Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i1.991

Cartel Practices in Indonesian Tyre Industry: Assessing the Role of the Indonesian Tyre Business Association


Praktek Kartel Pada Industri Ban Indonesia: Meninjau Peran Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia

Universitas Esa Unggul
Indonesia
Universitas Esa Unggul
Indonesia

(*) Corresponding Author

Cartel Indonesian Tyre Entrepreneurs Association (APBI) Unfair Business Competition Competition Law Indonesian Tyre Industry

Abstract

This study examines the legal standing of the Indonesian Tyre Business Association (APBI) in light of the KPPU Decision Number 08/Pdt.G/KPPU-I-2014 concerning tire cartel violations in the Indonesian automotive industry. Utilizing normative legal research methods focusing on positive legal norms, the study identifies and systematizes violations of business competition rules by six major APBI member companies between 2008 and 2012, and critically analyzes and interprets the evidentiary basis of these findings. The companies allegedly colluded on tire pricing, manipulating the market for Passenger Car Radial (PCR) tires and inducing unfair business competition. The study asserts that, while the APBI's role in facilitating this collusion was apparent, its legal liability remains unclear due to the association's ability to influence member practices without a binding enforcement mechanism. These findings raise critical implications for market competition and cartel law enforcement, necessitating a re-evaluation of the legal provisions surrounding business associations, especially in the context of Indonesia's anti-monopoly and unfair competition laws.
Highlights:

  • APBI's facilitation of cartel behavior among its members.
  • Unclear legal liability of business associations in anti-competitive practices.
  • Need for re-evaluation of legal provisions surrounding business associations.

Keywords: Cartel, Indonesian Tyre Business Association (APBI), Unfair Business Competition, Competition Law, Indonesian Tyre Industry

 

Pendahuluan

Sistem hukum yang mengontrol persaingan di pasar, merujuk pada hukum persaingan usaha, mengedepankan nilai-nilai adil dan seimbang. Peraturan ini bertujuan mencegah pelaku usaha memonopoli pasar dan memperoleh keuntungan tidak adil. Indonesia merujuk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan hukum dalam bidang ini, dengan harapan menciptakan lingkungan bisnis yang sehat dan adil bagi semua pelaku usaha serta melindungi konsumen [1].

Kolaborasi antar-pesaing kerap menjadi kebutuhan dalam persaingan pasar modern, di mana upaya seperti ekspansi ke pasar luar negeri, pendanaan inovasi, dan pengurangan biaya produksi menjadi tujuan utama. Ketatnya persaingan mendorong pelaku usaha untuk berkonsentrasi pada core business mereka, menghasilkan produk dan jasa berkualitas yang kompetitif di pasar domestik dan internasional [2].

Kebijakan persaingan usaha merupakan elemen penting dalam mendukung kondisi persaingan yang sehat dan terbuka. Kebijakan ini bertujuan meminimalkan inefisiensi ekonomi yang diakibatkan oleh perilaku anti-persaingan dan kecenderungan monopoli oleh pelaku usaha. Tujuan ini dirangkum dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1999, meliputi: menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang sehat, menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta menciptakan efisiensi dalam kegiatan usaha guna meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.

Persekongkolan tender mengacu pada perbuatan yang dilakukan oleh pihak penyedia barang/jasa maupun pengguna barang/jasa untuk mengatur dan menentukan pemenang tender. Tiga jenis persekongkolan tender meliputi: persekongkolan horizontal antara pelaku usaha atau penyedia barang/jasa, persekongkolan vertikal antara pelaku usaha atau penyedia barang dan/atau jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa, dan gabungan persekongkolan horizontal dan vertikal [3].

