This study explores the legal responsibility and ideal concepts in compensating victims of personal data misuse, focusing on the ambiguous regulations within Indonesia's Personal Data Protection Act (UU PDP). The research, conducted through a normative-juridical approach employing conceptual and legislative methods, assessed primary legal materials including UUD NRI 1945 and UU PDP, along with secondary legal materials like books, journals, and non-legal materials such as language dictionaries. The results identified an existing lack of clarity in the UU PDP regarding the embraced accountability concept, potentially impairing the optimal filing of compensation claims by personal data subjects. It concluded that adopting the legal accountability concept of vicarious liability could ensure legal certainty for victims and simplify obtaining compensation for personal data misuse. The study implies the necessity for the adoption of vicarious liability, particularly in compensating victims of data misuse, by future institutions involved in personal data protection.
Highlights:
Keywords: Vicarious Liability, Personal Data Protection, Legal Responsibility, Compensation, Normative-Juridical Analysis
Perlindungan data pribadi merupakan salah satu aspek penting bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan terkait dengan hak pribadinya. Hak atas perlindungan data pribadi secra spesifik berkaitan dengan jaminan hak konstitusional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 mengenai jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan, mengolah, sekaligus mengelola informasi dari berbagai jenis fasilitas yang ada [1]. Jaminan konstitusional ini menegaskan bahwa selain berhak untuk mendapatkan, mengolah, sekaligus mengelola informasi, tetapi berhak juga mendapatkan jaminan keamanan mengenai data pribadi dari proses pertukaran informasi[2].
Ketentuan perlindungan data pribadi juga memiliki relevansi dengan jaminan atas hak perlindungan hukum bagi masyarakat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D UUD NRI 1945. Perlindungan hukum merupakan salah satu aspek penting yang wajib dipenuhi oleh negara terhadap warga negaranya[3]. Perlindungan hukum khususnya mengenai data pribadi menjadi urgen untuk dipertegas karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membuat data pribadi menjadi objek untuk dibobol bahkan disalahgunakan[4]. Terdapat berbagai fakta yang menunjukkan bahwa terdapat upaya penyalahgunaan data pribadi denganberbagai motif, seperti: motif mencari keuntungan, motif mengancam, hingga motif inteligen untuk mendapatkan informasi data pribadi dari suatu negara[5].
Pada tahun 2022, untuk menjamin perlindungan data pribadi masyarakat, pemerintah bersama dengan DPR akhirnya mengesahkan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Pengesahan UU PDP di Indonesia dapat dikatakan cukup terlambat dibandingkan dengan berbagai negara yang telah mengatur mengenai perlindungan data pribadi jauh sebelum Indonesia mengesahkannya[6]. Meski begitu, upaya pemerintah bersama dengan DPR yang mengesahkan UU PDP wajib diapresiasi karena dengan hadirnya UU PDP maka terdapat upaya untuk menegakkan sekaligus merumuskan berbagai kebijakan hukum yang orientasinya adalah untuk melindungi data pribadi masyarakat.
Salah satu substansi penting dalam UU PDP adalah pengaturan mengenai pertanggungjawaban hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap telah melakukan penyalahgunaan data pribadi[7]. Pasal 16 ayat (2) huruf h UU PDPP misalnya memberikan penegasan bahwa penyalahgunaan data pribadi harus dijalankan secara bertanggung jawab dan jelas sehingga memberikan aspek kepastian hukum. Lebih lanjut, pada Pasal 47 UU PDP, pengendali data pribadi juga dipertegas untuk wajib bertanggung jawab dalam pemrosesan dapat pribadi apabila terdapat kesalahan dan/atau ketidaksesuaian yang berakibat pada kerugian data pribadi pihak lain. Pasal 51 ayat (3) UU PDP sekaligus mempertegas bahwa pengendali data pribadi wajib bertanggung jawab dalam pemrosesan data pribadi yang melibatkan prosesor data pribadi. Dari ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf h, Pasal 47, serta Pasal 51 ayat (3) UU PDP, telah terdapat ketentuan yang mewajibkan tanggung jawab hukum apabila terdapat kerugian darri salah satu pihak dalam kegiatan pemrosesan data pribadi.
