This study critically analyses the entrenched concept of the privity of contract doctrine within the context of goods delivery agreements and its impact on the final consumer, specifically focusing on issues of delayed delivery and consequential losses. Adopting normative legal research methodologies, it employs statutory, conceptual, and case-based approaches to dissect this complex consumer protection issue. The research reveals that while the privity of contract paradigm posits rights and obligations as exclusive to the contracting parties, the final consumer, as the recipient of goods, possesses legal standing in cases of delivery negligence or incurred losses. The study also highlights the consumer's right to delivery in accordance with the agreed terms, even when not a primary party in the agreement, as long as the goods are not for resale. The paper concludes by emphasizing the critical role of judges in assessing immaterial losses based on the principle of ex aequo et bono, thus underscoring a shift towards a caveat vendor approach in consumer law, with significant implications for both business actors and global consumer protection frameworks.
Highlights:
Keywords: Privity of Contract, Consumer Protection, Goods Delivery Agreements, Legal Standing, Ex Aequo et Bono.
Jasa pengiriman barang sejak tahun 2019 memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat. Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Agus Suparmanto (Menteri Perdagangan RI), bahwa telah terjadi peningkatan pada nilai total transaksi e-commerce atau Gross Marchandise Value (GMV) karena revolusi industri di Indonesia. GMV e-commerce Indonesia di tahun 2019 meraih angka Rp294 triliun (US$21 miliar), dan di tahun 2025 ditaksir mencapai Rp1,1 kuadriliun (US$82 miliar). Berkembangnya sektor bisnis lain seperti jasa pengiriman barang (logistik) ini merupakan imbas dari adanya pertumbuhan e-commerce. Hal ini juga membuka ruang-ruang baru bagi oknum-oknum tertentu untuk mengambil keuntungan dengan menyalahgunakan orderan pengiriman barang yang membeludak [1]. Oleh karena itu perlindungan terhadap konsumen jasa pengiriman barang haruslah diperhatikan dengan berkembangnya usaha jasa pengiriman barang ini.
Salah satu permasalahan yang kerap terjadi dalam jasa pengiriman barang adalah keterlambatan dalam pengiriman barang, terlebih saat hari raya atau tahun baru. Keterlambatan ini menyebabkan konsumen pengguna jasa mengalami kerugian, baik kerugian materiil maupun immaterial. Salah satu kerugian tersebut adalah bisa jadi barang tersebut telah kadaluwarsa, ataupun barang tersebut sudah tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan jika tidak digunakan pada waktu seharusnya barang itu sampai dan diterima oleh pihak penerima barang [2].
Contoh Kasus terjadinya keterlambatan pengiriman barang melalui jasa pengiriman barang adalah Kasus antara PT Citra Van Titipan Kilat (TIKI) selaku pelaku usaha jasa pengiriman barang dan Alvarendra Ataya Anas yang diwakili Muhammad Anas sabagai orang tuanya selaku pihak yang menerima barang kiriman tersebut. Kasus ini berawal dari tanggal 10 Januari 2020 dimana konsumen TIKI atas nama Sulfahmi telah mengirimkan barang kiriman yang berisi makanan kering melalui Gerai TIKI Sudiang kepada penerima atas nama Alvarendra Ataya Anas dengan resi nomor: 030197328258 dari Makasar tujuan Bekasi, dengan jenis layanan produk ONS (Over Night Service). Kemudian pada tanggal 16 Januari 2020 Muhammad Anas yang mengaku ayah dari Alvarendra Ataya Anas selaku penerima barang kiriman mengajukan klaim/komplain kepada TIKI terkait adanya keterlambatan barang kiriman dikarenakan adanya perubahan jenis layanan dari ONS menjadi REGULER, berat barang kiriman dan biaya kirim yang tidak diketahui oleh Muhammad Anas dan Alvarendra Ataya Anas [3].
