Philosophy of Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i2.982

Evaluating the Construction and Limitations of Opportunism Principle in Indonesian Judiciary


Mengevaluasi Konstruksi dan Keterbatasan Asas Oportunisme dalam Peradilan di Indonesia

Fakultas Hukum Universitas Mataram
Indonesia

(*) Corresponding Author

Opportunism Principle Indonesian Judiciary Legal Certainty Attorney General Progressive Law

Abstract

This research scrutinizes the construction, limitations, and parameters of the opportunism principle concerning public interest within the framework of progressive law in Indonesia, employing a normative legal research methodology. The study intricately analyzes legislative regulations through the lens of progressive law theory, incorporating primary legal materials such as the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Criminal Procedure Code, and the laws governing the Judiciary and the Prosecution Service. The preliminary findings indicate a nebulous state in the conceptual evolution of the opportunism principle in Indonesia, characterized by a lack of explicit standards and limitations in its implementation. Furthermore, the study identifies a pressing need for a more stringent selection mechanism and orientation towards the opportunism principle for prospective Attorney Generals to foster legal certainty and diminish community legal uncertainty. This study aims to contribute towards fostering a robust jurisprudential foundation, enhancing the role and moral authority of the Attorney General in the criminal justice system.
Highlights:

  • Conceptual Ambiguity: Current ambiguities in the opportunism principle necessitate clearer implementation standards in Indonesia.

  • Legal Reforms: The study advocates for pivotal legal reforms to bolster the Attorney General's moral authority and role within the justice system.

  • Implications on the Attorney General's Role: The research highlights the necessity for improved training and stricter selection procedures for prospective Attorney Generals.

Keywords: Opportunism Principle, Progressive Law, Indonesian Judiciary, Legal Certainty, Attorney General

Pendahuluan

Kejaksaan merupakan salah satu aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Sebagai aparat penegak hukum, Kejaksaan memiliki berbagai fungsi yang orientasinya adalah menjamin aspek kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat[1]. Dalam sistem peradilan pidana, Kejaksaan merupakan salah satu lembaga yang penting karena berkaitan dengan kewenangan penuntutan yang termanifestasi dalam dakwaan yang kemudian menjadi bahan pertimbangan hakim untuk memutuskan terhadap suatu kasus tertentu[2]. Oleh karena itu, Kejaksaan menempati kedudukan penting dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam kewenangan yang berkaitan dengan penuntutan.

Pasal 38 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) sejatinya secara implisit telah mengkategorisasikan Kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang memiliki fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Lembaga yang memiliki fungsi berkaitan kekuasaan kehakiman secara deskriptif dirumuskan sebagai lembaga yang secara kewenangan memiliki relevansi dengan kekuasaan kehakiman[3]. Pasal 38 ayat (2) UU Kehakiman secara limitatif menegaskan bahwa salah satu lembaga yang secara kewenangan memiliki relevansi dengan kekuasaan kehakiman adalah lembaga yang memiliki fungsi terkait penuntutan[4]. Hal ini memiliki relevansi dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) dan KUHAP yang merumuskan bahwa fungsi penuntutan melekat pada lembaga Kejaksaan. Oleh karena itu, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU Kehakiman sekaligus merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan dan KUHAP maka lembaga Kejaksaan merupakan bagian dari lembaga yang memiliki fungsi berkaitan kekuasaan kehakiman.

Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga yang memiliki fungsi berkaitan kekuasaan kehakiman salah satu wewenangnya adalah terkait dengan pengesampingan perkara yang ditujukan untuk kepentingan umum[5]. Kewenangan pengesampingan perkara yang ditujukan untuk kepentingan umum secara expressive verbis menegaskan kewenangan penegsampingan perkara dilakukan oleh Jaksa Agung sebagai bagian dari institusi Kejaksaan. Sebagaimana dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan, Jaksa Agung merupakan pimpinan Kejaksaan yang mana Jaksa Agung bertanggung jawab atas kegiatan penuntutan. Hal ini juga berkaitan dengan wewenang untuk melakukan pengesampingan perkara yang ditujukan untuk kepentingan umum yang merupakan tanggung jawab pimpinan Kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung[6].

Wewenang untuk melakukan pengesampingan perkara yang ditujukan untuk kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Agung sejatinya menimbulkan problematika hukum yaitu adanya kekaburan hukum mengenai parameter dan standar mengenai “kepentingan umum” sebagai prasyarat utama pengesampingan perkara. Dalam penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, kepentingan umum dimaknai secara otentik hanya pada kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas[7]. Ketentuan beserta penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan masih berpotensi menimbulkan multi-interpretasi serta berpotensi adanya kesewenang-wenangan melalui tafsir sepihak atas makna kepentingan umum yang dilakukan oleh Jaksa Agung.

Perkembangan lebih lanjut mengenai wewenang untuk melakukan pengesampingan perkara yang ditujukan untuk kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Agung sejatinya mendapatkan tafsir konstitusional berdasarkan Putusan MK No. 29/PUU-XIV/2016 (Putusan MK Seponering) yang memberikan tafsir bahwa ketentuan wewenang untuk melakukan pengesampingan perkara yang ditujukan untuk kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Agung yang lazim disebut sebagai asas oportunitas sejatinya merupakan ketentuan yang sesuai dengan konstitusi selama dalam menjalankan asas oportunitas Jaksa Agung wajib memerhatikan lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan terkait urusan kepentingan umum[8]. Putusan MK Seponering di satu sisi telah memberikan “rambu-rambu” terkait pelaksanaan seponering atau pengesampingan perkara yang ditujukan untuk kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Agung, meski begitu, terkait standar, batasan, serta parameter dari penerapan asas oportunitas belum terakomodasi oleh Putusan MK Seponering. Hal ini berarti, masih belum terdapat kepastian hukum mengenai standar, batasan, serta parameter dari penerapan asas oportunitas sehingga berpotensi menimbulkan multi-interpretasi serta berpotensi adanya kesewenang-wenangan melalui tafsir sepihak atas makna kepentingan umum yang dilakukan oleh Jaksa Agung yang dapat merugikan masyarakat.