Meski telah diatur dalam UU PDP, namun pertanggungjawaban mengenai penyalahgunaan data pribadi sejatinya belum mendapatkan konsepsi yang jelas mengenai tanggung jawab seperti apa yang diamanatkan oleh UU PDP dalam menanggulangi penyalahgunaan data pribadi. Hal ini karena dalam ilmu hukum terdapat berbagai konsep mengenai pertanggungjawaban dengan karakteristik yang berbeda-beda dan dalam UU PDP tidak menjelaskan secara spesifik konsep pertanggungjawaban seperti apa yang dianut untuk menanggulangi penyalahgunaan data pribadi. Hal ini menimbulkan isu hukum yaitu kekaburan konsep mengenai tanggung jawab terkait penyalahgunaan data pribadi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai pertanggungjawaban hukum serta konsep ideal dalam pemberian ganti rugi bagi korban penyalahgunaan data pribadi.
Penelitian mengenai pertanggungjawaban terkait penyalahgunaan data pribadi sejatinya belum banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya karena dua faktor, pertama aturan yang membahas mengenai UU PDP masih baru yaitu tahun 2022 sehingga kajian dan penelitian mengenai UU PDP masih baru dilakukan secara masif pasca disahkannya UU PDP[8]. Kedua, pengkajian dan penelitian berkaitan dengan UU PDP secara umum masih berkaitan dengan urgensi perlindungan data pribadi dan jenis penyalahgunaan data pribadi. Dengan mengacu pada kedua fakta di atas, maka penelitian ini adalah penelitian yang orisinal karena berorientasi pada upaya membahas yang belum dibahas oleh peneliti terdahulu.
Penelitian terdahulu yang membahas mengenai UU PDP, diantaranya: (i) penelitian yang dilakukan oleh Lie dan Ramadhan (2022) yang membahas mengenai pentingnya pembentukan komisi independen terkait perlindungan data pribadi. Kebaruan dari penelitian ini yaitu merumuskan gagasan ideal mengenai komisi independen terkait perlindungan data pribadi yang secara optimal dapat melindungi serta menjamin kepastian hukum bagi masyarakat[9]. Penelitian senada juga dilakukan oleh Firdaus (2022) yang berfokus pada pelrindungan hukum data pribadi tterhadap potensi adanya peretasan. Kebaruan penelitian ini yaitu secara preskriptif perlu dilakukan upaya perlindungan hukum supaya dapat memberikan perlindungan secara optimal bagi masyarakat dalam melindungi data pribadi dari potensi adanya peretasan[10]. Penelitian yang lebih spesifik tentang UU PDP dilakukan oleh Raihan (2023) yang membahas mengenai pertanggungjawaban hukum kepada konsumen akibat bocornya data 91 juta akun tokopedia. Kebaruan penelitian ini yaitu secara studi spesifik berbasis studi kasus yang merumuskan pertanggungjawaban hukum yang wajib dilakukan oleh tokopedia kepada para konsumen[11].
Penelitian ini dengan fokus pada analisis mengenai pertanggungjawaban hukum serta konsep ideal dalam pemberian ganti rugi bagi korban penyalahgunaan data pribadi merupakan penelitian yuridis-normatif. Dipilihnya metode penelitian yuridis normatif karena fokus dari penelitian ini adalah analisis terhadap UU PDP dan konsep pertanggungjawaban hukum[12]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah UUD NRI 1945 dan UU PDP. Bahan hukum sekunder adalah buku, artikel jurnal, prosiding, serta penelitian yang membahas mengenai perlindungan data pribadi. Bahan non-hukum adalah kamus bahasa. Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif-preskriptif yaitu berorientasi untuk menjawab isu hukum yang telah dipaparkan[13]. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konsep dan perundang-undangan.