Selanjurnya pihak TIKI melakukan penyelidikan dan ditemukan fakta bahwa yang bertugas dan melayani Konsumen (pengirim) atas nama Sulfahmi adalah Erni Wati selaku eks staf counter / eks karyawan Gerai TIKI Sudiang (selanjutnya disebut “Eks Staf Counter”), dimana Eks Staf Counter tersebut telah melanggar aturan dan ketentuan serta standart operational procedure (SOP) TIKI dengan cara mengubah jenis layanan produk yang semula ONS Resi Nomor: 030197328258 menjadi REG Resi Nomor: 030197328281, mengganti berat kiriman barang yang semula 5 kg (lima kilogram) menjadi 4.2 kg (empat koma dua kilogram), dan mengubah biaya layanan yang semula sebesar Rp. 225.000,- menjadi sebesar Rp. 112.000, fakta ini berdasarkan surat pernyataan tertanggal 17 Januari 2020 yang dibuat oleh Erni Wati yang pada intinya mengakui perbuatannya telah melanggar peraturan perusahaan [3].
Situasi seperti yang telah diterangkan di atas tentunya berimplikasi terhadap sejumlah problematika yang menyangkut hak-hak konsumen. Adalah kerap kali ditemui bahwa konsumen, dalam kasus keterlambatan pengiriman barang, mengalami lebih banyak kerugian immateriil daripada materil. Meski begitu, kerugian immateriil konsumen akibat penundaan pengiriman barang tersebut tak mampu untuk dikompensasi [4]. Hal ini bertolak belakang dengan realitas bahwa setiap pelaksanaan perjanjian seyogyanya didasari oleh kontrak baku yang menjadi petunjuk bagi pelaku usaha. Kontrak tersebut, dengan segala batasannya, mengatur agar pelaku usaha yang gagal memenuhi janjinya dan menyebabkan kerugian dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi. Dengan demikian, pelaku usaha tersebut dapat dituntut untuk mengganti kerugian, baik materil maupun immateriil [5].
Dalam kerangka paradigma the privity of contract, pelaku usaha diharapkan memberikan perlindungan kepada konsumen saat telah tercipta sebuah ikatan kontraktual di antara mereka [6]. Oleh sebab itu, apabila terjadi peristiwa yang berada di luar perjanjian—seperti keterlambatan pengiriman barang—maka pelaku usaha dapat dianggap bertanggung jawab dan berkewajiban untuk mengganti kerugian konsumen, baik yang bersifat materil maupun immateriil. Perlu disadari bahwa ratio legis dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) adalah untuk melindungi kepentingan atau hak-hak konsumen. Hal ini berdasarkan premis bahwa posisi tawar konsumen umumnya lebih rendah dibandingkan pelaku usaha [7].
Pada konteks ini, Penulis bermaksud untuk melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai paradigma the privity of contract sebagai salah satu prinsip dalam perlindungan konsumen, khususnya dalam konteks pengiriman barang. Meski prinsip ini telah dikenal dan diaplikasikan dalam hukum konsumen, namun masih belum banyak penelitian yang fokus pada keterkaitannya dengan perlindungan konsumen dalam konteks pengiriman barang. Ini menciptakan celah penelitian yang menjadi dasar state of the art dalam studi ini. Penelitian ini diharapkan dapat membuka wacana baru terkait bagaimana prinsip the privity of contract dapat menjadi basis yang lebih kuat dalam memastikan perlindungan hukum konsumen dalam perjanjian pengiriman barang.
Penulisan artikel ini menerapkan metode penelitian hukum normatif dalam kerangka mencari kaidah hukum, doktrin, asas-asas, guna menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang dihadapi. [8]. Pendekatan yang digunakan adalah perundang-undangan dan konseptual. Dengan mencermati ketentuan perjanjian dalam KUHPerd, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka pendekatan ini dimaksudkan untuk memudahkan penulis menganalisis masalah hukum pada tataran yuridis normatif. Sementara pendekatan konseptual, penulis menggunakan prinsip Privity of Contract dalam hukum perjanjian.