Penelitian ini berorientasi pada analisis atas belum terdapatnya kejelasan mengenai standar, batasan, serta parameter dari penerapan asas oportunitas sehingga berpotensi menimbulkan multi-interpretasi serta berpotensi adanya kesewenang-wenangan melalui tafsir sepihak atas makna kepentingan umum yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua isu hukum, yaitu konstruksi asas oportunitas dalam kaitannya dengan kepentingan umum serta limitasi dan parameter asas oportunitas dalam perspektif hukum progresif. Hukum progresif digunakan sebagai “analisis utama” dalam penelitian ini karena gagasan hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo menekankan pada dimensi pembacaan hukum secara kontekstual sekaligus dengan menggali dan meniti nilai-nilai moral dalam kasus hukum tertentu. Hal ini relevan dengan problematika mengenai ketidakjelasan mengenai standar, batasan, serta parameter dari penerapan asas oportunitas sehingga berpotensi menimbulkan multi-interpretasi sehingga perlu penggalian secara kontekstual sekaligus penggunaan aspek moral dalam hukum melalui pendalaman asas-asas hukum, khususnya asas oportunitas.

Penelitian mengenai asas oportunitas yang dilakukan oleh Jaksa Agung sejatinya merupakan penelitian yang cukup banyak dilakukan, akan tetapi penelitian dengan fokus pada limitasi serta parameter asas oportunitas dalam perspektif hukum progresif sejatinya belum pernah dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari ketiga penelitian terdahulu, yaitu: 1) penelitian yang dilakukan oleh Mirzana, dkk. (2021) yang membahas mengenai kekaburan makna kepentingan hukum terkait asas oportunitas yang dilakukan oleh Jaksa Agung[8]. Keunggulan dari penelitian ini adalah analisis hukum dogmatik terhadap “inti” permasalahan dari asas oportunitas yaitu ketidakjelasan pada makna asas oportunitas itu sendiri. Kelemahan dari penelitian ini belum menjelaskan mengenai ketentuan asas oportunitas yang dipraktikkan di berbagai negara sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh 2). Yuherawan dan Agustalita (2022) yang membahas mengenai teori kepastian hukum terkait asas oportunitas[9]. Keunggulan dari penelitian ini yaitu menganalisis secara presisi mengenai “keyaninan dan tafsir tunggal” Jaksa Agung yang berpotensi menjadi kendala dalam tujuan asas oportunitas untuk melindungi kepentingan umum. Kekurangan dari penelitian ini yaitu belum membahas mengenai studi kasus tertentu terkait praktik penerapan asas oportunitas untuk melihat bagaimana sikap dan orientasi dari Jaksa Agung dalam menerapkan asas tersebut.

Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh 3). Yustiawan dan Cahyani (2022) yang membahas problematika mengenai ketiadaan parameter mengenai asas oportunitas yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat[10]. Keunggulan dari penelitian ini yaitu adanya studi kasus terkait penerapan asas oportunitas sehingga menggambarkan Jaksa Agung dalam memberikan parameter secara kontekstual terkait penerapan asas oportunitas. Kelemahan dari penelitian ini yaitu belum membahas mengenai perkembangan asas oportunitas pasca Putusan Putusan MK No. 29/PUU-XIV/2016 (Putusan MK Seponering). Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, dapat disimpulkan bahwa kajian mengenai asas oportunitas khususnya ditinjau dari perspektif hukum progresif belum pernah dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal.

Metode

Penelitian ini dengan fokus konstruksi, limitasi, serta parameter asas oportunitas dalam kaitannya dengan kepentingan umum dalam perspektif hukum progresif merupakan penelitian hukum normatif. Karakteristik utama penelitian hukum normatif adalah pengkajian dan analisis hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan telaah atas teori dan konsep hukum[11]. Teori hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori hukum progresif. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah UUD NRI 1945, KUHAP, UU Kejaksaan, dan UU Kehakiman. Bahan hukum sekunder adalah artikel jurnal, buku, serta hasil kajian dan penelitian mengenai asas oportunitas dan hukum progresif. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konsep, perundang-undangan, dan perbandingan.

Pembahasan

Konstruksi Asas Oportunitas dalam Kaitannya dengan Kepentingan Umum

Istilah oportunitas dalam KBBI secara leksikal berarti kesempatan serta waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu perbuatan yang baik atau bermanfaat[12]. Jika dipahami secara saksama, KBBI merumuskan istilah oportunitas pada aspek subjektif, yaitu pada penilaian pribadi suatu pihak untuk melakukan perbuatan yang baik atau bermanfaat. Oleh karena itu, secara khusus KBBI menempatkan istilah oportunitas dalam ranah subjektif untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang mengandung nilai kemaslahatan. Dari aspek yuridis, istilah proporsionalitas digunakan untuk menegaskan salah satu asas hukum dalam sistem peradilan pidana[13]. Asas tersebut adalah asas oportunitas yang merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung.