Konsep mengenai pertanggungjawaban merupakan konsep yang menempati kedudukan vital dalam ilmu hukum. Hal ini karena konsepsi pertanggungjawaban merupakan konsekuensi logis dari suatu perbuatan hukum tertentu[14]. Sebagai konsekuensi logis, maka pertanggungjawaban hukum adalah suatu hal yang koheren atau hal yang harus dilakukan apabila telah terdapat suatu perbuatan hukum tertentu[15]. Secara istilah kebahasaan, pertanggungjawaban memiliki arti yang berbeda-beda. Pertanggungjawaban berkaitan dengan istilah responsibility dan liability. Responsibility merupakan bentuk tanggungjawab yang orientasinya bersifat politis-sosiologis, yang merupakan bentuk tanggung jawab yang memiliki orientasi yang bersifat sosial[16]. Liability merupakan bentuk tanggung jawab yang memiliki orientasi yuridis[17]. Liability merupakan bentuk pertanggungjawaban yang melihat hak dan kewajiban suatu subjek hukum serta hak hukum seperti apa yang harus dipenuhi dan sanksi apa yang harus didapatkan oleh pihak yang melanggar ketentuan hukum[18].
Pertanggungjawaban dalam penelitian ini sejatinya lebih dekat dengan istilah liability karena berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum dalam memberikan ganti rugi bagi korban penyalahgunaan data pribadi. Mengenai konsep pertanggungjawaban, Peter Mahmud Marzuki menegaskan bahwa dalam meninai suatu pertanggungjawaban hukum maka yang harus dinilai adalah berkaitan dengan hak hukum dari suatu subjek hukum[19]. Pandangan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban hukum dikemukakan oleh Salmond yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban hukum secara esensial memiliki tiga orientasi[20], yaitu: pertama, pertanggungjawaban hukum dalam hubungan hukum keperdataan/hubungan hukum privat berkaitan dengan pemenuhan hak hukum dari satu pihak yang terciderai oleh pihak lain. Pemenuhan hak hukum dari satu pihak yang terciderai oleh pihak lain dalam hubungan hukum perdata disebut sebagai restitusi yaitu pemenuhan hak hukum privat suatu subjek hukum[21].
Kedua, dalam hubungan hukum yang sifatnya publik, pertanggungjawaban hukum berkaitan dengan pemberian sanksi oleh negara kepada salah satu pihak yang melanggar ketentuan hukum[22]. Dalam hubungan hukum publik, kedudukan negara adalah penting sebagai sentral untuk menetapkan kebijakan hukum sekaligus melakukan eksekusi terhadap para pelanggar hukum. Ketiga, dalam relasi hukum tertentu, terdapat orientasi campuran yaitu dalam bentuk pertanggungjawaban hukum baik secara privat dan publik sekaligus[23]. Hal ini menegaskan bahwa dalam relasi hukum tertentu, pelanggar hukum juga dapat dikenai sanksi berupa ganti kerugian sekaligus sanksi pidana yang ditetapkan oleh negara.
Mengacu pada pandangan Salmond di atas, Satjipto Raharjo juga mengemukakan bahwa suatu pertanggungjawaban hukum perlu mendasarkan dan memerhatikan tiga hal yaitu[24]: tingkat kerugian korban, tinggi rendahnya kejahatan ditinjau dari perspektif moralitas di masyarakat, serta orientasi untuk membuat pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Pada aspek tingkat kerugian korban, pertanggungjawaban hukum perlu melihat tingkat kerugian korban baik kerugian secara materil maupun non-materil, termasuk juga kerugian secara faktual maupun kerugian secara potensial[25]. Kerugian materil merupakan kerugian yang secara langsung dialami oleh satu subjek hukum dan dapat secara tepat dikalkulasi. Kerugian non-materil adalah kerugian yang tidak dapat dikalkulasi secara langsung tetapi dialami oleh subjek hukum sebagai bentuk kerugian[26].
