketika pasangan tidak mampu mengendalikan diri dengan baik, keutuhan dan kasih sayang dalam rumah tangga dapat terganggu, menyebabkan kekerasan atau ketidakadilan terhadap anggota keluarga. Negara memiliki kewajiban untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, karena segala bentuk kekerasan, termasuk dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut dapat dihukum dengan pidana. Meskipun demikian, tidak semua tindakan kejahatan mengandung unsur kekerasan, dan tidak semua kekerasan merupakan komponen kejahatan [1].

Kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai bentuk kejahatan yang merendahkan martabat kemanusiaan, dan dapat dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan hukum kemanusiaan. Pada tahun 2017, sekitar 300.000 kasus kekerasan dalam rumah tangga dilaporkan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sementara itu, dari total 648 pengaduan yang dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), 47,53% adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kasus lainnya [2]. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak dilaporkan mungkin lebih tinggi, karena korban seringkali memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang dialami oleh suami karena dianggap sebagai aib keluarga. Korban seringkali memilih untuk memendam sendiri masalah kekerasan yang dialami, karena takut mendapat ancaman dari suami jika melaporkan kasus kekerasan tersebut [3].

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 telah menetapkan bentuk-bentuk perilaku kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi perhatian utama karena tindakan tersebut merugikan kelompok rentan, terutama perempuan, dan membutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk memberantasnya. Kekerasan psikis dalam rumah tangga terkadang sulit didefinisikan karena sensitivitas emosi seseorang sangat berbeda-beda, seperti ketidakpenuhan kebutuhan emosional pasangan dalam memberikan kasih sayang. Kekerasan psikis juga lebih sulit diukur daripada kekerasan fisik karena sulit teridentifikasi.

Kekerasan terjadi ketika seseorang bertindak tidak pantas dan menggunakan kekuatan fisik yang melanggar hukum dan melukai dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Menurut Mansour Faqih yang dikutip oleh Eti Nurhayati, kekerasan merupakan serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan timbul karena adanya otoritas kekuasaan di mana kelompok yang dalam posisi subordinat akan selalu menjadi korban kekerasan. [4]

Pada konteks kekerasan dalam rumah tangga, kelompok yang paling rentan adalah perempuan dan anak-anak. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi, termasuk kekerasan psikis, yang memerlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberantasnya. Selain itu, pengertian kekerasan psikis juga sangat bervariasi dan sulit untuk diukur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan, khususnya perempuan, untuk memberantas kekerasan dalam rumah tangga. [4]

Pada pandangan Mansour Faqih, kekerasan lahir dari adanya otoritas kekuasaan, di mana kelompok yang dalam posisi subordinat selalu menjadi korban. Hal ini menunjukkan bahwa pencegahan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan dengan cara yang holistik, yang melibatkan pemahaman tentang struktur kekuasaan dalam masyarakat dan keluarga. [5]

Kekerasan psikis dalam rumah tangga dapat terjadi ketika salah satu pasangan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada pasangan yang lain. Kekerasan psikis dapat dilakukan melalui pernyataan yang dilakukan dengan umpatan, amarah, penghinaan, pelabelan bersifat negatif, dan sikap tubuh yang merendahkan. Tindakan tersebut sering kali menekan, menghina, merendahkan, membatasi, atau mengontrol pasangan untuk memenuhi tuntutan pelaku. Dampak dari kekerasan psikis adalah hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, gangguan tidur, gangguan makan, ketergantungan obat, hingga rasa ingin bunuh diri.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan. Pasal 45 UU PDKRT menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00.

Dalam praktiknya, terdapat perbedaan dalam penanganan kasus kekerasan psikis di pengadilan. Dalam studi kasus Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Kwg, terdakwa Maria Oktavia melakukan kekerasan psikis terhadap korban dengan membentak, berteriak-teriak, dan berkata kasar kepada korban. Dalam kasus ini, hakim memutus terdakwa melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga. Namun, dalam studi kasus Nomor 256/Pid.Sus/2021/PN.Kwg, terdakwa Valencya yang dituduh melakukan kekerasan psikis kepada suaminya tidak terbukti bersalah. Disparitas putusan yang terjadi dapat dipengaruhi oleh diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim harus mempertimbangkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta sifat baik dan jahat pada diri terdakwa sebelum menjatuhkan putusan.