Konsep dasar dari perjanjian pengiriman barang adalah perjanjian itu sendiri. Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri satu sama lain disebut dengan perjanjian dalam Pasal 1313 BW [9]. Uraian ini sesuai dengan pandangan Soebekti, bahwa perjanjian adalah suatu keadaan di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang berjanji untuk melakukan suatu perbuatan tertentu [10]. Namun terhadap pasal tersebut, Setiawan berpandangan bahwa rumusan pasa tersebut masih belum lengkap dan terlalu umum[11]. Belum lengkap karena hanya persetujuan satu pihak yang diakui, dan terlalu umum karena tindakan sukarela dan ilegal termasuk dalam definisi dari frasa "perbuatan" dalam rumusan pasal tersebut. Dengan demikian Setiawan memberikan perbaikan mengenai definisi tersebut sebagai berikut [11]:
Selain itu Suryodiningrat juga memberikan kritik atas pengertian perjanjian pada pasal a quo di atas [12]. Ia berpendapat bahwa tidak semua perikatan dan sumber perikatan harus dikaitkan dengan hukum. Setiap ikrar adalah perikatan jika pandangan ini diterapkan secara bebas. Demikian pula, jika istilah "perbuatan" diterapkan secara luas, mungkin ada akibat hukum yang tidak diinginkan, seperti dalam kasus perbuatan melawan hukum yang disebabkan karena kerugian. Pengertian dalam Pasal 1313 BW juga merupakan kritikannya, bahwa definisi pasal tersebut hanya mengacu pada satu pihak yang berprestasi, sedangkan pihak lain tidak. Jika demikian, maka konsep ini secara eksklusif mengacu pada perjanjian sepihak seperti hibah dan schenking. Sekalipun ada dua pihak dalam perjanjian itu, masing-masing pihak akan tetap mendapat manfaat darinya. Hanya perjanjian yang mengikat secara hukum yang menetapkan hak dan tanggung jawab di antara para pihak yang dicakup dalam Pasal 1313 BW. Oleh karena itu, pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 BW tidak mencakup jenis-jenis perjanjian lain seperti perjanjian liberatoir/pembebasan, perjanjian yang termasuk dalam lingkup hukum keluarga, perjanjian kebendaan, atau perjanjian pembuktian.
Berdasarkan pendapat yang dikemukaan oleh para ahli terkait pengertian perjanjian diatas, maka pendapat tersebut dapat melengkapi kekurangan dari definisi Pasal 1313 BW. Dengan kata lain, penandatanganan perjanjian menjadi suatu perbuatan hukum yang dengannya seseorang mengikatkan diri pada satu pihak atau lebih [13].
Selanjutnya untuk konsep perjanjian pengiriman barang, bahwa kata pengiriman dalam hukum disebut dengan pengangkutan. Kata pengangkutan Jika dilihat dalam peraturan perundang – undangan, sebagaimana Pasal 1 angka 3 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) bahwa angkutan diartikan sebagai perpindahan orang dan/atau barang dari tempat yang satu ke tempat lainnya dengan memakai Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan. Berdasarkan kata angkut yang merupakan kata dasar dari pengangkutan, menunjukan bahawa fokus dari konsep perjanjian pengiriman barang adalah adanya perpindahan barang yang dilakukan oleh pengangkut dari tempat semula ke tempat lain mengunakan kendaraan atau alat angkut.
Kemudian jika melihat pendapat dari Abdul Muhammad, pengangkutan adalah mengangkut atau membawa barang yang dilakukan oleh pengangkut dari tempat pemuatan yang satu sampai ke tempat tujuan [14]. Pendapat ini selaras dengan definisi angkutan yang terdapat dalam UU LLAJ. Berdasarkan konsep perjanjian, maka perjanjian pengiriman barang juga harus menimbulkan hubungan hukum. Jika terdapat pengiriman barang yang tidak menimbulkan hibungan hukum, maka pengiriman barang tersebut tidak termasuk dalam perjanjian pengiriman barang dalam pembahasan ini. Contoh pengiriman barang yang tidak menimbulkan akibat hukum adalah pengiriman barang yang bertujuan untuk kebutuhan sendiri dan diangkut dengan alat angkut sendiri (pengangkut pribadi). Hal ini karena dalam pengiriman barang tersebut tidak ada para pihak yang terikat dalam suatu hubungan hukum, sehingga tidak timbul suatu hubungan hukum. Oleh karena itu pembahasan perjanjian pengiriman barang tidak dapat diterapkan pada kegiatan pengiriman barang secara pribadi karena tidak ada hubungan hukum yang terbentuk disana [15].
Perjanjian pengiriman barang memiliki beberapa sifat yang membedakan perjanjian pada umumnya. Berikut adalah sifat perjanjian pengiriman barang:
Perjanjian pengiriman barang bersifat konsensuil karena perjanjian tersebut dianggap sah menurut hukum jika ada kata sepakat (konsensus). Munculnya hak dan kewajiban dari setiap pihak dalam perjanjian ditentukan berdasarkan terjadinya konsensus tersebut. Oleh karena itu kapan terjadinya konsensus sangatlah penting agar hak dan kewajiban setiap pihak dapat segera dilaksanakan.