Kerugian faktual berkaitan dengan kerugian yang secara jelas dan dapat diindra merupakan kerugian yang dialami oleh suatu subjek hukum. Kerugian potensial merupakan kerugian yang belum dialami secara langsung tetapi dengan penalaran hukum yang wajar dapat dikategorisasikan sebagai kerugian yang mereduksi hak hukum suatu subjek hukum[27]. Pada aspek tinggi rendahnya kejahatan ditinjau dari perspektif moralitas di masyarakat, maka dalam hal ini standarisasi masyarakat menjadi faktor penting dalam menentukan suatu pertanggungjawaban hukum. Dengan melihat pada perspektif masyarakat mengenai tinggi rendahnya kejahatan, maka hal ini untuk menentukan apakah suatu pertanggungjawaban hukum sesuai dengan nilai keadilan di masyarakat atau tidak. Pada aspek orientasi untuk membuat pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, maka hal ini penting khususnya berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum berupa sanksi yang akan diberikan pada subjek hukum tertentu[28]. Jika terdapat potensi bahwa pelaku tidak akan mengulangi lagi perbuatannya maka sanksinya dapat dikategorisasikan ringan sedangkan apabila terdapat potensi untuk mengulangi lagi perbuatannya maka diperlukan sanksi yang lebih keras dan tegas sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum.
Mengacu pada pandangan dari Salmond dan Satjipto Raharjo mengenai pertanggungjawaban hukum, dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban hukum diberikan karena adanya suatu perbuatan hukum yang merugikan orang atau pihak lain. Dalam konteks pertanggungjawaban hukum terkait perlindungan data pribadi, UU PDP sejatinya telah menegaskan pentingnya pertanggungjawaban hukum terkait dengan adanya penyalahgunaan adat pribadi. Pasal 16 ayat (2) huruf h UU PDPP memberikan penegasan bahwa penyalahgunaan data pribadi harus dijalankan secara bertanggung jawab dan jelas sehingga memberikan aspek kepastian hukum. Selain itu, Pasal 47 UU PDP, pengendali data pribadi juga dipertegas untuk wajib bertanggung jawab dalam pemrosesan dapat pribadi apabila terdapat kesalahan dan/atau ketidaksesuaian yang berakibat pada kerugian data pribadi pihak lain. Pasal 51 ayat (3) UU PDP sekaligus mempertegas bahwa pengendali data pribadi wajib bertanggung jawab dalam pemrosesan data pribadi yang melibatkan prosesor data pribadi. Dari ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf h, Pasal 47, serta Pasal 51 ayat (3) UU PDP, sekalipun telah menegaskan mengenai pentingnya pertanggungjawaban hukum dalam penyalahgunaan data pribadi, namun yang belum jelas adalah konsep pertanggungjawaban seperti apa yang dianut dan dirumuskan oleh UU PDP. Hal ini diperkuat bahwa dalam penjelasan Pasal 16 ayat (2) huruf h, Pasal 47, serta Pasal 51 ayat (3) UU PDP juga tidak menegaskan bentuk pertanggungjawaban seperti apa yang dianut dalam UU PDP.
Ketidakjelasan konsep pertanggungjawaban yang dianut dalam UU PDP berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena dengan tidak jelasnya konsepsi tanggung jawab yang dianut dalam UU PDP, maka dalam praktiknya dapat menimbulkan adanya perbedaan penafsiran atau multi interpretasi terkait pertanggungjawaban yang dimaksud dalam UU PDP. Selain itu, mengenai bentuk pertanggungjawaban hukumnya, Pasal 12 UU PDP sejatinya telah memberikan rumusan bahwa subjek data pribadi berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas kerugian yang timbul terkait dengan penyalahgunaan data pribadi[29]. Meski begitu, mengenai mekanisme dan orientasi pengajuan gugatan ganti rugi ini memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini berimplikasi bahwa sekalipun telah terdapat jaminan bagi subjek data pribadi berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas kerugian yang timbul terkait dengan penyalahgunaan data pribadi, namun selama PP nya belum terbentuk, maka upaya untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas kerugian yang timbul terkait dengan penyalahgunaan data pribadi tetap saja tidak dapat dijalankan[30].
Selain ganti rugi, pertanggungjawaban yang dirumuskan dalam UU PDP juga berkaitan dengan pertanggungjawaban secara pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 67-73 UU PDP. Dengan mengacu pada rumusan Pasal 12 juncto Pasal 67-73 UU PDP, maka UU PDP mmefasilitasi bentuk pertanggungjawaban berupa ganti rugi dan dalam bentuk sanksi pidana terhadap penyalahgunaan data pribadi[31]. Meski bentuk pertanggungjawabannya telah jelas, namun belum tegasnya konsep pertanggungjawaban hukum yang dianut oleh UU PDP berpotensi merugikan masyarakat, khususnya pihak korban yang dirugikan atas penyalahgunaan data pribadi. Secara umum, korbam penyalahgunaan data pribadi lebih menekankan pada pertanggungjawaban secara ganti rugi baru kemudian adanya ganti rugi secara pidana[32]. Dengan belum pastinya PP yang mengatur ganti rugi bagi subjek data pribadi, hal ini berpotensi membuat upaya pemenuhan ganti rugi bagi korban belum optimal untuk diterapkan.