Menghadapi realitas tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadi lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengawasi persaingan usaha, menilai pelanggaran terhadap undang-undang, dan menjatuhkan sanksi. Kewenangan KPPU, sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1999, mencakup kewenangan lembaga lain dan memastikan lembaganya beranggotakan individu-individu dengan latar belakang hukum, ekonomi, dan bisnis. Hal ini penting, mengingat persoalan persaingan usaha sangat erat dengan ekonomi dan bisnis.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memegang kewenangan penting dalam menerapkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli, Pasal 35, tugas KPPU meliputi penilaian tindakan yang dilarang (perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan), penerapan tindakan sesuai kewenangan, pemberian saran dan pertimbangan terhadap kebijakan persaingan pemerintah, penyusunan pedoman dan publikasi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut, serta pelaporan hasil kerja kepada DPR dan Presiden secara berkala [4].

Pembentukan asosiasi pelaku usaha sejatinya didasari oleh kebutuhan bersama menghadapi tantangan dan persaingan di dunia usaha. Namun, terdapat potensi penggunaan asosiasi sebagai wadah untuk menciptakan kolusi atau persetujuan yang melanggar prinsip hukum persaingan. Persepsi yang sama dan minat bersama sering menjadi dasar bagi anggota asosiasi untuk bertemu dan menentukan harga, membagi wilayah, atau menentukan kuota produksi mereka [5].

Salah satu kasus penting yang ditangani oleh KPPU adalah kasus kartel ban yang dilakukan oleh Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI). Kartel, sebagai jenis pelanggaran berat hukum persaingan usaha, dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara signifikan. KPPU dalam putusannya tanggal 7 Januari 2015 menemukan bahwa produsen ban kendaraan bermotor roda empat di Indonesia yang tergabung dalam APBI telah melanggar perjanjian penetapan harga dan kartel.

APBI, yang berdiri sejak tahun 1974, merupakan asosiasi perusahaan ban dengan tujuan menghimpun anggota untuk menyuarakan kepentingan bersama dalam menghadapi kebijakan pemerintah. Namun, berdasarkan pemeriksaan investigator KPPU, ditemukan bukti bahwa anggota APBI telah memberikan data rahasia per kategori secara bulanan kepada APBI, data yang seharusnya tidak dapat diberikan kepada pihak lain, termasuk pemerintah [6].

Keberadaan KPPU dan undang-undang hukum persaingan usaha di Indonesia menjadi penting untuk mengawasi perilaku pelaku usaha dan memastikan bahwa persaingan di pasar berjalan secara adil dan sehat. Pengawasan ini tidak hanya mencakup pelaku usaha individu, tetapi juga asosiasi pelaku usaha, yang dapat menjadi wadah untuk tindakan anti-persaingan seperti kartel dan penetapan harga. Dengan demikian, efisiensi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat terjaga.

Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 (UU No. 5/1999) menyebutkan bahwa 'Pelaku Usaha' mencakup setiap individu atau entitas, baik yang merupakan badan hukum atau bukan, yang melakukan kegiatan ekonomi di wilayah hukum Republik Indonesia. Meskipun ada banyak kasus kartel yang difasilitasi oleh asosiasi pelaku usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum pernah mengidentifikasi asosiasi sebagai subjek dalam kasus-kasus yang melibatkan praktek monopoli. Sebagai contoh, dalam kasus Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI), asosiasi tersebut hanya disebutkan dalam putusan, tetapi tidak sebagai pihak yang dituduh.

Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014 yang melibatkan APBI menunjukkan peran asosiasi dalam memfasilitasi aktivitas kartel. Dalam putusan tersebut, APBI tidak terdaftar sebagai pihak yang dituduh. Harga suatu komoditas sangat bergantung pada permintaan dan penawaran di pasar. Dengan mengendalikan jumlah komoditas yang beredar di pasar, harga komoditas tersebut dapat dimanipulasi. Dalam teori, peningkatan harga terjadi ketika permintaan komoditas melebihi penawaran.

Pada peraturan persaingan Uni Eropa, Artikel 101 nomor (1) secara jelas mencakup keputusan dari asosiasi pelaku usaha yang dapat mempengaruhi perdagangan antarnegara anggota dan mengganggu persaingan. Namun, definisi subyek dalam UU No. 5/1999 terbatas pada definisi pelaku usaha dalam Pasal 1 nomor (5) dan tidak mencakup secara eksplisit asosiasi pelaku usaha. Hal ini menciptakan ketidakjelasan status asosiasi pelaku usaha sebagai subjek dari UU tersebut.

