Administrative Law
DOI: 10.21070/jihr.v10i0.975

Implementing Pancasila Economic System through BUMDes: A Legal Analysis on Desa Empowerment and Indonesia's Legal Framework


Menerapkan Sistem Ekonomi Pancasila melalui BUMDes: Analisis Hukum tentang Pemberdayaan Desa dan Kerangka Hukum Indonesia

Fakultas Hukum, Universitas Pendidikan Nasional, Denpasar
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Pendidikan Nasional, Denpasar
Indonesia

(*) Corresponding Author

Pancasila economic system BUMDes practices Desa empowerment Legal framework Fair distribution

Abstract

This normative legal study aims to analyze the application of the Pancasila economic system in Desa through BUMDes. The research focuses on two legal issues: the urgency of implementing the Pancasila economic concept in Desa and constructing Indonesia's legal framework through BUMDes practices. The research results show that Desa requires empowerment and welfare improvement, making the implementation of the Pancasila economic system crucial. BUMDes is expected to implement the Pancasila values in its economic system and prioritize fair distribution of economic resources and community welfare. The legal construction of Indonesia through BUMDes practices can be done by adopting Pancasila economic values and principles of kinship and cooperation. The implication of this study is to encourage policymakers to promote the implementation of the Pancasila economic system and BUMDes practices in empowering Desa and constructing Indonesia's legal framework.
Highlights

  • Urgency of implementing Pancasila values in Desa for empowerment and welfare improvement.
  • BUMDes as a means to implement Pancasila economic system and prioritize fair distribution of resources.
  • Legal construction of Indonesia through adoption of Pancasila economic values and principles of kinship and cooperation.

Keywords: Pancasila economic system, BUMDes practices, Desa empowerment, Legal framework, Fair distribution.

Pendahuluan

Ekonomi desa merupakan salah satu aspek penting yang dapat memajukan sekaligus memberdayakan masyarakat desa[1]. Karakteristik masyarakat desa yang berjiwa komunal dan gotong royong membuat desa merupakan institusi sosial yang berjiwa sosialistik[2]. Hal ini berarti, pembangunan dan pemberdayaan ekonomi desa seyogyanya diarahkan pada orientasi dan karakteristik masyarakat desa yaitu bersifat komunalistik dan gotong royong[3]. Perekonomian desa yang seyogyanya dibangun dengan berdasarkan sifat komunalistik dan gotong royong khas masyarakat desa ini lah yang membuat konsepsi ekonomi Pancasila menjadi konsep yang relevan untuk diterapkan pada masyarakat desa.

Konsepsi ekonomi Pancasila sejatinya merupakan konsepsi yang menekankan pada ciri, corak, serta karakteristik masyarakat desa yang berjiwa sosial tinggi, gotong royong, serta masih mempertahankan tradisi dan aspek religiusitasnya[4]. Konsepsi ekonomi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan, konsepsi ekonomi Pancasila mengedepankan Pancasila sebagai dasar, landasan sekaligus sebagai pemandu (leistar) dalam mewujudkan kesejahteraan di desa melalui ekonomi desa[5]. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan ekonomi desa yang mampu menyejahterakan masyarakat desa sejatinya memiliki relevansi dengan konsepsi ekonomi Pancasila yang menekankan terimplementasikannya nili-nilai Pancasila dalam sistem ekonomi di desa[6].

Praktik sistem ekonomi Pancasila di tingkat desa sejatinya memiliki momentum pasca mulai didagaskannya pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)[7]. BUMDes yang pada awalnya diatur dalam Pasal 87 UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) kemudian dipertegas pengaturannya melalui Pasal 117 UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker)[8]. Perbedaan utama secara substantif antara ketentuan Pasal 87 UU Desa dengan Pasal 117 UU Ciptaker adalah adanya penekanan bahwa dalam UU Ciptaker BUMDes dapat membentuk unit usaha yang berbadan hukum. Penekanan sebagaimana dalam Pasal 117 UU Ciptaker sejatinya melengkapi susbtansi Pasal 87 UU Desa yang lebih menjelaskan aspek prinsipil dari BUMDes dengan karakter kegotongroyongan dan kekeluargaan.

Karakter kegotongroyongan dan kekeluargaan sebagai ciri utama dari BUMDes ini sejatinya relevan dengan gagasan sistem ekonomi Pancasila di tingkat desa yang juga menekankan substansi kekeluargaan, gotong royong, serta jiwa komunal sebagai sistem ekonomi yang khas pada masyarakat desa[9]. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah pada analisis mengenai penerapan konsepsi sistem ekonomi Pancasila di tingkat desa melalui BUMDes. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua isu hukum, yaitu: urgensi penerapan konsepsi ekonomi Pancasila di desa serta konstruksi cita hukum Indonesia melalui konsepsi ekonomi Pancasila dalam praktik BUMDes.

