Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i1.994

Legal Protection Mechanisms and Consequences for Medical Negligence in Healthcare Services


Mekanisme Perlindungan Hukum dan Konsekuensi atas Kelalaian Medis dalam Pelayanan Kesehatan

Fakultas Hukum Universitas Kadiri, Kediri
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legal Protection Healthcare Services Medical Negligence Standard Operating Procedures Legal Consequences

Abstract

This study critically examines the role of legal safeguards in enhancing healthcare service quality. Utilizing normative legal research methods, the study employs legislative and conceptual approaches to explore the dual nature of legal protection: preventive and repressive, in the context of healthcare professionals adhering to established Standard Operating Procedures (SOPs). The findings suggest that healthcare practitioners' negligence level and the resultant harm to patients or the public determines the legal implications. Such implications range from allegations of SOP and ethical code violations, to civil litigation for damages, and even criminal charges if medical actions endanger lives, potentially causing patient mortality. Therefore, the study highlights the necessity for legal accountability for healthcare practitioners, emphasizing that their service delivery must align with the set SOPs. These findings have profound implications for policy-making, emphasizing the need for robust legal protection for both healthcare practitioners and service recipients, thereby ensuring improved healthcare service quality.
Highlights:

  • Dual nature of legal protection in healthcare.
  • Negligence level dictates legal consequences.
  • Emphasis on healthcare practitioners' legal accountability.

Keywords: Legal Protection, Healthcare Services, Medical Negligence, Standard Operating Procedures, Legal Consequences

 

 

Pendahuluan

Kesehatan sejatinya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan salah satu aspek penting yang berkaitan dalam menunjang kehidupan manusia. Sebagai hak asasi manusia, maka hak atas kesehatan wajib difasilitasi, dipenuhi, serta dihormati oleh negara. Negara memiliki peran penting terkait implementasi hak kesehatan bagi masyarakatnya[1]. Oleh karena itu, negara wajib merumuskan ketentuan hukum sekaligus kebijakan yang dapat menundang terselenggaranya hak kesehatan bagi masyarakatnya[2].

Pentingnya negara dalam merumuskan ketentuan hukum terkait kesehatan di Indonesia ditujukan dengan dirumuskannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)[3]. UU Kesehatan dirumuskan dengan tujuan untuk memberikan landasan dan jaminan mengenai hak kesehatan masyarakat untuk diatur melalui instrumen hukum. Selain itu, UU Kesehatan juga merupakan manifestasi dari ketentuan hak kesehatan sebagai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam konstitusi yaitu pada Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945[4]. Ketentuan pasal tersebut menegaskan bahwa hak atas pelayanan kesehatan yang layak merupakan hak konstitusional warga negara sehingga perlu dirumuskan suatu undang-undang tertentu yang mengejawentahkan amanat ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut.

Pengaturan terkait kesehatan yang dirumuskan dalam UU Kesehatan salah satunya berfokus pada aspek tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan[5]. Hal ini karena tenaga kesehatanlah yang secara praktik menerapkan dan mengimplementasikan berbagai bentuk jaminan dan pengaturan mengenai pelayanan kesehatan bagi masyarakat sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan[6]. Pentingnya peran tenaga kesehatan kemudian secara khusus diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan). Pengaturan mengenai tenaga kesehatan dalam undang-undang khusus sejatinya diorientasikan bahwa tenaga kesehatan merupakan pelaksana pelayanan kesehatan sehingga memiliki hak dan kewajiban yang harus diperhatikan, dihormati, sekaligus dipenuhi[7].

Perumusan secara khusus UU Tenaga Kesehatan juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin aspek profesionalitas, akuntabilitas, hingga kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan[8]. Upaya menjamin profesionalitas, akuntabilitas, hingga kualitas pelayanan kesehatan menjadi penting karena dengan tidak terpenuhinya aspek profesionalitas, akuntabilitas, hingga kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan maka dapat berimplikasi tidak terpenuhinya hak atas pelayanan kesehatan bagi masyarakat[9]. Orientasi penting dalam UU Tenaga Kesehatan adalah upaya memberikan jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Perlindungan hukum juga merupakan aspek penting bagi tenaga kesehatan supaya dalam melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tenaga kesehatan memiliki rambu-rambu yang jelas sehingga dapat menjadi standar mana tindakan yang dianggap melanggar hukum dan mana yang tidak[10]. Selain itu, perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan juga penting supaya tenaga kesehatan tidak mendapatkan ancaman kriminalisasi dalam menjalankan tugasnya.

