Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i1.990

Enhancing Legal Protection for Digital Transactions: Addressing Fraudulent QRIS System in Indonesia


Meningkatkan Perlindungan Hukum dalam Transaksi Digital: Mengatasi Sistem QRIS Palsu di Indonesia

Fakultas Hukum Universitas Kadiri, Kediri
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legal protection digital transactions fraudulent QRIS consumer protection law enforcement capacity

Abstract

This study examined the legal safeguards necessary to combat fraudulent QRIS systems in digital transactions, focusing on the imperative need to protect consumers who are often more vulnerable than business entities in the digital transaction process. Employing a normative legal research methodology, the study utilized a legislative approach and concept analysis to deliver its findings. The study revealed that preventive legal protection, manifesting as increased public awareness and understanding of the QRIS system, its use, and associated criminal potentials, is essential. Repressive legal protection should be implemented by enhancing the capacity and infrastructure of law enforcement agencies. In cases of internal issues with the QRIS system, the liability of the system's creator or issuer must be clearly defined. The electronic system's execution can be managed by the electronic system provider or delegated to e-business agent operators, underlined by good faith, transparency, accountability, fairness, and prudence. This research underscores the importance of extensive public socialization and training on the use and risks of the QRIS system, providing implications for bolstering consumer protection laws, enhancing law enforcement capacity and infrastructure, and refining electronic transaction regulations in Indonesia.

Highlights:

  • The vulnerability of consumers in digital transactions necessitates robust legal safeguards, particularly regarding the use of the QRIS system.
  • Both preventive (educational) and repressive (enforcement) legal protections are vital to combat fraudulent digital transactions and enhance consumer confidence.
  • Enhancing law enforcement capabilities and infrastructure, as well as clearly defining the liability of QRIS system issuers, is imperative for maintaining the integrity of digital transactions.

Keywords: Legal protection, digital transactions, fraudulent QRIS, consumer protection, law enforcement capacity.

Pendahuluan

Perkembangan teknologi berdampak pada kegiatan perekonomian masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya produk dan fitur perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi masyarakat[1]. Salah satu produk dan fitur perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi masyarakat tersebut adalah adanya pembayaran secara elektronik yang mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi[2]. Pembayaran secara elektronik atau lazim disebut sebagai electronic payment merupakan proses pembayaran dalam transaksi yang dilakukan secara digital[3]. Proses pembayaran pada umumnya berlangsung seperti pembayaran tunai hanya saja media dan cara pelaksanaannya yang berbeda. Proses pembayaran melalui electronic payment berorientasi pada pemanfaatkan internet sehingga penjual tidak harus bertemu secara langsung.

Electronic payment semakin menemukan relevansinya ketika adanya pandemi COVID-19 yang mana dibatasinya pertemuan secara tatap muka masyarakat[4]. Hal ini semakin memeprtegas eksistensi electronic payment yang dilakukan secara digital selain semakin membuat efektif dan efisien juga semakin mempermudah transaksi digital yang tidak dibatasi tempat serta waktu[5]. Electronic payment melengkapi fasilitas transaksi digital yang telah ada sebelumnya seperti adanya kartu ATM, e-money, internet banking, kartu kredit, debit, mobile payment,serta mobile banking[6].

Pada praktiknya, sekalipun electronic payment memiliki dampak positif juga memiliki beberapa dampak negatif, seperti adanya kasus penipuan transaksi online[7]. Dalam kaitannya dengan kasus penipuan transaksi online salah satunya dilakukan dengan adanya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) palsu. QRIS merupakan sistem pembayaran yang mengintegrasikan berbagai sistem pembayaran non-tunai yang ada di Indonesia[8]. Hal ini berarti, jika kode QRIS palsu maka berpotensi terjadinya kesalahan pembayaran. Hal ini jika disengaja dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak dan terkualifikasi sebagai tindakan penipuan.

Penipuan dalam transaksi digital secara lex generalis diatur dalam Pasal 378 KUHP dan secara khusus diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2016 Tentang ITE (UU Perubahan ITE). Meski begitu, ketentuan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU Perubahan ITE hanya sebatas mengatur mengenai adanya berita bohong yang dapat merugikan konsumen, sedangkan adanya penipuan dengan QRIS palsu belum mendapatkan pengaturan khusus. Berdasarkan permasalahan hukum tersebut, maka penelitian ini berfokus pada bagaimana upaya perlindungan hukum terkait adanya penipuan dengan QRIS palsu.

