This study explores the urgent need for reforms in Indonesia's land law system, specifically focusing on incorporating legal pluralism into the national legal framework. Utilizing a normative legal research method, the study scrutinizes primary and secondary legal documents, including the 1945 Indonesian Constitution, the Basic Agrarian Law, and the Job Creation Law, while also incorporating insights from related literature. The main finding indicates that although the Basic Agrarian Law (UUPA) has attempted to blend principles of customary and religious law into the national land law framework, its implementation still exhibits signs of weak legal pluralism, where state law dominates. This research suggests that adopting legal pluralism as a foundational principle in the UUPA could serve as a catalyst for fostering greater harmony between state and non-state laws, encouraging the development of policies that are more accountable and responsive to local realities. This holds significant implications in promoting agrarian justice and sustainability in land management in Indonesia, offering vital insights for ongoing legal reform efforts.
Highlights:
Keywords: Legal Pluralism, Land Law Reform, Agrarian Justice, Policy Development, Indonesian Constitution
Penataan hukum pertanahan di Indonesia diperlukan sebagai upaya untuk menyukseskan reforma agraria. Reforma agraria merupakan program yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan agraria bagi masyarakat khususnya bagaimana tanah dapat didistribusikan secara merata dan proporsional[1]. Penataan hukum pertanahan di Indonesia memerlukan politik hukum yang responsif yang dapat mengoptimalkan berbagai kebijakan hukum yang berkaitan dengan aspek pertanahan[2]. Salah satu orietasi penting pembaruan hukum pertanahan di Indonesia adalah berkaitan dengan orientasi konsep pluralisme hukum dalam sistem pertanahan nasional.
Pluralisme hukum secara sederhana dipahami sebagai konsepsi yang menegaskan bahwa terdapat lebih dari satu sistem hukum yang bekerja dalam suatu realitas sosial kemasyarakatan[3]. Bekerjanya lebih dari satu sistem hukum tersebut dipahami sebagai upaya masyarakat untuk menjalankan hukum sesuai dengan cita keadilan yang dianggap relevan dalam suatu bidang tertentu. Dalam bidang hukum pertanahan tidak dapat dipungkiri bahwa berlaku lebih dari sistem hukum. Berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam bidang hukum pertanahan dapat dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan hakikat keadilan dalam bidang hukum pertanahan. Di Indonesia, tanah dipandang bukan hanya sebagai alat dan simbol nilai ekonomis, tetapi memiliki juga nilai magis dan nilai kultural yang perlu diatur serta dijaga nilainya[4].
Orientasi masyarakat Indonesia dalam mendudukkan tanah inilah yang kemudian membuat berlakunya lebih dari satu sistem hukum yang membahas mengenai pertanahan. Di Indonesia hukum pertanahan tunduk pada beberapa hukum seperti hukum positif yang dibentuk oleh negara, hukum adat, serta hukum agama[5]. Dari aspek hukum positif, hukum pertanahan di Indonesia diatur melalui ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 serta secara spesifik diatur melalui UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 3 juncto Pasal 5 UUPA sejatinya menegaskan bahwa selain hukum negara, maka aspek pertanahan di Indonesia juga mengakomodasi keberlakuan hukum agama dan hukum adat. Ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 5 UUPA bersifat kompromistis yang artinya memberikan ruang bagi berlakunya hukum agama dan hukum adat dalam urusan pertanahan.
Meski UUPA secara rumusan telah mengakomodasi aspek pluralisme hukum, namun terdapat dua hambatan pelaksanaan pluralisme hukum dalam hukum pertanahan nasional. Kedua hambatan tersebut yaitu di satu sisi meski telah terdapat upaya memfasilitasi pengaturan pluralisme hukum dalam hukum pertanahan nasional, namun belum ditegaskannya pluralisme hukum sebagai asas utama UUPA membuat konsepsi pluralisme hukum masih lemah dan dianggap hanya melengkapi pengaturan hukum pertanahan berbasis hukum positif[6]. Hambatan selanjutnya adalah pluralisme hukum pertanahan belum mendapatkan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pelaksana UUPA. Eksistensi peraturan pertanahan dalam aspek hukum adat dan hukum agama masih dibilang sangat sedikit yang difasilitasi oleh peraturan pelaksana UUPA[7]. Berdasarkan hambatan pelaksanaan pluralisme hukum pertanahan di atas, penelitian ini berfokus untuk menjawab dua isu hukum, yaitu: mendeksripsikan gagasan pluralisme hukum dalam sistem pertanahan nasional serta merekonstruksikan pluralisme hukum sebagai upaya perbaikan sistem pertanahan nasional.
