This normative legal research scrutinizes the implications of criminal provisions concerning parties who hinder mining, and critically investigates an inclusive legal perspective on the penalization of such parties. The research, underpinned by a conceptual and statutory approach, identifies that the ambiguous penal provisions can potentially result in criminalizing local communities engaging in activities perceived as obstacles to mining operations. It highlights a critical contradiction between these punitive measures and the principle of affirmative action within prophetic law. The study also exposes a legal obscurity pertaining to the lack of parameters to define acts that hinder or obstruct mining operations, which contributes to the risk of community criminalization around mining sites. The research culminates in suggesting legal and political strategies to address this issue: a judicial review at the Constitutional Court, and hearings and aspirations at the People's Representative Council (DPR) to revise mining criminal law regulations. This study reveals that such interventions are crucial to ensure lex certa, a component of the principle of legality, which can provide legal certainty to affected communities, thus reducing unwarranted community criminalization.
Highlights:
Keywords: Legal Ambiguity, Mining Obstruction, Community Criminalization, Inclusive Legal Perspective, Affirmative Action.
Hukum pidana pertambangan merupakan seperangkat peraturan hukum pidana yang mengatur berbagai bidang dan aspek di dunia pertambangan. Hukum pidana pertambangan secara umum mengatur dua subjek hukum dalam dunia pertambangan[1]. Dua subjek hukum tersebut meliputi pengusaha tambang dan masyarakat sekitar tambang. Pengusaha tambang sebagai pelaksana kegiatan pertambangan mendapatkan pengaturan dalam hukum pertambangan untuk mencegah timbulnya usaha dan kegiatan pertambangan yang berpotensi merugikan masyarakat maupun merugikan lingkungan setempat[2]. Masyarakat sekitar tambang juga menjadi salah satu subjek hukum dalam hukum pidana pertambangan untuk mencegah berbagai tindakan destruktif yang dapat menghambat kegiatan pertambangan.
Ketentuan pengaturan hukum pidana pertambangan secara spesifik diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Pertambangan) yang kemudian direvisi menjadi UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Pertambangan Perubahan Pertama). Formulasi pengaturan hukum pidana pertambangan salah satunya ditegaskan dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama yang menegaskan bahwa adanya larangan bagi setiap orang atau pihak yang berusaha merintangi kegiatan pertambangan atau berimplikasi pada terganggunya kegiatan pertambangan[3]. Larangan sebagaimana dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama secara redaksional sama dengan ketentuan Pasal 39 No. 2 UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Pengesahan Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang secara substantif merupakan redundansi dari ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama. Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuan Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja terkesan copy-paste dengan substansi Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama.
Problematika pengaturan hukum pidana pertambangan dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja adalah mengenai formulasi delik yang terkesan “longgar” serta berpotensi menimbulkan kekaburan hukum. Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja hanya menegaskan larangan bagi para pihak yang merintangi atau pihak yang mengganggu kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pelaku usaha pertambangan yang sudah memiliki izin. Kekaburan hukum tersebut terjadi ketika substansi mengenai “pihak yang merintangi atau pihak yang mengganggu kegiatan pertambangan” dapat bersifat multitafsir. Hal ini dapat berimplikasi adanya kegiatan maupun aktivitas lokal masyarakat sekitar tambang yang dianggap merintangi atau mengganggu kegiatan pertambangan dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja.
Isu hukum yang diketengahkan dalam penelitian ini yaitu terkait kekaburan hukum ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja mengenai kekaburan perumusan delik pada “pihak yang merintangi atau pihak yang mengganggu kegiatan pertambangan”. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu implikasi ketentuan pemidanaan bagi pihak yang menghalangi pertambangan serta perspektif hukum inklusif terkait pemidanaan bagi pihak yang menghalangi pertambangan. Perspektif hukum inklusif digunakan sebagai pisau analisis karena dalam hukum inklusif terdapat relasi yang mencoba melakukan pemberdayaan dan penegasan kedudukan hukum pada pihak yang dianggap inferior. Dalam isu hukum ini, masyarakat sekitar tambang menjadi pihak yang lebih inferior dikarenakan jika terdapat kegiatan atau aktivitas masyarakat sekitar tambang yang berpotensi merintangi atau mengganggu kegiatan pertambangan maka dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja. Perspektif hukum inklusif diorientasikan untuk melindungi kedudukan hukum masyarakat sekitar tambang akibat kekaburan hukum dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja.