Penelitian mengenai perlindungan hukum dalam transaksi digital sejatinya telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, seperti: pertama, penelitian yang dilakukan oleh Novita dan Santoso (2021) yang membahas mengenai perlunya pembaruan aturan di bidang transaksi digital[9]. Keunggulan dari penelitian ini yaitu telah memaparkan berbagai problematika mengenai permasalahan yang belum diatur dalam hukum positif mengenai transaksi digital. Kelemahan penelitian ini yaitu belum menawarkan solusi sementara sebelum adanya perubahan undang-undang yang memerlukan tindakan politik. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Kosasih dan Benia (2022) yang membahas mengenai perlindungan hukum konsumen dalam transaksi kripto[10]. Keunggulan dari penelitian ini yaitu telah memaparkan kelemahan UU Perlindungan Konsumen sehingga diperlukan upaya perlindungan hukum. Kelemahan penelitian ini belum secara spesifik membahas mengenai kasus tertentu yang berkaitan dengan permasalahan transaksi kripto.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Purborini (2023) yang membahas mengenai perlindungan hukum konsumen terkait transaksi pembelian desain melalui shopee[11]. Keunggulan penelitian ini yaitu telah mendeskripsikan mengenai transaksi pembelian desain melalui shopee. Kelemahan penelitian ini yaitu belum membahas mengenai analisis normatif kekurangan UU Perlindungan Konsumen dalam kaitannya dengan transaksi digital. Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut penelitian yang membahas mengenai upaya perlindungan hukum terkait adanya penipuan dengan QRIS palsu adalah penelitian yang orisinal karena belum dibahas secara spesifik dalam ketiga penelitian sebelumnya.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yang berfokus pada kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan[12]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU PK), KUHP dan UU Perubahan ITE. Bahan hukum sekunder adalah buku, artikel jurnal, serta hasil riset yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam transaksi online. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan konseptual yang mengedepankan doktrin, pendapat, serta hasil analisa ahli atau suatu isu hukum[13]. Pendekatan selanjutnya yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang fokus utamanya adalah melakukan penelaahan atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum[14].

Hasil dan Pembahasan

Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pemakai QRIS Palsu

QRIS adalah kepanjangan dari QR-Code atau Quick Response Code yang merupakan dari perkembangan teknologi digital yang mampu menerjemahkan kode binary serta kode lain yang dapat dioptimalkan dalam transaksi digital[15]. QR-Code pertama kali diperkenalkan oleh Denso Wave pada tahun 1994[16]. QR-Code merupakan sistem kode elektronik yang mana di dalam sistem tersebut terdapat berbagai informasi mengenai transaksi yang telah dilakukan [17].

Perkembangan QR-Code membuat Indonesia kemudian mengatur secara khusus terkait dengan QR-Code sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No. 21/18/2019 (PADG)[18]. Pasal 1 angka 4 PADG tersebut menjelaskan bahwa secara umum QRIS dipahami sebagai sistem transaksi pembayaran yang memanfaatkan sistem elektronik yang mana dalam sistem QRIS terdapat riwayat transaksi sehingga dapat memudahkan proses transaksi non-tunai.Dengan mengacu pada pemahaman tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa QRIS merupakan satndar QR-Code yang dirumuskan oleh Bank Indonesia sebagai sarana transaksi elektornik. Sistem QRIS mengakomodasi dua model kode QR yaitu melalui Merchant Presented Mode (MPM) serta melalui Customer Presented Mode (CPM)[18]. Sistem QRIS memiliki beberapa persyaratan untuk dapat digunakan yang meliputi[19]:

  1. Kewajiban merchant untuk mendaftar pada penyelenggara jasa sistem pembayaran non-tunai. Kewajiban mendaftar ini untuk mendapatkan kode QR sebagai sarana untuk melakukan transaksi.
  2. Pengguna juga dibebani dengan kewajiban untuk melakukan registrasi supaya terinput dengan QRIS melalui aplikasi tertentu sehingga dapat segera digunakan untuk bertransaksi.

QRIS dalam perkembangannya menggunakan sistem yang sifatnya statis dan dinamis[20]. Meski sama-sama merupakan media transaksi non-tunai, QRIS statis memiliki beberapa kelemahan seperti[21]:

  1. QR statis membebani pihak merchant untuk mencetak ulang kode tertentu supaya dapat dilakukan transaksi;
  2. QR statis memiliki kesulitan dari segi pelacakan khususnya pada aspek waktu, jenis, hingga jumlah nominal transaksi;
  3. QR status memiliki risiko kelemahan yang cukup masif salah satunya berupa salah input pada saat dilakukannya transaksi.