Penelitian yang membahas mengenai pluralisme hukum pertanahan telah dilakukan oleh berbagai peneliti sebelumnya. Penulis meringkas pada tiga penelitian terdahulu yang dianggap mewakili keragaman fokus penelitian mengenai pluralisme hukum pertanahan. Penelitian pertama dilakukan oleh Pradhani (2021) yang memformulasikan pengaturan hukum secara umum, termasuk hukum pertanahan untuk ditinjau dari aspek hukum nasional, adat, dan internasional[8]. Kebaruan penelitian ini berupaya mencari titik harmoni antara aspek hukum nasional, adat, dan internasional dalam mengatur berbagai susbtansi hukum, khususnya hukum pertanahan. Penelitian kedua dilakukan oleh Rani, dkk. (2022) yang membahas mengenai praktik pluralisme hukum yang dilakukan ahli waris yang berpindah agama yang dilakukan oleh masyarakat Bali[9]. Kebaruan penelitian ini yaitu sekalipun UUPA membuka ruang terbukanya peran hukum agama, namun proses perpindahan agama membuat adanya dua hukum agama yang saling bersitegang sehingga perlu dilakukan harmonisasi antarhukum yang berbeda. Penelitian ketiga dilakukan oleh Nurlaili, dkk. (2023) yang membahas bagaimana masyarakat memilih jenis hukum mana yang tepat ketika menghadapi suatu sengketa yang mana masih berlaku pluralisme hukum[10]. Kebaruan penelitian ini menegaskan bahwa adanya proses pengabdian masyarakat bertujuan untuk memberikan pemahaman pada amsyarakat mengenai pentingnya pemahaman pluralisme hukum pertanahan dalam menghadapi sengketa pertanahan.
Dari ketiga hasil penelitian di atas, mengacu pada kebaruan penelitian yang ditonjolkan maka penelitian ini adalah penelitian yang orisinal karena berupaya merekonstruksikan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan di Indonesia yang belum dibahas secara mendalam oleh ketiga penelitian terdahulu.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berfokus pada pengkajian sistem hukum pertanahan nasional dengan memformulasikan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan[11]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah UUD NRI 1945, UUPA, serta UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Bahan hukum sekunder meliputi buku, artikel jurnal, serta naskah prosiding maupun hasil penelitian yang membahas mengenai pluralisme hukum pertanahan. Bahan non-hukum dalam penelitian ini adalah kamus hukum. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konsep dan perundang-undangan.
Salah satu gagasan sentral dalam sistem pertanahan nasional adalah pandangan mengenai pluralisme hukum. Secara sederhana, pluralisme hukum di bidang pertanahan dimaknai sebagai berlakunya lebih dari satu sistem hukum yang mengatur terkait pertanahan yang mana keberlakuan masing-masing sistem tersebut adalah saling melengkapi[12]. Pandangan ini sejatinya senada dengan Hooker yang menempatkan bahwa pluralisme hukum bukan nanya sekadar sistem hukum yang bekerja lebih dari satu tetapi termasuk juga interaksi yang harmonis dari masing-masing sistem hukum yang ada[13]. Pandangan lebih lannjut mengenai pluralisme hukum juga dikemukakan oleh F.von Benda-Beckmann yang tidak hanya melihat pluralisme hukum sebagai adanya sistem hukum yang berlaku tetapi adanya institusi hukum yang saling berinteraksi dan menjalin relasi dalam sistem hukum yang berbeda[14][15]. Pandangan mengenai pluralisme hukum di bidang pertanahan dengan mengacu pada pendapat dari F.von Benda-Beckmann dan Hooker di atas dapat dipahami sebagai suatu keberlakuan sistem hukum yang berbeda yang sama-sama mengatur aspek pertanahan yang masing-masing sistem hukum menjalankan secara harmonis ketentuan mengenai pertanahan yang diaturnya.