Penelitian mengenai hukum pidana pertambangan sejatinya telah dilakukan oleh ketiga penelitian sebelumnya, yaitu: a) penelitian yang dilakukan oleh Cahyani dan Swari (2022) yang menganalisis mengenai pengaturan pengelolaan sumber daya alam di sekitar daerah pertambangan batu bara[4]. Hasil penelitian menegaskan bahwa terdapat pertentangan norma dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama dengan Pasal 66 UUPPLH sehingga membuat norma hukum menjadi tidak koheren dan sinkron. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Cahyani dan Swari dengan penelitian ini yaitu jika penelitian yang dilakukan oleh Cahyani dan Swari mengetengahkan isu hukum ketidaksinkronan ketenntuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama dengan Pasal 66 UUPPLH sedangkan penelitian ini berfokus pada implikasi dan tinjauan hukum inklusif terkait dengan ketentuan pemidanaan bagi pihak yang menghalangi usaha pertambangan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh b). Ali dan Hafid (2022) yang membahas mengenai kriminalisasi masyarakat sekitar tambang dalam perspektif hak asasi manusia[5]. Hasil penelitian menegaskan bahwa Undang-Undang tekait dengan lingkungan hidup dengan perumusan norma yang cederung “longgar” dan kabur membuat masyarakat di sekitar tambang dengan mudah dikriminalisasi. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Hafid dengan penelitian ini yaitu jika penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Hafid mengetengahkan isu hukum kekaburan hukum Undang-Undang tekait dengan lingkungan hidup dan pertambangan yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat sehingga bertentangan dengan hak asasi manusia sedangkan penelitian ini berfokus pada implikasi dan tinjauan hukum inklusif terkait dengan ketentuan pemidanaan bagi pihak yang menghalangi usaha pertambangan.
Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Asri, dkk. (2023) yang membahas mengenai pertanggungjawaban hukum perusahaan tambang batubara akibat adanya pencemaran lingkungan[6]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban hukum perusahaan tambang batubara akibat adanya pencemaran lingkungan didasarkan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Lingkungan Hidup, serta UU Pertambangan. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Asri, dkk. dengan penelitian ini yaitu jika penelitian yang dilakukan oleh Asri, dkk. berfokus pada isu hukum berupa pertanggungjawaban hukum perusahaan tambang batubara akibat adanya pencemaran lingkungan sedangkan penelitian ini berfokus pada implikasi dan tinjauan hukum inklusif terkait dengan ketentuan pemidanaan bagi pihak yang menghalangi usaha pertambangan.
Dari ketiga penelitian terdahulu di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dengan fokus implikasi dan tinjauan hukum inklusif terkait dengan ketentuan pemidanaan bagi pihak yang menghalangi usaha pertambangan adalah penelitian yang orisinal karena belum diabahas secara komprehensif dalam ketiga penelitian terdahulu.
Penelitian ini dengan isu hukum berupa kekaburan hukum ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja merupakan penelitian hukum normatif. Salah satu karakteristik dari penelitian hukum normatif adalah adanya isu hukum yang kemudian dijawab melalui preskripsi hukum melalui analisis hukum secara dogmatik[7]. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu: UUD NRI 1945, UU Pertambangan Perubahan Pertama, serta UU Cipta Kerja. Bahan hukum sekunder terdiri dari artikel jurnal, research paper, buku, serta naskah ilmiah yang membahas mengenai hukum pidana pertambangan. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konsep dan perundang-undangan.