Mengacu pada kelemahan dari QRIS di atas, secara yuridis, terdapat potensi adanya pelanggaran hukum yang dilakukan melalui QRIS yaitu meliputi: pertama, adanya kelemahan yang ada dalam QRIS di atas berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan hukum[22]. Oleh karena itu, sekalipun QRIS membuat transaksi pembayaran menjadi efektif dan efisien namun di sisi yang lain QRIS memiliki potensi untuk disalahgunakan secara hukum sehingga dapat merugikan konsumen. Kedua, salah satu kelemahan dari QRIS adalah sulitnya melakukan transaksi secara detail dan komprehensif[23]. Kesulitan melakukan pelacakan ini membuat potensi menimbulkan berbagai modifikasi dan rekayasan yang dapat menimbulkan adanya potensi pelanggaran hukum. Ketiga, QRIS tidak memiliki koreksi otomatis terhadap suatu kesalahan atau kekeliruan yang berpotensi dilakukan dalam transaksi digital[24]. Hal ini membuat QRIS sangat rawan terjadinya suatu pelanggaran hukum.

Mengacu pada tiga kelemahan utama dari sistem QRIS di atas, maka terdapat urgensi yang dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen terkait adanya berbagai potensi pelanggaran hukum yang diakibatkan oleh sistem QRIS. Perlunya pemberian perlindungan hukum ini, khususnya bagi konsumen karena terdapat potensi adanya QRIS palsu yang merugikan konsumen. Perlindungan hukum bagi kinsmen karena adanya potensi pemalsuan QRIS diperlukan dengan tiga argumentasi, yaitu: pertama, konsumen adalah pihak yang lemah dan rentan dalam transaksi, terlebih lagi transaksi yang dilakukan secara digital dengan menggunakan sistem QRIS. Hal ini karena penentuan QRIS dilakukan oleh pelaku usaha sehingga konsumen hanya tinggal memenuhi atau mematuhi pelaku usaha dalam upaya pembayaran.

Kedua, sistem QRIS dengan berbagai keunggulan dan kekurangannya sejatinya masih memiliki berbagai kelemahan yang berpotensi membuat adanya pelanggaran hukum. Konsumen menjadi pihak yang dominan dirugikan akan adanya pelanggaran hukum ini. Ketiga, konsumen merupakan pihak yang wajib mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana postulat “pembeli/konsumen adalah raja”. Postulat tersebut mengindikasikan bahwa konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum secara optimal. Jika dalam transaksi manual konsumen sudah mendapatkan jaminan perlindungan hukum melalui UU PK, sudah seyogyanya dalam transaksi elektronik konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, maka urgensi perlindungan hukum bagi konsumen pemakai QRIS palsu diperlukan karena kedudukan hukum konsumen dapat dikatakan lebih rendah jika dibandingkan dengan pelaku usaha dalam proses transaksi digital. Selain itu, dengan berbagai kekurangan dalam sistem QRIS yang menimbulkan adanya implikasi pelanggaran hukum justru konsumen yang mendapatkan potensi dirugikan paling besar sehingga perlindungan hukum bagi konsumen atas adanya QRIS palsu sangat urgen supaya hak-hak konsumen dapat terpenuhi secara adil dalam transaksi digital.

Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pemakai QRIS Palsu

Perlindungan hukum bagi konsumen di era transaksi digital sejatinya merupakan salah satu fokus penting dalam relasi antara pelaku usaha dan konsumen[25]. Hal ini karena hadirnya perkembangan globalisasi dan teknologi berpengaruh terhadap perkembangan iklim ekonomi digital yang menimbulkan hubungan hukum yang lebih komprehensif dan holistik[26]. Dalam hubungan hukum yang komprehensif dan holistik, maka perkembangan teknologi dan informasi menimbulkan berbagai relasi hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen menjadi lebih masif sehingga digitalisasi di satu sisi semakin membuat hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen menjadi lebih efektif[27]. Hal ini ditandai dengan hadirnya transaksi non-tunai yang secara yang didasarkan pada teknologi digital yang membuat relasi antara pelaku usaha dan konsumen didasarkan pada hubungan virtual.