Pluralisme hukum di bidang pertanahan merupakan sesuatu hal yang niscaya. Hal ini artinya bahwa pluralisme hukum di bidang pertanahan adalah sesuatu yang lazim khususnya yang berlaku di Indonesia. Pluralisme hukum di bidang pertanahan lazim berlaku di Indonesia setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi, bahwa: pertama, tanah dalam pandangan masyarakat Indonesia bukanlah suatu benda hanya tidak bergerak yang memiliki nilai ekonomis, tetapi tanah diasosiasikan oleh masyarakat Indonesia sebagai “ibu bumi” atau tempat manusia berpijak sehingga tanah tidak hanya dijaga tetapi perlu dilestarikan hingga anak cucu ke depannya[16]. Pandangan bahwa tanah merupakan “ibu bumi” yang harus dijaga ini berkaitan dengan pandangan yang sifatnya ideologis yaitu bagaimana secara ideal masyarakat Indonesia mendudukkan tanah itu sendiri. Kedua, tanah bagi masyarakat Indonesia juga memiliki nilai mistis yang mana tanah beserta kegunaannya harus diatur oleh aturan yang secara turun-temurun diakui oleh masyarakat, yang mana aturan tersebut lazim disebut dengan hukum adat. Hukum adat tidak hanya sekadar mengatur mengenai kegunaan hingga pendistribusian tanah bagi kepentingan kelompok adat, tetapi seklaigus menegaskan hakikat tanah yang dipandang “suci” sebagai bagian dari perkembangan masyarakat adat[17].
Ketiga, tanah dalam perbuatan hukum tertentu seperti aspek waris, wakaf, dan beberapa aspek yang kaitannya dengan kegiatan keagamaan juga harus diatur mengacu pada hukum yang berlaku di masing-masing agama. Hukum Islam misalnya memiliki pengaturan khusus mengenai syarat dan ketentuan waris, wakaf, dan beberapa aspek lainnya yang berkaitan dengan tanah[18]. Dari ketiga argumentasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme hukum di Indonesia sejatinya sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang memandang bahwa dalam pengelolaan tanah, terdapat tiga hukum yang harus bekerja sesuai ketentuan masing-masing yaitu hukum negara, hukum agama, serta hukum adat.
Gagasan pluralisme hukum di Indonesia, khususnya di bidang pertanahan semakin menguat ketika Indonesia mengakui eksistensi hukum lain di luar hukum negara. Eksistensi adanya hukum lain di luar hukum negara menegaskan bahwa dalam suatu berlakunya sistem hukum, sistem hukum negara merupakan “salah satu” sistem hukum yang berlaku, hal ini berarti terdapat berbagai sistem hukum lain yang berlaku di samping sistem hukum negara[19]. Pengakuan Indonesia terhadap eksistensi hukum non-negara semakin diperkuat ketika proses amandemen UUD NRI 1945 yang mana hanya menegaskan Indonesia sebagai negara hukum, tanpa adanya embel-embel rechtsstaat sebagaimana sebelum amandemen. Salah satu implikasi penegasan Indonesia sebagai negara hukum, tanpa adanya embel-embel rechtsstaat menurut Mahfud MD yaitu bahwa Indonesia juga mengakui hukum yang tidak tertulis yang masih berlaku dan diterima oleh masyarakat (living law)[20].