Konsensus dianggap mengikat secara hukum dalam perjanjian pengiriman barang. Hal ini karena perjanjian sudah ada (eksis) serta dapat dilaksanakan cukup dengan konsensus dan tanpa memerlukan pembuktian-pembuktian. Oleh karena itu perjanjian pengiriman barang bersifat konsensuil.
Perjanjian pengiriman barang juga bersifat timbal balik [15]. Maksud dari bersifat timbal balik adalah terdapat hak dan kewajiban bagi setiap pihak secara timbal balik sejak terbentuknya konsensus. Atas adanya dua belah pihak yang saling berhubungan hukum yaitu pengirim dan pengangkut, maka perjanjian pengiriman barang ini merupakan perjanjian timbal balik antara pihak angkutan dengan yang mengirim barang.
Kemudian perjanjian pengiriman barang bersifat pelayanan berkala [15]. Maksud dari bersifat pelayanan berkala ini adalah perjanjian pengiriman berakhir jika pengiriman barang telah dilakukan oleh pengangkut, atau barang tersebut telah sampai sebagaimana tujuan yang diperjanjikan antara masing-masing pihak.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka perjanjian pengiriman barang mengikat para pihak tanpa harus dibuktikan dengan suatu bukti tertentu seperti surat angkutan, kecakapan para pihak, atau bukti yang lainnya, selama telah ada konsensus diantara para pihak. Tetapi perjanjian pengiriman barang tersebut tetap harus diikuti dengan hubungan timbal balik dari para pihak, seperti pihak pengirim barang harus membayar biaya pengiriman dan pihak pengangkut harus mengirim barang tersebut ke tempat tujuan yang telah disepakati. Pelayanan yang tertulis dalam perjanjian penyerahan barang kemudian harus dilakukan secara teratur, yang mengandung arti bahwa jika pengangkut telah selesai mengirimkan barang atau telah tiba di tempat tujuan yang telah disepakati, maka perjanjian penyerahan barang berakhir pada saat itu.
Menurut pemaparan di atas, perjanjian penyerahan barang adalah suatu keadaan dimana pengirim dan pengangkut telah sepakat untuk menyerahkan barang-barang itu. Pengirim menjamin memberikan sesuatu sebagai imbalan (upah), sedangkan pengangkut menjamin penyerahan barang [16]. Dengan terdapatnya dua belah pihak yang saling berhubungan hukum yaitu pengirim dan pengangkut, maka perjanjian pengiriman barang ini merupakan bentuk perjanjian timbal balik antara pengirim barang dengan pengangkut [17]. Perjanjian timbal balik ini kemudian melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian [18]. Dengan demikian, pengiriman barang harus dilakukan dengan cepat, aman, dan tanpa mengubah bentuk, lokasi, atau waktu transaksi [16].
Selanjutnya adalah konsep konsumen. Secara harfiah, konsumen adalah mereka yang membutuhkan sesuatu, membelanjakan uang untuk itu, atau memanfaatkannya [19]. Oleh karena itu, konsumen umumnya disebut sebagai penerima barang terakhir (pemakai terakhir) yang diberikan oleh pelaku komersial. Setiap orang yang menerima produk harus menggunakannya dan tidak boleh memperdagangkan atau menjualnya adalah kata kunci dari konsumen [20].
Definisi konsumen sendiri dapat ditemui dalam Pasal 1 angka 2 UU PK, menurut pasal tersebut, yang dimaksudkan dengan konsumen adalah orang yang menggunakan barang dan/atau jasa untuk dirinya sendiri atau orang lain dengan tujuan bukan untuk diperjual-belikan kembali. Makna tidak diperjual-belikan atau diperdagangkan tersebut menunjukkan bahwa definisi konsumen dalam UU a quo merujuk pada “konsumen akhir”. Konsumen akhir disini merupakan pihak yang menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa. Inti dari definisi konsumen yang terdapat dalam UU PK ini merupakan setiap orang yang mendapat manfaat dari suatu barang/jasa yang diberikan oleh pelaku usaha. Tetapi UU PK juga memberikan tambahan unsur dalam definisi konsumen tersebut yaitu tidak untuk diperdagangkan. Penambahan unsur ini logis karena tidak semua orang yang ingin membeli suatu barang/jasa memiliki tujuan untuk diri sendiri atau dikonsumsi sendiri. Oleh karena itu terdapat dua pembagian konsumen, yaitu konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen antara yakni mereka yang membeli barang atau jasa dengan maksud untuk dijual kembali atau menggunakannya untuk membuat barang atau jasa tambahan, contoh dari konsumen antara adalah supplier, distributor, atau pedagang [21]. Oleh karena itu jika terdapat konsumen yang memiliki tujuan dari pemakaian barang tersebut bukanlah untuk dikonsumsi sendiri, maka konsumen tersebut adalah konsumen antara. Sementara konsumen akhir yakni orang yang menggunakan produk dan/atau jasa untuk keperluan pribadi, keluarga, atau rumah tangga. Mereka pada dasarnya adalah individu alami (natuurlijk person) dan tidak menggunakan barang konsumsi untuk diperdagangkan atau alasan terkait bisnis lainnya [21].