Hubungan virtual antara pelaku usaha dan konsumen dilakukan secara komprehensif melalui media digital membuat intensitas hubungan pelaku usaha dan konsumen menjadi lebih intens[28]. Hal ini dapat dilihat seperti adanya persetujuan pembelian antara pelaku usaha dan konsumen yang tidak memerlukan tindakan tatap muka tetapi cukup dengan sekali “klik” maka konsumen atau pelaku usaha sudah dapat dikatakan telah menyetujui[29]. Selain itu, dalam proses pembayaran pun tidak dilakukan secara manual dan secara faktual, tetapi dilakukan secara virtual melalui media digital dengan pembayaran secara non-tunai. Pembayaran secara non-tunai dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital salah satunya melalui QRIS[16][30]. Hadirnya sistem QRIS sebagai sistem pembayaran modern dalam transaksi digital ini yang kemudian menjadi media baru dalam pembayaran berbasis digital.

Sejatinya terdapat tiga orientasi positif mengenai QRIS sebagai sistem pembayaran digital yaitu: pertama, QRIS sifatnya lebih fleksibel sehingga pembayaran dapat dilakukan secara tepat dan cepat. Selain itu, QRIS juga tidak menggunakan alat pembayaran berupa uang manual tetapi menggunakan uang khusus yaitu uang digital. Hal ini semakin memperkuat dan mengefektifkan pembayaran digital yang dapat dilakukan secara fleksibel. Kedua, QRIS selain cepat juga praktis dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam transaksi. Di era perkembangan transaksi digital, maka QRIS juga dapat meminimalisasi dan mengefektifkan waktu dalam transaksi digital sehingga secara praktis QRIS dapat membantu iklim transaksi digital. Ketiga, QRIS khususnya dalam kondisi tertentu seperti era pandemi COVID-19 misalnya sangat bermanfaat dalam mencegah penyebaran virus COVID-19[31]. Hal ini karena QRIS mencegah adanya kontak fisik sehingga transaksi digital dapat secara komprehensif dilaksanakan secara faktual melalui QRIS.

Orientasi positif mengenai QRIS sebagai sistem pembayaran digital di satu sisi juga memiliki dampak negatif, diantaranya adanya banyak kejahatan komersial yang berujung pada pelanggaran, terutama dalam perjanjian/kontrak[32]. Dengan memanfaatkan kelalaian dan ketidaktahuan pihak manapun dengan mengadakan perjanjian atau kontrak apapun untuk mendapatkan keuntungan di luar perjanjian dan kesepakatan tertulis[33]. Adanya transaksi digital di satu sisi berimplikasi pada dampak negatif pembayaran digital yang berpotensi menimbulkan adanya suatu penipuan dalam transaksi digital. Dalam praktik transaksi digital, adanya penipuan melalui pembayaran dalam transaksi digital lazim disebut sebagai fraud[29].

Fraud secara umum dipahami sebagai tindakan untuk menipu, membohongi, serta mengelabuhi satu pihak demi terpenuhinya keuntungan dari pihak lain[34]. Penipuan adalah perbuatan yang merugikan orang lain yang termasuk dalam tindak pidana. Definisi penipuan diatas menggambarkan bahwa tindakan curang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik sebagai kebohongan maupun sebagai tindakan dengan maksud untuk mengambil keuntungan dari orang lain. Terkait adanya upaya penegakan hukum terkait sistem pembayaran digital melalui QRIS, dalam UU Perubahan ITE sejatinya tidak diatur secara spesifik mengenai penipuan secara digital. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU Perubahan ITE yang hanya menegaskan unsur berita bohong yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Secara leksikal, berita bohong merupakan informasi yang tidak sesuai sehingga tidak dapat dipercaya atau tidak sesuai dengan kenyataan. Informasi yang tidak sesuai sehingga tidak dapat dipercaya atau tidak sesuai dengan kenyataan yang dapat merugikan konsumen dalam transaksi digital ini yang kemudian menjadi substansi Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU Perubahan ITE[35][36]. Meskipun ayat ini tidak secara khusus menjelaskan penipuan, tetapi sangat komprehensif dalam semua aspek perilaku.

Pengaturan perbuatan atau peristiwa informasi dan transaksi elektronik UU ITE beserta perubahannya merupakan bentuk regulasi siber pertama di Indonesia. Meski begitu, ketentuan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU Perubahan ITE memiliki kelemahan jika dikaitkan dengan perlindungan konsumen mengenai pembayaran akibat QRIS palsu yaitu substansi Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU Perubahan ITE berfokus pada informasi yang tidak tepat dan tidak sesuai dalam transaksi digital. Praktik mengenai ketentuan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU Perubahan ITE sejatinya dapat dicontohkan dengan adanya spesifikasi antara informasi pada barang dengan barang yang telah dibeli dalam transaksi digital. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) UU Perubahan ITE belum mampu untuk menanggulangi adanya kerugian konsumen atas pembayaran akibat QRIS palsu.

