This study conducts a qualitative analysis of the trademark dispute between Gudang Garam and Gudang Baru concerning brand names and imagery on products, employing a case study method alongside normative legal and conceptual approaches. The research delves into the judges' legal considerations and the trademark rights arrangement, focusing on Gudang Garam, a renowned brand. The results establish that Gudang Baru violated the 2016 trademark registration provisions (Article 1 Paragraph (1) of Law N 20 and Article 18 Paragraph (3) of Ministerial Regulation No. 67), prompting the Intellectual Property Office to reject all applications. This case underlines the importance of respecting well-established brands and legal implications for trademark registrations, informing future practices in the field.
Highlights:
Keywords: Trademark Dispute, Gudang Garam, Gudang Baru, Trademark Registration, Legal Implications.
Hak eksklusif yang berada di bawah payung hak kekayaan intelektual dapat dilakukan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Karya-karya ini dibuat dengan mengeluarkan banyak tenaga, waktu, dan sumber daya keuangan dalam pembuatannya. Sebagai konsekuensinya, karya-karya yang telah dihasilkan memiliki arti penting, terutama dalam hal potensi keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh darinya. Konsekuensi dari kapasitas intelektual manusia dan upaya kreatif, seperti ide, inovasi, atau konsep, adalah fokus dari konsep hak kekayaan intelektual [1].
Dengan memfasilitasi identifikasi dan otentikasi barang melalui merek unik mereka, tujuan utama dari peraturan merek di Indonesia adalah untuk mengurangi jumlah kasus persaingan ekonomi yang tidak sehat. Ada kemungkinan bahwa harga tinggi suatu produk tidak secara eksklusif ditentukan oleh atribut yang melekat pada produk tersebut, melainkan oleh reputasi dan keakraban yang terkait dengan merek tersebut. Hal ini terjadi dalam keadaan tertentu. Pengalaman menggunakan produk atau objek berwujud yang diwakili oleh merek adalah yang memberikan kepuasan, oleh karena itu merek itu sendiri dapat dianggap sebagai entitas tidak berwujud. Karena merupakan hal yang tidak berwujud, merek memiliki kemampuan untuk menawarkan pelanggan baik kepuasan penuh atau rasa status [2].
Merek adalah representasi visual yang dapat disajikan dalam berbagai bentuk seperti gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, baik dalam format dua dimensi maupun tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih komponen tersebut, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini disahkan pada tahun 2016.
Fungsi mendasar dari sebuah merek adalah sebagai tanda pembeda untuk produk dan/atau jasa yang dibuat oleh orang atau badan hukum yang terlibat dalam kegiatan jual beli produk dan/atau jasa. [3] Merek adalah komponen penting dalam menjaga kelangsungan hidup perusahaan karena membantu anggota masyarakat umum untuk mengidentifikasi dan mengenali produk tertentu. Terlepas dari kenyataan bahwa masyarakat umum memiliki kecintaan yang besar terhadap merek tertentu, konsumen menunjukkan keengganan untuk memeriksa merek alternatif.
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah merek menjalankan fungsi sebuah sistem yang memungkinkan sebuah produk mendapatkan keuntungan finansial yang signifikan. Ketika seseorang mempertimbangkan manfaat yang dihasilkan dari signifikansi yang diberikan pada "nama" yang disertakan di dalam sebuah merek, konsep persaingan komersial yang adil akan muncul di benak seseorang. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Mengatur Merek, yang Mengatur Konsep Ini dengan Baik.
Merek terkenal didefinisikan berdasarkan hukum nasional dan internasional sebagai berikut: Menurut Penjelasan Pasal 21 Ayat 1 Huruf B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, permohonan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis ditolak berdasarkan pemahaman masyarakat terhadap merek pada industri yang bersangkutan. Reputasi merek dibangun oleh upaya periklanan yang substansial, investasi global oleh pemiliknya, dan pendaftaran merek internasional. Jika hal tersebut tidak mencukupi, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang tidak memihak untuk melakukan survei komprehensif untuk menentukan alasan penolakan potensial merek.