Secara konseptual, gagasan perlindungan hukum merupakan bagian dari gagasan serta upaya untuk menjamin terselenggaranya hak asasi manusia[11]. Oleh karena itu, orientasi perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan medis merupakan salah satu upaya negara dalam memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia bagi tenaga kesehatan[12]. Penelitian ini berfokus pada dua isu hukum, yaitu: konsepsi perlindungan hukum bagi kesehatan dalam memberikan pelayanan medis serta akibat hukum bagi tenaga kesehatan yang lalai atau alpa dalam melakukan tindakan medis.

Penelitian mengenai tenaga kesehatan dari aspek hukum telah dilakukan kajian dan riset oleh beberapa peneliti, seperti: riset oleh (1) Trihandini (2020) dalam penelitiannya yang membahas mengenai konsepsi perlindungan hukum bagi tenaga medis dalam melakukan penanganan COVID-19[13]. Keunggulan dari penelitian ini secara konseptual memaparkan perlindungan hukum bagi tenaga medis khususnya dalam menangani pandemi COVID-19. Kelemahan penelitian ini belum memaparkan kasus khusus yang membuat terhambatnya upaya perlindungan hukum bagi tenaga medis dalam menangani pandemi COVID-19. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh (2) Maulida dkk. (2021) yang membahas mengenai jenis perlindungan hukum yang diberikan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk melakukan penanganan COVID-19[14]. Keunggulan dari penelitian ini yaitu memaparkan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan yang dilakukan di RSU Fastabiq Sehat PKU Muhammadiyah Pati. Kelemahan dari penelitian ini belum menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan jika terdapat hak atas perlindungan hukum yang tidak terpenuhi.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Silalahi dan Sitabuana (2022) yang membahas mengenai problematika perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan di era pandemi COVID-19[15]. Keunggulan dari penelitian ini telah memaparkan berbagai bentuk problematika yang dialami oleh tenaga kesehatan dalam upaya untuk menjamin terpenuhinya hah perlindungan hukum. Kelemahan dari penelitian ini yaitu belum membahas permasalahan normatif terkait perundang-undangan yang mengatur peran tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi pandemi COVID-19. Dari ketiga penelitian di atas, penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal karena belum dibahas secara khusus dalam ketiga penelitian sebelumnya.

Metode

Penelitian ini yang mengkaji konsepsi perlindungan hukum serta akibat hukum kelalaian tenaga kesehatan dalam pelayanan medis merupakan penelitian hukum normatif[16]. Bahan hukum primer yang digunakan adalah UUD NRI 1945, UU Kesehatan, dan UU Tenaga Kesehatan. Bahan hukum sekunder adalah buku (e-book), artikel jurnal, serta hasil riset yang membahas mengenai tenaga kesehatan dalam aspek hukum. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa. Dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep dengan merujuk pada konsep, teori, serta doktrin dalam ilmu hukum untuk menganalisis isu hukum dalam penelitian ini[17].

Hasil dan Pembahasan

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kesehatan Dalam Melakukan Tindakan Medis

Perlindungan hukum sejatinya merupakan konsepsi sentral dan penting dalam ilmu hukum. Hal ini karena salah satu manifestasi hukum di masyarakat adalah memberikan upaya perlindungan. Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum selalu berkaitan dengan eksistensi hak suatu subjek hukum[18]. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan upaya untuk menerapkan hukum sekaligus menjamin hak-hak hukum suatu subjek hukum. Dalam khasanah Kamus Bahasa Indonesia, istilah perlindungan berkaitan dengan kata melindungi yang memiliki arti merawat, memelihara, serta menjaga[19]. Mengacu pada ketentuan Kamus Bahasa Indonesia, maka istilah perlindungan hukum lebih dekat dengan istilah menjaga yaitu upaya untuk menjaga terpenuhinya hak-hak hukum dari subjek hukum.

Perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan merupakan upaya untuk menjaga supaya hak-hak hukum tenaga kesehatan dapat terimplementasikan secara optimal. Hak-hak hukum tenaga kesehatan perlu dipenuhi dan dijamin dikarenakan tenaga kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya memenuhi hak pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat[20]. Perlindungan hukum selain menjamin hak-hak hukum tenaga kesehatan, juga diorientasikan untuk menjamin terselenggaranya integritas, profesionalitas, serta kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan juga memaparkan rambu-rambu serta beberapa aspek yang wajib diperhatikan bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya[21].