Gagasan pluralisme hukum di Indonesia sejatinya juga mendapatkan perhatian dalam UUPA. UUPA dapat dipahami sebagai peraturan perundang-undangan yang progresif dan responsif pada zamannya yang mengatur mengenai hukum agraria secara umum, khususnya pada aspek hukum pertanahan[21]. Salah satu orientasi penting dalam perumusan UUPA adalah penegasan bahwa reforma agraria beserta pengaturannya ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat[22]. Salah satu prinsip utama dalam hukum pertanahan yang diatur dalam UUPA adalah mengenai penegasan bahwa hak milik atas tanah bersifat sosial, sehingga hak milik atas tanah milik individu harus memiliki orientasi pada kemanfaatan bagi sesama.
Salah satu aspek penting yang terdapat dalam UUPA adalah bahwa UUPA juga memfasilitasi pengaturan mengenai adanya pluralisme hukum di bidang pertanahan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 5 UUPA yag menegaskan bahwa selain tunduk pada UUPA, pengaturan mengenai hukum pertanahan di Indonesia juga tunduk pada ketentuan hukum adat dan hukum masing-masing agama dalam perbuatan hukum tertentu. Kurnia berpandangan, terdapat dua hambatan mengenai pelaksanaan pluralisme hukum pertanahan di Indonesia yang meliputi[23]: pertama, pluralisme hukum pertanahan tanpa pengaturan dan pemahaman yang tepat justru dapat membuat masyarakat menjadi bingung karena sangat mungkin dalam suatu perbuatan hukum tertentu justru diatur oleh lebih dari satu sistem hukum. Kedua, pluralisme hukum pertanahan jika tidak dijaga relasi dan hubungan yang harmonis antarsistem hukum berpotensi menimbulkan kompetisi antarsistem hukum. Kompetisi antarsistem hukum justru berdampak negatif yaitu terjadinya saling adu eksistensi antarsistem hukum dan jika dilihat dalam realitas hukum di Indonesia, maka saling adu eksistensi antarsistem hukum yaitu hukum negara dengan hukum adat dan hukum agama, maka sistem hukum negara dapat dikatakan lebih superior dibandingkan dengan dua sistem hukum lainnya yaitu sistem hukum adat dan hukum agama[24].
Superioritas hukum negara dibandingkan dengan hukum agama dan hukum adat sejatinya dapat didasarkan pada tiga alasan, yaitu: pertama, diakui atau tidak berkembangnya pandangan mengenai positivisme hukum masih terasa dampaknya sekalipun Indonesia menegaskan tidak menganut positivisme hukum secara mutlak. Dampak dari positivisme hukum adalah orientasi hukum untuk menciptakan kepastian hukum yang didasarkan pada hukum positif yang sifatnya tertulis[25][26]. Dibandingkan dengan sistem hukum adat dan hukum agama yang berorientasi pada hukum tidak tertulis, hukum negara lebih menitikberatkan pada hukum tertulis sehingga memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan sistem hukum adat dan hukum agama.
Kedua, sistem hukum negara, khususnya dalam aspek pertanahan sebagaimana diatur dalam UUPA juga masih belum proporsional dalam mengatur mengenai pluralisme hukum sehingga sekalipun telah diatur bahwa UUPA mengakui eksistensi hukum adat dan hukum agama, namun tetap saja titik tumpu dari hukum pertanahan nasional adalah pada UUPA yang merupakan manifestasi dari hukum negara[27]. Ketiga, ketidakjelasan pengaturan mengenai pluralisme hukum di bidang pertanahan berimplikasi pada tataran praktis pelaksanaan misalnya adanya sengketa pertanahan yang dianggap lebih efektif dan efisien untuk diselesaikan melalui mekanisme yang terdapat dalam hukum negara. Hal ini dikarenakan ketentuan hukum adat dan hukum agama berpotensi menimbulkan diskriminasi karena hanya dipahami oleh pihak-pihak tertentu belum menjamin kepastian hukum apabila terdapat sengketa pertanahan yang ada di amsyarakat.