Pengaturan dalam UU ITE beserta perubahannya terkait dengan perkembangan digitalisasi sejatinya juga telah diatur peraturan pelaksana melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang telah mengatur mengenai penyelenggara elektronik sertifikasi, penyelengara sistem elektronik, penyelenggara agen elektronik, hingga tanda tangan elektronik. Peraturan tentang pengoperasian sistem elektronik untuk memastikan bahwa setiap bagian dan integrasi seluruh sistem elektronik bekerja dengan baik. Komponen sistem elektronik antara lain meliputi perangkat lunak, tenaga ahli, perangkat keras, keamanan, dan administrasi[37]. Melalui peraturan pelaksanaan tersebut, mempertegas kewajiban penyelenggara sistem elektronik pada umumnya dan penyelenggara sistem elektronik terhadap pelayanan publik.

Sistem elektronik dapat dikelola oleh penyelenggara sistem elektronik atau dapat didelegasikan kepada operator agen e-business[38]. Penyelenggara saluran elektronik dapat melakukan lebih dari satu pengoperasian sistem elektronik berdasarkan kesepakatan para pihak. Organisasi e-agency harus mendaftar ke Kementerian Informasi Dan Komunikasi. Penyelenggara sistem elektronik dan penyelenggara e-retailer memiliki hak dan wewenang untuk melakukan transaksi elektronik, baik di ranah publik maupun privat[39]. Transaksi elektronik yang dilakukan oleh para pihak harus dilakukan dengan itikad baik, sesuai dengan prinsip transparansi, tanggung jawab, kewajaran, dan kehati-hatian[40]. Transaksi elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau bentuk kontrak lainnya. Dalam setiap transaksi elektronik, tanda tangan elektronik diperlukan untuk mengkonfirmasi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditandatangani oleh tanda tangan elektronik tersebut[41]. Tanda tangan elektronik yang digunakan dalam transaksi elektronik dapat dihasilkan dengan menggunakan berbagai prosedur tanda tangan, termasuk tanda tangan digital yang diautentikasi dan tidak diautentikasi[42]. Tanda tangan digital yang diautentikasi oleh penyedia sertifikat elektronik, diwujudkan dengan sertifikat elektronik. Penyelenggara sertifikasi elektronik yang beroperasi di Indonesia harus diakreditasi oleh menteri, termasuk tingkat registrasi, sertifikasi atau parental.

Kepastian hukum layanan perbankan melalui pembayaran non-tunai dengan sistem QRIS dapat diwujudkan dengan adanya sosialisasi dan pelatihan yang masif kepada masyarakat. Sosialisasi, pelatihan, hingga pemahaman mengenai penggunaan QRIS beserta risikonya perlu diberdayakan pada masyarakat umum karena bagaimana pun transaksi digital merupakan fenomena global yang sudah memasyarakat sehingga masyarakat wajib paham mengenai sistem QRIS beserta risikonya. Pemahaman masyarakat yang baik terkait sistem QRIS beserta risikonya akan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai transaksi digital. Kesadaran hukum yang tinggi terkait transaksi digital oleh masyarakat diperlukan setidaknya ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek transaksi dan potensi tindak pidana. Kesadaran hukum yang tinggi masyarakat mengenai transaksi digital berpotensi membuat masyarakat memahami langkah-langkah transaksi digital sehingga lebih berhati-hati. Kesadaran hukum masyarakat terkait potensi tindak pidana dalam transaksi digital dimaksudkan supaya potensi tindak pidana dapat diantisipasi dan diminimalisasi.

Terkait perlindungan hukum yang harus diberikan kepada masyarakat dalam transaksi digital melalui sistem QRIS maka wajib mengacu pada perlindungan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yang merumuskan perlindungan hukum dalam dua jenis yaitu preventif dan represif[43]. Perlindungan hukum preventif terkait transaksi digital melalui sistem QRIS dilakukan dengan adanya pemahaman dan penyadaran bagi masyarakat terkait tata cara menggunakan sistem QRIS dalam bertransaksi termasuk dengan potensi tindak pidana. Masyarakat juga perlu dididik untuk bagaimana cara melaporkan potensi adanya potensi tindak pidana sebagai implikasi sistem QRIS. Perlindungan hukum represif dilakukan dengan mengoptimalkan aparat penegak hukum yang ada dengan peningkatan kapasitas serta sarana dan prasarana.