Perkara KDRT yang masuk ke pengadilan tidak selamanya Hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan harapan pencari keadilan, namun adapula putusan yang mengecewakan pencari keadilan, maupun masyarakat seperti contohnya putusan pengadilan terhadap dua perkara tersebut diatas, dua perkara yang mirip namun putusan hakim berbeda sehingga secara teori putusan tersebut tidak mencerminkan nilai keadilan bagi masyarakat. Apa dasar pertimbangan Hakim atas kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga dan mengapa terjadi perbedaan putusan oleh Hakim pada kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk mengangkat topik dalam penelitian tesis dengan judul “Disparitas Putusan Hakim Atas Kasus Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Kwg dan Putusan Nomor 256/Pid.Sus/2021/PN Kwg)”.

Metode

Adapun jenis penelitian dalam metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normative yaitu, penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Jenis penelitian yuridis Normatif merupakan pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang.

Hasil dan Pembahasan

Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga Dalam Hukum Positif Indonesia

Undang-Undang PKDRT memuat definisi kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan sejumlah akibat pada korban, termasuk ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat. Meskipun demikian, undang-undang tidak memberikan rincian tentang bentuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis. Hal ini membuat masing-masing pihak memiliki tafsir yang berbeda terkait tindakan yang dikategorikan sebagai kekerasan psikis. Beberapa pihak membagi kekerasan psikis menjadi dua kategori, yakni berat dan ringan, yang masing-masing memiliki sejumlah tindakan yang dapat mengakibatkan penderitaan psikis yang berbeda.

Kekerasan psikis berat meliputi tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan, dan penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, isolasi sosial, ancaman kekerasan fisik, seksual, dan ekonomis. Tindakan ini dapat mengakibatkan penderitaan psikis berat pada korban, termasuk gangguan tidur atau makan, ketergantungan obat, disfungsi seksual, gangguan stres pasca-trauma, gangguan fungsi tubuh berat, depresi berat, destruksi diri, gangguan jiwa seperti skizofrenia, dan bentuk psikotik lainnya.

Kekerasan psikis ringan biasanya berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan, dan penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, isolasi sosial, serta ancaman kekerasan fisik, seksual, dan ekonomis. Meskipun dampaknya tidak seberat kekerasan psikis berat, tindakan kekerasan psikis ringan juga dapat menyebabkan penderitaan psikis yang merugikan. Hal tersebut dapat berupa ketakutan dan perasaan terteror, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, serta gangguan tidur, makan, atau fungsi seksual. Beberapa contoh gangguan fungsi tubuh ringan seperti sakit kepala dan gangguan pencernaan juga bisa terjadi akibat kekerasan psikis ringan.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan yang paling berbahaya terhadap perempuan dan sering terjadi di masyarakat. Perempuan semua usia menjadi sasaran segala bentuk kekerasan, termasuk pemukulan, perkosaan, penyerangan seksual, kekerasan mental, dan bentuk kekerasan lainnya yang dikekalkan oleh sikap tradisional. Ketersembunyian KDRT terjadi karena terjadi dalam ranah keluarga yang tertutup, masyarakat menganggap hal ini sebagai hal yang wajar, dan diagnosanya sulit dilakukan. Karenanya, perlu diatur secara khusus dalam sebuah undang-undang yang dapat memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat.

Pentingnya RUU PKDRT didasarkan pada prinsip hukum yang mengutamakan hukum atau aturan yang baru dan yang bersifat khusus. DPR RI menyetujui RUU PKDRT dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai landasan hukumnya. Undang-undang ini didasarkan pada UUD 1945 Pasal 28 G dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait seperti UU No. 1 Tahun 1946 Tentang KUHP serta perubahannya, UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dan UU No. 29 Tahun 1999 Tentang HAM. Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 merupakan bagian dari penegakan HAM dan demokrasi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT menjadi perubahan paradigma baru dalam memandang permasalahan KDRT. KDRT tidak lagi hanya dilihat sebagai masalah privat individual, melainkan juga sebagai masalah sosial dan tindakan kriminal. Penanganannya harus dilakukan secara hati-hati karena melibatkan anggota keluarga sebagai pelaku dan korban. Oleh karena itu, Undang-Undang PKDRT perlu diterapkan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya penegakan hukum dalam melindungi hak-hak perempuan.