Asas oportunitas sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan sejatinya mengamanatkan bahwa bagi Jaksa Agung adakanya kepentingan umum dapat menjadi alasan hukum untuk menyesampingkan suatu perkara hukum. Andi Hamzah menegaskan bahwa ketentuan asas oportunitas atau disebut juga dengan istilah seponering yang mana menjadi kewenangan eksklusif bagi Jaksa Agung[14]. Ketentuan seponering yang sepenuhnya menjadi ranah bagi Jaksa Agung setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi, yaitu: pertama, dalam konteks sistem peradilan pidana, khususnya pada kewenangan untuk melakukan penuntutan merupakan ranah institusi Kejaksaan yang mana dalam institusi Kejaksaan secara hierarkis berada di bawah pimpinan Jaksa Agung[15]. Hal ini berarti, penerapan asas oportunitas yang sepenuhnya menjadi kewenangan Jaksa Agung adalah rumusan yang tepat jika dikaitkan dengan karakteristik institusi Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung.

Kedua, ketentuan seponering menjadi kewenangan Jaksa Agung yang merupakan manifestasi dari kewenangan Kejaksaan di bidang penuntutan[16]. Penuntutan merupakan salah satu tahapan dalam sistem peradilan pidana yang outputnya berupa dakwaan. Dakwaan ini lah yang kemudian dijadikan oleh hakim sebagai pertimbangan untuk memutuskan suatu terdakwa apakah bersalah atau tidak secara hukum[17]. Pentingnya proses penuntutan dan dakwaan dalam hukum pidana ini lah yang membuat asas oportunitas diterapkan pada ranah penuntutan. Hal ini supaya ketentuan asas oportunitas dilaksanakan secara tepat dan cermat pada proses penuntutan sehingga dapat diterapkan secara substantif untuk mengesampingkan penuntutan demi terwujudnya kepentingan umum[18].

Ketiga, ketentuan seponering merupakan ketentuan yang diharapkan dapat melindungi kepentingan umum dalam sistem peradilan pidana[19]. Kepentingan umum sejatinya lebih bersifat doelmatigheid yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan sosiologis dan konteks permasalahan yang sedang dihadapi[20]. Hal ini tentu berbeda dengan sistem peradilan pidana secara umum yang mendasarkan pada aspek wetmatigheid atau secara latterlijk hanya mendasarkan pada ketentuan prosedur dan rumusan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana[21]. Aspek wetmatigheid dalam sistem peradilan pidana diterapkan karena dalam sistem peradilan pidana ditekankan adanya asas presumption of innocence yang artinya bahwa seorang tersangka atau terdakwa wajib dianggap tidak bersalah sebelum terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap[22]. Karena sistem peradilan pidana berkarakter wetmatigheid, maka untuk memenuhi tujuan kepentingan umum maka perlu diterapkan asas oportunitas dengan karakter doelmatigheid sehingga dapat mengoptimalkan aspek kepentingan umum.

Dari ketiga argumentasi diterapkannya asas oportunitas di atas, dapat dilihat bahwa tujuan diberlakukannya asas oportunitas adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, khususnya dalam meneguhkan kepentingan umum. Meski begitu, terkait dengan penerapan asas oportunitas, terdapat beberapa pandangan yang mencoba mengkritisi ketentuan asas oportunitas yang dianggap bertentangan dengan ketentuan asas legalitas sebagai asas fundamental dalam hukum pidana[23]. Secara umum, terdapat dua kritik yang menegaskan bahwa ketentuan asas oportunitas dianggap bertentangan dengan asas legalitas, yaitu: pertama, asas oportunitas dengan karakter doelmatigheid yang menekankan pentingnya penilaian subjektif dari Jaksa Agung dipandang telah menyalahi asas legalitas, khususnya pada aspek lex certa[24]. Aspek lex certa dalam asas legalitas menekankan kejelasan rumusan peraturan pidana untuk mencegah otoritarianisme penegakan hukum[25]. Asas oportunitas dalam hal ini dianggap sebagai “antipati” terhadap asas legalitas karena dianggap bertentangan dengan aspek lex certa.

Kedua, asas oportunitas khususnya dalam ketentuan hukum positif Indonesia dirumuskan tanpa adanya parameter atau standar yang baku dan jelas. Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan beserta penjelasannya pun hanya memberikan penjelasan otentik yang masih sumir, hanya menegaskan bahwa kepentingan umum berkaitan dengan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Ketidakjelasan dari formulasi asas oportunitas ini berpotensi menjadikan asas ini untuk ditafsirkan secara meluas maupun sempit sesuai dengan kehendak pribadi dari Jaksa Agung. Hal ini lah yang kemudian menegaskan bahwa asas oportunitas ini dianggap bertentangan dengan aspek lex stricta sebagai bagian dari asas legalitas yang fokus utamanya adalah pada rumusan secara limitatif suatu aturan hukum pidana[26].

Dua kritik mengenai keberlakuan asas oportunitas di Indonesia di atas kemudian secara yuridis mendapatkan tanggapan oleh putusan pengadilanm dalam hal ini Putusan MK Seponering. Terkait dengan konstitusionalitas asas oportunitas, MK melalui Putusan MK Seponering telah menegaskan bahwa: pertama, penerapan asas oportunitas atau tindakan hukum seponering oleh Jaksa Agung merupakan tindakan yang konstitusional[27]. MK dalam ratio decidendi-nya mengemukakan bahwa seponering bukanlah dalam rangka untuk mereduksi hak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat. MK melihat secara teleologis bahwa ketentuan seponering diperlukan khususnya dalam suatu fenomena hukum tertentu yang memerlukan upaya pengesampingan perkara dengan alasan untuk kepentingan umum[28].