Menurut Pasal 18 ayat (1) Peraturan No. 67 Tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, merek terkenal diidentifikasi berdasarkan kesadaran publik dalam industri yang relevan. Pasal 18 (2) melindungi merek terkenal bagi konsumen dan masyarakat. Perlindungan ini mencakup produksi, periklanan, distribusi, dan penjualan. Pasal 18 (3): Tingkat kesadaran publik dan pengakuan industri terhadap suatu merek menentukan status keterkenalannya. Keuntungan finansial pemilik merek dari penjualan merek. Pangsa pasar adalah pangsa merek terhadap barang dan jasa masyarakat. 4. Cakupan merek, 5. Durasi merek, dan 6. Intensitas merek. Intensitas dan upaya promosinya, termasuk anggaran untuk promosi. Pendaftaran merek asing. 8. Efektivitas penegakan hukum merek dagang, terutama dalam mengakui merek sebagai bisnis yang mapan oleh lembaga yang berwenang. 9. Nilai merek didasarkan pada reputasi dan jaminan kualitasnya. TRIPs, Persetujuan tentang Aspek-aspek yang Berhubungan dengan Perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual, Menurut Pasal 16 ayat 2 Perjanjian TRIPs, ketenaran merek ditentukan oleh pengakuan publik, yang mencakup liputan media. Anggota harus menilai pengetahuan merek mereka di sektor publik yang relevan, termasuk hasil promosi merek.
Penyelesaian sengketa perdagangan mencakup berbagai mekanisme, termasuk penyelesaian litigasi, yang melibatkan penyelesaian konflik melalui proses hukum, dan penyelesaian non-litigasi, yang melibatkan penyelesaian sengketa melalui cara-cara selain proses pengadilan. Penggunaan metode litigasi untuk penyelesaian sengketa memerlukan proses penyelesaian hukum yang terstruktur. Berbeda dengan metode penyelesaian sengketa non-litigasi yang tidak memerlukan proses hukum formal yang melibatkan pihak-pihak yang bersengketa, litigasi melibatkan inisiasi proses hukum formal oleh salah satu pihak untuk mencari penyelesaian melalui intervensi pihak ketiga. Selain mekanisme yang disebutkan di atas, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui metode alternatif, khususnya negosiasi dan media (alternatif ajudikasi), serta negosiasi, mediasi, dan arbitrase (alternatif litigasi) [3].
Sengketa biasanya diselesaikan melalui proses hukum litigasi, di mana para pihak yang terlibat terlibat dalam proses hukum formal di pengadilan, yang memungkinkan mereka untuk saling berhadapan secara langsung. Efektivitas, efisiensi, dan formalitas penyelesaian melalui proses pengadilan sering dipertanyakan. Putusan pengadilan sering menimbulkan sengketa yang berlarut-larut karena adanya pihak yang merasa "menang" dan pihak yang merasa "kalah". Salah satu kelemahan penting dari penyelesaian litigasi berkaitan dengan kelemahan yang melekat. Berbeda dengan metode penyelesaian sengketa alternatif, penyelesaian litigasi sering dianggap sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa.
Namun, penting untuk dicatat bahwa sengketa perdagangan tidak hanya mencakup kerugian finansial yang berwujud. Sengketa ini juga melibatkan kerugian yang tidak berwujud, seperti sengketa merek. Dalam kasus-kasus di mana terdapat kemiripan antara merek, salah satu pihak dapat menderita kerugian dan mengalami kerugian tidak berwujud yang terkait dengan pelanggaran hak cipta. [4]
Merek berfungsi sebagai manifestasi dari kerja intelektual yang memainkan peran penting dalam memfasilitasi dan meningkatkan pertukaran barang atau jasa. Merek memiliki arti strategis dan memainkan peran penting bagi produsen dan konsumen. Produsen menggunakan merek sebagai sarana untuk membedakan produk mereka dari penawaran serupa, sementara juga bertujuan untuk menumbuhkan citra perusahaan yang baik dalam ranah pemasaran.
Merek berfungsi sebagai sarana identifikasi bagi konsumen dan sekaligus berfungsi sebagai representasi harga diri. Individu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai rangkaian produk merek tertentu sering kali menunjukkan kecenderungan untuk terus menggunakan barang dari merek tersebut karena berbagai alasan.
Alasan-alasan ini mungkin termasuk keakraban yang sudah berlangsung lama dengan merek tersebut dan keyakinan yang kuat terhadap kualitas produk. Akibatnya, fungsi merek sebagai indikator yang dapat diandalkan untuk keunggulan produk menjadi semakin jelas dalam konteks kegiatan pembelian dan penjualan. Merek mengacu pada hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah kepada pemilik merek yang telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Hak ini tetap berlaku untuk durasi tertentu, di mana pemilik merek dapat menggunakan merek tersebut atau memberikan otorisasi kepada entitas eksternal untuk penggunaannya.
Namun demikian, komplikasi sering muncul ketika sebuah merek digunakan tanpa persetujuan eksplisit dari pemiliknya, atau bahkan lebih memprihatinkan, ketika merek tersebut digunakan dengan maksud untuk menghasilkan keuntungan finansial dengan mengaitkan nama perusahaan dengan merek yang sudah mapan milik entitas lain. Hal ini mengarah pada langkah interpretatif dalam bidang hukum yang secara khusus berkaitan dengan perdagangan dan penyelesaian sengketa, terutama yang melibatkan konflik terkait merek.