Persepsi bahwa undang-undang PKDRT merupakan delik aduan masih menjadi salah satu alasan kepolisian untuk tidak aktif dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik publik yang dapat dilaporkan oleh bukan korban. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur tentang pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, serta mengatur secara spesifik tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk dalam tindak pidana penganiayaan yang berbeda dengan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, undang-undang ini menegaskan kewajiban aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban dan memberikan respons yang sensitif terhadap kepentingan keluarga yang bermuara pada keutuhan dan kerukunan keluarga.

Undang-undang PKDRT menguraikan empat bentuk kekerasan, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik, menurut Pasal 5 huruf a, adalah tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Meskipun undang-undang hanya menyebutkan sampai pada luka berat, tindakan kekerasan fisik dalam praktiknya dapat sampai pada kematian korban. Penyebab kekerasan dalam rumah tangga dapat bersumber dari faktor internal dan faktor eksternal, seperti kepribadian pelaku, kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, atau keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang.

Terkait dengan penegakan hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, terdapat perbedaan penjatuhan sanksi pidana dalam putusan hakim, seperti terlihat pada kasus putusan hakim Pengadilan Negeri Karawang perkara Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Kwg dan Nomor 256/Pid.Sus/2021/PN Kwg. Meskipun demikian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 telah menetapkan sanksi pidana untuk tindakan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk ketentuan pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak tiga juta rupiah untuk tindakan kekerasan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.

Pembuktian dalam kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga memiliki peran sentral dalam penyelesaian kasus tersebut. Tujuan dari pembuktian adalah untuk menemukan dan menetapkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari kesalahan orang lain. Pembuktian dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara, dengan menempatkan fokus pada kejadian konkret yang harus dibuktikan. Melalui pembuktian, hakim dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.

Pembuktian kekerasan psikis dalam rumah tangga tidaklah se-sederhana pembuktian kekerasan fisik, di mana kekerasan tersebut dapat terlihat dengan kasap mata, seperti korban pemukulan atau perkosaan yang dapat dibuktikan melalui keterangan saksi dan visum et repertum. Kekerasan psikis melibatkan aspek jiwa, spiritual, dan mental, serta bathin, yang hanya dirasakan sakitnya oleh korban. Luka atau sakit pada kekerasan psikis bukanlah pada tubuh atau fisik seseorang, melainkan pada bathin, jiwa, atau rohaninya.

Unsur-unsur dalam tindak pidana kekerasan psikis dalam rumah tangga yang mengakibatkan terganggunya psikologis korban harus dipertimbangkan oleh majelis hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Unsur-unsurnya meliputi unsur "barang siapa", yaitu pelaku atau subjek hukum pidana pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Fakta-fakta yang terungkap selama persidangan harus menjadi dasar bagi jaksa penuntut umum untuk mendakwa dan dipertimbangkan oleh majelis hakim.

Dalam suatu kasus yang diputuskan oleh majelis hakim, seperti dalam putusan Pengadilan Negeri Karawang Perkara Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Kwg, terdakwa harus dipandang sebagai subjek hukum pribadi kodrati (perseorangan) yang sehat jasmani serta rohaninya dan identitasnya telah dibacakan oleh ketua majelis dan tidak disangkal oleh terdakwa. Dengan demikian, unsur "setiap orang" telah terpenuhi dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya sebagaimana yang didakwakan kepadanya.

Majelis hakim pengadilan negeri Karawang menilai bahwa terdakwa Maria Oktavia adalah subjek hukum yang bertanggung jawab atas perbuatannya yang dapat menimbulkan akibat hukum. Dalam kasus ini, terdakwa melakukan tindak pidana kekerasan psikis dalam rumah tangga yang mengakibatkan terganggunya psikis korban, sebagaimana yang diperkuat dengan surat dakwaan dari jaksa penuntut umum yang telah dibenarkan oleh terdakwa.