Hukum pidana pertambangan dalam bidang hukum pidana sejatinya merupakan bidang hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus merupakan ketentuan hukum pidana di luar dari KUHP yang khususnya secara substantif mengadopsi berbagai tindak pidana di masing-masing sektor kehidupan manusia sehingga memiliki karakter khusus[8]. Secara sederhana, KUHP digambarkan sebagai aturan hukum pidana yang sifatnya umum sedangkan peraturan hukum pidana di luar KUHP memiliki karakter khusus sehingga disebut sebagai hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus secara karakteristik memiliki dua aspek penting yaitu secara susbtantif berbeda dengan KUHP atau dalam proses penegakannya juga berbeda atau menyimpang pada ketentuan KUHAP[9]. Oleh karena itu, dengan berbagai karakteristik khusus tersebut, maka apabila terdapat substansi hukum pidana khusus yang bertentangan dengan KUHP maka yang berlaku adalah hukum pidana khusus. Hal ini karena orientasi dan karakteristik utama dari hukum pidana khusus adalah lex specialis atau pengecualian dari pengaturan umum dalam KUHP[10].
Perkembangan hukum pidana khusus dalam hukum pidana secara umum dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu: pertama, hukum pidana khusus diformulasikan sebagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan substansi hukum pidana yang semakin masif yang berkelindan dengan perkembangan zaman[11]. Jika substansi hukum pidana hanya mengacu pada KUHP, maka hukum pidana dapat tertinggal dengan perkembangan hukum pidana yang semakin masif. Kedua, hukum pidana khusus dikonstruksikan sebagai upaya penanganan suatu tindak pidana secara khusus yang berbeda dengan proses penegakan hukum dalam KUHAP[12]. Orientasi khusus tersebut dimaksudkan supaya substansi hukum pidana khusus dapat ditegakkan secara tepat dan substantif sesuai dengan karakter khususnya. Ketiga, hukum pidana khusus biasanya memerlukan proses serta strategi penegakan yang bersifat khusus sehingga terkadang terdapat pendekatan atau aparatur penegak hukum yang sifatnya khusus dank has pada hukum pidana khusus[13].
Dari ketiga orientasi adanya hukum pidana khusus di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana khusus hadir sebagai upaya formulasi dan penegakan hukum pidana sesuai dengan substansi hukum pidana dengan karakteristik khusus. Salah satu bidang hukum pidana khusus adalah hukum pidana pertambangan. Terdapat tiga argumentasi yang menegaskan bahwa hukum pidana pertambangan merupakan hukum pidana khusus, yaitu: pertama, substansi hukum pidana pertambangan berada di luar ketentuan umum hukum pidana, yang lazimnya berada dalam KUHP[14]. Substansi hukum pidana pertambangan secara spesifik diatur dalam UU Pertambangan, UU Pertambangan Perubahan Pertama, serta UU Cipta Kerja. Diaturnya secara khusus mengenai substansi hukum pidana pertambangan dalam undang-undang tertentu semakin mempertegas karakteristik khusus dari hukum pidana pertambangan[15].
Kedua, hukum pidana pertambangan secara locus berkaitan dengan segala kegiatan yang berkaitan dengan pertambangan[16]. Hal ini berarti, hukum pidana pertambangan secara khusus mengatur mengenai sanksi pidana yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan bidang pertambangan. Hal ini berimplikasi pada adanya karakteristik tertentu baik pada proses penyelidikan maupun penyidikan jika terdapat suatu tindak pidana pertambangan[17]. Ketiga, hukum pidana pertambangan dikonstruksikan sebagai upaya hukum pidana untuk mengadopsi perkembangan zaman, khususnya dalam ranah pertambangan yang memerlukan sanksi pidana sebagai upaya efektif untuk mencegah sekaligus menegakkan tindakan-tindakan tertentu di bidang pertambangan[18]. Dari ketiga argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana pertambangan adalah hukum pidana khusus selain secara substantif diatur secara tersendiri di luar KUHP dalam upaya penegakannya juga memerlukan pelibatan pihak-pihak tertentu serta dengan pendekatan tertentu.