Berdasarkan tiga aspek yang menegaskan superioritas hukum negara dibandingkan dengan sistem hukum lainnya dalam suatu sistem hukum, maka hal ini justru menjadi kendala bagi keberlangsungan pluralisme hukum di bidang pertanahan. Padahal, dalam pandangan Brian Z. Tamanaha aspek penting dari pluralisme hukum adalah terjalinnya relasi dan upaya saling melengkapi antarsistem hukum unutk mewujudkan keadilan[28]. Pluralisme hukum pertanahan dapat dikatakan berjalan secara optimal apabila antara sistem hukum negara, agama, dan adat berjalan beriringan dan saling melengkapi. Relasi antarsistem hukum dalam pluralisme hukum digambarkan oleh John Griffiths menjadi dua aspek, yaitu pluralisme hukum yang sifatnya kuat dan lemah[29]. Pluralisme hukum dapat dianggap kuat apabila antara hukum negara, agama, dan adat terjalin relasi yang saling melengkapi sehingga masing-masing sistem hukum emrasa saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini berlaku sebaliknya yaitu apabila pluralisme hukum lemah maka terdapat relasi timpang yang mana sistem hukum negara lebih dominan dibandingkan dengan sistem hukum adat maupun agama[30].
Jika mengacu pada ketentuan dalam UUPA, dapat disimpulkan bahwa pluralisme hukum di bidang pertanahan masih dalam kategori pluralisme hukum lemah. Hal ini karena UUPA hanya sekadar mengakui berlakunya hukum adat maupun agama di samping hukum negara terkait dengan aspek pertanahan. Padahal, seyogyanya dalam membentuk suatu pluralisme hukum yang kuat UUPA diharuskan memberdayakan dan memfasilitasi berlakunya hukum adat maupun agama supaya berjalan bersama-sama dengan susbtansi hukum negara sebagaimana yang diatur dalam UUPA.
Gagasan UUPA dalam hukum pertanahan di Indonesia sejatinya didasarkan pada praktik dan realitas yang ada di Indonesia yang tidak hanya memberlakukan hukum negara dalam aspek pertanahan, tetapi juga mengakui eksistensi hukum adat dan agama dalam mengatur mengenai pertanahan. Meski telah diatur dalam UUPA, namun pengaturan mengenai eksistensi hukum adat dan agama dalam praktik pertanahan masih belum optimal karena bersifat pluralisme hukum lemah. Hal ini dikarenakan UUPA masih menegaskan superioritas hukum negara dibandingkan dengan hukum adat dan agama dalam praktik pertanahan.
Pluralisme hukum sebagai bagian sentral dalam sistem pertanahan di Indonesia sejatinya telah diatur oleh UUPA mengenai berlakunya hukum adat dan hukum agama dalam pengaturan pertanahan di samping hukum negara[31]. Akan tetapi, terdapat problematika mengenai pengaturan pluralisme hukum dalam hukum pertanahan dari aspek normatif dan dari aspek empirik. Secara normatif, ketentuan dalam UUPA mengenai keberlakuan hukum adat dan hukum agama dalam pengaturan pertanahan belum mendapatkan pengaturan hukum lebih lanjut secara memadai. Hal ini dapat dilihat terkait ketentuan pertanahan adat yang seyogyanya menjadi fokus dalam UU Masyarakat Hukum Adat namun problematikanya UU Masyarakat Hukum Adat masih berupa RUU dan hingga tahun 2023 belum terdapat tanda-tanda akan disahkan. Secara empirik, hukum negara yang mengacu pada UUPA sejatinya lebih superior dibandingkan dengan sistem hukum lain seperti hukum adat[32][33]. Hal ini dikarenakan menurut kajian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahwa mayoritas sengketa antara masyarakat hukum adat dengan korporasi adalah adanya benturan antara ketentuan hukum positif dengan ketentuan adat[34]. Yang mana dari adanya benturan antara ketentuan hukum positif dengan ketentuan adat tersebut hukum negara selalu hadir untuk mendominasi dan melakukan hagemoni. Hal ini yang berimplikasi adanya kriminalisasi pada Masyarakat Hukum Adat karena dianggap melanggar ketentuan hukum positif.