Majelis hakim mempertimbangkan fakta perbuatan yang dilakukan dan kejadian yang terjadi, yaitu bahwa terdakwa melakukan kekerasan secara psikis terhadap korban. Selain itu, terdakwa juga telah membenarkan dakwaan yang disampaikan oleh penuntut umum.

Berdasarkan alat bukti yang mendukung, seperti keterangan saksi dan terdakwa, barang bukti, dan hasil pemeriksaan psikologi atas nama korban, Majelis hakim menyimpulkan bahwa proses pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

Majelis hakim menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh terdakwa tidak patut, karena terdakwa tidak dapat menerima situasi dan kondisi korban sebagai seorang suami. Hal ini tercermin dari tuntutan terdakwa untuk segala sesuatu menjadi sempurna secara instant, yang akhirnya membebani korban dan mengakibatkan tekanan psikis yang sulit dipahami oleh terdakwa sebagai seorang istri yang seharusnya mendukung karier suaminya.

Dalam penilaian majelis hakim, situasi dan kondisi korban yang terkait dengan masa depannya dan keluarganya seharusnya tidak menjadi halangan bagi terdakwa untuk memahami korban. Sebaliknya, terdakwa harus memahami dan mendukung kondisi korban agar tidak terjadi konflik yang lebih dominan dan mengakibatkan gangguan psikis yang sulit diatasi oleh korban. Oleh karena itu, Majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana kekerasan psikis dalam rumah tangga, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dalam putusan Perkara Nomor 256/Pid.Sus/2021/PN.Kwg, terdapat perbedaan dalam pembuktian antara tindakan kekerasan psikis pada korban yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dengan tindakan kekerasan fisik. Pembuktian kekerasan fisik memiliki bukti yang jelas dan terlihat, seperti keterangan saksi dan visum et repertum. Namun, pembuktian kekerasan psikis sulit dilakukan karena sifatnya yang tidak terlihat secara fisik, melainkan dirasakan oleh korban secara batin dan jiwa.

Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menggunakan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 ayat (3) tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Maria Oktavia yang melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga. Hakim menggunakan 2 alat bukti yang sah, yaitu keterangan terdakwa dan keterangan para saksi lainnya. Namun, terkait dengan bukti surat yang menerangkan keadaan psikis saksi Chan Yung Ching, hakim mempertimbangkan bahwa seorang ahli atau orang yang membuat surat seharusnya dihadirkan didepan persidangan sehingga bisa memberikan penjelasan atau keterangan secara langsung atau menyeluruh.

Melalui perbandingan situasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim dalam putusan perkara tersebut telah mempertimbangkan pertimbangan yuridis berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang bukti dan Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Hal ini menunjukkan bahwa pembuktian tindakan kekerasan psikis dalam rumah tangga memerlukan proses pembuktian yang lebih kompleks dan bergantung pada keterangan para saksi serta alat bukti lainnya yang sah.

Pertimbangan Sosiologis (Non Yuridis)

Dalam konteks penegakan hukum, faktor-faktor sosiologis menjadi penting dalam menjatuhkan putusan hakim. Faktor-faktor tersebut antara lain latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimbulkan, kondisi diri terdakwa, keadaan ekonomi, lingkungan keluarga terdakwa, dan faktor agama. Keadaan diri terdakwa dalam dimensi sosial menjadi fokus penting dalam analisis sosiologis.

Dalam Putusan Hakim Perkara Nomor Perkara Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Kwg, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Faktor sosiologis seperti keadaan diri terdakwa menjadi hal yang memberatkan atau meringankan. Dalam hal ini, perbuatan terdakwa yang menyebabkan korban tertekan secara psikis dianggap sebagai hal yang memberatkan, sementara terdakwa yang masih muda dan belum pernah dihukum dianggap sebagai hal yang meringankan.

Dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, Majelis Hakim harus mempertimbangkan aspek sosiologis. Pada Putusan Hakim Perkara Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Kwg, hakim memutuskan pidana penjara selama dua bulan kepada terdakwa yang melakukan kekerasan psikis. Meskipun pidana ini lebih rendah dari ancaman pidana maksimal, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa sehingga memutuskan pidana penjara yang sesuai dengan keadaan terdakwa [6].