Penelitian yang membahas mengenai BUMDes sejatinya cukup lazim dilakukan, dalam hal ini diambil tiga penelitian terdahulu yang sering dijadikan tema dan pembahasan mengenai BUMDes khususnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu yang pertama dilakukan oleh Susiani, dkk. (2019) yang membahas mengenai peran BUMDes dalam upayanya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat[10]. Penelitian ini secara detail membahas mengenai perhitungan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah dilibatkannya BUMDes yang mana setelah dilibatkannya BUMDes maka pendapatan masyarakat desa menjadi naik dari sebelumnya. Penelitian terdahulu kedua yang dilakukan oleh Pradini (2020) yang berfokus pada analisis atas strategi pengembangan BUMDes dengan melibatkan partisipasi masyarakat[11]. Penelitian ini secara spesifik menyoroti pentingnya peran aktor internal dan eksternal di BUMDes yang turut menyukseskan strategi pengembangan BUMDes. Penelitian terdahulu yang ketiga dilakukan oleh Safitri (2021) yang berfokus pada analisis atas peran BUMDes dalam upayanya untuk memberdayakan masyarakat sekitar[12]. Penelitian ini secara komprehensif membahas peran, upaya, serta strategi yang dilakukan oleh BUMDes dalam memberdayakan masyarakat.

Dari ketiga penelitian terdahulu yang membahas mengenai BUMDes di atas, penelitian dengan fokus pada analisis mengenai penerapan konsepsi sistem ekonomi Pancasila di tingkat desa melalui BUMDes belum dibahas secara spesifik dan komprehensif oleh ketiga penelitian sebelumnya sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal.

Metode

Penelitian ini dengan analisis terhadap implementasi konsepsi sistem ekonomi Pancasila di tingkat desa melalui BUMDes merupakan penelitian hukum normatif. Formulasi dasar dari penelitian hukum normatif adalah penelitian berbasis atas doktrin, kepustakaan, serta analisis pada produk hukum otoritatif seperti peraturan perundang-undangan[13][14]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah UUD NRI 1945, UU Desa, serta UU Ciptaker. Bahan hukum sekunder meliputi: artikel jurnal, website, laporan penelitian, buku, serta hasil kajian yang membahas mengenai sistem ekonomi Pancasila dan BUMDes. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa. Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara tiga tahap yaitu melalui inventarisasi bahan hukum, reduksi dan kompilasi bahan hukum sesuai dengan isu hukum dan rumusan masalah, serta tahap penyimpulan yaitu tahap akhir analisis dengan mencari preskripsi hukum atas isu hukum yang dihadapi[14]. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konsep dan perundang-undangan.

Pembahasan

Urgensi Penerapan Konsepsi Ekonomi Pancasila di Desa

Konsepsi ekonomi Pancasila sejatinya merupakan suatu konsep yang berupaya mendayagunakan sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai kehidupan kebangsaan yang salah satunya konsepsi ekonomi Pancasila berupaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam ranah atau bidang ekonomi[15]. Konsepsi ekonomi Pancasila sejatinya bukanlah istilah yang pertama kali menggunakan istilah Pancasila dalam pegembangan bidang tertentu. Di berbagai bidang, istilah Pancasila juga digunakan sebagai istilah yang mana diproyeksikan supaya nilai-nilai Pancasila diterapkan pada bidang-bidang tertentu. Istilah seperti demokrasi Pancasila yang cukup familiar di era orde baru contohnya yang mengidentifikasi bahwa demorkasi Pancasila adalah demokrasi yang mendasarkan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam praktiknya[16]. Contoh lainnya adalah pada istilah negara hukum Pancasila yang diantaranya didiseminasikan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam satu rangkaian dengan gagasan teori hukum pembangunan[17].

Istilah konsepsi ekonomi Pancasila memiliki orientasi yang senada dengan penggunaan istilah Pancasila pada masing-masing bidang lainnya. Hal ini juga sebagai komitmen dari berbagai bidang untuk mencoba menerapkan nilai-nilai Pancasila yang selain berkedudukan sebagai ideologi negara juga berkedudukan sebagai cita hukum negara[18]. Digunakannya istilah Pancasila di berbagai bidang tersebut sejatinya menegaskan bahwa Pancasila memiliki relevansi untuk diterapkan di berbagai bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terdapat tiga relevansi Pancasila dikaitkan dengan berbagai upaya implementasinya di berbagai bidang yaitu: pertama, Pancasila sejatinya merupakan kristalisasi nilai-nilai kebangsaan yang telah terkulminasi jauh sebelum Indonesia merdeka, sehingga penerapan Pancasila dalam berbagai bidang merupakan upaya untuk menerapkan nilai dan karakter khas keindonesiaan dalam berbagai bidang tertentu[19]. Sebagai kristalisasi nilai yang ada, nilai Pancasila tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan peradaban di Nusantara. Hal ini mengindikasikan bahwa substansi nilai Pancasila sejatinya telah mendahului berdirinya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945[20].

Pancasila yang berkarakter sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur pada masyarakat Indonesia tersebut merupakan generalisasi atas masing-masing nili luhur yang berkembang di masyarakat[21]. Generalisasi atas masing-masing nili luhur yang berkembang di masyarakat tersebut kemudian digali aspek prinsipilnya untuk kemudian dirumuskan dan diformulasikan sebagai nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila. Hal ini menegaskan bahwa sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur pada masyarakat, nilai-nilai Pancasila seyogyanya tidak terbatas pada sejumlah lima nilai dalam sila Pancasila, akan tetapi sejumlah lima nilai dalam sila Pancasila tersebut merupakan nilai yang bersifat general dari hasil konstruksi atas nilai-nilai luhur yang hidup, tumbuh, dan berkembang di masyarakat[22].