Secara konseptual, perlindungan hukum dilaksanakan dalam dua jenis, yaitu perlindungan hukum yang dijalankan secara preventif dan represif[22]. Kategorisasi perlindungan hukum dalam dua jenis ini dirumuskan oleh Philipus M. Hadjon yang mengkonstruksikan perlindungan hukum sebagai bentuk implementasi perlindungan hak asasi manusia[23]. Pengkategorisasian perlindungan hukum menjadi preventif dan represif dimaksudkan untuk secara spesifik menentukan bentuk perlindungan hukum baik yang sifatnya antisipatif maupun yang sifatnya dalam rangka mengadapi permasalahan hukum yang ada.

Philipus M. Hadjon yang merumuskan dua jenis perlindungan hukum yaitu preventif dan represif sejatinya menegaskan bahwa perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mengantisipasi adanya sengketa hukum yang ada[24]. Perlindungan hukum preventif dilaksanakan sebelum adanya suatu permasalahan hukum. Perlindungan hukum preventif dimaksudkan supaya hukum tidak hanya menjadi solusi akhir terhadap permasalahan tetapi hukum juga hadir dalam memberikan orientasi supaya permasalahan hukum diminimalisasi supaya tidak terjadi[25]. Perlindungan hukum secara represif dilakukan ketika permasalahan hukum sudah tampak dan umumnya telah menimbulkan adanya sengketa hukum. Perlindungan hukum secara represif dilakukan melalui mekanisme penyelesaian sengketa baik yang sifatnya litigasi maupun yang non-litigasi.

Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan sejatinya memiliki tiga orientasi, yaitu: pertama, perlindungan hukum diproyeksikan sebagai sarana untuk menjamin hak-hak tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dalam upaya ini, perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan menetapkan berbagai hak yang wajib dipenuhi oleh negara kepada tenaga kesehatan[26]. Kedua, perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dimaksudkan untuk menjamin orientasi pelayanan yang berkualitas dan profesional dari tenaga kesehatan. Perlindungan hukum dalam hal ini yaitu menetapkan upaya hukum apabila terdapat pelayanan kesehatan yang kurang maksimal sebagaimana diberikan oleh tenaga kesehatan. Salah satu orientasi dari adanya menetapkan upaya hukum apabila terdapat pelayanan kesehatan yang kurang maksimal sebagaimana diberikan oleh tenaga kesehatan adalah adanya pertanggungjawaban hukum yang wajib diberikan oleh tenaga kesehatan[27]. Hal ini terutama berkaitan dengan realitas di masyarakat yang mana adanya komplain dari masyarakat akibat pelayanan kesehatan yang tidak optimal yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Ketiga, perlindungan hukum dimaksudkan untuk menjamin hubungan hukum yang harmonis antara masyarakat dengan tenaga kesehatan. Hubungan yang harmonis maksudnya adalah adanya upaya responsif apabila terdapat suatu keluhan, komplain, atau suatu kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat adanya kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan[28]. Relasi yang sifatnya responsif tersebut mendukung peran tenaga kesehatan dalam menjamin kualitas layanan kesehatan sekaligus mengutamakan peran dan partisipasi masyarakat dalam melihat kualitas layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Ditinjau dari tiga orientasi perlindungan hukum di atas, maka dapat dilihat bahwa pentingnya upaya perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan adalah untuk mencegah kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan. Oleh karena itu, konsepsi perlindungan hukum preventif dan represif harus diutamakan apabila terdapat suatu bentuk adanya pelanggaran hukum atau pun adanya pelayanan yang kurang maksimal dari tenaga kesehatan. Secara preventif, perlindungan hukum dilakukan dengan menjamin tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medis untuk selalu menaati SOP dan ketentuan lain yang telah ditetapkan. Upaya untuk selalu menaati SOP dan ketentuan lain yang berkaitan dengan tindakan medis ini penting supaya tindakan medis yang dilakukan memiliki orientasi terukur dan teratur yang didasarkan oleh SOP dan ketentuan lain yang berkaitan dengan tindakan medis. Hal ini sekaligus dapat menghindarkan tenaga kesehatan dari upaya pemidanaan jika tenaga kesehatan telah terbukti menaati ketentuan SOP beserta ketentuan lain. Secara represif, jika terdapat kerugian yang disebabkan oleh tindakan medis yang dilakukan tenaga kesehatan, maka perlu dilakukan laporan kepada pihak rumah sakit, klinik, atau tempat tenaga kesehatan bernaung untuk dilihat merupakan kesalahan teknis yang sifatnya kode etik atau kesahalan yang memiliki tendensi hukum. Kesalahan yang memiliki tendensi hukum pun perlu dilihat apakah merupakan bentuk kelalaian yang dapat diberikan ganti rugi karena bersifat perdata atau kelalaian medis karena adanya kesengajaan atau upaya untuk mencelakakan pihak tertentu yang sejatinya terkualifikasi sebagai tindak pidana.