Pertimbangan Filosofis

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri merupakan fenomena sosial yang kompleks dan melibatkan berbagai faktor penyebab. Secara umum, faktor-faktor yang memicu terjadinya tindakan kekerasan tersebut adalah pengaruh alkohol atau obat-obatan, kesehatan mental yang terganggu, dan stres atau frustasi. Selain itu, perilaku istri juga dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dari suami. Beberapa perilaku istri yang dianggap dapat menyebabkan tindakan kekerasan suami antara lain adalah faktor ekonomi yang rendah, adanya pihak ketiga, kurangnya penghormatan istri terhadap suami, istri keluar rumah tanpa izin dari suami, rendahnya tingkat pendidikan suami, dan kelainan mental suami [7].

Adanya faktor-faktor penyebab tersebut menunjukkan bahwa tindakan kekerasan suami terhadap istri merupakan sebuah permasalahan yang rawan terjadi. Oleh karena itu, tindakan kekerasan tersebut harus mendapat perhatian ekstra dari seluruh lapisan masyarakat, karena dapat memungkinkan terjadinya kejahatan lain yang lebih serius. Pendidikan dan kesadaran sosial perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat memahami betapa pentingnya menghindari tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

Penanganan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan dengan tegas dan sesuai dengan hukum yang berlaku, serta mempertimbangkan berbagai aspek, baik dari sisi yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku harus sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan dan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pelaku, seperti latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan kesehatan mental. Dalam hal ini, peran aparat penegak hukum menjadi sangat penting dalam menegakkan keadilan bagi korban tindakan kekerasan dan masyarakat secara umum [8].

Disparitas Putusan Hakim pada Kasus Kekerasan Psikis dalam Rumah Tangga

Disparitas pidana merupakan perbedaan atau jarak dalam penjatuhan pidana terhadap terpidana dalam kasus yang sama atau hampir sama tingkat kejahatannya, baik itu dilakukan bersama-sama maupun tidak tanpa dasar yang dapat dibenarkan. Harkristuti Harkrisnowo menyatakan bahwa disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, yaitu antara tindak pidana yang sama, antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama, pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim, dan antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

Dua faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas putusan hakim adalah faktor hukum dan faktor hakim. Faktor hukum terkait dengan kebebasan hakim dalam memilih jenis pidana yang dikehendaki sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. Faktor penyebab disparitas pidana yang bersumber dari hakim meliputi sifat internal dan eksternal yang sulit dipisahkan, karena terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai human equation atau personality of judge dalam arti luas menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, dan perilaku sosial.

Sebagai contoh, penelitian menunjukkan adanya disparitas putusan hakim terhadap dua kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga. Meskipun kedua kasus memiliki faktor-faktor yang hampir sama, namun putusan hakim berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa faktor hukum dan faktor hakim dapat mempengaruhi terjadinya disparitas pidana. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas pidana guna mengurangi kesenjangan dalam penjatuhan pidana.

Putusan Nomor 161/Pid.Sus/2020/Pn.Kwg

Pada kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga yang melibatkan Terdakwa Maria Oktavia dan saksi Girindra Kayog Iswara, Terdakwa dan saksi tersebut menikah dan tinggal bersama di Inggris sampai Desember 2016 untuk menyelesaikan program Sarjana Tingkat 2. Setelah itu, Terdakwa dan anaknya tinggal bersama saksi Girindra Kayog Iswara di Jakarta Selatan dari April 2017 hingga 15 Februari 2018. Selama berrumah tangga, sering terjadi percekcokkan yang menyebabkan kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh Terdakwa terhadap saksi Girindra Kayog Iswara. Hal tersebut terjadi karena Terdakwa merasa nafkah yang diberikan oleh saksi Girindra Kayog Iswara tidak mencukupi kebutuhan Terdakwa dan anaknya, serta adanya kecemburuan Terdakwa terhadap saksi Girindra Kayog Iswara yang suka berkumpul dengan teman kuliah atau teman bekerjanya di Inggris.