Kedua, MK dalam ratio decidendi-nya juga menegaskan bahwa asas oportunitas sejatinya bukanlah merupakan “lawan” dari asas legalitas. Putusan MK Seponering mengkritik pandangan yang menempatkan asas oportunitas secara vis a vis (berhadapan atau berkebalikan) dengan asas legalitas. Asas oportunitas sendiri menurut MK juga telah memenuhi asas legalitas karena memberikan pengaturan mengenai seponering yang dengan didasarkan pada kepentingan umum dapat diterapkan oleh Jaksa Agung[29]. Ketiga, MK dalam ratio decidendi-nya dalam Putusan MKSeponeringmenegaskan bahwa secara esensialseponering berbeda dengan penghentian penuntutan. Penghentian penuntutan sendiri diatur dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP serta diperkuat oleh Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014[30]. MK juga mempertegas bahwa seponering sangat kecil kemungkinan dilakukan upaya hukum sehingga harus dilakukan pertimbangan yang matang sekaligus mengacu dan wajib memerhatikan pandangan dari lembaga atau institusi yang terkait. Hal ini berbeda dengan penghentian penuntutan yang upaya hukumnya telah ditegaskan dalam KUHAP.

Dari pertimbangan Putusan MKSeponering di atas, ketentuan mengenai penerapan asas oportunitas ditafsirkan secara ekstensif oleh MK yang pada awalnya merupakan ranah dan pertimbangan penuh dari Jaksa Agung dan pasca Putusan MKSeponering menjadi ranah penuh dari Jaksa Agung namun wajib memerhatikan pertimbangan dari instansi yang terkait. Dari pertimbangan serta hasil Putusan MKSeponering di atas, dapat disimpulkan bahwa asas oportunitas merupakan hal yang wajar dan lazim dalam negara demokrasi khususnya dalam melakukan pengesampingan perkara untuk kepentingan umum.

Praktik penerapan asas oportunitas secara umum dilakukan di negara-negara civil law, meski begitu di negara-negara dengan sistem hukum common law pelaksanaan asas oportunitas tetap dilakukan dengan variasi dan desain yang sesuai dengan sistem hukum negaranya[31]. Secara umum terdapat dua pemahaman mengenai asas oportunitas yaitu pada pandangan positif dan negatif. Pandangan positif salah satunya dianut oleh Belanda yang secara prinsip menegaskan bahwa penuntutan di Belanda hanya dapat dilakukan oleh Kejaksaan apabila terdapat perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan mengganggu ketertiban. Hal ini diperkuat oleh pandangan Menteri Smidt yang mana di tahun 1893 secara yuridis Belanda mengakui pandangan positif atas asas oportunitas[22].

Pandangan negatif terkait asas oportunitas salah satunya adalah diterapkan oleh Indonesia yang menekankan bahwa pengesampingan suatu perkara dapat dilakukan apabila ada tujuan untuk menjaga serta melindungi kepentingan umum[32]. Dalam hukum positif, hal ini tampak dalam ketentuan Pasal 139 KUHAP yang menegaskan bahwa terdapat diskresi bagi Jaksa dalam menentukan apakah suatu berkas yang telah diperiksa dapat ditindaklanjuti hingga proses ke pengadilan atau tidak. Tolok ukur yang digunakan Jaksa dalam menentukan apakah suatu berkas yang telah diperiksa dapat ditindaklanjuti hingga proses ke pengadilan atau tidak yaitu apakah suatu perbuatan dalam berkas tersebut bukan merupakan tindak pidana, tidak cukup bukti atau ditutup demi hukum[33].

Praktik penerapan asas oportunitas di negara lain dilaksanakan secara bervariasi yang didasarkan pada sistem hukum yang berkembang di masing-masing negara. Secara umum, asas oportunitas lazim digunakan di negara dengan sistem hukum civil law. Namun, hal ini tidak berarti bahwa asas oportunitas tidak diterapkan di negara dengan sistem common law karena di negara dengan sistem common law juga diterapkan asas oportunitas sekalipun secara terbatas dan disesuaikan dengan sistem hukum di masing-masing negara. Di Belanda, penerapan asas oportunitas dilaksanakan secara positif yaitu hanya tindak pidana yang merugikan kepentingan umum dan menganggu ketertiban masyarakat yang dilakukan penuntutan.

Belanda juga secara limitatif menerapkan beberapa standar mengenai dapat dikesampingkannya suatu tindak pidana dalam proses penuntutan yang meliputi: kejahatan ringan, daluwarsa, kerugian akibat tindak pidana tergolong muda, tersangka telah dihukum atau mendapatkan sanksi dari tindak pidana lain, kondisi kesehatan, serta adanya potensi rehabilitasi yang besar bagi tersangka[34]. Adanya standar tersebut membuat penerapan asas oportunitas di Belanda dapat dijalankan secara optimal untuk melindungi kepentingan umum. Di Perancis, penerapan asas oportunitas juga mendapatkan limitasi melalui beberapa aspek, seperti: bukan residivis, sudah mendapatkan ganti kerugian, serta secara umum merupakan tindak pidana ringan[35]. Di Jepang, pelaksanaan asas oportunitas yang lazim disebut diskresi penuntutan juga mendapatkan batasan serta standar yang jelas, yaitu: tingkat kualitas tindak pidana, usia serta kepribadian terdakwa, serta implikasi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana[36].