Ahmad Redi berpandangan bahwa sekalipun hukum pidana pertambangan merupakan bidang hukum pidana khusus, namun terdapat beberapa irisan dalam ranah pertambangan yang sama-sama memerlukan pengaturan oleh hukum[19]. Ranah hukum yang memiliki relevan dengan pertambangan seperti pengaturan mengenai perizinan tambang yang merupakan ranah hukum administrasi[20]. Selain itu, juga pengaturan mengenai perjanjian tambang yang merupakan ranah hukum perjanjian sehingga merupakan bagian dari hukum perdata serta ranah hukum pidana di bidang pertambangan[21]. Hukum pidana pertambangan sejatinya memiliki orientasi pada upaya untuk mengaplikasikan konsep dan praktik hukum pidana secara khusus untuk menghadapi permasalahan hukum pidana di bidang pertambangan[22]. Terdapat tiga alasan mengapa bidang hukum pertambangan memerlukan pengaturan dalam aspek hukum pidana, yaitu: pertama, kegiatan-kegiatan di ranah pertambangan identik dengan kegiatan dengan risiko tinggi (high risk)[23]. Hal ini berarti, dengan tingginya risiko di bidang hukum pertambangan maka pengaturan hukum pidana dimaksudkan untuk mencegah adanya risiko terburuk yang dilakukan akibat adanya perbuatan tertentu yang dapat membahayakan proses kegiatan pertambangan merupakan bidang pekerjaan dengan risiko tinggi[24].
Kedua, kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang sifatnya multisektor[25]. Hal ini maksudnya bahwa kegiatan di bidang pertambangan melibatkan berbagai aspek seperti peran dan relasi dengan masyarakat sekitar tambang, hubungan antara karyawan tambang dengan perusahaan tambang, serta relasi antara perusahaan tambang dengan BUMN yang juga memiliki kewenangan mengelola sumber daya pertambangan. Karakter multisektor tersebut memerlukan bingkai aturan dalam ranah pidana supaya proses dan kegiatan pertambangan dapat berlangsung secara kondusif, presisi, serta bertanggung jawab[26].
Ketiga, kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang sifatnya padat modal yang salah satu implikasinya adalah pada kelestarian lingkungan[27]. Dampak lingkungan (environment effect) dari kegiatan pertambangan yang tidak sesuai prosedur tidak jarang menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan yang justru dapat merugikan manusia, khususnya pada masyarakat sekitar tambang[28]. Dari ketiga alasan pentingnya pengaturan hukum pidana di bidang pertambangan di atas, dapat disimpulkan bahwa substansi hukum pidana, khususnya sanksi pidana menjadi aspek penting dalam membentengi setiap praktik pertambangan supaya sesuai dengan prosedur serta dapat memberikan kemanfaatan pada masyarakat pada umumnya.
Hukum pidana pertambangan sekalipun memiliki karakter khusus, namun tetap wajib untuk mendasarkan pengaturannya pada asas-asas hukum pidana secara umum[29]. Asas-asas dalam hukum pidana secara umum tidak membedakan antara hukum pidana umum maupun khusus, kecuali dalam suatu hukum pidana khusus terdapat asas hukum tertentu yang menjadi identitas dan urgensi untuk dijalankan[30]. Asas-asas umum dalam hukum pidana dalam kaitannya dengan hukum pidana pertambangan sejatinya tetap dan wajib diterapkan. Hal ini dikarenakan salah satu fungsi dari asas hukum, khususnya asas hukum pidana adalah sebagai pedoman sekaligus penentu eksisnya suatu norma hukum[31].