Kedua, Pancasila memiliki karakter sebagai cita hukum negara (rechtsidee) yang bermakna bahwa setiap kegiatan atau aktivitas yang menyangkut bidang kebangsaan dan kenegaraan maka harus didasarkan pada nilai Pancasila sebagai cita hukum tersebut[23]. Gagasan Pancasila sebagai cita hukum negara sejatinya merupakan kelanjutan dari gagasan Pancasila sebagai dasar fundamen filsafat yang telah mengakar dalam identitas dan sanubari masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai philosophische grondslag yang mana kelima nilai dalam Pancasila sejatinya merupakan “perasan” dari berbagai nilai dan karakter luhur bangsa Indonesia[24]. Pasca diproklamasikannya Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan terbentuknya negara Republik Indonesia, maka gagasan philosophische grondslag yang masih bersifat abstrak berkembang menjadi gagasan cita hukum negara (rechtsidee) yang bersifat lebih mendasar karena menjadi pedoman praksis dalam berbagai aktivitas kenegaraan dan kebangsaan[25]. Dalam kaitannya dengan cita hukum negara (rechtsidee) ini, maka diupayakan bahwa setiap bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada Pancasila dengan menggali sekaligus memiliki komitmen untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam amsing-masing bidang tersebut[26].

Ketiga, pada perkembangan yang lebih lanjut, nilai Pancasila juga berkedudukan sebagai living ideology. Living ideology secara harfiah bermakna sebagai ideologi yang hidup yaitu nilai Pancasila memiliki karakteristik sebagai makhluk hidup yang dapat tumbuh, berkembang, serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman[27]. Konsepsi Pancasila sebagai living ideology ini hendak mempertegas Pancasila bukan sebagai dogma, tetapi menjadikan nilai Pancaila sebagai cita kehidupan kebangsaan yang harus selalu digali serta dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Dari ketiga aspek relevansi nilai Pancasila dengan orientasi implementasinya dalam berbagai bidang di atas, dapat disimpulkan bahwa karena Pancasila merupakan kristalisasi nilai kebangsaan, sebagai cita hukum serta sebagai ideologi yang terus hidup dan tumbuh menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka berbagai bidang yang memiliki kaitan dengan aspek kenegaraan dan kebangsaan harus mendasarkan pada nilai Pancasila. Salah satu bidang yang harus mendasarkan sekaligus menggali nilai-nilai Pancasila dalam penerapannya adalah bidang ekonomi.

Bidang ekonomi sejatinya merupakan bidang yang memiliki kaitan secara langsung dengan aspek kenegaraan dan kebangsaan[28]. Hal ini dikarenakan hampir semua aspek kenegaraan dan kebangsaan membutuhkan peran ekonomi dalam penyelenggaraannya. Sukarno dalam sidang BPUPK sering menyebutkan bahwa salah satu orientasi kemerdekaan Indonesia adalah mewujudkan suatu social rechtsvaardigheid yaitu suatu tata sosial masyarakat Indonesia yang mana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang “cukup sandang, pangan, dan papan” dalam memenuhi serta menjalani kehidupannya[29]. Orientasi gagasan Sukarno berupa social rechtsvaardigheid sebagai salah satu cita kemerdekaan Indonesia sejatinya hanya dapat terwujud dengan mengoptimalkan aspek ekonomi. Aspek ekonomi tidak hanya menekankan pada kumulasi keuntungan yang kemudian dikuasai dan dimiliki oleh segelintir kelompok, tetapi aspek ekonomi juga menekankan pada distribusi sumber daya ekonomi untuk memberdayakan masyarakat yang lemah[30].

Moh. Hatta menanggapi gagasan Sukarno mengenai social rechtsvaardigheid sebagai salah satu cita kemerdekaan Indonesia juga menuturkan bahwa orientasi ekonomi Indonesia hendaknya didasarkan pada sifat dan karakter kekeluargaan yang bukan berfokus pada penguasaan sumber daya ekonomi melainkan pemerataan ekonomi secara adil dan proporsional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat[29]. Dari pandangan Moh. Hatta dan Sukarno di atas, dapat dilihat bahwa bidang ekonomi merupakan bidang yang strategis tentunya dalam upayanya untuk menopang serta menunjang berbagai kegiatan kenegaraan yang bertujuan untuk mengimplementasikan tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945[31].

Pentingnya bidang ekonomi dalam penyelenggaraan kehidupan dan kenegaraan di atas sejatinya menegaskan pentingnya bidang ekonomi untuk disesuaikan dengan cita hukum Pancasila. Terdapat tiga argumentasi yang menegaskan mengapa pentingnya bidang ekonomi untuk dapat dijalankan dan dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu: pertama, karakteristik kegiatan ekonomi pada utamanya adalah menekankan pada pencarian keuntungan sebesar-besarnya. Pencarian keuntungan sebesar-besarnya ini harus dibingkai oleh nilai moral tertentu (dalam hal ini nilai Pancasila) supaya pencarian keuntungan sebesar-besarnya tidak menjadi sarana penindasan satu pihak kepada pihak lain[32]. Selain itu, pentingnya nilai Pancasila sebagai dasar dan pemandu kegiatan ekonomi juga diorientasikan supaya kegiatan ekonomi dapat memiliki upaya untuk melakukan distribusi sumber daya ekonomi sehingga memiliki tujuan untuk menyejahterakan seluruh masyarakat Indonesia[33].