Terkait dengan negara yang secara expressive verbis dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya tidak menerapkan asas oportunitas namun justru melaksanakan asas tersebut secara bervariasi, diantaranya: Amerika Serikat dengan formulasi diskresi penuntutan yang mengoptimalkan peran district attourney[37]. Dalam hal ini, Jaksa di Amerika Serikat mengembangkan penerapan konsep plea bargain yang mana melakukan kompromi terhadap tersangka yang mana standard dan parameternya menggunakan parameter yang berdasarkan konsep restorative justice[38]. Di England dan Wales yang juga tidak mencantumkan asas oportunitas namun justru melaksanakan asas tersebut melalui simple drop, individual interest drop, serta public interest drop[39]. Standar dan parameter terkait asas oportunitas di England dan Wales berkembang salah satunya dibatasi oleh doktrin tindakan pemerintahan. Singapura yang juga tidak mencantumkan asas oportunitas namun justru melaksanakan asas tersebut sebagaimana di Amerika Serikat denga mengedepankan pendekatan plea bargain yang mengedepankan penerapan konsep restorative justice[40].

Jika mengacu pada perbandingan negara yang menegaskan asas oportunitas dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya seperti Belanda, Perancis, dan Jepang serta negara yang tidak menegaskan asas oportunitas dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya seperti Amerika Serikat, England dan Wales, serta Singapura maka dapat disimpulkan bahwa penerapan asas oportunitas dengan berbagai variasinya adalah merupakan kebutuhan hukum dalam sistem peradilan pidana. Yang menjadi fokus dalam praktik penerapan asas oportunitas di berbagai negara di atas adalah adanya standar, limitasi, serta rumusan yang jelas atau setidak-tidaknya ada konsepsi yang ditegaskan membatasi penerapan asas oportunitas. Hal ini yang sejatinya belum tampak dalam penerapan asas oportunitas di Indonesia yang mana standarnya masih kabur serta belum memberikan rumusan parameter yang jelas terkait penerapan asas oportunitas.

Berdasarkan hasil analisis di atas, konstruksi asas oportunitas dalam kaitannya dengan kepentingan umum di Indonesia masih bersifat sumir atau kabur karena belum terdapat parameter, standar, serta limitasi yang jelas mengenai penerapan asas oportunitas. Dalam perkembangan konsepsi asas oportunitas melalui Putusan MKSeponering juga hanya menegaskan kewajiban bagi Jaksa Agung untuk wajib memerhatikan pertimbangan lembaga yang terkait dan dalam hal ini belum memfasilitasi standar dan limitasi mengenai asas oportunitas. Dari praktik perbandingan terhadap negara yang menegaskan asas oportunitas dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya serta negara yang tidak menegaskan asas oportunitas dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya maka dapat disimpulkan semua negara tersebut menerapkan asas proporsionalitas secara bervariasi dan memiliki standar serta limitasi dalam pelaksanaannya atau setidak-tidaknya ada konsepsi yang dijadikan dasar untuk membatasi praktik asas oportunitas.

Limitasi dan Parameter Asas Oportunitas dalam Perspektif Hukum Progresif

Problematika mengenai belum terdapatnya standar, limitasi, serta parameter mengenai penerapan asas oportunitas menjadi problematika hukum khususnya pada adanya potensi tafsir sepihak oleh Jaksa Agung. Secara umum, mengacu pada UU Kejaksaan batasan mengenai asas oportunitas hanya pada kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan yang menyangkut masyarakat umum. Penjelasan tersebut juga masih bersifat sumir yang artinya perlu ada limitasi atau parameter yang digunakan untuk menentukan penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung[41]. Problmematika normatif mengenai kekaburan dan ketidakjelasan limitasi dan parameter dari asas oportunitas ini yang kemudian berimplikasi pada penerapan asas oportunitas di masyarakat.

Salah satu kasus yang memiliki kaitan dan relevansi dengan penerapan asas oportunitas adalah kasus Bibit-Chandra. Kasus ini sejatinya merupakan kasus klasik di Indonesia yang kemudian dikenal dengan tagline “Cicak versus Buaya” yang mana secara umum berkaitan dengan konflik antaraparat penegak hukum. Konflik “Cicak versus Buaya” tersebut kemudian melebar menjadi “kasus hukum” salah satunya adalah kasus Bibit-Chandra[6]. Pembentukan Tim 8 oleh Presiden untuk menyelidiki kasus tersebut menjadi salah satu hal penting bahwa kasus tersebut merupakan kasus yang perlu penyelesaian hukum secara komprehensif. Tim 8 yang dibentuk Presiden memberikan sinyal bahwa kasus ini lebih baik dilakukan di luar pengadilan sedangkan di sisi lain Kepolisian dan Kejaksaan justru menemukan adannya cukup bukti untuk meneruskan kasus ini ke pengadilan[29].

Pada akhirnya, kasus Bibit-Chandra ini ditindaklanjuti oleh Kejaksaan melalui Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP). Problematika hukum pun semakin kompleks ketika SKPP tersebut justru diterbitkan dengan alasan dan argumentasi sosiologis. Padahal, dengan mengacu pada Pasal 140 ayat (2) KUHAP maka seyogyanya SKPP didasarkan pada alasan hukum bukan alasan sosiologis. Alasan sosiologis sejatinya memiliki relevansi dengan penerapan asas oportunitas. Oleh Karena itu, jika mengacu pada alasan sosiologis penerbitan SKPP, maka seyogyanya kasus Bibit-Chandra diselesaikan dengan mengacu pada asas oportunitas dan bukan melalui SKPP.

