Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i2.996

Redefining Bankruptcy Law: Incorporating the Principle of Business Continuity for Fair Debt Resolution


Mendefinisikan Kembali Hukum Kepailitan: Memasukkan Prinsip Kelangsungan Usaha untuk Penyelesaian Utang yang Adil

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Indonesia
Universitas Tarumanagara
Indonesia
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Indonesia

(*) Corresponding Author

Indonesian Bankruptcy Law Debt Resolution Business Continuity Normative Legal Research Legal Protection

Abstract

This study critically examines the inadequacies of the current Indonesian Bankruptcy Law, highlighting the conflicting nature of its debtors' insolvency declaration mandate, as stated in Article 2, verse (1). The research explores the philosophical basis of incorporating the principle of business continuity into future bankruptcy regulations to ensure fair, rapid, transparent, and efficient debt resolution for both debtors and creditors. Employing a normative legal research methodology, the paper investigates the inherent values of justice, legal certainty, and interests, along with general and bankruptcy principles. The study posits that the essence of bankruptcy law is not merely to protect creditors but also to ensure the survival and continuity of debtor businesses. The findings reveal that existing bankruptcy procedures, including insolvency examinations and financial report analysis, could be refined to better safeguard debtor businesses. This paper argues that an explicit elaboration of the business continuity principle in bankruptcy legislation could promote balanced legal protection in insolvency proceedings. The implications of this research can guide legislative reforms, ensuring a more equitable and efficient debt resolution process in the Indonesian bankruptcy system.
Highlights:

  • The current Indonesian Bankruptcy Law struggles with issues of fairness and efficiency in resolving debt problems.
  • The principle of business continuity should be explicitly incorporated into bankruptcy legislation to ensure balanced protection for both debtors and creditors.
  • Legal examination mechanisms, such as insolvency examinations and financial report analysis, could be further refined to safeguard debtor businesses more effectively.

Keywords: Indonesian Bankruptcy Law, Debt Resolution, Business Continuity, Normative Legal Research, Legal Protection.

Pendahuluan

Pada awal zaman orde baru, Pemerintah telah menyusun rencana kegiatan ekonomi untuk periode 25 tahun mendatang dengan tujuan utama menerapkan program pengembangan ekonomi secara bertahap dan berkelanjutan. Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan mencapai status sebagai negara maju. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan rencana ini, terdapat bukti yang nyata mengenai pertumbuhan ekonomi baik pada skala makro maupun mikro di Indonesia. Pertumbuhan tersebut tercermin dalam peningkatan jumlah unit usaha, baik yang berskala kecil maupun besar, di negara ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor ekonomi sedang mengalami kemajuan secara positif, dan berbagai jenis usaha sedang tumbuh di Indonesia. Efek dari situasi tersebut adalah mobilitas yang tinggi dalam penggunaan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya usaha. Artinya, penggunaan modal dan kekayaan dalam perekonomian Indonesia berubah secara cepat dan dinamis. Perputaran modal dan kekayaan ini terus meningkat seiring berjalannya waktu. Penting untuk dipahami bahwa pencapaian perkembangan ekonomi dan perputaran modal tersebut merupakan hasil dari keberhasilan implementasi kebijakan ekonomi dan program pengembangan yang telah dirancang oleh pemerintah [1]. Fenomena ini memberikan peluang ekonomi yang lebih baik dan potensi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa penjelasan ini bersifat umum dan tidak mencakup detail-detail spesifik mengenai perkembangan ekonomi, kebijakan pemerintah, atau faktor-faktor lain yang memengaruhi perkembangan ekonomi di Indonesia.