Akibat Hukum Bagi Tenaga Kesehatan Yang Dianggap Lalai Dalam Melakukan Tindakan M edis

Akibat hukum merupakan suatu kondisi yang terjadi apabila dilalukannya suatu perbuatan hukum[29]. Hal ini berarti, akibat hukum terjadi sebagai konsekuensi adanya perbuatan hukum tertentu. Mengenai akibat hukum bagi tenaga kesehatan yang dianggap lalai dalam melakukan tindakan medis, hal ini berkaitan dengan konsekuensi adanya tindakan tenaga kesehatan yang dianggap lalai sehingga dapat merugikan masyarakat. Kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan yang dianggap lalai sehingga dapat merugikan masyarakat ini sering disebut dengan istilah malpraktik. Malpraktik secara sederhana dipahami sebagai tindakan yang merugikan masyarakat akibat pemberian pelayanan kesehatan yang tidak tepat yang diakibatkan oleh adanya kesengajaan, kelalaian, dan/atau kekurangmahiran dari tenaga kesehatan[30]. Adanya malpraktik di bidang kesehatan inilah yang sejatinya diantisipasi dengan adanya kode etik profesi di masing-masing tenaga kesehatan.

Secara konseptual, J. Guwandi tidak mengidentikkan malpraktik dengan kelalaian[7]. Malpraktik sejatinya lebih luas dari sekadar istilah kelalaian. Hal ini karena dalam tindakan malpraktik dapat dimungkinkan adanya kesengajaan, kelalaian, dan/atau kekurangmahiran. Hal ini berbeda dengan kesengajaan yang merupakan bagian kecil (species) dari malpraktik. Hal ini karena kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain.

Beberapa pengaturan mengenai tindakan kelalaian yang dilaukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan medis, diantaranya tindak pidana tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat dalam pelayanan medis srbagaimana diatur dalam Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan menyatakan kelalaian berat yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Kelalaian serta berbagai bentuk ketidakoptimalan pelayanan yang dilakukan oleh institusi profesi seperti tenaga kesehatan seyogyanya harus dapat dihindari. Hal ini karena tenaga kesehatan sebagai tenaga profesi diharuskan memiliki tingkat dan kualitas pelayanan tinggi sekaligus telah terlatih dan cakap untuk melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Kelalaian serta berbagai bentuk ketidakoptimalan pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sejatinya telah menciderai fungsi humanistik dari tenaga kesehatan yaitu sepenuhnya berorientasi pada pemberian pelayanan yang maksimal bagi setiap pasien.

Tugas tenaga kesehatan memiliki risiko dan hal ini merupakan karakteristik bidang pekerjaan yang orientasinya profesi[31]. Risiko bagi tenaga kesehatan di satu sisi harus dimitigasi supaya ditentukan langkah dan upaya yang tepat supaya risiko tersebut tidak terjadi. Selain itu, risiko bagi tenaga kesehatan juga harus diantisipasi dengan berbagai upaya seperti pelatihan terstruktur yang membuat tenaga kesehatan dapat menentukan upaya antisipatif supaya setiap risiko yang berpotensi terjadi dalam praktik dapat diminimalisasi.