Dari contoh kasus Bibit-Chandra di atas, sejatinya terdapat argumentasi mengapa Kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung tidak berupaya menerapkan asas oportunitas yaitu: pertama, kekaburan mengenai standar dan limitasi mengenai pengaturan terkait penerapan asas oportunitas menjadi pertimbangan Jaksa Agung dalam upaya menerapkan asas oportunitas dalam kasus Bibit-Chandra[42]. Jaksa Agung tentu harus mempertimbangkan berbagai aspek dan jika seandainya penerapan asas oportunitas dalam kasus Bibit-Chandra menuai reaksi publik karena melanggar ketentuan hukum, maka hal ini bisa menjadi sebuah “blunder” bagi Jaksa Agung. Tentunya, hal ini sejatinya didasarkan oleh adanya ketidakjelasan mengenai standar dan limitasi terkait penerapan asas oportunitas.

Kedua, ketidakjelasan mengenai parameter dan standar mengenai asas oportunitas berpotensi tidak diterapkan oleh Jaksa Agung. Hal ini karena Jaksa Agung pasti berpikir terkait berbagai persepsi dan konsekuensi mengenai penerapan asas oportunitas pada suatu kasus yang menjadi perhatian publik. Ketiga, penerapan asas oportunitas yang masih sumir sejatinya menimbulkan implikasi belum terdapatnya upaya untuk menguji suatu praktik penerapan asas oportunitas yang telah ditetapkan oleh Jaksa Agung. Hal ini berarti, asas oportunitas dalam penerapannya bersifat final dan belum terdapat upaya hukum sebagai implikasi atas penerapan asas oportunitas[43]. Hal ini yang berimplikasi pada sedikitnya kemungkinan penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung ke depannya.

Dari ketiga kendala penerapan asas oportunitas di atas, semua aspek tersebut didasarkan pada problematika mengenai ketidakjelasan pengaturan asas oportunitas dalam UU Kejaksaan. Dalam penelitian ini, upaya untuk melakukan perbaikan dan pembaruan mengenai asas oportunitas dengan mengedepankan limitasi dan standar terkait penerapan asas oportunitas didasarkan pada perspektif hukum progresif. Terdapat dua argumentasi mengapa hukum progresif memiliki relevansi dengan problematika penerapan asas oportunitas, yaitu: pertama, hukum progresif yang digagas Satjipto Rahardjo sejatinya menekankan bahwa hukum itu terus mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat (law in the process or making) [44]. Dalam konteks ini, maka hukum progresif dapat menawarkan perombakan dan pembaruan konstruksi mengenai asas oportunitas. Asas oportunitas yang dirumuskan dalam UU Kejaksaan pada tahun 2004 tentu perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Hal ini selaras dengan kredo hukum progresif untuk selalu menjadi solusi atau problematika hukum yang dihadapi manusia.

Kedua, penerapan asas oportunitas menekankan moralitas hukum Jaksa Agung. Hal ini relevan dan selaras dengan orientasi hukum progresif yang tidak melihat bangunan norma semata dalam menganalisis suatu kasus hukum[45]. Hukum progresif secara simultan mengadopsi konstruksi moral, perilaku, serta norma hukum yang berlaku[46]. Terkait dengan penerapan asas oportunitas, selain kerangka aturan yang baik hukum progresif juga menekankan kualitas, kapasitas, dan moralitas Jaksa Agung sebagai pelaksana asas oportunitas. Dari dua relevansi penerapan perspektif hukum progresif dalam problematika hukum terkait asas oportunitas, maka dari aspek peraturan, maka perlu dilakukan revisi dan penegasan mengenai asas oportunitas khususnya terkait dengan limitasi dan standar penerapan asas oportunitas. Sekalipun asas oportunitas tetap mendasarkan pada moralitas hukum Jaksa Agung, pemberian limitasi dan standar penerapan asas oportunitas perlu dilakukan untuk memberikan panduan dan pedoman bagi Jaksa Agung dalam melaksanakan asas oportunitas. Hal ini dapat terwujud apabila terdapat upaya untuk merevisi UU Kejaksaan, khususnya mempertegas baba tau pasal khusus yang berisi prinisp, limitasi, serta standar bagi Jaksa Agung dalam melaksanakan asas oportunitas.

Perspektif hukum progresif yang menekankan manusia sebagai “inti” dan “pokok” dari suatu kegiatan berhukum juga mengamanatkan supaya pengaturan mengenai asas oportunitas disempurnakan dengan adanya upaya hukum atas praktik penerapan asas oportunitas. Upaya hukum atas praktik penerapan asas oportunitas dapat dilakukan pengujian kepada MA dengan melakukan revisi atas UU Kehakiman dan UU Kejaksaan. Terkait dengan pentingnya moralitas hukum bagi Jaksa Agung dalam melaksanakan asas oportunitas, maka bimbingan, pelatihan, serta pendidikan khusus perlu dijalankan bagi calon Jaksa Agung terutama mekanisme seleksi Jaksa Agung yang lebih diperketat dengan adanya orientasi terkait penerapan asas oportunitas.

Berdasarkan uraian di atas, limitasi dan parameter asas oportunitas dalam perspektif hukum progresif diperlukan supaya penerapan asas oportunitas dapat dilaksanakan secara pasti serta meminimalisasi adanya ketidakpastian hukum di masyarakat. Upaya hukum atas praktik penerapan asas oportunitas dapat dilakukan pengujian kepada MA dengan melakukan revisi atas UU Kehakiman dan UU Kejaksaan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan revisi atas UU Kehakiman dan UU Kejaksaan. Terkait dengan pentingnya moralitas hukum bagi Jaksa Agung dalam melaksanakan asas oportunitas, maka bimbingan, pelatihan, serta pendidikan khusus perlu dijalankan bagi calon Jaksa Agung terutama mekanisme seleksi Jaksa Agung yang lebih diperketat dengan adanya orientasi terkait penerapan asas oportunitas.