Kedua, pada perkembangannya konsep dan perkembangan ekonomi selalu dipengaruhi dan memiliki identifikasi dengan negara-negara di barat (khususnya negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat). Fenomena globalisasi serta revolusi industri 4.0 turut serta menjadikan “paradigma barat” sebagai paradigma utama dalam sistem perekonomian dunia[34]. Hal ini berarti, perkembangan sistem perekonomian di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman juga akan terpengaruh oleh konsep dan praktik perekonomian yang dilakukan oleh negara-negara di barat. Pengaruh konsep, sistem, serta praktik perekonomian di negara barat secara masif dan tanpa filter justru berpotensi mereduksi susbtansi ekonomi nasional yang berdasarkan nilai-nilai keindonesiaan yang masih hidup dan tumbuh di masyarakat[35]. Oleh karena itu, pentingnya nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam praktik perekonomian nasional sejatinya didasarkan pada relevansi perkembangan ekonomi terkini yang semakin menunjukkan pengaruh sistem perekonomian barat yang dapat mengancam identitas dan karakteristik ekonomi Indonesia berdasarkan Pancasila.

Ketiga, fenomena perkembangan teknologi juga semakin meningkatkan ranah dan ruang praktik perekonomian yang tidak hanya berlangsung di dunia aktual (dunia fisik) tetapi juga merambah pada dunia virtual yaitu dunia digital yang mana manusia saling bertatap maya melakukan transaksi ekonomi[36]. Fenomena aktivitas perekonomian manusia yang dilangsungkan hanya secara “tatap maya” ini berpotensi menimbulkan dekadensi praktik ekonomi yang merugikan salah satu pihak, seperti: adanya kejahatan siber, ancaman data pribadi, hingga berbagai tindak kriminal yang menyebabkan kerugian salah satu pihak dalam transaksi ekonomi. Fenomena perkembangan teknologi tersebut mengisyaratkan bahwa praktik ekonomi (khususnya yang dilangsungkan secara digital) juga harus mengadopsi, menerapkan, sekaligus mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila supaya nilai-nilai Pancasila dapat memandu dan menuntun praktik ekonomi digital pada nilai-nilai kemanusiaan yang mana nilai kemanusiaan merupakan salah satu nilai dalam Pancasila[37].

Dari ketiga argumentasi pentingnya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam praktik ekonomi di atas, maka konstruksi mengenai nilai-nilai Pancasila dalam praktik ekonomi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, orientasi serta upaya untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam konsep dan praktik ekonomi Indonesia lazim disebut sebagai sistem ekonomi Pancasila. Meskipun gagasan sistem ekonomi Pancasila baru mencuat di Indonesia pada kurun tahun 1960-1970-an ketika Mubyarto dan Emil Salim memaparkan gagasannya mengenai ekonomi Pancasila, namun semenjak Indonesia merdeka orientasi dan gagasan untuk mewujudkan sistem ekonomi Pancasila sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1947 denngan pendirikan Departemen Perekonomian Nasional yang kemudian diubah menjadi Badan Pembangunan Perekonomian Nasional[28]. Meski pada tahun belum terdapat istilah resmi mengenai “sistem ekonomi Pancasila” namuh orientasi untuk mewujudkan ekonomi nasional yang kukuh, memajukan kesejahteraan umum, meningkatkan ketahanan nasional, serta berupaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka secara substantif sejatinya konsepsi sistem ekonomi Pancasila sudah mulai digalakkan pada tahun 1947[38].

Perkembangan gagasan mengenai sistem ekonomi Pancasila berkembang pada tahun 1969 ketika Emil Salim memaparkan gagasannya dengan judul, “Ekonomi Pancasila”. Ekonomi Pancasila dalam pandangan Emil Salim merupakan sistem ekonomi yang bergerak seperti bandul, yaitu bergerak dari sisi kiri ke kanan yang kemudian mencapai pada titik keseimbangan[39]. Metafora dari Emil Salim yang mengidentikkan sistem ekonomi nasional seperti bandul tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan perang ideologis (perang dingin) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada kurun tahun 1960-1970-an yang mana masing-masing merepresentasikan ideologi kanan (kapitalis-liberali) dan ideologi kiri (komunis). Ekonomi Pancasila dalam pandangan Emil Salim bergerak dari “kiri ke kanan” maksudnya tetap mempertahankan aspek sosialistiknya sebagaimana dalam rumusan Pasal 33 UUD NRI 1945 tetapi di sisi lain juga harus aktif dan ikut dalam persaingan global berupa pasar bebas[40]. Selain bergerak dari “kiri ke kanan”, perekonomian Indonesia juga harus “mencapai pada titik keseimbangan” yang artinya tidak terpengaruh oleh pandangan sistem ekonomi kanan (kapitalis-liberali) dan kiri (komunis), tetapi menunjukkan identitas perekonomian nasional yang mengdopsi beberapa nilai ekonomi kanan (kapitalis-liberali) dan kiri (komunis) tetapi dengan tetap memfilter dan menyesuaikan dengan karakteristik sistem perekonomian Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Gagasan sistem ekonomi Pancasila kian berkembang pada tahun 1980-1981 saat Mubyarto secara resmi menggunakan istilah “sistem ekonomi Pancasila” dalam tulisan dan gagasan-gagasannya. Dalam pandangan Mubyarto, sistem ekonomi Pancasila merupakan kulminasi dari pandangan filosofis masyarakat Indonesia sebagai manusia yang merupakan homo economicus namun di sisi lain juga merupakan, homo ethicus dan homo socius[41]. Homo economicus merupakan kodrat dasar manusia sebagai makhluk yang selalu mendambakan keuntungan namun dalam sistem ekonomi Pancasila karakter homo economicus harus dibingkai dengan karakter homo ethicus dan homo socius[42]. Homo ethicus menekankan manusia sebagai makhluk yang bermoral serta menjunjung tinggi nilai-nilai etika serta homo socius menekankan upaya setiap manusia untuk saling tolong menolong serta saling gotong royong untuk membantu sesamanya[4]. Dari konstruksi sistem ekonomi Pancasila yang dikemukakan oleh Mubyarto di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Pancasila hendak menjadikan konsep dan praktik perekonomian di Indonesia adalah praktik ekonomi yang manusiawi serta berjiwa gotong royong. Karakter manusiawi dan gotong royong ini lah yang menjadi ciri utama sistem ekonomi Pancasila.