Ketidakjelasan konsep pertanggungjawaban dalam UU PDP juga berpotensi menimbulkan problematika dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan ganti rugi termasuk pembuktiannya. Hal ini dikarenakan dasar dari suatu pembuktian adalah didasarkan pada asas actori incumbit probatio yaitu gugatan wajib dibuktikan serta didalilkan oleh penggugat[33]. Menjadi pertanyaan adalah apakah dalam penyalahgunaan data pribadi subjek data pribadi yang dirugikan wajib untuk membuktikannya?. Ditinjau dari kedudukan hukum subjek data pribadi yang dirugikan akibat penyalahgunaan data pribadi, maka subjek data pribadi menempati kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pihak yang melakukan penyalahgunaan data pribadi[34]. Kedudukan yang rendah itu misalnya bahwa tidak semua subjek data pribadi memiliki akses terhadap bidang informasi dan teknologi sehingga mengetahui jika data pribadinya telah disalahgunakan. Pada umumnya, subjek data pribadi yang data pribadinya disalahgunakan tidak mengetahuinya dan baru mengetahuinya ketika data pribadinya sudah disalahgunakan dan ada kerugian akibat penyalahgunaan data pribadi tersebut. Dengan keterbatasan akses terhadap potensi penyalahgunaan data pribadi, maka subjek data pribadi merupakan pihak yang lemah dan rentan untuk membuktikan bahwa data pribadinya telah disalahgunakan, apalagi jika penyalahgunaan data pribadi dilakukan dengan teknologi yang canggih dan paling mutakhir.
Lemahnya kedudukan subjek data pribadi dalam upaya untuk mendapatkan ganti rugi terkait dengan penyalahgunaan data pribadi semakin terasa ketika UU PDP tidak merumuskan konsep pertanggungjawaban yang dianut, apakah menganut konsep pertanggungjawaban mutlak, pertanggungjawaban karena kesalahan, atau konsep pertanggungjawaban lainnya. Berdasarkan hasil analisis di atas, sekalipun UU PDP telah menentukan jenis pertanggungjawabannya termasuk adanya ganti rugi bagi subjek data pribadi, namun belum jelasnya mengenai konsep pertanggungjawaban yang dianut dalam UU PDP berpotensi merugikan masyarakat yang merupakan subjek data pribadi. Kerugian tersebut dapat berupa tidak optimalnya gugatan ganti rugi yang diajukan karena dengan tidak jelasnya mengenai konsep pertanggungjawaban yang dianut dalam UU PDP sehingga subjek data pribadi harus membuktikan telah terjadi penyalahgunaan data pribadi padahal subjek data pribadi belum tentu memiliki akses teknologi dan informasi untuk mengetahui adanya penyalahgunaan data pribadi.
Konsep pertanggungjawaban hukum dalam ilmu hukum memiliki beragam corak dan konsepsi yang berbeda-beda sehingga pertanggungjawaban hukum bukanlah konsep yang sifatnya tunggal. Selain bukan konsep yang tunggal, pertanggungjawaban hukum juga memiliki tendensi masing-masing bidang ilmu hukum seperti pertanggungjawaban hukum pidana maupun perdata yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri[35]. Perbedaan karakteristik tersebut menegaskan bahwa konsep pertanggungjawaban hukum memiliki sifat tergantung masing-masing bidang dan dalam konteks apa konsep pertanggungjawaban hukum itu dikemukakan. Dalam ilmu hukum mengenai konsep pertanggungjawaban, dikenal dua konsep utama pertanggungjawaban hukum, yaitu pertanggungjawaban hukum yang mengacu pada doktrin strict liability dan pertanggungjawaban hukum hukum yang mengacu pada doktrin vicarious liability[36].