Simpulan

Penerapan asas oportunitas di Indonesia tampak kabur tanpa parameter dan limitasi yang eksplisit. Putusan MK Seponering hanya memperkuat kewajiban Jaksa Agung untuk melibatkan pertimbangan lembaga terkait, namun belum menciptakan standardisasi yang jelas dalam pengoperasiannya. Perspektif hukum progresif menuntut definisi yang lebih tegas dan batasan praktik asas oportunitas untuk menghindari ketidakpastian hukum. Sebagai respons, revisi mendalam terhadap UU Kehakiman dan UU Kejaksaan diusulkan, diikuti dengan pengembangan program bimbingan dan pendidikan untuk calon Jaksa Agung. Penelitian lebih lanjut mengenai topik ini dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam dan pengembangan strategi implementasi yang lebih efektif.

References

  1. A. Rewabawadewa, “Efektivitas Kinerja Jaksa Pengacara Negara dalam Penyelamatan Aset Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kejaksaan Negeri Makassar,” Lex Theory, vol. 3, no. 1, p. 95, 2022.
  2. S. Bella Andreyani, Hidayatullah, “Kewenangan Rangkap Jaksa Sebagai Penyidik, Penuntut Umum Dan Saksi Pelapor (Verbalisan) Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Terpadu,” Suara Keadilan, vol. 20, no. 2, pp. 147–160, 2019.
  3. A. M. Kanantha and F. Edwar, “Independensi Pengadilan Pajak Ditinjau Dari Pasal 24 Ayat (1) Uud Nri 1945,” Reformasi Huk. Trisakti, vol. 4, no. 3, pp. 519–528, 2022, doi: 10.25105/refor.v4i3.13828.
  4. Y. Nugraha, “Optimalisasi Asas Oportunitas Pada Kewenangan Jaksa Guna Meminimalisir Dampak Primum Remedium Dalam Pemidanaan,” Verit. Justitia, vol. 6, no. 1, pp. 213–236, 2020, doi: 10.25123/vej.3882.
  5. A. Triwati, “Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum Pascaputusan Mahkamah Konstitusi,” J. Ius Const., vol. 6, no. 1, p. 32, 2020, doi: 10.26623/jic.v6i1.2092.
  6. K. A. W. Sutin, “Kewenangan Jaksa Agung Dalam Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum,” Kalabbirang Law J., vol. 3, no. 1, pp. 20–33, 2021, doi: 10.35877/454ri.kalabbirang133.
  7. I. K. D. Santosa, N. P. R. Yuliartini, and D. G. S. Mangku, “Pengaturan Asas Oportunitas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” J. Pendidik. Kewarganegaraan Undiksha, vol. 9, no. 1, pp. 70–80, 2021.
  8. H. A. M. Sri Hasrina, Muhammad Said Karim, “Konsep Kepentingan Umum Dalam Asas Oportunitas Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” Indones. J. Crim. Law, vol. 3, no. 2, pp. 17–23, 2021.
  9. D. Setya, B. Yuherawan, and M. Huzaini, “Pertentangan antara asas oportunitas dengan asas equality before the law (pasal 35 huruf c uu nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republik indonesia),” Justitia, vol. 6, no. 2, p. 165, 2021.
  10. D. G. P. Y. Made Ananda Bella Cahyani, “Kepastian Hukum Deponering Oleh Jaksa Agung Berdasarkan Asas Oportunitas Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” Kertha Wicara, vol. 11, no. 1, p. 401, 2022.
  11. T. A. S. Negara, “Normative Legal Research In Indonesia: Its Origins And Approaches,” ACLJ, vol. 4, no. 1, p. 5, 2023.
  12. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
  13. Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007.
  14. A. Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
  15. N. Goldrosen, “Null Effects of a Progressive Prosecution Policy on Marijuana Enforcement,” Criminol. Crim. Justice, Law Soc., vol. 23, no. 1, pp. 23–45, 2022, doi: 10.54555/ccjls.4234.34103.
  16. J. P. Supardi Hamid, Gusti Kade Budhi Harryarsana , Adhi Iman Sulaiman, “Reconstruction Of Authorityattorney General In Disclaimer Of Casefor The Sake Of The Public Interest In The Criminal Justice System In Indonesia,” Russ. Law J., vol. 9, no. 2, p. 398, 2023.
  17. C. A. G. Katim, “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Ujaran Kebencian Dihubungkan dengan Surat Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung RI, dan Kapolri Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor Kb/2/Vi/2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dal,” Lex Gen., vol. 3, no. 7, p. 545, 2022.
  18. D. Broughton, “The South African prosecutor in the face of adverse pre-trial publicity,” Potchefstroom Electron. Law J., vol. 23, no. 1, pp. 1–36, 2020, doi: 10.17159/1727-3781/2020/V23I0A7423.
  19. C. N. Panjaitan, A. D. Tambunan, and R. W. Antonius, “Criminal Conviction of Social Workers in the Criminal Justice System,” Leg. Br., vol. 11, no. 6, pp. 3614–3621, 2023, doi: 10.35335/legal.Criminal.
  20. R. H. Ook Mufrohim, “Independensi Lembaga Kejaksaan Sebagai Legal Sctructure di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) di Indonesia,” Pembang. Huk. Indones., vol. 2, no. 3, p. 375, 2020.