Peningkatan kapasitas dilakukan dengan perlunya pelatihan dan pengembangan tertentu oleh aparat penegak hukum supaya siap dan sigap dalam menghadapi adanya tindak pidana transaksi digital yang memanfaatkan sistem QRIS. Selain peningkatan kapasitas, sarana dan prasarana bagi aparat penegak hukum juga perlu ditingkatkan seperti adanya pemesanan alat khusus yang mampu melakukan deteksi dini potensi tindak pidana transaksi digital. Selain itu, sarana dan prasarana bagi aparat penegak hukum supaya dapat menindak tegas pelaku tindak pidana transaksi digital juga perlu mengacu dan melihat perkembangan terkini teknologi penegakan hukum di negara lain.

Berdasarkan uraian di atas, perlindungan hukum preventif terkait transaksi digital melalui sistem QRIS dilakukan dengan adanya pemahaman dan penyadaran bagi masyarakat terkait tata cara menggunakan sistem QRIS dalam bertransaksi termasuk dengan potensi tindak pidana. Perlindungan hukum represif dilakukan dengan adanya pengembangan tertentu oleh aparat penegak hukum supaya siap dan sigap dalam menghadapi adanya tindak pidana transaksi digital yang memanfaatkan sistem QRIS. Selain itu, apabila sistem QRIS yang bermasalah secara internal, maka perlu diatur pertanggungjawaban pembuat atau penerbit sistem QRIS atas kerugian yang ditimbulkan.

Simpulan

Urgensi perlindungan hukum bagi konsumen QRIS palsu tidak dapat disangkal, sebagian besar disebabkan oleh posisi konsumen yang dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha dalam transaksi digital. Kerentanan dalam sistem QRIS, yang dapat menyebabkan potensi pelanggaran hukum, sering kali merugikan konsumen, menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan perlindungan hukum terhadap QRIS palsu untuk memastikan pemenuhan hak-hak konsumen yang adil dalam transaksi digital. Perlindungan hukum yang bersifat preventif dapat diberikan melalui pencerahan dan penyadaran masyarakat tentang penggunaan sistem QRIS yang benar dalam bertransaksi, termasuk potensi tindak pidana. Sementara itu, perlindungan hukum secara represif membutuhkan peningkatan infrastruktur dan kapasitas penegak hukum agar siap dan proaktif dalam menangani tindak pidana dalam transaksi digital yang memanfaatkan sistem QRIS. Selain itu, jika sistem QRIS memiliki masalah yang melekat, maka perlu dibuat kerangka kerja untuk pertanggungjawaban pembuat atau penerbit sistem QRIS atas segala kerusakan yang ditimbulkan. Sebagai penutup, pentingnya isu-isu ini membutuhkan eksplorasi dan penelitian yang komprehensif untuk menciptakan lingkungan transaksi digital yang adil, sehingga melindungi konsumen sekaligus mempromosikan integritas bisnis.