Keadaan ini memicu ketertarikan penulis untuk mempelajari status asosiasi pelaku usaha di Indonesia, terutama dalam konteks peraturan anti-monopoli. Penulis berencana untuk menggali lebih dalam potensi tindakan asosiasi pelaku usaha yang dapat mempengaruhi pasar dan kesiapan hukum Indonesia dalam menghadapi tindakan asosiasi yang dapat mengganggu persaingan usaha yang sehat. Studi ini berupaya memberikan kontribusi baru dalam penelitian hukum dan peraturan anti-monopoli di Indonesia dengan memfokuskan pada peran asosiasi pelaku usaha.

Meskipun penelitian sebelumnya [7] sebagian besar menganalisis kasus Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) dalam konteks perilaku kartel dan penetapan harga dalam kerangka Undang-Undang Indonesia No. 5 Tahun 1999, namun tidak menggali secara mendalam status dan potensi peran asosiasi bisnis dalam kerangka regulasi anti-monopoli di Indonesia.

Penelitian saya, di sisi lain, bertujuan untuk mengeksplorasi status hukum asosiasi bisnis di Indonesia dan cara-cara potensial asosiasi ini dapat mempengaruhi dinamika pasar. Fokusnya bukan hanya pada analisis kasus-kasus tertentu yang melibatkan asosiasi bisnis, tetapi juga pada implikasi lebih luas dari aktivitas mereka terhadap persaingan bisnis yang sehat dan bagaimana hukum Indonesia saat ini dipersenjatai untuk menghadapi skenario semacam itu.

Intinya, perbedaan terletak pada lingkup dan kedalaman investigasi. Sementara studi sebelumnya lebih spesifik kasus, dengan fokus pada industri ban, penelitian saya bermaksud untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang peran asosiasi bisnis dalam lanskap bisnis kompetitif di Indonesia dan kesiapan kerangka hukum kita dalam mengatasi potensi aktivitas anti-kompetitif.

Metode

Penelitian ini memanfaatkan pendekatan Hukum Normatif, dengan fokus pada norma hukum positif, terutama Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan peran asosiasi pelaku usaha di Indonesia dalam pelanggaran UU No. 5 tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki peran penting dalam mendorong persaingan usaha yang sehat, khususnya di sektor usaha kecil menengah. Proses deduksi menjadi metode utama dalam penelitian ini, di mana penelitian ini mengikuti lima tugas ilmu hukum dogmatik: deskripsi, sistematisasi, analisis, interpretasi, dan evaluasi hukum positif.

Hasil dan Pembahasan

Analisis Kasus Kartel Ban: Bukti dan Dampaknya

Perkara Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2014 bermula dari adanya laporan dugaan pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 dalam Industri Otomotif. Laporan tersebut didasarkan pada Industri Otomotif. Penelitian ini menyoroti dugaan adanya taktik kartel yang dilakukan di Indonesia oleh enam produsen ban kendaraan roda empat. Semua produsen ini adalah anggota Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia, yang merupakan organisasi yang mengungkap praktik-praktik ini. Setelah melalui proses penelitian dan klarifikasi yang panjang, Komisi telah mencapai kesimpulan bahwa terdapat cukup bukti awal untuk melanjutkan pemeriksaan ke tingkat pemeriksaan berikutnya. Keputusan ini diambil setelah Komisi menyimpulkan bahwa terdapat cukup bukti awal yang memadai untuk melanjutkan pemeriksaan.

Tim Pemeriksa telah melakukan proses pemeriksaan lanjutan, dan selama proses tersebut, mereka telah mengumpulkan keterangan dari pihak terlapor, saksi dan ahli. Dalam proses persidangan, ditemukan bahwa keenam perusahaan tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999, khususnya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11. Menurut pasal-pasal tersebut, para produsen ban ikut serta dalam perjanjian untuk mengatur harga dan melakukan kontrol terhadap kegiatan produksi dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut berpotensi mendorong terjadinya praktek monopoli dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi persaingan usaha yang sehat.