Meski melakukan tuntutan atau komplain terhadap pelayanan kesehatan yang merugikan masyarakat merupakan sesuatu hal yang lumrah, namun terdapat beberapa penyebab yang membuat masyarakat tidak berani melaporkan adanya kerugian masyarakat sebagai akibat tindakan medis yang meliputi[8]:

  1. Masih adanya anggapan masyarakat bahwa tenaga kesehatan adalah seperti “dewa penolong” yang mana apa pun yang dilakukan tenaga kesehatan adalah selalu benar dan tidak dapat dipersalahkan;
  2. Ditinjau dari kedudukannya masyarakat umum atau pasien dalam posisi yang lemah, selain karena tidak memahami mekanisme teknis pelayanan kesehatan juga terkadang ada perasaan inferior untuk menuntut hak yang tidak terpenuhi dalam pelayanan kesehatan.
  3. Budaya birokrasi di lingkup tenaga kesehatan yang belum menjamin transparansi dan akuntabilitas yang maksimal dari pihak pemberi pelayanan kesehatan. Budaya yang masih tertutup dan terkesan feudal ini justru membuat masyarakat merasa “takut” untuk melaporkan atau bahkan sekadar untuk menyatakan apa yang dialami sebagai hasil tindakan medis.

Dari ketiga penyebab yang membuat masyarakat tidak berani melaporkan adanya kerugian masyarakat sebagai akibat tindakan medis di atas, aspek budaya hukum pemberi pelayanan kesehatan serta kesadaran hukum masyarakat menempati aspek terpenting. Hal ini supaya relasi yang sifatnya mutualistik dan responsif antara masyarakat dan tenaga kesehatan. Tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sejatinya memiliki dua jenis tindakan, yaitu tindakan aktif dan tindakan pasif[32]. Tindakan aktif merupakan tindakan yang dilakukan atas kesadaran serta inisiasi dari tenaga kesehatan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari inisiasi dan keaktifan tenaga kesehatan dalam melakukan suatu tindakan medis tertentu. Tindakan yang berlawanan dengan tindakan aktif adalah tindakan pasif. Tindakan ini berorientasi pada adanya pembiaran atau tidak melakukan sesuatu yang seyogyanya dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan disebut melakukan tindakan pasif apabila membiarkan atau secara diam membiarkan suatu tindakan yang tidak tepat atau yang bertentangan dengan kode etik.

Kelalaian merupakan hal yang lumrah dialami oleh tenaga kesehatan, mesi begitu perlu adanya mekanisme khusus supaya kelalaian tenaga kesehatan tidak membahayakan dan merugikan pasien [33]. Mekanisme khusus tersebut perlu dilakukan secara ketat, terstruktur, dan terukur supaya kelalaian tenaga kesehatan dapat diminimalisasi. Ketentuan Pasal 83 UU Tenaga Kesehatan sejatinya menegaskan perlunya izin bagi tenaga kesehatan yang mana jika terdapat tenaga kesehatan yang tidak memilik izin maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Lebih lanjut, Pasal 85 UU Tenaga Kesehatan juga menegaskan jika tenaga kesehatan tidak memiliki memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Pentingnya bukti STR di satu sisi untuk menunjukkan kesiapan sekaligus profesionalitas tenaga kesehatan yang siap memberikan pelayanan yang optimal. STR juga berorientasi pada pemberian jaminan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan berobat atau membutuhkan layanan kesehatan supaya semakin yakin dan memiliki kesadaran untuk mmeanfaatkan layanan kesehatan yang ada karena dengan dibuktikan dengan adanya STR tenaga kesehatan dianggap telah siap memberikan pelayanan secara optimal.

Sanksi pidana bagi tenaga kesehatan sejatinya merupakan upaya terakhir apabila tenaga kesehatan melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan pasien baik secara materil maupun non-materil[34]. Sanksi pidana bagi tenaga kesehatan ditujukan apabila tenaga kesehatan telah memiliki niat buruk dalam memberikan pelayanan kesehatan atau justru dalam memberikan pelayanan kesehatan telah merugikan pasien baik berupa kerugian materil maupun non-materil[35]. Penegakan hukum pidana terhadap tenaga kesehatan juga diperlukan meski begitu koordinasi dengan pihak terkait seperti konsili profesi kesehatan hingga organisasi profesi kesehatan juga diperlukan untuk mengkualifikasi apakah kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan merupakan pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum yang merupakan ranah penegakan hukum.