  21. A. T. Firanti and S. Munawaroh, “The Criminal Cases Settlement with Restorative Justice System,” Srawung J. Soc. Sci. Humanit., vol. 1, no. 3, p. 45, 2022.
  22. P. Nirmala, “Adversary System in Common Law Countries and Possibility for Implementation in Indonesian Court,” Amsir Law J., vol. 2, no. 1, pp. 12–20, 2020, doi: 10.36746/alj.v2i1.28.
  23. F. Afandi, “Maintaining order: Public prosecutors in post-authoritarian countries, the case of Indonesia.” Universiteit Leiden, Leiden, pp. 187–188, 2021.
  24. A. Halim, S. Sudarsono, T. A. S. Negara, and H. R. Hadi, “The Urgency for the Implementation of Transition Norm ‘Lex Favor Reo’ in the Imposition of Tax Sanction in Indonesia,” Open J. Leg. Stud., vol. 3, no. 2, pp. 153–166, 2020, doi: 10.32591/coas.ojls.0302.07153h.
  25. R. M. Hazmi, A. S. Jahar, and N. Adhha, “Construction of Justice, Certainty, and Legal Use in the Decision of the Supreme Court Number 46 P/HUM/2018.,” J. Cita Huk., vol. 9, no. 1, pp. 159–178, 2021, doi: 10.15408/jch.v9i1.11583.
  26. A. Chuasanga and O. Argo Victoria, “Legal Principles Under Criminal Law in Indonesia Dan Thailand,” J. Daulat Huk., vol. 2, no. 1, p. 131, 2019, doi: 10.30659/jdh.v2i1.4218.
  27. A. N. Fata, “The Prosecutor’s Authority In Criminal Law Enforcement With A Restorative Justice Approach,” J. Huk. Khaira Ummah, vol. 2, no. 4, pp. 1–14, 2022.
  28. N. Nurkholim, “Termination of Criminal Investigations by The Prosecutor Under Criminal Law,” Leg. Br., vol. 11, no. 1, pp. 139–147, 2021.
  29. I. Premadasa and A. Khisni, “Extraordinary Legal Remedies By the Prosecutor in Criminal Procedure,” Law Dev. J., vol. 2, no. 4, p. 626, 2021, doi: 10.30659/ldj.2.4.626-633.
  30. T. S. Ahwan, “Penghentian Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi: Perbandingan Indonesia, Belanda Dan Hongkong,” Jure, vol. 2, no. 1, pp. 1–16, 2022.
  31. M. U. D. M. Mudasir Bhat, “The Role of Prosecution in the Criminal Justice System in India : An Analytical Audit,” Indraprastha Law Rev., vol. 1, no. 2, pp. 1–15, 2020.
  32. A. Jamaludin, “Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Tindak Pidana dalam Penegakan Hukum Dikejaksaan,” J. Pemuliaan Huk., vol. 4, no. 2, pp. 1–26, 2021, doi: 10.30999/jph.v4i2.1453.
  33. H. I. Sakti, “Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Kriteria Penyampingan Perkara Tindak Pidana Oleh Jaksa Agung,” Badamai Law J., vol. 6, no. 2, pp. 237–259, 2021.
  34. A. N. I. N. N. A. M. B. Sugiri, “The Meaning of Waiver of Case for Public Interest (Seponeering) in the Criminal Justice System,” Int. J. Soc. Sci. Res. Rev., vol. 5, no. 12, pp. 381–396, 2022.
  35. B. Amal, “Nolle Prosequi Sebagai Inovasi Baru Di Bidang Hukum Acara Pidana,” al-Jinâyah, vol. 8, no. 2, p. 106, 2022.
  36. E. van Sliedregt, “One rule for Them - Selectivity in international criminal law,” Leiden J. Int. Law, vol. 34, no. 2, pp. 283–290, 2021, doi: 10.1017/S0922156521000121.
  37. C. da Cruz, “Legal Aspects Of Justice In Criminal Law Enforcement,” Pembaharuan Huk., vol. 6, no. 3, p. 398, 2019.
  38. J. Bellin, “The Changing Role of the American Prosecutor,” Ohio State J. Crim. Law, vol. 18, no. 1, p. 333, 2020.
  39. A. Woolley and L. Soubise, Prosecutors and Justice : Insights from Comparative Analysis, vol. 42, no. 2. 2020.
  40. B. Krzan, “Admissibility of evidence and international criminal justice,” Rev. Bras. Direito Process. Penal, vol. 7, no. 1, pp. 161–188, 2021, doi: 10.22197/RBDPP.V7I1.492.
  41. A. B. Hermanto and B. S. Riyadi, “Constitutional law on the discretionary of prosecutor’s power against abuse of power implications of corruption culture in the prosecutor’s office Republic of Indonesia,” Int. J. Criminol. Sociol., vol. 9, no. 16, pp. 763–772, 2020, doi: 10.6000/1929-4409.2020.09.71.
  42. L. Adiguna, “The Prosecutor’s Authority to Conduct a Criminal Investigation Based on The Government Administration Law,” Adm. Environ. Law Rev., vol. 2, no. 1, pp. 11–20, 2021, doi: 10.25041/aelr.v2i1.2214.
  43. F. M. Nelson, “Due Process Model Dan Restorative Justice Di Indonesia,” J. Huk. Pidana Kriminoplogi, vol. 1, no. 1, pp. 92–112, 2020.
  44. S. Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, 3rd ed. Jakarta: Kompas, 2008.
  45. S. Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2010.
  46. A. M. Dewantara, “Implementation of Progressive Law in Enforcement of Environmental Law in Indonesia: The Current Problems and Future Challenges,” Indones. J. Environ. Law Sustain. Dev., vol. 1, no. 2, pp. 237–264, 2022.