Adanya perbedaan tersebut yang menjadikan pentingnya mengetahui apa yang dimaksud konsumen, khususnya menurut UUPK. Oleh karena itu Pengertian konsumen ini sangat penting karena akan menentukan apakah pihak tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan haknya sebagai konsumen atau tidak [22]. Jika pihak tersebut tidak memenuhi syarat sebagai konsumen berdasarkan UUPK, maka pihak tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum sebagai konsumen menurut UUPK.
Oleh karena itu, dengan menggunakan konsep perjanjian pengiriman barang dan konsep konsumen, maka konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir, sebab ketika hubungan hukum timbul antara pengirim barang mengikatkan diri untuk mengirimkan barang melalui pihak ekpeditur, maka ada kewajiban bagi pihak ekspeditur untuk mengangkut atau mengantarkan barang tersebut kepada pengguna terakhir (konsumen akhir).
Dengan demikian, jika melihat hubungan hukum dalam konsep perjanjian pengiriman barang berdasarkan asas privity of contract, maka para pihak dalam perjanjian pengiriman barang adalah pihak pengirim dan pihak ekspeditur. Sedangkan penerima barang disini bukanlah pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian pengiriman barang. Pihak pengirim barang dan ekspeditur terikat dalam perjanjian ekspeditur. Tetapi dalam kasus ini juga sebagai pengangkut karena ekspeditur memliki alat angkut sendiri dan melakukan pengangkutan. Sehingga ekspeditur memiliki tanggungjawab ganda yaitu sebagai ekspeditur dan juga sebagai pengangkut.
Pihak penerima barang disini adalah pihak ketiga dalam perjanjian pengiriman barang tersebut. Hal ini karena yang melakukan kesepakatan dalam perjanjian tersebut adalah pihak pengirim barang dan ekspeditur. Kemudian pihak penerima barang adalah pihak ketiga karena tidak ada kewajiban yang dibebankan kepadanya, tetapi pihak penerima barang memiliki hak yaitu menerima barang tersebut dengan keadaan (waktu pegiriman, kondisi barang, dan lain – lain) sesuai dengan perjanjian yang ada.
Jika melihat konsep dari konsumen berdasarkan UUPK dimana konsumen adalah orang yang mendapat manfaat dari barang/jasa tersebut, maka pihak penerima barang dari perjanjian pengiriman barang memiliki kedudukan sebagai konsumen akhir menurut UUPK, walaupun bukan pihak utama dalam perjanjian pengiriman barang. Konsekuensi hukum dari pihak penerima sebagai konsumen adalah maka akan ada perlindungan hukum konsumen yang melekat pada pihak penerima barang.
Berdasarkan asas privity of contract bahwa hak dan kewajiban hanya mengikat bagi para pihak yang diperjanjikan, tetapi pihak penerima barang juga memiliki legal standing jika dalam proses pengiriman barang terdapat kelalaian atau menyebabkan kerugian bagi pihak penerima barang. Salah satu hak dari penerima barang adalah berkedudukan sebagai konsumen akhir, sehingga pihak penerima barang berhak atas pengiriman barang yang sesuai dengan isi dari perjanjian pengiriman barang yang telah disepakati anatara pengirim barang dengan ekpeditur jika dilihat dalam kasus ini.
Jika dihubungan dengan BW maka lembaga derdenbeding dapat digunakan sebagai pengecualian dari asas privity of contract. Syarat dari derdenbeding adalah hanya hak yang dapat diperjanjikan kepada pihak ketiga [18]. Dengan demikian penerima barang tetap dapat memiliki legal standing untuk menuntut hak atas penerimaan barang yang sesuai dengan perjanjian pengiriman barang yang telah disepakati. Pasal pengecualian dari asas privity of contract tersebut adalah Pasal 1317 ayat (1) dan (2) BW.