Salah satu aspek yang perlu dibangun dan diformulasikan terkait dengan pluralisme hukum terkait hukum pertanahan adalah upaya peneguhan dan penegasan pluralisme hukum dalam hukum pertanahan sebagai asas utama hukum pertanahan. Menjadikan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan sejatinya merupakan hal yang relevan untuk dilakukan akan tetapi hal itu memerlukan upaya dan orientasi dengan melakukan revisi terhadap ketentuan UUPA. UUPA dapat dikatakan sebagai undang-undang yang masterpiece pada zamannya namun perkembangan zaman tentu memerlukan pembaruan hukum yang menyesuaikan dengan perkembangan yang ada[35]. Dalam kondisi di era abad ke-21 serta perkembangan hukum pertanahan yang semakin masif, maka perubahan atau revisi terhadap UUPA adalah sesuatu hal yang niscaya. Orientasi revisi terhadap UUPA dalam kaitannya dengan hukum pertanahan adalah peneguhan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan[36].
Formulasi pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan dimaksudkan bahwa pluralisme hukum dalam undang-undang pertanahan tidak hanya menegaskan adanya hukum lain yang diakui selain hukum negara, akan tetapi juga turut memberdayakan sekaligus memfasilitasi berlakunya hukum non-negara dalam aspek pertanahan. Urgensi peneguhan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan dimaksudkan untuk mewujudkan relasi harmonis antarsistem hukum pertanahan sehingga terwujud pluralisme hukum yang kuat[37]. Pluralisme hukum kuat terwujud ketika masing-masing sistem hukum berjalan beriringan dan saling melengkapi dalam praktik pertanahan di masyarakat[38]. Hal ini menunjukkan bahwa peneguhan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan ke depannya dimaksudkan untuk mewujudkan pluralisme hukum yang kuat. Formulasi ini tentu sebagai kritikan atas berlakunya UUPA yang cenderung menerapkan pluralisme hukum lemah.
Formulasi pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan melalui revisi terhadap UUPA merupakan hal penting dilakukan mengingat asas hukum menempati kedudukan vital dalam ilmu hukum. Kamus hukum memberikan definisi singkat mengenai asas hukum sebagai dasar, pilar, atau landasan yang menjadi sandaran keberlakuan suatu norma hukum positif[39]. Pandangan senada juga diungkapkan oleh Van Eikema Hommes yang menegaskan bahwa asas hukum bersifat abstrak dan bukan bagian dari norma hukum konkret, tetapi tanpa asas hukum norma hukum konkret akan kehilangan nilai keberlakuannya[40]. Bellefroid menambahkan bahwa asas hukum bersifat hierarkis dan substantif terhadap norma hukum yang artinya, apabila terdapat norma hukum yang bertentangan dengan asas hukum maka norma hukum tersebut menjadi tidak berlaku[41]. Dari pandangan Bellefroid dan Van Eikema Hommes di atas, maka asas hukum menjadi penting karena menjadi pengarah utama keberlakuan suatu norma hukum positif di masyarakat.
Sudikno Mertokusumo menambahkan bahwa pada hakikatnya asas hukum memiliki dua fungsi, yaitu fungsi eksistensial dan fungsi praktikal[42]. Secara eksistensial, asas hukum merupakan dasar umum dan landasan abstrak suatu norma hukum yang memengaruhi norma hukum secara normatif dan mengikat para pihak yang terkait[43]. Terkadang, suatu norma hukum tidak jelas memberikan maksud apa yang hendak dicapai dari perumusan suatu norma hukum. Hadirnya asas hukum untuk mencerahkan keberlakuan norma hukum di masyarakat sehingga dapat diketahui landasan teleologis dirumuskannya suatu norma hukum. Secara praktikal, asas hukum dapat menjadi batu uji bagi suatu norma hukum yang sedang berlaku[44]. Hal ini berarti apabila norma hukum tidak sesuai dengan substansi asas hukum maka norma hukum tersebut dianggap kehilangan daya keberlakuannya dan dianggap sebagai norma hukum yang telah mati/tidak berlaku lagi (death norm).