Kasus-kasus sengketa merek dapat muncul dalam berbagai konteks, termasuk hukum perdata internasional. Salah satu kasus tersebut melibatkan sengketa merek antara Prada SA dan PT Manggala Putra Perkasa. Hasil dari kasus ini ditentukan melalui Peninjauan Kembali No.274 PK/Pdt/2003, di mana pengadilan memutuskan untuk memenangkan Prada SA. Putusan ini, sebagaimana didokumentasikan dalam salah satu putusan Peninjauan Kembali No.274 PK/Pdt/2003, menetapkan kepemilikan sah Prada SA (Dewi & Baskoro, 2019).
Selain itu, perlu dicatat bahwa sengketa merek juga dapat muncul secara organik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa pemeriksaan hukum terhadap putusan hakim dalam kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran merek dagang. Dalam kasus pemalsuan merek antara CV dan Kurnia Abadi, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan yang dibuat oleh Pengadilan Negeri Semarang (Perkara Nomor 557/Pid/B/2007/PN.SMG, tertanggal 19 November 2007). Putusan Mahkamah Agung tersebut didasarkan pada fakta bahwa terdakwa telah mengimpor dan memperdagangkan produk pasta serut sejak tahun 2001 hingga 2006, dengan menggunakan merek yang sama persis dengan merek yang dimiliki oleh PT Inax International Corporation.
Oleh karena itu, tindakan terdakwa telah memenuhi persyaratan yang diuraikan dalam Pasal 94 UU No. 51 tahun 2001, yang juga dikenal sebagai UU MIG. Pasal ini mengatur tentang proses penyelesaian sengketa merek, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 93 UU MIG. Dalam hal negosiasi mengalami stagnasi karena kurangnya konsensus antara pihak-pihak yang bersengketa, dengan masing-masing pihak bersikukuh pada posisinya masing-masing, maka intervensi pihak ketiga akan dicari untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa.
Biasanya, individu atau badan hukum yang merasa hak-haknya dilanggar akan memilih untuk memulai proses hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Menurut Pasal 93 UU No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ("UU MIG"), penyelesaian sengketa tidak terbatas pada Pengadilan Niaga, tetapi juga mencakup arbitrase atau mekanisme penyelesaian sengketa alternatif.
Para pihak yang terlibat dalam sengketa memiliki pilihan untuk memilih salah satu dari lembaga penyelesaian berikut ini: Arbitrase adalah metode penyelesaian sengketa yang melibatkan penggunaan pihak ketiga yang netral, yang dikenal sebagai arbitrator. Penggunaan metode arbitrase untuk menyelesaikan sengketa merek berasal dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berkaitan dengan sengketa komersial.
Sangatlah penting bagi para pihak yang terlibat dalam sengketa untuk memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai hak-hak yang diberikan oleh hukum. 11 Penyelesaian melalui jalur non-litigasi atau di luar pengadilan mengacu pada penyelesaian sengketa melalui cara-cara yang tidak bergantung pada proses pengadilan, melainkan menggunakan mekanisme atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif. Terdapat dua model penyelesaian sengketa yang berbeda yang dapat ditempuh oleh para pihak yang terlibat melalui proses arbitrase.
Model-model tersebut adalah sebagai berikut: Konsep arbitrase ad hoc mengacu pada bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan atas dasar kasus per kasus, dan bukan dikelola oleh lembaga arbitrase permanen. Dalam konteks arbitrase ad hoc, para pihak memiliki otonomi untuk menetapkan mekanisme mereka sendiri untuk memilih arbiter, mendefinisikan kerangka kerja prosedural di mana arbitrase akan beroperasi, dan menunjuk personil administratif untuk mengawasi proses arbitrase. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pengawasan atau pemeriksaan institusional dalam proses pemeriksaan arbitrase. Proses arbitrase memerlukan durasi tertentu di mana penyelesaian sengketa ditentukan. Dalam aplikasi praktis, proses arbitrase menghadirkan tantangan yang melekat, termasuk tahap negosiasi, pembentukan prosedur arbitrase, dan pengembangan metode yang disepakati bersama untuk memilih arbiter.
Arbitrase institusional mengacu pada praktik penyelesaian sengketa melalui proses formal yang difasilitasi oleh organisasi atau lembaga khusus. Arbitrase institusional mengacu pada pembentukan organisasi khusus yang berfungsi sebagai mekanisme untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian kontrak. Arbitrase institusional dicirikan oleh sifatnya yang permanen, karena terus ada terlepas dari adanya atau penyelesaian sengketa. Atribut ini berfungsi untuk mengurangi tantangan yang dihadapi dalam lembaga arbitrase ad hoc.