Sering terjadinya kekerasan fisik dan psikis oleh Terdakwa kepada saksi Girindra Kayog Iswara dihadapan keluarga saksi tersebut juga dilakukan meskipun saksi tersebut mengidap ADHD atau gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Pada 24 Maret 2018, saksi Girindra Kayog Iswara dan orang tuanya mengunjungi rumah orang tua Terdakwa di Karawang dengan tujuan meminta izin untuk membawa anaknya jalan-jalan ke Mall Karawang, namun ketika saksi tersebut menggendong anak Terdakwa, ayah Terdakwa menuduhnya sebagai penculik sehingga saksi Girindra Kayog Iswara akhirnya dipukul oleh ayah Terdakwa dan oleh warga hingga terjatuh. Kejadian tersebut akhirnya dilaporkan oleh saksi Girindra Kayog Iswara kepada pihak kepolisian.

Mendapat informasi dari Deni Firman bahwa Terdakwa tidak bersedia untuk menyerahkan anaknya, proses penjemputan tidak dapat dilakukan karena Terdakwa harus mendapatkan ijin dari kuasa hukumnya. Saksi Girindra Kayog Iswara semakin putus asa untuk bertemu dengan anaknya dan mengalami tekanan psikis. Akhirnya, saksi Girindra Kayog Iswara melaporkan perbuatan Terdakwa kepada kantor Unit I Subdit IV Ditreskimum Polda Jabar.

Dalam perkara ini, terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan dakwaan melanggar Pasal 45 Ayat (2) Jo. Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Majelis hakim dalam pertimbangannya memperhatikan unsur “Setiap Orang” yang merupakan subjek hukum atau pendukung hak dan kewajiban, baik itu pribadi kodrati (perseorangan) yang sehat jasmani dan rohani, maupun badan hukum (koorporasi), serta dimaksudkan untuk menghindari kesalahan subjek dalam suatu perkara pidana. Dari fakta persidangan, terdakwa telah dihadapkan dengan data identitas yang tidak disangkal, sehingga majelis hakim menyimpulkan bahwa terdakwa adalah subjek hukum pribadi kodrati yang sehat jasmani serta rohani.

Majelis hakim kemudian mempertimbangkan dakwaan pertama, yaitu “Melakukan Perbuatan Kekerasan Psikis dalam Lingkup Rumah Tangga dengan cara Kekerasan Psikis”. Kekerasan psikologis dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disebut sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Majelis hakim menilai proses pembuktian JPU telah sesuai dengan amanat Undang-Undang, dan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan ahli, serta hasil pemeriksaan psikologi atas nama korban, terdakwa telah melakukan tindakan yang tidak pantas terhadap korban sebagai seorang suami, yang bertentangan dengan tujuan membangun kesepahaman dan saling menerima satu sama lain dalam rumah tangga.

Dengan demikian, Majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dan merugikan korban secara psikologis. Oleh karena itu, Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pertimbangan hukum serta sifat dan tingkat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.

Pernikahan diartikan sebagai sebuah pilihan yang bebas untuk memilih pasangan yang dapat saling berinteraksi dan berpikir sehingga dapat membahagiakan satu sama lain berdasarkan rasa cinta dan saling memberi. Dalam hal ini, Majelis Hakim menilai Terdakwa tidak dapat menerima situasi dan kondisi, terutama dalam hal finansial korban yang masih memperjuangkan masa depannya yang sangat terkait dengan dirinya dan keluarganya. Tuntutan untuk kesempurnaan dalam waktu yang singkat yang dilakukan oleh Terdakwa mengakibatkan situasi korban sebagai seorang suami menjadi sebuah beban yang berefek pada kekhawatiran korban terhadap masa depan rumah tangganya, serta berujung pada kecemasan dan ketidakmampuan untuk berpikir secara realistis sehingga tekanan yang dihadapi korban menjadi penyebab konflik yang tidak dapat dipahami oleh Terdakwa sebagai seorang istri yang harus mendukung karier suami. Kemampuan dan keterbatasan korban seharusnya bukanlah sebuah halangan bagi Terdakwa untuk memahami korban, sebaliknya, hal tersebut justru membuat situasi menjadi semakin konflik yang sulit diatasi sehingga korban mendapatkan tekanan dari lingkungan yang dominan. Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, tekanan tersebut mempengaruhi dan mengurangi kualitas hidup korban baik secara sosial, akademik, maupun pekerjaan sehingga unsur ini telah terpenuhi.