Doktrin strict liability yang dalam istilah lainnya juga dikenal dengan sebutan “liability without fault” yang secara harfiah berarti pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang orientasinya adalah penegasan suatu tanggung jawab hukum tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah ada maksud atau tidak dari yang bersangkutan untuk melakukan suatu pelanggaran hukum[37]. Esensi utama dari doktrin strict liability adalah seseorang dianggap wajib bertanggung jawab secara hukum apabila terdapat suatu perbuatan hukum yang melanggar hukum, sekalipun seseorang tersebut tidak bermaksud untuk merugikan orang lain[38]. Doktrin ini dalam implementasinya juga mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak salah satunya menganggap doktrin strict liability melegitimasi adanya kriminalisasi.
Ditinjau dari aspek teleologis atau kebutuhan hukum dalam perspektif kemasyarakatan, maka doktrin strict liability sejatinya dibutuhkan misalnya berkaitan dengan adanya pertanggungjawaban hukum bagi pencemaran lingkungan. Pihak yang melakukan pencemaran lingkungan tidak perlu membuktikan bahwa ia memiliki atau tidak mengenai niat untuk mencemarkan lingkungan, tetapi selama tampak jelas adanya pencemaran lingkungan maka pencemar harus bertanggung jawab. Dalam konteks hukum lingkungan, doktrin strict liability relevan dengan prinsip pencemar membayar. Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek hukum tertentu pertanggungjawaban hukum melalui doktrin strict liability sejatinya tetap diperlukan sekalipun tidak semua bidang atau aspek hukum dapat menerapkan konsep pertanggungjawaban melalui doktrin strict liability ini[39][40].
Konsep pertanggugjawaban lainnya yang dikenal dalam ilmu hukum yaitu lazim disebut dengan doktrin vicarious liability. Secara sederhana pertanggungjawaban hukum berdasarkan doktrin vicarious liability dimaknai sebagai suatu pertanggungjawaban hukum yang dibebankan kepada pihak yang bersalah atau merugikan hak hukum[41]. Dalam doktrin ini, sekalipun tidak secara komprehensif, tetapi harus ditegaskan adanya relevansi antara perbuatan dengan kerugian yang diterima. Pada perkembangan lebih lanjut, doktrin vicarious liability berkembang dalam ranah pidana maupun perdata. Perkembangan doktrin vicarious liability dari berbagai aspek hukum tersebut menunjukkan bahwa doktrin vicarious liability relevan dan dapat diterima oleh semua bidang hukum sekalipun harus disesuaikan dengan konteks problematika hukum yang sedang dihadapi.
Doktrin vicarious liability dalam konteks hukum pidana dapat diterapkan pada beberapa aspek yang mana terdapat hubungan hukum yang sifatnya hierarkis seperti antara pengusana dengan pekerja atau pada hubungan hukum sejenis yang mana salah satu pihak lebih superiror dibanding dengan pihak yang lain. Dalam konteks ini, pelanggaran hukum oleh pihak yang superior dapat dimintakan pertanggungjawaban pada pihak yang lebih superior[42]. Dalam konteks hukum pidana, doktrin vicarious liability sangat menekankan aspek fakta sehingga jika fakta sudah jelas terlihat maka salah satu pihak harus bertanggungjawab atas pelanggaran hukum yang dilakukan. Hal ini didasarkan pada asas “res ipsa loquitur” yang menekankan bahwa fakta yang tegas dan jelas dapat dijadikan dasar dalam memintakan suatu pertanggungjawaban hukum[43].
Doktrin vicarious liability dalam hukum perdata sejatinya memiliki relevansi dengan konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Doktrin vicarious liability bahkan dapat dikatakan sebagai perluasan atas konsep PMH[44]. Dalam konteks hukum perdata, vicarious liability dikenal sebagai tanggung jawab pengganti yang menekankan adanya tanggung jawab hukum atas perbuatan hukum yang telah diperbuat dan merugikan orang lain. Hal ini menegaskan bahwa vicarious liability dalam penerapannya memiliki kemiripan dengan konsep PMH, yaitu adanya relevansi antara suatu perbuatan hukum dengan kerugian yang dialami salah satu pihak.