Secara mengejutkan, ternyata APBI memiliki pengaruh yang besar dalam perjanjian kartel yang diumumkan kepada publik. Para peserta pertemuan APBI dari tahun 2008-2010 mengambil keputusan dengan suara bulat untuk menjaga kestabilan harga pasar secara keseluruhan demi menjaga stabilitas harga. Kesepakatan yang secara tegas dilarang menurut UU No. 5/1999 ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum APBI dan didukung oleh seluruh anggota APBI yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Pada pertemuan berikutnya yang berlangsung pada tanggal 26 Januari 2010, di Hotel Nikko, yang dihadiri oleh para anggota APBI, keputusan lain diambil. Diharapkan bahwa semua anggota Asosiasi Produsen Ban Profesional (APBI) akan bersikap moderat dan terus melakukan kontrol terhadap kegiatan pemasaran ban untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam memenuhi permintaan ban yang terus meningkat di pasar. Setelah pertemuan tersebut, yang berlangsung pada tanggal 25 Februari 2010, sebuah kebijakan pengamanan pasar dikembangkan dengan tujuan untuk memastikan keberlangsungan kondisi pasar yang stabil.

Sekali lagi, hasil penyelidikan APBI diumumkan kepada publik, kali ini hanya berfokus pada temuan-temuan yang berkaitan dengan pertemuan yang berlangsung pada tanggal 19 April 2010. Selama konferensi berlangsung, direkomendasikan agar semua anggota Asosiasi Pengusaha Profesional Indonesia (APBI) melakukan evaluasi ulang terhadap pasar yang dimulai pada bulan Mei 2010, serta melakukan pengawasan terhadap kegiatan pemasaran yang berkaitan dengan penjualan produk ban masing-masing. Berdasarkan informasi yang ada, KPPU tidak hanya mengandalkan UU No. 5/1999 sebagai landasan utama untuk menangani dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh APBI, tetapi juga menggunakan pendekatan Harrington untuk menentukan apakah terdapat persaingan usaha tidak sehat, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan kartel. Hal ini dilakukan untuk menjawab dugaan bahwa APBI telah melakukan pelanggaran hukum.

Atas pelanggaran tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyimpulkan bahwa para Terlapor I-VI patut dihukum dengan menjatuhkan denda sebesar Rp 25 miliar yang harus disetorkan ke kas negara. Putusan ini dikeluarkan sebagai akibat dari pelanggaran tersebut di atas. Sesuai dengan persyaratan yang diuraikan dalam UU No. 5/1999, APBI telah meminta Kementerian Perindustrian untuk memberikan arahan. Sangatlah penting bahwa APBI tidak disebutkan sebagai salah satu pihak yang telah melaporkan atau turut melaporkan keterlibatannya dalam perjanjian kartel ini, meskipun APBI tampaknya memainkan peran penting dalam pelaksanaan perjanjian ini. Anti-Piracy Bank International (APBI) tidak dikenai sanksi atau hukuman apapun yang dapat membuatnya bertanggung jawab atas kegiatan yang telah dilakukannya.

Kartel dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha

Kartel didefinisikan sebagai adanya kesepakatan atau kolaborasi di antara beberapa entitas komersial [8]. Kesepakatan atau kolusi ini umumnya terwujud dalam bentuk kolusi eksplisit atau kolusi diam-diam. Adanya dokumen perjanjian, data audit bersama, dan kebijakan tertulis merupakan bukti bahwa kerjasama eksplisit dilakukan dengan cara yang ditandai dengan keterbukaan dan transparansi. Sebaliknya, identifikasi kolaborasi diam-diam menimbulkan tantangan yang jauh lebih besar. Para anggota kartel menahan diri untuk tidak terlibat dalam komunikasi terbuka dan sering melakukan pertemuan secara diam-diam, terutama dengan menggunakan organisasi perdagangan sebagai sarana untuk melakukan pertemuan. Baik bentuk kolaborasi langsung maupun tidak langsung biasanya diamati dalam kartel yang melibatkan organisasi perdagangan, seperti Asosiasi Produsen Ban Indonesia (APBI) dalam konteks kartel ban. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia diberi tanggung jawab untuk mencegah dan menangani kegiatan kartel sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 5/1999. Adalah tugas KPPU untuk memenuhi kewajiban ini. Untuk memastikan terpenuhinya persyaratan bukti awal, KPPU dapat melakukan investigasi terhadap berbagai indikasi awal yang menjadi katalisator terbentuknya kartel. Elemen-elemen yang disebutkan di atas dapat dikategorikan sebagai elemen yang bersifat struktural atau perilaku. Kedua opsi tersebut dapat dilakukan. Klausul ini memberikan informasi yang berharga mengenai indikasi awal perilaku kartel kepada masyarakat umum dan para pemangku kepentingan lainnya dalam komunitas bisnis.