Hal ini terlihat bahkan sebelum tahun 1997, dimana banyak pihak memberikan penghargaan atas prestasi pembangunan ekonomi Indonesia. Karena kinerja ekonominya yang luar biasa, Indonesia telah dianggap sebagai Ekonomi Asia Berkinerja Tinggi/High Performing Asian Economy (HPAE). Ada juga yang menyebutnya "keajaiban" [2]. Namun, pada Juli 1997 nilai tukar rupiah terdepresiasi sehingga memicu krisis ekonomi berkepanjangan yang berlanjut hingga saat ini. Akibat krisis ekonomi tersebut, semua prestasi pembangunan ekonomi yang telah diraih hilang dan perekonomian Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan. Hingga saat ini, perekonomian Indonesia masih berjuang untuk pulih dari dampak krisis ekonomi tersebut. Namun, di tahun 1997 saat Indonesia terjadi krismon (krisis moneter) menyebabkan timbulnya guncangan hebat pada perekonomian Indonesia.

Hal ini tentunya berdampak buruk bagi sektor perindustrian dan menyebabkan dunia usaha di Indonesia menjadi porak-poranda. Banyak perusahaan yang mempunyai utang namun kesulitan membayarkan utangnya kepada kreditor-kreditor di luar negeri bahkan ada yang tidak dapat membayarkan utangnya karena tingginya inflasi yang menyebabkan turunnya nilai mata uang Rupiah [3]. Kartini Muljadi sebagaimana yang dikutip oleh Rudhy A. Lontoh, Denny Kalimang, dan Benny Ponto, mengemukakan bahwa definisi utang tidak hanya merujuk pada ketidakmampuan pihak yang berhutang untuk membayar kewajibannya seperti yang sudah dijanjikan/disepakati sebelumnya dalam perjanjian, tetapi juga mencakup perjanjian lain atau transaksi yang memuat syarat pembayaran sejumlah uang [4]. Hutang dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang pengusaha mengalami masalah keuangan dan tidak dapat membayar hutang yang jatuh tempo. Meskipun masih berkeinginan untuk memenuhi kewajiban kepada kreditornya. Dalam hal ini, jatuh tempo mengacu pada masa jatuhnya suatu utang sesuai dengan penjadwalan yang telah disepakati dalam perjanjian, dan kreditor berhak untuk menagihnya.

Jika pihak kreditor menagih utang dan debitor tidak mampu membayarnya, salah satu opsi yang dapat diambil oleh kreditor untuk mendapatkan pembayaran adalah dengan melakukan proses kepailitan. Dalam proses kepailitan, debitor akan dihadapkan pada situasi di mana keuangan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban utangnya. Melalui proses kepailitan ini, kreditor memiliki kesempatan untuk mendapatkan sebagian dari jumlah utang yang belum dibayar oleh debitor. Meskipun pembayaran yang diperoleh mungkin tidak mencakup seluruh jumlah utang, proses kepailitan memberikan mekanisme bagi kreditor untuk memperoleh pemulihan sebagian dari utang yang belum dibayar oleh debitor yang mengalami kesulitan keuangan [5].

Proses penyelesaian utang piutang bertujuan untuk menyaring perusahaan-perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya dengan efisien. Menurut Menteri Kehakiman Tahun 1998-1999, Muladi, Penyelesaian utang harus dilakukan secara adil, cepat, efektif, transparan, efisien juga profesional. Agar bisnis nasional dapat beroperasi kembali dengan normal serta memberikan kontribusi dalam menggerakkan kegiatan ekonomi [4]. Dalam proses ini, utang piutang antara pihak yang berutang (debitur) dan pihak yang meminjam (kreditor) diselesaikan. Pentingnya penyelesaian utang piutang terletak pada pemisahan perusahaan yang tidak efisien atau tidak mampu membayar utangnya dari perusahaan yang masih memiliki potensi dan mampu beroperasi dengan baik. Muladi menekankan bahwa proses penyelesaian utang piutang harus dilakukan dengan cepat, menghindari penundaan yang berkepanjangan. Hal ini penting agar perusahaan dapat segera menyelesaikan masalah keuangan dan memulihkan kembali operasionalnya. Proses ini juga harus berjalan dengan prinsip keadilan, di mana hak-hak dan kepentingan semua pihak terkait, baik debitur maupun kreditor, diakui dan dipertimbangkan secara proporsional. Selain itu, proses penyelesaian utang piutang harus transparan dan terbuka, sehingga memungkinkan pengawasan dan evaluasi yang objektif. Efisiensi dan efektivitas juga menjadi fokus dalam proses ini, agar penggunaan sumber daya, waktu, dan tenaga dapat dioptimalkan. Profesionalisme dalam penyelesaian utang piutang diperlukan untuk memastikan bahwa proses ini dijalankan dengan standar yang tinggi dan mengikuti prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Dengan melaksanakan proses penyelesaian utang harus dilakukan secara cepat, adil, transparan, efektif, efisien dan profesional., diharapkan dunia usaha nasional dapat pulih dan berkontribusi dalam menggerakkan kembali kegiatan ekonomi yang normal. Proses ini juga berperan dalam menjaga kestabilan ekonomi dan menciptakan lingkungan bisnis yang sehat dan berkelanjutan.