Dari dua fungsi asas hukum baik secara eksistensial dan secara praktikal di atas, maka pengupayaan pluralisme hukum sebagai asas hukum dimaksudkan supaya pluralisme hukum dapat mendasari sekaligus menjadi batu uji pada peraturan di bawah undang-undang pertanahan yang tidak memfasilitasi adanya pluralisme hukum atau pun hanya memberikan pengaturan pluralisme hukum secara lemah. Terdapat tiga implikasi upaya mendudukkan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan nasional, yaitu: pertama, dengan didudukkan sebagai asas hukum, maka pluralisme hukum dapat menjadi identitas hukum pertanahan nasional[45]. Hal ini mempertegas esensi hukum pertanahan yang berbasis pada konstitusi sehingga tidak hanya menjadikan undang-undang pertanahan sebagai “satu-satunya’ dasar hukum, tetapi secara bersamaan mampu mengakomodasi adanya praktik hukum non-negara yaitu hukum agama dan hukum adat dalam praktik pertanahan nasional[46].
Kedua, pluralisme hukum sebagai asas hukum semakin membuat hukum pertanahan nasional bercita keindonesiaan. Hal ini karena dengan semakin diaturnya pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan dapat memperbaiki adanya fenomena kriminalisasi masyarakat adat yang mana dianggap menentang ketentuan hukum positif. Dengan diirumuskannya pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan, maka hukum adat dan hukum agama diakui keberadaannya sehingga jika terdapat konflik atau perbedaan perspepsi antara hukum adat, hukum agama, serta hukum negara dalam perbuatan hukum pertanahan tertentu, maka perlu diselesaikan dengan berdasarkan konsep pluralisme hukum serta secara proporsional mengacu dan melihat konteks permasalahan tersebut. Hal ini sebagai upaya untuk merumuskan terwujudnya keadilan di bidang hukum pertanahan bagi masyarakat.
Ketiga, merumuskan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan semakin memperkuat kedudukan Warga Negara Indonesia dalam memiliki tanah di Indonesia. Adanya konsepsi pluralisme hukum dapat mempersempit ruang bagi Warga Negara Asing untuk memanfaatkan tanah secara ekonomis. Hal yang penting dan harus diperhatikan adalah dengan menjadikan dan merumuskan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan, maka orientasi hukum pertanahan di Indonesia adalah hendak mewujudkan pluralisme hukum yang kuat. Pluralisme hukum yang kuat dapat terwujud ketika terjadi ruang proporsional antara hukum negara dan hukum non-negara.
Dari ketiga implikasi positif dari dirumuskannya pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan nasional maka dapat disimpulkan bahwa pluralisme hukum dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperbaiki sistem pertanahan nasional dengan cara menjadikan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan nasional. Sebagai asas hukum pertanahan nasional maka pluralisme hukum dapat menjadi pemandu sekaligus batu uji kebijakan hukum pertanahan yang dirumuskan di bawah undang-undang. Hal yang juga tidak kalah penting untuk mendudukkan pluralisme hukum sebagai asas hukum pertanahan nasional upaya mewujudkan pluralisme hukum kuat dengan adanya ruang proporsional antara hukum negara dan hukum non-negara dalam keberlakuannya di masyarakat.
UUPA, sebagai pijakan hukum pertanahan di Indonesia, tampaknya belum sepenuhnya berhasil mengintegrasikan hukum adat dan agama dengan efektif, menciptakan apa yang disebut sebagai pluralisme hukum lemah. Adopsi pluralisme hukum sebagai prinsip dasar dalam UUPA dapat berfungsi sebagai katalisator untuk menciptakan harmoni yang lebih baik antara hukum negara dan non-negara. Ini juga dapat memfasilitasi pengembangan kebijakan yang lebih bertanggung jawab dan responsif terhadap realitas lokal. Penelitian lanjutan di bidang ini dapat menghasilkan temuan vital untuk reformasi sistemik. Temuan ini, selanjutnya, dapat mempengaruhi pengembangan kebijakan hukum pertanahan yang lebih inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.