Asas hukum pidana umum yang wajib diterapkan dalam hukum pidana pertambangan salah satunya adalah asas legalitas. Asas legalitas merupakan pondasi dan dasar dari hukum pidana. Esensi hukum pidana baik hukum pidana khusus maupun umu adalah pada asas legalitas[32]. Asas legalitas dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memiliki tiga orientasi, yaitu: menjamin kepastian hukum, menanggulangi kesewenang-wenangan aparatur penegak hukum, serta memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat[33]. Asas legalitas dalam hukum pidana sejatinya didasarkan pada empat konsepsi yaitu: lex stricta, lex certa, lex scripta, serta lex praevia[34]. Lex stricta merupakan salah satu komponen dalam asas legalitas yang menekankan pentingnya pembatasan makna atas suatu ketentuan delik dalam hukum pidana[35]. Lex stricta menekankan bahwa substansi hukum pidana harus dimaknai secara sempit dan apa adanya. Konstruksi hukum berdasarkan konsepsi lex stricta adalah dilarang karena berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan.
Lex certa merupakan komponen dalam asas legalitas yang secara harfiah berarti “tegas dan jelas”[36]. Hal ini berarti dalam suatu substansi hukum pidana dilarang suatu rumusan yang kabur, berwayuh arti, serta rumusan yang dapat menimbulkan multi-interpretasi. Lex scripta merupakan komponen dalam asas legalitas yang menekankan bahwa hukum pidana harus dirumuskan secara tertulis dalam produk hukum undang-undang[37]. Dalam perkembangannya, substansi hukum pidana dapat dirumuskan dengan mendapatkan pertimbangan dan penegsahan dari wakil rakyat baik di daerah maupun di pusat. Oleh karena itu, selain pada undang-undang, substansi hukum pidana juga dapat dirumuskan dalam peraturan daerah. Lex praevia merupakan komponen dalam asas legalitas yang menegaskan bahwa substansi hukum pidana tidak boleh berlaku ke belakang atau berlaku secara surut[38]. Hal ini dimaksudkan supaya suatu peraturan hukum pidana bersifat responsif dan berlaku untuk ke depan. Substansi hukum pidana yang baru diterapkan tidak berlaku bagi tindak pidana sebelum substansi hukum pidana disahkan kecuali ada penegasan tertentu terkait dengan hal ini dalam undang-undang.
Asas legalitas dengan mendasarkan pada empat konsepsi di atas, yaitu: lex stricta, lex certa, lex scripta, serta lex praevia juag harus diacu dalam penyusunan substansi hukum pidana pertambangan. Problematika substansi hukum pidana pertambangan salah satunya adalah pada rumusan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja yang menegaskan bahwa adanya larangan bagi setiap orang atau pihak yang berusaha merintangi kegiatan pertambangan atau berimplikasi pada terganggunya kegiatan pertambangan. Meski begitu, mengacu pada rumusan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja adalah mengenai formulasi delik yang terkesan “longgar” serta berpotensi menimbulkan kekaburan hukum. Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja hanya menegaskan larangan bagi para pihak yang merintangi atau pihak yang mengganggu kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pelaku usaha pertambangan yang sudah memiliki izin. Kekaburan hukum tersebut terjadi ketika substansi mengenai “pihak yang merintangi atau pihak yang mengganggu kegiatan pertambangan” dapat bersifat multitafsir.