Tindakan hukum yang diajukan di Pengadilan Niaga Menurut ketentuan yang diuraikan dalam Pasal 83 dan 84 UU MIG, ada sejumlah faktor yang memerlukan pertimbangan yang cermat. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Pihak yang tidak berhak, yang ingin menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan produk atau jasa dari pemilik merek, dapat mengajukan upaya hukum untuk mendapatkan pendaftaran atau kepemilikan atas merek tersebut. Tindakan hukum yang dilakukan dapat berupa klaim yang meminta ganti rugi moneter atau perintah untuk menghentikan semua kegiatan yang terkait dengan penggunaan merek dagang.
Selain itu, dimungkinkan bagi pemilik merek yang diakui secara luas untuk memulai proses hukum melalui keputusan pengadilan yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Sementara masalah ini masih dalam pengawasan, pemilik merek atau pihak yang berwenang dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan perintah untuk melarang pembuatan, distribusi, atau perdagangan produk atau layanan yang melanggar hak kekayaan intelektual merek. Produk yang menggunakan merek tanpa izin yang sah harus diserahkan. Tergugat diharuskan untuk menyerahkan produk yang melanggar merek tanpa izin yang sah. Setelah pengadilan mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, hakim dapat memerintahkan penyerahan barang itu sendiri atau uang yang setara dengan nilainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui sengketa merek antara Gudang Garam dan Gudang Baru. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena menggunakan metodologi studi kasus untuk mempelajari seluk-beluk sengketa yang disebutkan di atas, yang bertujuan untuk mengungkap wawasan dan pemahaman yang lebih dalam. Penelitian ini diberi judul "Sengketa Merek Gudang Garam versus Gudang Baru" (Nomor 4/Pdt.Sus.Hki/Merek/2021/Pn.Niaga.Sby), yang membedakannya dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Sampai saat ini, penelitian ini terutama berkonsentrasi pada pendekatan yuridis normatif yang berkaitan dengan kasus ini.
Penelitian ini memanfaatkan metode studi kasus. Diawali tahap pengumpulan data mentah yang melibatkan berbagai entitas seperti individu, organisasi, program, atau tempat kejadian yang menjadi fokus utama penelitian. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam menjalankan studi kasus. Pada konteks penelitian ini, fokus utamanya adalah analisis studi kasus terkait sengketa merek dagang, yang didasarkan pada putusan pengadilan dengan Nomor 4/Pdt.Sus.Hki/Merek/2021/Pn.Niaga.Sby. Studi kasus yang dianalisis dalam penelitian ini berfokus pada sengketa merek dagang antara Gudang Garam dan Gudang Baru. Metode ini memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam tentang masalah ini dan mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dinamika sengketa merek dagang antara kedua entitas tersebut.
Salah satu klasifikasi kekayaan intelektual, yang biasa disebut sebagai merek atau merek dagang, lebih dari sekadar label, logo, desain, simbol, slogan, atau elemen visual lainnya yang membantu konsumen dalam mengidentifikasi produk atau layanan dengan cepat. Penelitian perilaku konsumen menunjukkan bahwa sebagian besar individu menunjukkan preferensi untuk menggunakan produk atau layanan yang ditawarkan oleh perusahaan yang memberikan jaminan kualitas. Oleh karena itu, karena nilai ekonomi yang melekat pada pemiliknya, baik individu maupun bisnis (sebagai badan hukum), dan potensinya untuk menghasilkan keuntungan yang besar, merek memiliki posisi penting dalam memfasilitasi perluasan perdagangan produk dan/atau layanan dalam operasi bisnis.
Pengakuan atas potensi dan keuntungan yang signifikan yang terkait dengan merek telah menyebabkan peningkatan kasus pelanggaran merek di Indonesia, terutama yang terkait dengan merek-merek terkenal. Hal ini berkaitan dengan reputasi merek terkenal. Reputasi merek merupakan faktor penentu yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan konsumen saat membeli produk. Biasanya, konsumen menunjukkan preferensi untuk produk yang terkait dengan merek yang memiliki reputasi yang baik. Ketika konsumen secara konsisten memiliki pengalaman positif dengan suatu merek, mereka cenderung menunjukkan loyalitas merek dengan secara konsisten memilih produk yang diasosiasikan dengan merek tersebut. Fenomena ini memberikan keuntungan yang signifikan bagi bisnis. Pengaruh sebuah merek sangat signifikan, namun juga memiliki konsekuensi negatif. Dalam upaya untuk mencapai keuntungan yang besar sambil meminimalkan biaya promosi, banyak entitas bisnis yang melakukan tindakan pelanggaran merek. Tindakan ini dilakukan sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui cara-cara yang tidak sah, khususnya dengan mengabaikan etika bisnis, norma-norma masyarakat, standar moral, dan peraturan hukum. Pernyataan di atas menyoroti bahwa merek-merek dengan reputasi yang mapan atau bernilai tinggi sering kali menjadi target utama pelanggaran merek.