Dalam hal ini, terbukti bahwa tekanan tersebut dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan, mata pencaharian, atau kegiatan sehari-hari. Hal ini didasarkan pada pengakuan Terdakwa dan keterangan saksi (korban) yang sepakat untuk membina hubungan yang lebih jauh setelah sebelumnya berkenalan melalui media sosial dan proses saling mengenal yang dilakukan oleh keduanya wajar dan normal sehingga terlahir buah cinta mereka, seorang bayi laki-laki yang diberi nama Darren Dharmawangsa. Keduanya berhasil melewati proses tersebut sehingga sah menjadi sepasang suami istri yang secara legal tercatat berdasarkan Akta Nikah No. 0036/036/I/2016 tanggal 15 Januari 2016. Meskipun korban tertekan secara psikis, namun hal tersebut tidak menyebabkan korban berhenti dari tanggung jawab dan usahanya sebagai seorang suami dan ayah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya, bahkan korban masih menerima bantuan dari kedua orangtuanya yang seharusnya ditafsirkan sebagai kasih sayang orang tua untuk anak mereka.

Selanjutnya, dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, dapat disimpulkan bahwa Terdakwa melakukan kekerasan psikis terhadap korban, yang merupakan suami Terdakwa, dengan cara menyalahkan dan menghina korban, serta seringkali melakukan kekerasan fisik seperti mencubit, memukul, dan menampar. Perilaku Terdakwa tersebut mengakibatkan korban merasa takut, kehilangan rasa percaya diri, dan merasa tidak berdaya dalam melaksanakan kewajiban sebagai suami dan ayah. Selain itu, korban juga mengalami gangguan psikis yang cukup berat. Oleh karena itu, unsur yang kedua dari dakwaan yaitu bahwa kekerasan yang dilakukan tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan, atau kegiatan sehari-hari juga telah terpenuhi. Dengan demikian, Terdakwa dapat dinyatakan bersalah atas dakwaan yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku [8].

Putusan Nomor 256/Pid.Sus/2021/PN.Kwg

Dalam perkara yang diajukan ke pengadilan, terdakwa Valency dan korban Chan Yung Ching telah terlibat dalam peristiwa pidana tindak kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga. Persidangan menghadirkan fakta-fakta bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan kekerasan psikis pada korban, seperti sering marah dan mengatakan kata-kata kasar, bahkan meminta agar perusahaan milik korban dipindah namakan menjadi milik terdakwa. Sebagai akibat dari kekerasan psikis yang dialami, korban mengalami gangguan kecemasan, stress berat dan gejala psikotix yang memerlukan pengobatan rutin [9].

Dalam kasus ini, unsur setiap orang hanya terpenuhi dengan pengajuan bahwa terdakwa yang dihadapkan dalam persidangan adalah orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Namun, hakim memutuskan bahwa terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan unsur setiap orang telah terpenuhi menurut hukum. Terkait dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, hakim menimbang bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yang merupakan pelanggaran terhadap Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

Berdasarkan Pasal 2 UU PDKRT, ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga mencakup suami, isteri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Oleh karena itu, Pasal 3 UUPDKRT menegaskan bahwa setiap korban harus dilindungi dengan prinsip penghormatan HAM, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi, dan perlindungan korban. Meskipun fakta persidangan menunjukkan ketidakpercayaan hakim terhadap korban mendapatkan kekerasan psikis, terdakwa tidak terbukti memenuhi unsur Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 5 huruf b UU PDKRT sehingga tidak terbukti secara sah [10].

Namun, penulis menemukan disparitas pemidanaan dalam kasus ini. Terdakwa, seorang istri yang melakukan kekerasan psikis terhadap suaminya, dinyatakan tidak terbukti secara sah, sedangkan dalam kasus sebaliknya, yakni suami yang melakukan kekerasan fisik terhadap istri, telah terbukti melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa hakim memiliki kebebasan dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila [9].