Berdasarkan pasal 1317 BW a quo menunjukkan bahwa janji untuk pihak ketiga diperoleh hanya dalam 2 hal yaitu [23]:
Kita dapat melihat dalam Pasal 1317 BW tersebut mengunakan kata “atau” dalam memberikan kedua syarat tersebut, sehingga syarat – syarat tersebut merupakan syarat alternatif [18]. Bila telah ada pernyataan kehendak dari pihak ketiga untuk menerima janji tersebut, maka pihak ketiga berhak untuk menagih janji tersebut. Jadi pihak yang menjadi konsumen dalam perjanjian pengiriman barang adalah pihak pengirim barang selaku pihak yang mendapatkan jasa pengiriman barang tersebut serta penerima barang yang berhak atas sampainya barang tersebut kepadanya. Walapun pihak penerima barang bukanlah pihak utama dalam perjanjian pengiriman barang tersebut. Pihak penerima barang memiliki legal standing sebagai konsumen akhir. Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsumen akhir tidak selalu pihak-pihak yang terikat perjanjian. Hal yang menjadi tolak ukur konsumen akhir yakni pihak yang memperoleh manfaat barang/jasa tersebut tetapi tidak untuk dikomersilkan. Terkhusus dalam perjanjan pengiriman barang, pihak penerima barang merupakan konsumen akhir jika barang tersebut hanya dikonsumsi untuk kepentingan bukan pribadi, atau keluarga, dan pihak lainnya serta tidak untuk diperjualbelikan (non komersial).
Sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab (caveatvenditor) telah tumbuh dan berkembang dengan adanya Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diperlukannya Sikap bertanggung jawab tersebut guna mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha., Negara mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya memberikan perlindungan hukum untuk kepentingan konsumen, khususnya membuat pengguna menyedari hak dan kewajipan mereka. Serta hal yang penting lainnya adalah adanya pemberdayaan konsumen. Tujuan dari peningkatan kesadaran, kemampuan dan kemandirian pengguna untuk melindungi dirinya sendiri adalah kontrol pengguna, yang memungkinkan pengguna untuk menghindari akses negatif terhadap penggunaan barang atau jasa yang mereka butuhkan.
Perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan ketika sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya Pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) [24], Perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan dengan cara:
UUPK juga memberikan perlindungan hukum bagi konsumen sebelum transaksi selesai. Dalam Angka 1 UUPK secara umum, undang-undang perlindungan konsumen memberikan landasan hukum yang kuat bagi lembaga perlindungan konsumen pemerintah dan nonpemerintah untuk berupaya memberdayakan konsumen melalui penyuluhan dan pendidikan konsumen..
Perlindungan hukum pasca transaksi bagi konsumen (sengketa/pembelian pos) kemudian dilakukan di luar pengadilan oleh Pengadilan Negeri (PN) atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atas pilihan para pihak sengketa. Dalam pasal 2 UUPK terdapat beberapa asas dalam perlindungan konsumen yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum. Filosofi yang menjadi acuan dalam Perumusan ini adalah pembangunan nasional yaitu adil makmur lahir batin [25]. Berdasarkan subtansinya, bahwa kelima asas tersebut dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
Dengan demikian perlindungan konsumen yang diberikan dalam UUPK dapat dilakukan sebelum terjadinya transaksi atau setelah terjadinya transaksi. Jika setelah terjadinya transaksi maka pilihan penyelesaian sengketa ditentukan oleh konsumen yang mengalami kerugian atas barang/jasa yang diberikan oleh pelaku usaha.