Kekaburan hukum (vague norm) merupakan suatu fenomena di mana rumusan suatu norma hukum terkesan mengambang, tidak jelas, serta dapat menimbulkan misinterpretasi[39]. Kekaburan hukum dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja yaitu tampak dalam rumusan delik berupa rumusan “merintangi usaha pertambangan” atau “terganggunya kegiatan pertambangan”. Secara interpretasi gramatikal, KBBI mendefinisikan merintangi sebagai upaya untuk menghalangi atau menghambat kegiatan pertambangan[40]. Istilah merintangi tersebut juga cenderung “kabur” dan dapat berimplikasi pada adanya kriminalisasi masyarakat sekitar tambang yang dalam beraktivitas dan berkegiatan dianggap merintangi kegiatan pertambangan. Selain istilah “merintangi”, istilah “terganggunya kegiatan pertambangan” juga merupakan istilah yang kabur karena istilah terganggu dapat bermakna secara psikologis yang hanya berdasarkan perasaan dan tidak dapat dibuktikan oleh ilmu hukum secara patut[41]. Istilah “terganggunya kegiatan pertambangan” merupakan istilah yang tidak tegas atau jelas sehingga tidak terdapat parameter seperti apa yang membuat suatu kegiatan pertambangan menjadi terganggu.
Kekaburan hukum dalam Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja ditinjau dari asas legalitas juga bertentangan dengan komponen atau aspek lex certa. Lex certa sebagai bagian dari asas legalitas sejatinya menekankan pentingnya substansi hukum pidana supaya jelas dan tegas secara substansi sekaligus menghindari adanya multi-interpretasi sebagai implikasi dari kekaburan hukum. Kekaburan hukum pada istilah “merintangi” dan “terganggunya kegiatan pertambangan” dikarenakan rumusan delik tersebut tidak menyertakan parameter merintangi maupun hal-hal yang dapat mengganggu kegiatan pertambangan. Ketidakadaan parameter yang jelas tersebut dapat membuat masyarakat sekitar tambang berpotensi terkriminalisasi karena dapat dapat dianggap melakukan upaya perintangan yang dapat mengganggu kegiatan pertambangan.
Berdasarkan hasil analisis di atas, ketentuan pemidanaan bagi pihak yang menghalangi pertambangan berimplikasi pada masyarakat sekitar pertambangan dengan aktivitas tertentu yang dianggap merintangi dan mengganggu kegiatan pertambangan sehingga dapat berpotensi pada kriminalisasi masyarakat. Oleh revisi terhadap ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja perlu dilakukan supaya sesuai dengan lex certa sebagai bagian dari aspek asas legalitas yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.
Kekaburan hukum dalam ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja sejatinya menarik dianalisis dalam perspektif hukum inklusif. Hal ini dikarenakan hukum inklusif merupakan gagasan dan paradigma hukum yang bertumpu pada upaya pemberdayaan sekaligus upaya mempersamakan kedudukan suatu subjek hukum[42]. Dalam konteks ini, hukum inklusif berorientasi pada upaya untuk melindungi warga negara dari produk hukum yang bersifat multi-interpretasi yang secara tidak adil dapat mengkriminalisasi masyarakat[43]. Terlebih lagi, dalam konteks pertambangan masyarakat berada dalam kedudukan yang inferior jika dibandingkan dengan pengusaha pertambangan serta pada produk hukum yang multi-interpretatif.
Urgensi perspektif hukum inklusif sebagai pisau analisis dalam kasus kekaburan hukum dalam ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja sejatinya didasarkan pada tiga orientasi, yaitu: pertama, relasi dalam hukum pidana pertambangan adalah relasi yang menempatkan masyarakat umum sebagai pihak yang inferior. Gagasan hukum inklusif berupaya menempatkan setiap warga negara memiliki kedudukan yang setara sehingga tidak ada kesan superioritas maupun inferioritas[44]. Kedua, perspektif hukum inklusif berupaya secara kritis melihat dan menganalisis norma hukum secara komprehensif. Norma hukum perlu dianalisis khususnya pada produk hukum peraturan perundang-undangan karena sebagai norma hukum positif terdapat perumusan yang dapat merugikan atau mengkriminalisasi masyarakat. Perumusan hukum positif yang dapat merugikan atau mengkriminalisasi masyarakat salah satunya dapat dilihat dari fenomena peraturan yang kabur dan berwayuh arti sehingga dapat ditafsirkan secara sepihak oleh aparat penegak hukum.