Pelanggaran merek dengan membonceng reputasi merek-merek terkemuka yang sudah mapan adalah bentuk pelanggaran hak merek yang lazim. Untuk memastikan adanya pelanggaran merek dalam bentuk passing off, sangat penting untuk memiliki pemahaman yang komprehensif tentang atribut khas dan elemen pembeda yang terkait dengan merek yang bersangkutan. Salah satu masalah yang lazim di masyarakat berkaitan dengan kesalahan pengaitan sumber komoditas atau layanan tertentu. Selain itu, pelanggaran tersebut dilakukan oleh individu yang terlibat dalam kegiatan komersial. Ketiga, audiens yang dituju terdiri dari konsumen atau pelanggan setia entitas bisnis yang telah terkena dampak negatif. Lebih jauh lagi, tindakan ini secara luas dianggap memiliki potensi untuk berdampak buruk pada reputasi badan usaha lain. Lebih jauh lagi, tindakan yang menyebabkan kerugian pada bisnis atau nama baik, ketika dilakukan, biasanya dilakukan secara implisit, tanpa secara terang-terangan meniru merek lain secara keseluruhan. Tindakan ini dianggap sebagai elemen kelima dalam konteks ini. [5]
Tindakan pemalsuan merek yang sudah dikenal luas sering kali menimbulkan kebingungan konsumen karena kemiripan yang melekat antara merek asli dan merek palsu, yang membuat konsumen secara keliru meyakini bahwa kedua merek tersebut berasal dari entitas yang sama. Fenomena ini dapat diantisipasi oleh pelaku, karena konsumen cenderung menunjukkan preferensi untuk salah satu dari dua merek jika mereka menganggapnya berasal dari perusahaan yang sama. Preferensi ini sering kali dipengaruhi oleh harga yang lebih rendah yang ditawarkan oleh salah satu merek, sehingga meningkatkan kemungkinan konsumen untuk memilih merek pelaku. Hal ini dapat dikaitkan dengan kecenderungan umum untuk merek yang sudah mapan untuk mematok harga yang lebih tinggi. Ketika memeriksa perilaku konsumen, umumnya diamati bahwa individu dalam keadaan seperti itu cenderung percaya bahwa jika sebuah merek berasal dari perusahaan yang sama, meskipun harganya berbeda, perbedaan kualitasnya tidak akan signifikan.
Tindakan passing off dianggap ilegal karena melanggar undang-undang terkait, khususnya Pasal 21 (1) UU MIG. Pasal ini menetapkan bahwa merek terdaftar tidak boleh memiliki kemiripan, baik pada pokoknya maupun keseluruhannya, dengan merek terdaftar lainnya atau merek terkenal. Dalam hal merek yang diterapkan gagal memenuhi kriteria yang telah ditentukan, sangat penting untuk menolak permohonan pendaftaran merek. Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa dalam praktiknya, ada banyak contoh di mana merek berhasil menjalani pendaftaran meskipun memiliki kemiripan dengan merek yang dimiliki oleh entitas yang berbeda. Potensi dan keuntungan yang terkait dengan merek sangat besar, sehingga menyebabkan peningkatan pelanggaran merek di Indonesia, terutama yang menargetkan merek-merek terkenal. Hal ini berkaitan dengan reputasi merek-merek yang sudah mapan.
Reputasi sebuah perusahaan adalah variabel yang dapat memberikan pengaruh pada proses pengambilan keputusan pelanggan saat membeli produk. Seringkali, individu menunjukkan preferensi terhadap barang yang ditawarkan oleh perusahaan yang memiliki reputasi yang baik. Konsumen menunjukkan kecenderungan untuk menunjukkan loyalitas merek ketika mereka sering mengalami pengalaman positif dengan merek tertentu, sehingga memberikan keuntungan yang signifikan bagi bisnis. Sebaliknya, pengaruh yang dimiliki oleh merek dapat memiliki konsekuensi yang merugikan.