Perlu diketahui pula bahwa yang berhak untuk mengajukan penuntutan hak atas kerugian yang dialami konsumen adalah konsumen itu sendiri. Oleh karena itu konsumen harus memiliki legal standing atas hak yang dituntutnya. “Legal Standing” atau disebut dengan kedudukan hukum.Ini merupakan suatu keadaan di mana ada syarat-syarat yang dipenuhi oleh orang atau pihak tertentu dan karenanya berhak mengajukan permohonan penyelesaian sengketa atau perselisihan atau masalah tersebut ke Mahkamah Konstitusi. [26]. Legal standing merupakan Istilah yang diadaptasi dari personae standi in judicio.yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. Sudikno Mertokusumo, menyatakan ada dua jenis tuntutan hak yakni: (i) Tuntutan hak yang terkadung didalamnya sengketa disebut dengan gugatan. Dalam gugatan tersebut terdapat setidaknya dua pihak yang saling bersengketa. Gugatan termasuk dalam kategori yurisdiksi sengketa atau keadilan yang sebenarnya. (ii) Klaim atas hak yang tidak dipersoalkan disebut klaim. Hanya satu pelamar. Petisi tersebut termasuk dalam kategori keadilan atau proses yang tidak otentik [27].
Pada hukum perlindungan konsumen, legal standing atau kedudukan hukum diatur dalam Pasal 45 dan 46 UUPK. Pasal 45 memberikan hak kepada konsumen yang merasa dirugikan untuk menggugat pelaku usaha melalui lembaga penyelesaian sengketa konsumen atau peradilan umum. Penyelesaian sengketa dapat berlangsung melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan, berdasarkan kesepakatan sukarela antar pihak. Meski penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan, hal ini tidak menghapuskan tanggung jawab pidana seperti yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 46 UUPK menentukan pihak yang dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha. Pihak-pihak ini meliputi konsumen atau ahli warisnya yang dirugikan, sekelompok konsumen dengan kepentingan yang sama, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, serta pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Pada konteks ini, gugatan yang diajukan oleh kelompok konsuman, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penafsiran dan aplikasi dari kedudukan hukum ini sangat penting dalam memahami perlindungan hukum bagi konsumen dalam konteks penyelesaian sengketa dengan pelaku usaha.
Jika dilihat dalam Pasal 4 huruf a menegaskan bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Tentunya sangat mengganggu kenyamanan dan merugikan masyarakat konsumen pengguna perusahaan ekspedisi jika barang pengiriman tersebut cacat atau bahkan hilang. Pasal 4 huruf c menegaskan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur,
Menurut Pasal 6 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha wajib menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan jasa yang diperdagangkan. Sebaliknya, pelaku usaha wajib menjamin mutu barang dan jasa yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan jasa yang berlaku.. Pasal 7 huruf b UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Jika dilakukan analisa terhadap pasal diatas maka pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan atas adanya kerugian yang diterima karena perbuatan pelaku usaha dalam kontek perlindungan konsumen adalah konsumen yang mengalami kerugian itu sendiri atau ahli waris yang bersangkutan, sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, dan pemerintah dan/atau instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang ada.
Oleh karena itu dengan adanya UUPK, maka hak dan kewajiban bagi Konsumen pengguna jasa atau Pelaku Usaha penyedia jasa tersebut bisa terlindungi. Dengan menetapkan aspek standar sekuriti dan keamanan pada saat pengiriman, standar perlindungan Konsumen, standar pengawasan dan penyelesaian sengketa konsumen dapat lebih terlindungi. Baik yang menyangkut tentang kedudukan, hak dan kewajiban Konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang yang lain.
Paradigma kebebasan berkontrak menyatakan bahwa hak dan kewajiban hanya mengikat para pihak yang berkontrak. Namun dalam kontrak penyerahan barang, konsumen akhir (penerima barang) juga dapat bertindak jika terjadi kelalaian dalam penyerahan atau kerugian yang ditimbulkan pada penerima barang. Salah satu hak penerima barang adalah tempat tinggal sebagai konsumen akhir, sehingga penerima barang berhak menyerahkan barang sesuai dengan isi perjanjian penyerahan barang yang telah disepakati antara pengirim barang dan pembawa. Konsumen dalam perjanjian pengiiriman barang tidak hanya pihak pengirim barang, tetapi juga pihak penerima barang, selama barang yang dikirim tersebut untuk kepentingan sendiri, keluarga, atau pihak lain dan tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, meskipun pihak penerima barang bukanlah pihak utama dalam perjanjian barang, tetapi pihak penerima barang tetap memiliki legal standing sebagai konsumen akhir karena menerima manfaat dari jasa pengiriman barang tersebut. Sehingga jika ada kerugian yang dialami oleh pihak penerima barang atas jasa pengitiman barang yang dilakukan oleh ekpeditur atau pengangkut, maka pihak penerima barang dapat melakukan gugatan, baik kepada Pengadilan Negeri atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).