Pembuktian Kartel dalam Konteks Hukum Indonesia

Perdebatan tentang hard evidence (bukti langsung) dan circumstantial evidence (bukti tidak langsung) menjadi permasalahan krusial dalam proses pembuktian kartel [9]. Di negara-negara Uni Eropa, bukti tidak langsung seringkali digunakan untuk membuktikan kegiatan kartel [10]. Namun, di Indonesia belum terdapat penjelasan jelas mengenai dua jenis bukti tersebut dalam konteks sistem pembuktian.

Tindakan kartel biasanya dilakukan secara tertutup dan rahasia, membuat pembuktian terhadap kartel menjadi pekerjaan yang sulit [11]. Alat analisis ekonomi menjadi kunci penting dalam penggunaan bukti tidak langsung untuk membuktikan adanya kartel. Pembuktian dengan analisis ekonomi digunakan untuk menyimpulkan apakah kondisi di pasar mendukung suksesnya kolusi [12]. Jika iya, maka bukti-bukti tidak langsung dapat digunakan untuk menduga adanya koordinasi di pasar, menjadi petunjuk adanya pelanggaran pasal 5 dan 11 UU No.5/1999.

Penggunaan Rule of Reason dalam Pembuktian Kartel

Pendekatan Rule of Reason sangat penting untuk pengembangan dan penilaian elemen-elemen komponen kartel sesuai dengan UU No. 5/1999 [13], yang menyatakan bahwa pendekatan ini diperlukan. Metodologi ini digunakan oleh otoritas persaingan usaha untuk menentukan apakah suatu perjanjian atau perilaku tertentu dalam dunia usaha menghambat atau mendorong persaingan usaha. Di lain pihak, metode per se illegal mengklasifikasikan setiap perjanjian atau tindakan bisnis sebagai tindakan yang ilegal dengan sendirinya, tanpa memerlukan bukti tambahan mengenai dampak aktual dari perjanjian atau kegiatan tersebut. Hal ini dikarenakan pendekatan per se illegal tidak mempertimbangkan dampak aktual dari perjanjian atau kegiatan tersebut. APBI berperan penting dalam operasi kartel yang berkaitan dengan bisnis ban. Hal ini dilakukan melalui perdagangan informasi rahasia, penyediaan sarana komunikasi di antara para anggota kartel, dan upaya terkoordinasi untuk menjaga agar harga dan tingkat produksi tetap rendah di antara para anggota kartel. Hal ini dilakukan dengan memperkenalkan metode-metode koordinasi, yang mencakup himbauan kepada para anggota untuk menahan diri untuk tidak melakukan praktek-praktek pemotongan harga terhadap satu sama lain dan permintaan untuk menurunkan tingkat produksi. Sebagai konsekuensinya, pembentukan asosiasi menghasilkan pembentukan struktur pasar di mana para pemilik usaha yang berpartisipasi memiliki kekuatan untuk mengawasi dan mengendalikan jumlah produksi dan kualitas produk.