Ketiga, perspektif hukum inklusif melihat faktor non-hukum berupa realitas sosial-kemasyarakatan yang berimplikasi pada hukum. Dalam konteks pidana pertambangan, hukum inklusif berupaya melihat aspek realitas pertambangan yang terjadi pada masyarakat sekitar tambang yang menjadi pihak yang inferior di sekitar industri tambang[45]. Terlebih lagi, dengan hadirnya substansi Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja yang secara substansi cenderung kabur dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi pada masyarakat.
Dari tiga orientasi hukum inklusif di atas, dapat ditegaskan bahwa perspektif hukum inklusif mmeiliki relevansi untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam tindak pidana pertambangan. Karakteristik utama hukum inklusif adalah affirmative action atau upaya untuk mendudukkan secara sederajat setiapp pihak dalam hukum[42]. Ditinjau dari aspek affirmative action sebagai karakteristik utama hukum inklusif, substansi Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja jelas berpotensi merugikan masyarakat dengan potensi adanya kriminalisasi pada masyarakat sekitar tambang. Oleh karena itu, substansi Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja sejatinya bertentangan dengan aspek affirmative action sebagai karakteristik utama hukum inklusif.
Mengacu pada perspektif hukum inklusif, maka aspek affirmative action berupa ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja sejatinya dapat dilakukan secara hukum dengan melakukan judicial review atas ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja di MK supaya MK dapat memberikan tafsir konstitusional mengenai makna pasal a quo. Selain itu, apabila judicial review atas ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja menemu jalan buntu, dapat diupayakan melalui aspek politis dengan menyampaikan aspirasi di DPR supaya Pasal 162 UU Pertambangan Perubahan Pertama juncto Pasal 39 No. 2 UU Cipta Kerja dapat direvisi.
Rumusan pemidanaan bagi pihak yang menghalangi pertambangan sejatinya bertentangan dengan aspek affirmative action dalam hukum profetik. Kekaburan hukum terkait tidak adanya parameter mengenai kriteria merintangi dan menghalangi usaha pertambangan berpotensi menimbulkan kriminalisasi pada masyarakat sekitar tambang terkait aktivitasnya di sekitar tambang. Oleh karena itu, dalam perspektif hukum inklusif, perlu dilakukan upaya hukum dan politik sekaligus. Upaya hukum dilakukan dengan judicial review di MK sedangkan upaya politik dilakukan dengan melakukan audiensi dan aspirasi pada DPR untuk merevisi peraturan hukum pidana pertambangan terkait pemidanaan bagi pihak yang menghalangi usaha pertambangan.
Penelitian hukum normatif ini menyoroti implikasi ketentuan pidana bagi pihak yang menghalangi pertambangan dan mengevaluasi perspektif hukum inklusif terkait pemidanaan pihak tersebut. Ketidakjelasan dalam ketentuan pidana dapat berpotensi mengkriminalisasi masyarakat lokal yang melakukan aktivitas yang dianggap menghalangi operasi pertambangan. Studi ini menemukan adanya kontradiksi antara sanksi pidana ini dan prinsip affirmative action dalam hukum profetik. Selain itu, kekaburan hukum terkait kurangnya parameter untuk mendefinisikan tindakan yang menghambat atau menghalangi operasi pertambangan berkontribusi terhadap risiko kriminalisasi masyarakat sekitar tambang. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan upaya hukum dan politik, seperti judicial review di Mahkamah Konstitusi dan audiensi serta aspirasi di DPR, untuk merevisi peraturan hukum pidana pertambangan. Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya intervensi ini untuk memastikan lex certa, komponen dari prinsip legalitas, yang dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang terkena dampak, sehingga mengurangi kriminalisasi masyarakat yang tidak perlu. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi implikasi sosial dan ekonomi dari kriminalisasi masyarakat ini dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kebijakan hukum dan peraturan dapat direformasi untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.