Beberapa perusahaan memilih untuk mengurangi biaya promosi mereka untuk mempertahankan profitabilitas, menggunakan praktik-praktik yang melanggar hukum dan pelanggaran etika yang merusak standar perusahaan, prinsip-prinsip moral, dan peraturan hukum. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yang tidak adil dan mengorbankan integritas merek. Pernyataan sebelumnya menunjukkan bahwa perusahaan terkemuka yang memiliki reputasi atau nilai yang kuat sering kali menjadi fokus individu atau entitas yang terlibat dalam pelanggaran merek dagang.
Goodwill adalah aset tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan yang memiliki nilai signifikan, menawarkan keuntungan, dan memberikan dampak substansial terhadap pertumbuhan dan operasi perusahaan. Nilai goodwill bergantung pada reputasi dan identitas merek perusahaan. Perusahaan dengan citra atau reputasi yang lebih kuat akan memiliki niat baik yang lebih berharga. Demikian pula, ketika sebuah merek terkenal, disukai, dan sangat dipercaya karena kualitasnya oleh masyarakat umum, merek tersebut dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pendapatan perusahaan melalui penjualan barang dan/atau jasa yang terkait dengan merek tersebut.
Merek yang dikenal luas dalam suatu komunitas dapat dianggap sebagai aset tidak berwujud yang berharga, yang diperoleh oleh entitas bisnis melalui pengelolaan yang efektif atas kualitas barang dan/atau jasa yang disediakan. Hal ini, pada gilirannya, menumbuhkan kepercayaan dan kesetiaan konsumen, yang menghasilkan perlindungan berkelanjutan terhadap produk yang terkait dengan merek tersebut. Membangun reputasi dan kepercayaan konsumen adalah pekerjaan yang kompleks dan sulit, yang membutuhkan dedikasi yang signifikan dan upaya yang tekun.
Pengakuan akan manfaat yang cukup besar dari niat baik, ditambah dengan pemahaman bahwa pengembangannya memerlukan upaya yang sulit dan memakan waktu, mendorong banyak individu yang tidak bermoral dalam komunitas bisnis untuk memilih metode yang tepat untuk mendapatkan manfaat yang sepadan. Salah satu strateginya adalah menyelaraskan diri dengan reputasi positif perusahaan lain untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dan memperoleh porsi pasar yang lebih besar.
Penerapan sistem perjodohan ini diharapkan dapat menghasilkan peningkatan penjualan, karena pelanggan dari perusahaan pesaing diantisipasi untuk beralih menggunakan barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan perjodohan. Fenomena ini dapat terjadi karena praktik umum di antara para mak comblang dalam menetapkan harga barang dan/atau jasa yang jauh lebih rendah daripada harga asli merek yang sudah ada. [6]
Promosi dan investasi. Dalam hal membangun reputasi suatu brand agar dikenal luas di masyarakat, diperlukan upaya promosi atau investasi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, untuk menekan biaya promosi suatu merek, umumnya pelaku kejahatan merek lebih memilih menggunakan merek yang sudah dikenal masyarakat. Dengan begitu, pelaku usaha tidak perlu dibebani biaya untuk mempromosikan mereknya karena sudah menumpang ketenaran merek-merek ternama milik pelaku usaha lain.
Hal ini dilakukan dengan tujuan menimbulkan kebingungan di kalangan konsumen mengenai asal-usul kedua merek yang bersangkutan; konsumen cenderung dibuat percaya bahwa merek yang dimiliki pelaku adalah merek yang sama atau berasal dari produsen yang sama dengan merek terkenal aslinya. Faktor ekonomi terakhir yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran merek adalah margin keuntungan yang jauh lebih besar.
Ada tujuan yang sama antara dua faktor yang dijelaskan sebelumnya: keduanya ingin menghasilkan uang dengan cepat dan mudah. Pelaku pelanggaran merek dagang dapat menghasilkan keuntungan besar dengan sedikit usaha. Jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dengan cara yang benar, keuntungan yang dihasilkan dengan cara yang tidak baik justru lebih besar karena pelaku usaha tidak dibebani biaya untuk promosi iklan, investasi, dan biaya penelitian dan pengembangan mereknya.
Budaya masyarakat dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, yang melihat situasi ini sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Kemudian, untuk menarik lebih banyak pelanggan, produk ini dijual dengan kualitas lebih rendah dan harga lebih murah. Faktor budaya masyarakat selanjutnya berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya sebuah merek. Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum memahami konsep penggunaan brand. Dalam hal ini, jika ada beberapa bisnis dengan merek yang sama dan salah satu bisnis tersebut memiliki reputasi yang tercoreng, maka bisnis lain dengan merek yang sama juga akan terkena dampaknya, meskipun sebenarnya kedua merek tersebut tidak berhubungan satu sama lain.