Simpulan

Berdasarkan analisis kasus Kartel Ban dalam Industri Otomotif Roda Empat oleh KPPU (No. 08/Pdt.G/KPPU-I-2014), terungkap bahwa enam produsen ban yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) melanggar ketentuan Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, dengan membentuk perjanjian penetapan harga dan pengaturan produksi. Menariknya, APBI berperan aktif dalam pelaksanaan kartel ini, meski tidak ditetapkan sebagai pihak terlapor atau dikenai sanksi. Peran asosiasi dalam aktivitas kartel ini menunjukkan potensi mekanisme asosiasi yang dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Peran asosiasi dalam kartel ini menunjukkan bahwa masih perlu peningkatan pengawasan terhadap aktivitas asosiasi dalam berbagai sektor industri. Implikasinya, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membahas bagaimana mencegah penggunaan asosiasi sebagai alat untuk melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta bagaimana menegakkan hukum terhadap asosiasi yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Kesimpulannya, kasus ini menunjukkan pentingnya memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas asosiasi dalam rangka mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan adil.

References

  1. I. Ismail and H. Ii, "Implementation of Islamic Business Ethics as a Competitive Strategy at PT Mahesa Energi Persada Jakarta," in Judicious, vol. 2, no. 2, pp. 183-198, 2021.
  2. A. Suherman, Manajemen Strategi. Drestanta Pelita Indonesia Press, 2022.
  3. S. J. Simanjuntak and M. Gultom, "Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Mengawasi Tender Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Sumatera Utara," in Tapanuli Journals, vol. 4, no. 1, pp. 188-204, 2022.
  4. R. Bukido and L. F. Bamatraf, "Peranan Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) Dalam Menegakan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," in Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, vol. 15, no. 1, 2018.
  5. A. Chandra and Y. S. M. Widiyastuti, "Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Mendorong Iklim Persaingan Usaha Yang Sehat Di Sektor Perunggasan," in Justitia et Pax, vol. 33, no. 1, 2017. [Online]. Available: https://doi.org/10.24002/jep.v33i1.1416
  6. M. Fadhilah, "Penegakan Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Kerangka Ekstrateritorial," in Jurnal Wawasan Yuridika, vol. 3, no. 1, pp. 55, 2019. [Online]. Available: https://doi.org/10.25072/jwy.v3i1.217
  7. J. G. Sitanggang, "Legal Protection of Business Competition Against Indications of Cartel Association of Tire Companies in Indonesia (Analysis of the Decision of the Business Competition Supervisory Commission Number 08/KPPU-I/2014 on Four-Wheeled Motor Vehicle Tire Cartels)," Sarjana Ilmu Hukum, April 2015. Available: http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1060.
  8. A. S. Ningsih, "Implikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)," in Jurnal Penelitian Hukum De Jure, vol. 19, no. 2, Art. 2, 2019. [Online]. Available: https://doi.org/10.3064
  9. B. E. Kalangi, "Prosedur Penanganan Perkara Monopoli Dan Persaingan Curang Serta Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," in LEX CRIMEN, vol. 6, no. 1, Art. 1, 2017. [Online]. Available: https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/15099
  10. I. Sugiarto, "Perspektif Ilmu Ekonomi Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Diskriminasi Harga," in Jurnal Wawasan Yuridika, vol. 33, no. 2, Art. 2, 2016. [Online]. Available: https://doi.org/10.25072/jwy.v33i2.10
  11. S. A. Darmawan, "Kekuatan Indirect Evidence Dalam Pembuktian Kasus Persekongkolan Tender dan Penerapannya di Dalam Proses Tender," in Jurnal Pengadaan Barang dan Jasa, vol. 1, no. 1, pp. 10-18, 2022.
  12. R. A. Pratama, "Pengaturan Monopoli Kartel Oleh Pelaku Usaha Dalam Persaingan Usaha Garam: Suatu Kajian Putusan Kppu No. 10/Kppu-L/2005," in Jurnal Ius Constituendum, vol. 3, no. 2, pp. 212, 2018. [Online]. Available: https://doi.org/10.26623/jic.v3i2.1041
  13. M. Muskibah, "Larangan Persekongkolan dalam Tender Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," in Inovatif | Jurnal Ilmu Hukum, 2013.