Dari uraian gagasan dari Emil Salim dan Mubyarto di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Pancasila memiliki lima nilai dasar yang meliputi:

  1. Sistem ekonomi digerakkan oleh praktik ekonomi yang dibatasi oleh nilai moral serta aturan-aturan dalam bingkai negara hukum;
  2. Aspek pemerataan (egalitarianisme) dan pemerataan distribusi ekonomi menjadi aspek penting supaya ekonomi dapat memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat;
  3. Kepentingan ekonomi secara nasional harus lebih diutamakan dan diprioritaskan dengan kepentingan ekonomi kelompok tertentu;
  4. Badan usaha ekonomi harus mendasarkan pada nilai koperasi yang mengedepankan pada usaha bersama dan karakter kekeluargaan; dan
  5. Perekonomian nasional yang ikut memberdayakan pihak atau kelompok lemah dan termarginalkan.

Dari kelima substansi sistem ekonomi Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Emil Salim dan Mubyarto di atas sejatinya juga menegaskan bahwa perlunya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi pada masyarakat desa melalui BUMDes. BUMDes sebagai lokomotif perekonomian di tingkat desa sejatinya merupakan badan yang memiliki orientasi untuk memberdayakan pihak atau kelompok lemah dan termarginalkan dalam aspek ekonomi[43]. Ekonomi desa tentu merupakan ranah ekonomi yang kecil dan minim modal tetapi orientasi sistem ekonomi Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Emil Salim dan Mubyarto di atas sejatinya menekankan pada perlunya peran BUMDes sebagai lokomotif perekonomian di tingkat desa yang merupakan impelmentasi dari sistem ekonomi Pancasila.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa urgensi penerapan konsepsi ekonomi Pancasila di desa karena desa merupakan institusi sosial terkecil dalam masyarakat yang butuh upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan. Selain itu, orientasi sistem ekonomi Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Emil Salim dan Mubyarto juga menekankan karakter memberdayakan pihak atau kelompok lemah dan termarginalkan. Hal ini memiliki relevansi dengan perlunya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi pada masyarakat desa melalui BUMDes. BUMDes diharapkan menjadi implementasi dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar sistem ekonomi Pancasila yang berjiwa kekeluargaan, menekankan pada distribusi sumber daya ekonomi secara patut, serta berorientasi pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Konstruksi Cita Hukum Indonesia Melalui Konsepsi Ekonomi Pancasila dalam Praktik BUMDES

Konsepsi ekonomi Pancasila di tingkat desa salah satunya terimplementasikan dalam praktik BUMDes. BUMDes sendiri sejatinya merupakan badan usaha di tingkat desa yang dikonstruksikan layaknya BUMN di tingkat nasional dan BUMD di tingkat daerah[44]. Orientasi pembentukan BUMDes adalah untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat desa sekaligus dapat memberdayakan perekonomian masyarakat desa yang salah satunya adalah berupa pengurangan jumlah pengangguran[45]. Secara yuridis, BUMDes diatur melalui Pasal 87 UU Desa dengan Pasal 117 UU Ciptaker. Dari kedua aturan tersebut, BUMDes dikonstruksikan dalam tiga aspek, yaitu: pertama, BUMDes merupakan badan usaha di tingkat desa yang berfungsi untuk memfasilitasi berbagai bentuk usaha di desa untuk diberdayakan secara bersama. Dalam konteks ini, BUMDes memiliki orientasi sosial-komunalistik, yaitu pemberdayaan ekonomi secara terpadu, terencana, serta partisipatif pada masyarakat desa[46].

Kedua, BUMDes dijalankan berdasarkan pada prinsip kekeluargaan dan gotong royong. Prinsip kekeluargaan dalam BUMDes sejatinya memiliki relevansi sebagaimana dalam ketentuan konstitusi Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menekankan bahwa basis perekonomian Indonesia didasarkan pada karakter kekeluargaan[47]. Semangat kekeluargaan ini dimaknai sebagai upaya untuk memberdayakan ekonomi secara bersama-sama pada masyarakat desa. Hal ini berarti, pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh BUMDes bersifat umum bagi seluruh komponen masyarakat desa dan tidak diperbolehkan adanya diskriminasi atau hal lain yang menyebabkan hilangnya kesempatan berpartisipasi dari satu kelompok pada kelompok lainnya di masyarakat desa[48]. Pada prinsip gotong royong, BUMDes dapat mengembangkan upaya untuk melakukan suatu “upaya pertolongan” bagi pihak-pihak tertentu yang lemah secara ekonomi untuk secara bersama-sama diberdayakan oleh BUMDes. Prinsip gotong royong dalam BUMDes menekankan pentingnya peran BUMDes untuk mengkoordinasikan sekaligus memberdayakan pihak-pihak tertentu yang lemah secara ekonomi[49].