References

  1. S. K. Fakunmoju, O. Banmore, A. Gbadamosi, and O. I. Okunbanjo, “Effect of Cryptocurrency Trading and Monetary Corrupt Practices on Nigerian Economic Performance,” Binus Bus. Rev., vol. 13, no. 1, pp. 31–40, 2022, doi: 10.21512/bbr.v13i1.7305.
  2. Krismiyarsi, “Proven Criminal Action Of Spreading Hoax News Through Social Media Regarding Covid-19,” Untag Law Rev., vol. 5, no. 2, p. 58, 2021, doi: 10.5812/iji.102184.2.
  3. I. C. P. Siti Mahfuzah, “Perkembangan Transaksi E-Commerce Berdasarkan pada Metode Pembayaran, Kategori Produk dan Kelompok Usia di Kalimantan Selatan,” J. Ilmu Ekon. dan Pembang., vol. 5, no. 1, p. 296, 2022.
  4. S. K. Pandey, “A Study on Digital Payments System & Consumer Perception: An Empirical Survey,” J. Posit. Sch. Psychol., vol. 2022, no. 3, pp. 10121–10131, 2022.
  5. I. W. G. Wiryawan, “Urgensi Perlindungan Kurir Dalam Transaksi E-Commerce Dengan Sistem COD (Cash On Delivery),” J. Anal. Huk., vol. 4, no. 2, pp. 188–202, 2021.
  6. M. N. K. Fauzi and D. L. Kusworo, “Legal Effectivity: Transisi Electronic Commerce Pada Era Pandemi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019,” Res Judicata, pp. 1–22, 2021.
  7. K. Hidayag and A. Witasari, “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli Secara Online (E-Commerce),” in Prosiding Konstelasi Ilmiah Mahasiswa UNISSULA, 2022, pp. 275–291.
  8. D. Afriyanti, “Dampak Penggunaan Qris Pada Umkm Di Kota Pekanbaru Dalam Rangka Mendorong Perkembangan Ekonomi Digital,” Khazanah Ulum Perbank. Syariah, vol. 6, no. 2, pp. 1–23, 2022.
  9. Y. D. Novita and B. Santoso, “Urgensi Pembaharuan Regulasi Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital,” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 3, no. 1, pp. 46–58, 2021.
  10. E. B. Dewina Nurul Aini Kosasih, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pada Transaksi Digital Aset Kripto Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dewina,” Padjadjaran Law Rev., vol. 10, no. 1, p. 3, 2022.
  11. V. S. Purborini, “Perlindungan Hukum Konsumen pada Transaksi Jual Beli Jasa Desain Melalui Shopee,” J. Pendidik. Tambusai, vol. 7, no. 1, pp. 3619–3623, 2023.
  12. I. M. P. Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke. Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
  13. P. M. Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cetakan ke. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
  14. A. Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
  15. M. Radho and N. I. Lestari, “Students’ Interest in Using the Quick Response Code Indonesian Standard Payment System for Vocational Education Program Students Serang Raya University,” J. Keuang. dan Perbank., vol. 2, no. 1, pp. 21–31, 2022, doi: 10.30656/jkk.v2i1.5846.
  16. I. Liswanty, W. Dari, R. Hasanah, and N. M. Saragih, “Perkembangan Pembayaran Digital : Meningkatkan Strategi Intensi Penggunaan QRIS Pada Generasi Millenial di Kota Medan,” Accumulated J., vol. 5, no. 1, pp. 97–109, 2023.
  17. N. I. Putri, Z. Munawar, and R. Komalasari, “Minat Penggunaan QRIS Sebagai Alat Pembayaran Pasca Pandemi,” Pros. SISFOTEK, pp. 155–160, 2022.
  18. S. Hidayati et al., “Sosialisasi Sistem Pembayaran Elektronik (QRIS) dan Pecahan Uang Kertas Tahun Emisi (TE) 2022 Kepada Masyarakat Desa Lampeunurut,” J. Pengabdi. Aceh, vol. 3, no. 1, pp. 41–45, 2023.
  19. H. A. Gilang Rizaldi, “Studi Kualitatif Penggunaan QRIS (Quick Respond Indonesian Standard) dalam Pemungutan ZIS (Zakat, Infaq, dan Shadaqah) (Studi Empiris pada Masjid-Masjid di Kota Padang),” Eksplor. Akunt., vol. 5, no. 1, pp. 115–126, 2023.
  20. W. Seputri and M. Yafiz, “QRIS sebagai Alat Transaksi Digital Generasi Z: Analisis Faktor,” Adzkiya J. Huk. dan Ekon. Syariah, vol. 10, no. 2, p. 139, 2022.
  21. M. K. Niken Widowati, “Adopsi Pembayaran Digital Qris Pada Umkm Berdasarkan Technology Acceptance Model,” J. Dev. Econ. Soc. Stud., vol. 1, no. 2, pp. 325–347, 2022.
  22. P. Ramadani Silalahi, K. Tambunan, and T. Ramadhany Batubara, “Dampak Penggunaan QRIS Terhadap Kepuasan Konsumen Sebagai Alat Transaksi,” J. Ilm. Multidisiplin, vol. 1, no. 2, pp. 122–128, 2022.