Hal ini dapat terjadi karena kurangnya literasi masyarakat mengenai pentingnya sebuah merek, padahal merek memiliki nilai ekonomis yang melekat, yang dapat membantu perkembangan usaha para pelaku usaha. Oleh karena itu, masyarakat umum harus menyadari bahwa setiap merek membutuhkan daya pembeda untuk membantu konsumen membedakan asal barang dan/atau jasa satu dengan lainnya. Dalam penjelasan di atas, perilaku masyarakat sangat erat kaitannya dengan faktor selanjutnya yang mendasari terjadinya pelanggaran merek. Sampai saat ini masyarakat masih sangat awam dengan regulasi merek. Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa menggunakan merek yang memiliki kesamaan satu sama lain merupakan perilaku yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang
Dalam hal ini pengadilan yang berhak menangani perkara sengketa merek adalah pengadilan di Indonesia karena hukum negara tempat perkara tersebut disidangkan (lex fori). Dalam hal kekayaan intelektual khususnya mengenai merek, Indonesia memiliki undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang didefinisikan dalam Pasal 1 UU Merek (UU No. 15 Tahun 2001). Tanda harus memiliki ciri pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa
Merek tidak didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad buruk. Pemohon dengan niat buruk adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya dengan cara yang tidak adil dan tidak benar serta memiliki niat tersembunyi seperti membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran, yang menciptakan persaingan tidak sehat dan mengecoh atau menyesatkan konsumen. Yang dapat mendaftarkan merek adalah orang atau badan hukum. Dalam sistem konstitutif, hak akan timbul jika telah didaftarkan oleh pemegangnya.
Oleh karena itu, dalam sistem ini pendaftaran merupakan suatu keharusan. Perbuatan penjiplakan merek atas merek terdaftar untuk golongan barang sejenis tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Menurut undang-undang, “hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan merek itu sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk Gunakan." Perlindungan merek dapat dilakukan dengan sistem perlindungan konstitutif yaitu perlu dilakukan pendaftaran terlebih dahulu untuk memperoleh hak atas merek.
Pendaftaran merek menyatakan bahwa merek tersebut mirip dengan merek pendaftar. Hak merek tidak ada tanpa pendaftaran karena jika terjadi sengketa yang timbul akibat sengketa kepemilikan merek, maka pemerintah akan menggunakan sertifikat merek sebagai acuan yang secara formal dapat membuktikan kepemilikan hak atas merek tersebut.
Terkait sengketa merek antara Gudang Garam dengan Gudang Baru, perlu diketahui bahwa Gudang Garam merupakan perusahaan yang dapat dikatakan berstatus sebagai salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Berdiri sejak tahun 1985 tepatnya di kota Kediri, Jawa Timur. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut memang menjadi fakta, terbukti dengan berbagai macam produk Gudang Garam yang memang telah tersebar ke berbagai pelosok nusantara dan digunakan secara luas, dan juga Gudang Garam menempati posisi kedua dan menguasai pasar di Indonesia dengan pangsa terbesar 20,7%.
Beberapa produk terkenal Gudang Garam adalah GG Surya, GG Djaja, GG International, Gudang Garam Merah, GG Mild, dan berbagai produk lainnya. Gudang Garam memproduksi berbagai jenis rokok kretek, antara lain jenis low tar and nicotine (LTN) serta produk tradisional Kretek Tangan (SKT). Produk utama Gudang Garam disebut Kretek, yang terbuat dari bahan berkualitas tinggi untuk dinikmati para penggunanya.
Di bawah Gudang Garam, ada satu lagi perusahaan milik Gudang Garam yaitu PT. Surya Madistrindo (SM) yang berdiri sejak tahun 2002. Fungsi perusahaan ini adalah menjadi distributor Gudang Garam, dimana kemudian mereka yang sebelumnya bekerja sama dengan perusahaan lain menjadi distributor,dan pada tahun 2009 akhirnya menjadi distributor tunggal Gudang Garam, yang menangani distribusi dan pemasaran lapangan Gudang Garam dari Sabang sampai Merauke. Pendiri Gudang Garam adalah Surya Wonowidjojo yang dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan tidak pernah lalai memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Selain itu beliau adalah sosok dibalik penerapan nilai-nilai Catur Dharma pada perusahaan Gudang Garam yaitu dapat memberikan kontribusi dan berarti bagi masyarakat adalah sebuah kebahagiaan, mencapai kesuksesan membutuhkan kerja keras, ketekunan, dan kejujuran, kesuksesan tidak dapat diraih dan dicapai tanpa bantuan atau kerja sama dari orang lain, dan terakhir, karyawan adalah aset bisnis pertama dan terpenting.