Ketentuan Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan menegaskan adanya sanksi pidana penjara bagi tenaga kesehatan yang mengakibatkan penerima pelayanan kesehatan luka berat maupun meninggal dunia. Hal ini termasuk juga berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang dengan kealpaan atau kelalaiannya menyebabkan penerima pelayanan kesehatan luka berat maupun meninggal dunia. Kealpaan yang berimpikasi pada akibat yang membahayakan dan merugikan bagi pasien sejatinya perlu mendapatkan ancaman pidana apabila kerugian yang ditimbulkan justru membuat pasien menjadi terancam secara jiwa atau menderita kerugian yang secara ekonomis relatif tinggi[36]. Sekalipun tidak disengaja, namun kealpaan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi pasien seyogyanya dapat dihindari dan dapat diantisipasi oleh tenaga kesehatan[37][38].

Adanya sanksi pidana bagi tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian yang tidak sesuai prosedur dan bertentangan dengan kode etik ini sejatinya relevan untuk mendapatkan ancaman sanksi tersebut. Sanksi pidana dalam pandangan Simon, pada prinsipnya menekankan bagaimana masyarakat harus tunduk pada ketentuan tertentu sehingga sanksi ditujukan supaya masyarakat dapat melakukan suatu tindakan tertentu dan menghindari tindakan yang dapat merugikan orang lain [39]. Sanksi pidana bagi tenaga kesehatan juga penting untuk menegaskan bahwa hukum pidana adalah hukum yang menyeluruh dan secara substantif berkaitan dengan berbagai bidang hukum. Akan tetapi, tentunya ancaman dan pemberian sanksi pidana bagi tenaga kesehatan wajib memerhatikan tingkat kesalahan dan jenis kesalahan sehingga ancaman dan pemberian sanksi pidana bagi tenaga kesehatan harus memerhatikan standar profesi dari masing-masing tenaga kesehatan.

Berkaitan dengan akibat hukum bagi tenaga kesehatan yang dianggap lalai dalam melakukan tindakan medis, maka perlu dilihat tingkat kelalaian dan kerugian yang dialami oleh masyarakat atau pasien. Jika kerugian yang dialami oleh masyarakat atau pasien tidak signifikan dan merupakan bentuk pelanggaran SOP dan kode etik tenaga kesehatan, maka dapat dilaporkan melalui konsili atau asosasi profesi tenaga kesehatan setelah melakukan gugatan kepada pihak institusi kesehatan. Selanjutnya, apabila masyarakat atau pasien menderita kerugian materil atau kerugian yang sifatnya ekonomis maka dapat dilakukan upaya hukum perdata yang sifatnya adalah meminta ganti kerugian. Apabila masyarakat atau pasien menderita kerugian yang secara medis semakin parah atau menimbulkan kecacatan yang parah bahkan hingga meninggal dunia sebagai akibat pemberian pelayanan kesehatan, maka dapat ditempuh jalur hukum pidana sebagaimana amanat UU Tenaga Kesehatan.

Simpulan

Penelitian ini menjelaskan bahwa perlindungan hukum, yang ditawarkan dalam bentuk preventif dan represif, mengamanatkan para profesional perawatan kesehatan untuk secara ketat mematuhi Prosedur Operasi Standar (SOP) yang telah ditetapkan. Jika terjadi kelalaian yang mengakibatkan cedera pada pasien, praktisi kesehatan harus menghadapi konsekuensi hukum yang sesuai, baik secara perdata maupun pidana. Tingkat kelalaian dan kerugian yang diakibatkan kepada pasien atau masyarakat menjadi dasar implikasi hukum. Pada kasus-kasus di mana kerugian pasien atau masyarakat tidak signifikan dan merupakan pelanggaran terhadap SOP dan etika profesi, pelaporan melalui asosiasi atau dewan perawatan kesehatan profesional setelah proses pengadilan diperlukan.

Lebih lanjut, untuk kerugian material atau ekonomi yang diderita oleh pasien atau masyarakat, upaya hukum perdata untuk menuntut ganti rugi adalah tepat. Sebaliknya, jika pasien menderita kerugian medis yang parah, yang menyebabkan kecacatan serius atau bahkan kematian karena penyediaan layanan kesehatan, jalur hukum pidana dapat diterapkan seperti yang ditentukan oleh Undang-Undang Pekerja Kesehatan. Temuan penelitian ini menggarisbawahi perlunya eksplorasi lebih lanjut untuk menyempurnakan kerangka hukum seputar penyediaan layanan kesehatan untuk memastikan perlindungan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat. Studi ini juga menyoroti implikasi potensial dari tidak adanya penanganan yang memadai terhadap masalah ini dalam kebijakan dan praktik layanan kesehatan saat ini.