Ketiga, BUMDes dapat membawahi unit usaha yang berbadan hukum. Konstruksi ketiga ini terdapat dalam rumusan Pasal 117 UU Ciptaker yang menekankan pada orientasi progresif BUMDes sebagai lembaga yang membawa desa pada pemberdayaan ekonomi untuk dapat bersaing baik dalam ranah lokal, nasional, regional, bahkan hingga internasional[50]. Orientasi BUMDes dapat membawahi unit usaha yang berbadan hukum ini sejatinya juga relevan dengan semangat UU Ciptaker yang di satu sisi mengkonstruksikan terbentuknya Perseroan Terbatas (PT) dari UMKM[51]. Hal ini menegaskan bahwa UU Ciptaker sejatinya mengkonstruksikan BUMDes dan desa untuk terus berpacu dan bersaing dalam aspek ekonomi yang tujuannya adalah untuk menyejahterakan masyarakat.

Dari ketiga konstruksi BUMDes sebagai amanat Pasal 87 UU Desa dengan Pasal 117 UU Ciptaker sejatinya juga merupakan bentuk pendayagunaan fungsi BUMDes untuk menyukseskan SDG’s Desa. Salah satu gagasan dari SDG’s Desa adalah desa tanpa kesenjangan dan upaya kemitraan untuk membangun produktivitas desa[52]. Hal ini sejatinya memiliki relevansi dengan peran BUMDes yaitu menjadi mitra masyarakat termasuk badan usaha berbadan hukum di tingkat desa untuk bersama-sama diberdayakan untuk menuju pada pembangunan produktivitas desa secara ekonomi.

Mengacu pada peran BUMDes di atas, sejatinya BUMDes dapat diarahkan pada konstruksi cita hukum Indonesia melalui konsepsi ekonomi Pancasila dalam praktik BUMDes sebagaimana dikemukakan oleh Emil Salim dan Mubyarto di atas, yaitu: BUMDes diorientasikan dapat membangun perekonomian desa dengan berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku, BUMDes diharapkan dapat meneguhkan aspek pemerataan distribusi ekonomi di tingkat desa, BUMDes harus menjunjung tinggi nilai koperasi yaitu prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan, serta BUMDes dioptimalkan untuk ikut memberdayakan pihak atau kelompok lemah dan termarginalkan.

Berdasarkan uraian di atas, konstruksi cita hukum Indonesia melalui konsepsi ekonomi Pancasila dalam praktik BUMDes dapat dilakukan dengan upaya yaitu BUMDes dalam praktiknya menjadikan konsepsi ekonomi Pancasila berbasis nilai-nilai Pancasila sebagai arah dan orientasi dalam menjalankan usahanya. Selanjutnya, BUMDes dalam praktiknya harus tetap berdasarkan pada prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan sekaligus BUMDes harus dioptimalkan untuk ikut memberdayakan pihak atau kelompok lemah dan termarginalkan.

Simpulan

Urgensi penerapan konsepsi ekonomi Pancasila di desa karena desa merupakan institusi sosial terkecil dalam masyarakat yang butuh upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan. Selain itu, orientasi sistem ekonomi Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Emil Salim dan Mubyarto juga menekankan karakter memberdayakan pihak atau kelompok lemah dan termarginalkan. Hal ini memiliki relevansi dengan perlunya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi pada masyarakat desa melalui BUMDes. BUMDes diharapkan menjadi implementasi dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar sistem ekonomi Pancasila yang berjiwa kekeluargaan, menekankan pada distribusi sumber daya ekonomi secara patut, serta berorientasi pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Konstruksi cita hukum Indonesia melalui konsepsi ekonomi Pancasila dalam praktik BUMDes dapat dilakukan dengan upaya yaitu BUMDes dalam praktiknya menjadikan konsepsi ekonomi Pancasila berbasis nilai-nilai Pancasila sebagai arah dan orientasi dalam menjalankan usahanya. Selanjutnya, BUMDes dalam praktiknya harus tetap berdasarkan pada prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan sekaligus BUMDes harus dioptimalkan untuk ikut memberdayakan pihak atau kelompok lemah dan termarginalkan.