Gudang baru, perusahaan ini awalnya didirikan oleh Saman Hoedi pada tahun 1967. Gudang Baru saat ini masih dimiliki oleh Ali Khosin pemilik perusahaan yang mirip dengan Gudang Garam, Gudang Baru juga merupakan perusahaan manufaktur rokok, dan kantor pusat utamanya berada di Malang Jawa Timur. Tak hanya berbasis di Indonesia, perusahaan Gudang Baru juga diketahui sudah menyebar ke Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Eropa.
Perusahaan ini juga memiliki dua perusahaan dibawah naungannya yaitu PT Bintang Sayap Utama yang bertindak sebagai distributor dalam negeri atau nasional, dan PT Gudang Baru Berkah Indonesia yang membawahi distribusi ke luar negeri seperti yang sudah disebutkan yaitu Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Eropa. Sejak awal berdiri, hanya ada 125 karyawan dan saat ini melonjak sehingga bisa mempekerjakan lebih dari 2.583 karyawan.
Perkara antara Gudang Garam dan Gudang Baru yang diputus oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya merupakan studi kasus penting dalam konteks Hak Kekayaan Intelektual (Merek) di Indonesia. Pada tanggal 22 Maret 2021, PT Gudang Garam, Tbk, dan Melda Sihombing, SH, MH, selaku kuasa hukum, mengajukan gugatan kepada Ali Khosin, SE, pemilik Gudang Baru. Isi gugatan tersebut berpusat pada permohonan untuk mencabut pendaftaran merek Gudang Baru, dengan alasan merek tersebut menyerupai merek Gudang Garam, sebuah merek terkenal yang telah didirikan sejak 26 Juni 1958 dan kini menjadi perusahaan rokok terbesar di Indonesia.
Kekuatan merek Gudang Garam sebagai merek terkenal, sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, diukur berdasarkan pengetahuan umum masyarakat terhadap merek tersebut dalam bidang usaha yang bersangkutan. Gudang Garam telah melakukan berbagai upaya intensif sejak tahun 1958 untuk memastikan merek mereka dikenal secara luas oleh masyarakat. Selain itu, produk Gudang Garam telah beredar dan dijual di seluruh wilayah Indonesia, memperkuat posisinya sebagai merek yang cukup dikenal oleh masyarakat.
Merek Gudang Baru dan sejumlah lukisan dengan nomor register tertentu pada kelas 34 memiliki kesamaan signifikan dengan merek Gudang Garam, baik dari segi nama atau ukiran yang melekat pada produknya. Hal ini menimbulkan keraguan mengenai validitas merek Gudang Baru dan lukisan-lukisan tersebut, khususnya dalam konteks Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Gudang Garam, sebagai pemilik dan pemegang merek yang telah terdaftar dengan 79 nomor pendaftaran barang dan jasa golongan 34, memiliki hak eksklusif atas penggunaan merek tersebut.
Pada putusan ini, hakim memerintahkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk menolak semua pendaftaran merek yang diajukan oleh Gudang Baru, Gudang Asal, dan Gedung Baru. Apabila Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual masih mengabulkan permohonan tersebut, maka pendaftaran merek tersebut akan dibatalkan demi hukum. Putusan ini menegaskan bahwa penggunaan merek yang menyerupai merek terkenal dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak eksklusif pemilik merek terdaftar, sebagaimana diatur dalam undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan analisis serta pembahasan yang telah dilakukan, dan berlandaskan pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis serta Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek Terkenal, perlindungan merek di Indonesia mempunyai landasan hukum yang kuat. Indikator-indikator seperti kesadaran masyarakat, volume penjualan produk, peredaran di masyarakat, cakupan wilayah dan waktu, intensitas dan promosi merek, pendaftaran merek di negara lain, pengenalan merek oleh lembaga yang berwenang, serta nilai merek terkait reputasi dan kualitas, semuanya berkontribusi dalam penetapan suatu merek sebagai merek terkenal.
Studi kasus ini mempertegas kedudukan Gudang Garam sebagai merek terkenal, yang telah terdaftar di berbagai negara dan telah berdiri sejak tahun 1958. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya memvalidasi posisi ini dalam putusannya. Di lain pihak, merek-merek seperti Gudang Baru, Gudang Origin, dan Gedung Baru yang menyerupai merek Gudang Garam, ditolak pendaftarannya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Penelitian ini memiliki implikasi penting terhadap pemahaman dan implementasi perlindungan merek di Indonesia. Penelitian lanjutan diperlukan untuk lebih memahami dampak jangka panjang dari keputusan pengadilan ini terhadap dinamika pendaftaran dan perlindungan merek terkenal di Indonesia.