  23. D. I. Saibil, F. Sodik, and A. A. Mardiah, “Factors Affecting the Intention of Using Qris in Sharia Mobile Banking Model Modification Of Utaut 2),” Nisbah, vol. 8, no. 2, pp. 76–92, 2022.
  24. E. Sholihah and R. Nurhapsari, “Percepatan Implementasi Digital Payment Pada UMKM : Intensi Pengguna QRIS Berdasarkan Technology Acceptance Model,” Nominal, vol. 12, no. 1, pp. 1–12, 2023.
  25. S. Subekti, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pada Jual Beli Rumah Deret Dengan Sistem Pre Project Selling Berdasarkan Ppjb,” Lex J., vol. 4, no. 1, p. 3, 2020.
  26. B. Effendi, “Pengawasan Dan Penegakan Hukum Terhadap Bisnis Digital (E-Commerce) Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat,” Syiah Kuala Law J., vol. 4, no. 1, pp. 21–32, 2020, doi: 10.24815/sklj.v4i1.16228.
  27. K. Benuf, S. Mahmudah, and E. A. Priyono, “Perlindungan Hukum Terhadap Keamanan Data Konsumen Financial Technology Di Indonesia,” Refleks. Huk. J. Ilmu Huk., vol. 3, no. 2, pp. 145–160, 2019, doi: 10.24246/jrh.2019.v3.i2.p145-160.
  28. A. Yetno, “Penyelesaian Kasus Hukum Pada Transaksi Elektronik Atau E-Commerce Bagi Konsumen di Era Digital di Indonesia,” Satya Dharma, vol. 5, no. 2, p. 172, 2022.
  29. G. S. Saleh and G. S. Saleh, “Juridical Analysis of the Crime of Online Store Fraud in Indonesia,” J. Huk. dan Peradil., vol. 11, no. 1, p. 151, 2022, doi: 10.25216/jhp.11.1.2022.151-175.
  30. S. Puspasari, “Perlindungan Hukum bagi Investor pada Transaksi Aset Kripto dalam Bursa Berjangka Komoditi,” Jurist-Diction, vol. 3, no. 1, p. 303, 2020, doi: 10.20473/jd.v3i1.17638.
  31. S. Susilawati, R. Falefi, and A. Purwoko, “Impact of COVID-19’s Pandemic on the Economy of Indonesia,” Budapest Int. Res. Critics Inst. Humanit. Soc. Sci., vol. 3, no. 2, pp. 1147–1156, 2020, doi: 10.33258/birci.v3i2.954.
  32. L. Putu and Y. Karista, “Online Fraud Law in Indonesia : Enforcement Challenges and Future Solutions,” in International Conference Towards Humanity Justice for Law Enforcement and Dispute Settlement, 2022, pp. 54–64.
  33. P. Ameliani, H. Iskandar, and D. J. Wardana, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Kosmetik yang Tidak Terdaftar BPOM,” AL-MANHAJ J. Huk. dan Pranata Sos. Islam, vol. 4, no. 2, pp. 653–660, 2022, doi: 10.37680/almanhaj.v4i2.2062.
  34. M. Mohd Ali and N. Farhana Mohd Zaharon, “Phishing as Cyber Fraud: The Implications and Governance,” Hong Kong J. Soc. Sci., vol. 57, no. 1, p. 123, 2021.
  35. H. Veno, C. Ali Firman, D. Ravena, and A. Mulyana, “Criminal Response Formulation Policy Distribution News (Hoax) through Social Media,” J. La Soc., vol. 2, no. 6, pp. 13–21, 2021, doi: 10.37899/journal-la-sociale.v2i6.495.
  36. A. Muhammad Aswin Anas, A. Yunus, M. M. Athallariq Gio, and N. Wulandari, “Optimalisasi Penegakan Hukum Terhadap Penyebaran Berita Bohong tentang Vaksinasi,” Amanna Gappa, vol. 29, no. 1, p. 2021, 2021.
  37. A. Asnawi, “Kesiapan Indonesia Membangun Ekonomi Digital Di Era Revolusi Industri 4.0,” J. Ilm. Indones., vol. 7, no. 1, 2022.
  38. Y. W. Riyadi Putra, F. Nur Styaningsih, and W. H. Herviana, “Analisis Perkembangan Transportasi Online di Indonesia di Era 4.0 Dengan Metode Penelitian Deskriptif,” J. Teknol. Dan Sist. Inf. Bisnis, vol. 4, no. 1, pp. 162–170, 2022, doi: 10.47233/jteksis.v4i1.389.
  39. Yuliana, “Inovasi Bisnis Digital di tengah Pandemi COVID-19,” JAMI J. Ahli Muda Indones., vol. 2, no. 2, pp. 60–71, 2021, doi: 10.46510/jami.v2i2.79.
  40. A. Kemajuan et al., “Legal Protection for Consumers in Reviewing a Product on Social Media from the Offense of Defamation,” vol. 9, pp. 1–10, 2021.
  41. S. L. Poernomo, “Consumer Protection and Legal Effort Related to the Exoneration Clause in Buy-Buying Transactions,” Int. J. Multicult. Multireligious Underst., vol. 9, no. 3, pp. 93–97, 2022.
  42. A. Dermawan, E. Saputra, and J. E. Hutagalung, “Peran Masyarakat Dalam Menaati Hukum Dan Mendukung Perkembangan Teknologi Komputer Dalam Bisnis Digital,” Community Dev. J. J. Pengabdi. Masy., vol. 2, no. 3, pp. 569–573, 2022, doi: 10.31004/cdj.v2i3.2542.
  43. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Peradaban, 2007.