References

  1. H. Sidik, “Meningkatkan peran adan usaha milik desa (BUMDes) sebagai penggerak ekonomi pedesaan di desa Langensari,” J. Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 4, no. 1, pp. 21–30, 2020.
  2. R. A. S. Dicky Eko Prasetio, “Optimalisasi Peran Pendidikan Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menghadapi Covid-19 Di Desa Sukorejo Kabupaten Bojonegoro,” Pelatihan, Pengembangan, dan Pengabdi. Masy., vol. 1, no. 2, p. 44, 2021.
  3. E. Rahmawati, “Analisis Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bum Desa) Di Kabupaten Bandung Barat,” J. Ilm. Ekon. Bisnis, vol. 25, no. 1, pp. 1–13, 2020, doi: 10.35760/eb.2020.v25i1.2386.
  4. M. A. Akbar and M. I. Ghufron, “Sinkronisasi Ekonomi Pancasila Dan Ekonomi Islam,” J. Masharif al-Syariah J. Ekon. dan Perbank. Syariah, vol. 4, no. 1, p. 38, 2019, doi: 10.30651/jms.v4i1.2868.
  5. D. Prasetyo and Hastangka, “Upaya Meningkatkan Pemahaman Epistemologis Pancasila di Perguruan Tinggi,” Integralistik, vol. 32, no. 2, pp. 61–69, 2020.
  6. R. F. E. Pradani, “Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Berbasis Potensi Lokal Sebagai Penggerak Ekonomi Desa,” JSEK J. Ekon. dam Stud. Kebijak., vol. 1, no. 1, pp. 14–23, 2020.
  7. A. Alfathanah, P. Pp, D. Setiawan, F. Herry, and W. Amnifu, “Sinergi BUMDes dan Perbankan Untuk Menciptakan Ekonomi Inklusif di Desa Studi Kasus : Desa Padaasih , Kabupaten Cianjur , Provinsi Jawa Barat,” J. Lemb. Ketahanan Nas., vol. 8, no. 2, p. 92, 2020.
  8. B. Harsono and H. Damar, “Inklusifitas Kepala Desa Dala Mendukung Penerimaan Negara Melalui Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Studi Di Desa Panggungharjo),” in Simposium Nasional Keuangan Negara, 2020, pp. 719–1115.
  9. N. Aeni, “Gambaran Kinerja Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Di Kabupaten Pati,” J. Litbang Provinsi Jawa Teng., vol. 18, no. 2, pp. 131–146, 2020.
  10. F. S. Eka Pariyanti, “Peranan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Nelayan Desa Sukorahayu Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur,” Fidusia Ilm. Keuang. dan Perbank., vol. 2, no. 2, pp. 1–12, 2019.
  11. R. N. Pradini, “Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Di Desa Kedungturi Kabupaten Sidoarjo,” J. Pemerintah. Dan Keamanan Publik, vol. 2, no. 1, pp. 57–68, 2020.
  12. N. S. Ce Mulya Rizki Anugrah, Fithri Suciati, “Peranan Badan Usaha Milik Desa Dalam Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Desa Sukajaya, Kabupaten Sukabumi,” J. Ilm. MEA, vol. 5, no. 3, pp. 1719–1728, 2021.
  13. D. O. Susanti and A. Efendi, Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
  14. I. M. P. Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke. Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
  15. D. Rahardjo, “Ekonomi Pancasila Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu.” ekonomikerakyatan.ugm.ac.id, Yogyakarta, 2021.
  16. B. Aswandi and K. Roisah, “Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Ham),” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 1, no. 1, p. 128, 2019, doi: 10.14710/jphi.v1i1.128-145.
  17. M. Z. Aulia, “Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma-atmadja: Mengarahkan Pembangunan atau Mengabdi pada Pembangunan?,” Undang J. Huk., vol. 1, no. 2, pp. 363–392, 2018.
  18. D. P. Dicky Eko Prasetio, Fradhana Putra Disantara, Nadia Husna Azzahra, “The Legal Pluralism Strategy of Sendi Traditional Court in the Era of Modernization Law,” Rechtsidee, vol. 8, no. 1, p. 4, 2021.
  19. I Dewa Gede Atmadja, “Legal Ideology on Social Justice Perspective,” J. Equity Law Gov., vol. 1, no. 2, pp. 158–163, 2021, doi: 10.55637/elg.1.2.4345.158-163.
  20. D. A. Setiawan, “The Implication of Pancasila Values on The Renewal of Criminal Law in Indonesia,” Unifikasi J. Ilmu Huk., vol. 5, no. 2, p. 58, 2018, doi: 10.25134/unifikasi.v5i2.948.
  21. Y. Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, 5th ed. Jakarta: Gramedia, 2015.
  22. Sudjito and T. Hariyanti, “Pancasila as a Scientific Paradigm for Studying Legal Pluralism in Indonesia: a Literary Perspective,” SHS Web Conf., vol. 54, no. 1, p. 02012, 2018, doi: 10.1051/shsconf/20185402012.
  23. F. P. Disantara, B. D. Anggono, and A. Efendi, “Mendudukkan Norma Etika: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat terhadap Relasi Etika dan Hukum,” Rechtsidee, vol. 10, no. 2, pp. 1–13, 2022, doi: 10.21070/jihr.v10i0.773.
  24. M. Mustamam, “The Position Of Pancasila In The Arrangement Of The Types And Hierarchy Of Laws,” Int. J. Business, Econ. Law, vol. 23, no. 1, pp. 453–454, 2020.
  25. A. E. Dyah Ochtorina Susanti, “Pancasila Dalam Teori Jenjang Norma Hukum Hans Kelsen,” Legis. Indones., vol. 18, no. 4, p. 518, 2021.
  26. C. M. I. S and T. Prasetyo, “Initiating Law Reform In Indonesia ( From The Dignified Justice Perspective,” S, C. M. I., Prasetyo, T. (2020). Initiat. Law Reform Indones. ( From Dign. Justice Perspect. 3, 14–25., vol. 3, no. 1, pp. 14–25, 2020.