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keyakinan hakim memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan vonis dalam suatu putusan. Untuk mempertimbangkan berat ringannya vonis, hakim harus mampu menguji kebenaran dan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Oleh karena itu, peran hakim dalam menentukan fakta-fakta untuk mengungkapkan kebenaran dari peristiwa pidana yang terjadi memerlukan sikap moral yang tinggi dan kemampuan yang baik dalam mengolah setiap keterangan-keterangan. Sebagai penentu vonis, hakim memiliki tanggung jawab yang besar dan harus memastikan bahwa keputusan yang diambil adil dan sesuai dengan peraturan hukum. Seperti yang terjadi pada kasus pidana kekerasan dalam rumah tangga, terjadinya disparitas putusan tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena hakim memiliki pertimbangan masing-masing dan terdakwa juga memiliki peran yang mempengaruhi terjadinya disparitas putusan.

Meskipun demikian, terjadinya disparitas putusan dalam perkara pidana kekerasan dalam rumah tangga harus tetap diperhatikan. Terdapat faktor-faktor yang dapat memengaruhi putusan hakim, seperti keleluasaan hakim dalam menentukan vonis berdasarkan pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, proses peradilan yang berbeda, dan fakta serta bukti yang disajikan dalam persidangan. Implikasi dari terjadinya disparitas putusan adalah perlunya meningkatkan kepekaan dan pemahaman hakim terhadap Undang-Undang KDRT sebagai lex spesialis dalam menangani kasus-kasus KDRT. Hal ini penting untuk memastikan bahwa putusan yang diambil oleh hakim selalu adil dan sesuai dengan peraturan hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan yang tepat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga.

Simpulan

Pada kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga yang terjadi pada kasus pertama (Nomor 161/Pid.Sus/2020/PN.Kwg) dan kasus kedua (256/Pid.Sus/2021/PN.Kwg), terdapat perbedaan putusan hakim yang dijatuhkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti keleluasaan hakim dalam menentukan putusan, proses peradilan yang berbeda, serta fakta dan bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Namun, pada dasarnya, hakim mempertimbangkan tiga aspek konsep dasar pemikiran dalam pengambilan keputusan, yaitu pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Meskipun terdapat perbedaan putusan, hakim telah memutuskan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Implikasi dari perbedaan putusan hakim dalam kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga adalah perlunya kesadaran akan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum, khususnya dalam hal penanganan kasus KDRT. Diperlukan pula kepekaan dan pemahaman yang baik dari para hakim terhadap Undang-Undang KDRT agar dapat memutuskan secara tepat dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menghindari perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan upaya pencegahan terhadap tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga.

References

  1. J. Gray, Children Are from Heaven, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000.
  2. M. Ismail, Miftahul Ulum, Moh Mujibur Rohman, and Mohsi Mohsi, "Taqnin al-Ahkam (Telaah Sejarah Legislasi Hukum Perdata Islam dalam Hukum Nasional Indonesia)," Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, vol. 6, no. 1, pp. 85-109, 2020.
  3. A. Ismail, Atika, and Susiana Kifli, "Urgensi Pembaharuan Hukum Perdata di Indonesia," Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 7, no. 1, pp. 113-131, 2022.
  4. A. M. O. Manopo, "Putusnya Perkawinan Beserta Akibat Hukumnya Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974," Lex Privatum, pp. 161-162, 2018.
  5. Y. Nurhayati, Ifrani Ifrani, and M. Yasir Said, "Metodologi Normatif dan Empiris dalam Perspektif Ilmu Hukum," Jurnal Penegakan Hukum Indonesia, vol. 2, no. 1, pp. 1-20, 2021.
  6. M. Yusuf, M. Y., "Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Anak," Jurnal Al-Bayan: Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah, vol. 20, no. 1, 2014.
  7. R. I. Tektona, "Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak Korban Perceraian," Muwazah, vol. 4, no. 1, 2013.
  8. U. Hasanah, "Pengaruh Perceraian Orangtua Bagi Psikologis Anak," Agenda: Jurnal Analisis Gender dan Agama, vol. 2, no. 1, pp. 18-24, 2020.
  9. S. R. W. Hendi, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
  10. M. S. T. A. Y. Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.