References

  1. A. A. I. A. A. Dewi, N. K. S. Dharmawan, A. A. I. E. Krisnayanti, P. A. Samsithawrati, and I. G. A. Kurniawan, “The Role of Human Rights and Customary Law to Prevent Early Childhood Marriage in Indonesia,” Sriwij. Law Rev., vol. 6, no. 2, pp. 268–285, 2022, doi: 10.28946/slrev.Vol6.Iss2.1885.pp268-285.
  2. K. Lintang and Y. Triana, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Privasi dan Rekam Medis Pasien pada Masa Pandemi Covid-19,” J. Huk. Lex Gen., vol. 2, no. 10, pp. 913–927, 2021, doi: 10.56370/jhlg.v2i10.71.
  3. I. B. M. A. Suputra and I. G. N. Parwata, “Pengaturan Tindak Pidana Aborsi dalam KUHP dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” J. Kertha Wicara, vol. 9, no. 12, pp. 1–11, 2020.
  4. I. Y. Koswara, “Perlindungan Tenaga Kesehatan Dalam Regulasi Perspektif Bidang Kesehatan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tentang Kesehatan Dan Sistem Jaminan Sosial,” J. Huk. POSITUM, vol. 3, no. 1, pp. 1–18, 2018.
  5. B. M. M. Lawrence Gostin, “Introducing Global Health Law,” J. Law Med. Ethics, vol. 47, no. 4, pp. 788–793, 2019.
  6. H. Nurzaini, “Faktor-Faktor Penggunaan Pelayanan Kesehatan Bagi Bayi Gejala Diare Di Kota Depok,” E-Journal Widya Kesehat. dan Lingkung., vol. 1, no. Vol 1 No 2 (2018), pp. 96–101, 2018.
  7. R. Darmawan, “Penegakan Hukum Terhadap Malpraktek Dokter Yang Melakukan Aborsi (Studi Putusan No.288/Pid.Sus/2018/Pn. Njk),” El-Iqthisadi J. Huk. Ekon. Syariah Fak. Syariah dan Huk., vol. 2, no. 2, p. 15, 2020, doi: 10.24252/el-iqthisadi.v2i2.13999.
  8. H. Z. Asyhadie, Aspek-aspek Hukum Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017.
  9. S. L. Yunica, “Pengobatan Medis Oleh Perawat Dan Bidan Dalam Manajemen Terpadu Balita Sakit,” J. Huk. dan Etika Kesehat., vol. 1, no. 1, pp. 123:64–72, 2021.
  10. I. Syafitri, “Analisis Perlindungan Hukum TerhadapTenaga Kesehatan Atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Masa Pandemi Covid-19 Di Indonesia,” Juripol, vol. 4, no. 2, pp. 190–199, 2021, doi: 10.33395/juripol.v4i2.11130.
  11. Z. Nampewo, J. H. Mike, and J. Wolff, “Respecting, protecting and fulfilling the human right to health,” Int. J. Equity Health, vol. 21, no. 1, pp. 1–13, 2022, doi: 10.1186/s12939-022-01634-3.
  12. R. M. S. A. S. K. Patria, Sutarno, and Adriano, “Juridical Analysis of Patients ’ Rights to Information Disease and Action Medical by Doctor in Hospital,” Verdict J. Law Sci., vol. 1, no. 36, pp. 16–29, 2022.
  13. D. Trihandini, “Konsep Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Medis dalam Penanganan COVID-19,” J. Huk. dan Pembang. Ekon., vol. 8, no. 2, pp. 52–64, 2020.
  14. S. Soekiswati, U. B. Rahayu, A. Pristianto, and S. R. Maulida, “Perlindungan hukum bagi tenaga medis dan kesehatan di masa pandemi covid-19,” FISIO MU Physiother. Evidences, vol. 2, no. 3, pp. 109–219, 2021, doi: 10.23917/fisiomu.v2i3.15210.
  15. P. H. Silalahi and T. H. Sitabuana, “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kesehatan Pada Masa Pandemi Covid – 19 Di Indonesia,” in Serina IV UNTAR, 2022, pp. 771–780.
  16. T. A. S. Negara, “Normative Legal Research In Indonesia: Its Origins And Approaches,” ACLJ, vol. 4, no. 1, p. 5, 2023.
  17. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 13th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  18. S. Rahardjo, Ilmu Hukum, 7th ed. Bandung, 2012.