  27. T. Prasetyo and T. A. Handayani, “Theory of Dignified Justice as A Legal Foundation of Law Reform in Indonesia,” Surakarta Law Soc. J., vol. 1, no. 1, pp. 46–54, 2018.
  28. E. Pranoto, “Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi Indonesia Berlandaskan Pada Nilai Pancasila Di Era Globalisasi,” J. Spektrum Huk., vol. 15, no. 1, p. 95, 2018.
  29. R. A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar: Memuat Salinan Dokumen Otentik Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan, 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
  30. M. Rohmah, “Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Melalui Pendidikan Ekonomi,” Util. J. Ilm. Pendidik. dan Ekon., vol. 3, no. 2, pp. 85–94, 2019.
  31. K. M. Kristian, A. N. Shoba, Anggun, and Feryanto, “Mi-Co (Millennial Cooperative): Solusi Rebranding Koperasi Era Milenial Menyongsong Bonus Demografi 2030,” J. Ilm. Akunt. dan Keuang., vol. 2, no. 2, pp. 199–221, 2020.
  32. D. Sabina, D. Anggraeni Dewi, and Y. Furi Furnamasari, “Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Implementasinya,” Pendidik. Tambusai, vol. 5, no. 3, pp. 9103–9106, 2021.
  33. M. M. Widhyartono, Arqom Kuswanjono, “Pemikiran Kedaulatan Ekonomi Sukarno dan Aspek Hukum dalam Ekonomi Pancasila,” Melayunesia Law, vol. 3, no. 1, p. 20, 2019.
  34. N. Fadilah, “Tantangan Dan Penguatan Ideologi Pancasila,” J. Digit. Educ. Commun. Arts, vol. 2, no. 2, pp. 66–78, 2019.
  35. M. S. Lia Kian, “Internalisasi Dan Institusionalisasi Kebijakan Ekonomi Pancasila,” Pancasila J. Keindonesiaan, vol. 1, no. 1, p. 47, 2021.
  36. D. Yuanitasari and S. Suparto, “Peran Negara dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan Berdasarkan Pancasila untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial telah,” Acta Diurnal, vol. 4, no. 1, pp. 36–51, 2020.
  37. A. S. Haerisma, “Konsepsi Pemikiran Dasar Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila Dan Ekonomi Kerakyatan Untuk Kesejahteraan Masyarakat,” Al-Mustashfa J. Penelit. Huk. Ekon. Islam, vol. 4, no. 2, pp. 187–199, 2019.
  38. T. N. Dumairy, Ekonomi pancasila : warisan pemikiran Mubyarto, 1st ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016.
  39. U. Adzkiya’, “Analisis Maqashid Al-Syariah dalam Sistem Ekonomi Islam dan Pancasila,” J. Ekon. Syariah Indones., vol. X, no. 1, pp. 23–35, 2020.
  40. A. Hariri, “Rekonstruksi Ideologi Pancasila Sebagai Sistem Ekonomi Dalam Perspektif Welfare State,” J. Huk. Replik, vol. 7, no. 1, p. 19, 2020, doi: 10.31000/jhr.v7i1.2447.
  41. A. Fuad and D. H. Ilmi, “Konsep Ekonomi Pancasila Dan Relevansinya Terhadap Nilai-Nilai Ekonomi Islam Studi Atas Pemikiran Prof. Dr. Mubyarto,” J. Syariah, vol. 9, no. 1, p. 41, 2021.
  42. I. F. Mahalizikri, “Membangun Masyarakat Desa Melalui Pemberdayaan Ekonomi Dengan Budidaya Tanaman Pucuk Merah Pada Unit Usaha BUMDes Desa Sepotong,” Iqtishaduna J. Ilm. Ekon. Kita, vol. 8, no. 1, pp. 89–100, 2019, doi: 10.46367/iqtishaduna.v8i1.154.
  43. Amrina Rosyada, “Pendampingan Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Desa Kendalasem Wedung Demak,” Din. J. Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 3, no. 2, pp. 235–243, 2020, doi: 10.31849/dinamisia.v3i2.3292.
  44. S. Dunggio, “Pengaruh Kemampuan Terhadap Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes),” Gorontalo J. Public Adm. Stud., vol. 3, no. 1, pp. 15–24, 2020.
  45. B. la Suhu, R. M. Djae, and A. Sosoda, “Analisis Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Di Desa Geti Baru Kecamatan Bacan Barat Utara Kabupaten Halmahera Selatan,” J. Gov. Archipel., vol. I, no. 1, p. 6, 2021.
  46. H. Sofyani, R. Atmaja, and S. B. Rezki, “Success Factors of Village-Owned Enterprises (BUMDes) Performance in Indonesia: An Exploratory Study,” J. Account. Invest., vol. 20, no. 2, 2019, doi: 10.18196/jai.2002116.
  47. E. Ruslina, “Asas Kebersamaan Dan Kekeluargaan Sebagai Dasar Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia,” Sasana, vol. 5, no. 2, p. 169, 2019.
  48. H. A. Pradana and S. Fitriyanti, “Pemberdayaan dan Percepatan Perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Dalam Peningkatan Ekonomi Masyarakat dan Peningkatan Pendapatan Asli Desa,” J. Kebijak. Pembang., vol. 14, no. 2, pp. 133–146, 2019.
  49. A. P. Sawitri, T. Afkar, M. Suhardiyah, and Suharyanto, “Penguatan Pengelolaan Keuangan BUMDes Sebagai Upaya Menuju Desa Mandiri di Desa Kebontunggul Mojokerto,” JPM (Jurnal Pemberdaya. Masyarakat), vol. 5, no. 2, pp. 470–476, 2020, doi: 10.21067/jpm.v5i2.4324.
  50. A. Suntoro, “Implementasi Pencapaian Secara Progresif dalam Omnibus Law Cipta Kerja,” J. HAM, vol. 12, no. 1, pp. 1–18, Apr. 2021, doi: 10.30641/ham.2021.12.1-18.
  51. N. F. Muhammad Faiz Aziz, “Mewujudkan Perseroan Terbatas (PT) Bagi Usaha Mikro Kecil (UMK) Melalui Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja,” RechtsVinding Media Pembin. Huk. …, vol. 9, no. 1, p. 93, 2020.
  52. A. H. Iskandar, SDGs DESA : Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan, 1st ed. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020.