Mengacu pada korban penyalahgunaan data pribadi, dalam penelitian ini konsep pertanggungjawaban yang tepat berkaitan dengan penyalahgunaan data pribadi adalah konsep vicarious liability. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua argumentasi, yaitu: pertama, konsep vicarious liability lumrah digunakan dalam hukum pidana maupun perdata yang mana memiliki relevansi dengan UU PDP yang mana menekankan bahwa terdapat pertanggungjawaban secara perdata melalui ganti rugi dan pertanggungjawaban secara pidana. Kedua, konsep vicarious liability tepat dijadikan konsep pertanggungjawaban terkait penyalahgunaan data pribadi karena dalam konsep tersebut menegaskan unsur relevansi antara perbuatan hukum dengan kerugian sebagai dalih utama klaim pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami.
Berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban pemberian ganti rugi bagi korban penyalahgunaan data pribadi yang belum jelas ditegaskan dalam UU PDP, maka berdasarkan analisis di atas yang tepat adalah konsep pertanggungjawaban hukum vicarious liability. Terdapat tiga orientasi terkait konsep pertanggungjawaban hukum vicarious liability dalam UU PDP, yaitu: pertama, relasi antara subjek data pribadi dengan pihak yang mengolah atau memproses data pribadi memiliki hubungan hukum yang timpang yang mana subjek data pribadi tidak memiliki akses untuk menjelaskan secara detail adanya penyalahgunaan data pribadi. Hal ini membuat bahwa subjek data pribadi tidak perlu membuktikan perbuatan atau aktivitas yang dapat menyalahgunakan data pribadi, tetapi cukup membuktikan relevansi antara kerugian yang dialami dengan suatu perbuatan hukum. Kedua, diterapkannya pertanggungjawaban hukum vicarious liability dalam kasus penyalahgunaan data pribadi dapat berimplikasi pada pembagian beban pembuktian secara proporsional. Hal ini membutuhkan peran lembaga yang menegakkan perlindungan data pribadi secara responsif, progresif, dan optimal.
Ketiga, penerapan pertanggungjawaban hukum vicarious liability dalam kasus penyalahgunaan data pribadi lebih menjamin kepastian hukum bagi korban untuk mendapatkan ganti rugi atas penyalahgunaan data pribadi yang telah terjadi. Dalam hal ini, korban dapat lebih tepat dan efektif dalam menuntut ganti rugi. Berdasarkan tiga orientasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep ideal mengenai pertanggungjawaban hukum terkait pemberian ganti rugi bagi korban penyalahgunaan data pribadi adalah dengan mendasarkan konsep pertanggungjawaban hukum vicarious liability. Dengan mengacu pada konsep pertanggungjawaban hukum vicarious liability maka dapat menjamin kepastian hukum bagi korban penyalahgunaan data pribadi sekaligus dapat mempermudah korban penyalahgunaan data pribadi untuk mendapatkan ganti rugi karena cukup mengaitkan relevansi antara suatu perbuatan hukum dengan kerugian yang telah dialami.
Ketidakjelasan dalam konsep pertanggungjawaban yang dianut dalam UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) berpotensi menimbulkan kerugian bagi subjek data pribadi, terutama dalam pengajuan gugatan ganti rugi yang mungkin tidak optimal. Hal ini disebabkan subjek data pribadi harus membuktikan penyalahgunaan data, meskipun mereka mungkin tidak memiliki akses teknologi yang memadai. Penelitian ini menyarankan penerapan konsep pertanggungjawaban hukum vicarious liability sebagai solusi ideal, yang dapat menjamin kepastian hukum dan memudahkan korban untuk mendapatkan ganti rugi. Adopsi konsep ini memiliki implikasi penting bagi pengembangan lembaga yang akan berfokus pada perlindungan data pribadi, khususnya dalam pemberian ganti rugi bagi korban penyalahgunaan data. Penelitian lebih lanjut dapat diarahkan pada implementasi praktis dari konsep vicarious liability dalam kerangka hukum yang ada, serta analisis dampaknya terhadap efektivitas perlindungan data pribadi di Indonesia.