  19. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
  20. M. N. Sholikin and Herawati, “Aspek Hukum Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Bagi Tenaga Medis Dan Kesehatan Di Masa Pandemi,” Maj. Huk. Nas., vol. 50, no. 2, pp. 163–182, 2020, doi: 10.33331/mhn.v50i2.74.
  21. G. R. Widyajati and T. C. Kusuma, “Problems Faced by The Indonesian Medical Council in Determining Discipline Sanctions For The Medical Professional,” Leg. Br., vol. 11, no. 5, pp. 3401–3406, 2022, doi: 10.35335/legal.xx.xx.
  22. E. D. Safitri and N. Sa’adah, “Penerapan Upaya Administratif Dalam Sengketa Tata Usaha Negara,” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 3, no. 1, pp. 34–45, 2021.
  23. P. M. H. Muhadi, Hukum Administrasi Dan Good Governance. Jakarta: Universitas Trisakti, 2010.
  24. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Peradaban, 2007.
  25. Ridwan Ridwan HR, Hukum administrasi negara, 13th ed. Jakarta: Rajawali Pres, 2018.
  26. A. Sahari, “Kompetensi Tindakan Sirkumsisi Laki-Laki oleh Tenaga Kesehatan Menurut Hukum Kesehatan,” Soepra J. Huk. Kesehat., vol. 8, no. 2, pp. 210–220, 2022, doi: 10.24167/shk.v8i2.4976.
  27. Ida Bagus Oka Ariyanta and I. G. A. P. Kartika, “Penggunaan Tenaga Kesehatan Mantri Di Daerah Pedesaan Dalam Perspektif Hukum Kesehatan Di Indonesia,” Kertha Semaya, vol. 9, no. 4, pp. 579–590, 2021.
  28. M. A. S. Nasution, B. Satria, and I. J. Tarigan, “Mediasi Sebagai Komunikasi Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Antara Dokter Dan Pasien,” J. Huk. Kesehat. Indones., vol. 1, no. 02, pp. 86–96, 2022, doi: 10.53337/jhki.v1i02.14.
  29. H. P. Ahmad Yusrin Siregar, Sunarmi, “Akibat Hukum Force Majeure Terhadap Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut Antara Pt.Trans Pasific Jaya Dengan Pt.Bara Artha Energi,” J. Law Deli Sumatera, vol. I, no. 2, pp. 1–15, 2022.
  30. E. A. Ismail Koto, “Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tindakan Malpraktik Tenaga Medis di Rumah Sakit,” Volksgeist J. Ilmu Huk. dan Konstitusi, vol. 4, no. 2, pp. 153–165, 2021, doi: 10.24090/volksgeist.v4i2.5738.
  31. J. Coggon and B. Kamunge-Kpodo, “The legal determinants of health (in)justice,” Med. Law Rev., vol. 30, no. 4, pp. 705–723, 2022, doi: 10.1093/medlaw/fwac050.
  32. B. Varkey, “Principles of Clinical Ethics and Their Application to Practice,” Med. Princ. Pract., vol. 30, no. 1, pp. 17–28, 2021, doi: 10.1159/000509119.
  33. A. S. Bin Shihah et al., “Awareness of medical law among health care practitioners in Saudi Arabia,” Saudi Med. J., vol. 43, no. 8, pp. 954–958, 2022, doi: 10.15537/smj.2022.43.8.20210920.
  34. D. E. Purwoleksono, Hukum Pidana, 1st ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2016.
  35. T. Prasetyo, Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
  36. S. Sibarani, “Tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu lintas di jalur transjakarta,” Yure Hum., vol. 3, no. 2, pp. 74–88, 2019.
  37. D. Harmoni et al., “Tanggung Jawab Rumah Sakit Atas Kelalaian Tenaga Kesehatan Dalam Pelayanan Kegawatdaruratan Medik,” Humantech J. Ilm. Multi Disiplin Indones., vol. 2, no. 1, pp. 137–148, 2022.
  38. Y. Razy, F. & Saputera, “Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum Indonesia,” J. Cakrawala Ilm., vol. 1, no. 3, pp. 1–10, 2022.
  39. E. O. S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2019.