Menurut Jerry Hoff sebagaimana dikutip oleh Kartini Muljadi, Pada kenyataannya, di Indonesia hukum kepailitan dianggap belum bisa memberikan kepastian hukum dan dianggap hanya sebagai formalitas belaka [6]. Secara esensial, harus diakui bahwa masalah dan hambatan prosedural dalam pelaksanaan hukum kepailitan telah ada sejak lama, yaitu sejak tahun 1905 di bawah hukum kepailitan sebelumnya, yaitu Faillissements Verordening S. 1905 Nomor 217 jo S. 1906 Nomor 348 [7]. Pada April 1998, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 1998, yang mengubah UU Kepailitan. Perppu adalah instrumen hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam keadaan tertentu di mana Dewan Perwakilan Rakyat tidak sedang bersidang. Setelah itu, Undang-Undang Kepailitan yang telah mengalami perubahan tersebut diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan menjadi undang-undang yang sah.

Meskipun peraturan kepailitan yang berlaku di Indonesia sudah lama tidak mendapatkan kebaharuan dan kemajuan yang signifikan dalam teori maupun praktek Hukum Kepailitan. Pada 1998, DPR menyetujui perubahan Undang-Undang Kepailitan dan secara resmi mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 1998 sebagai undang-undang. Hal ini menunjukkan adanya revisi atau pembaruan pada peraturan kepailitan yang berlaku saat itu. Revisi tersebut dapat berupa penghapusan, penambahan, atau perubahan signifikan terhadap ketentuan UU Kepailitan sebelumnya. Proses perubahan UU Kepailitan ini melibatkan pemerintah dalam menyusun Perppu sebagai langkah awal, kemudian melalui persetujuan DPR, Perppu tersebut diubah menjadi Undang-Undang yang menjadi landasan hukum yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut telah melalui proses legislatif yang diperlukan untuk mengesahkan peraturan hukum di Indonesia.

Pada Oktober 2004, Pemerintah bersama DPR mengesahkan undang-undang kepailitan, mencatat bahwa kebutuhan hukum masyarakat telah berkembang dan peraturan sebelumnya tidak cukup untuk memberikan pemulihan yang adil, cepat, transparan dan efektif. Pemecahan masalah utang menggantikan aturan sebelumnya [8]. Pasal 307 UU ini secara jelas menyatakan pembatalan berlakunya peraturan kepailitan sebelumnya. Salah satu perubahan yang diaatur dalam UUK-PKPU mencakup penambahan asas kelangsungan usaha, yang mana menjadi bagian dari asas-asas hukum dalam kepailitan dan PKPU. Dalam penjelasan umum UUK-PKPU, asas keberlangsungan usaha diartikan sebagai kesempatan bagi perusahaan debitor yang prospeknya bagus untuk tetap menjalankan operasinya. Dengan kata lain, Pasal 307 UUK-PKPU membatalkan peraturan kepailitan sebelumnya dan mengenalkan asas kelangsungan usaha sebagai prinsip penting dalam kepailitan. Asas ini memungkinkan perusahaan debitor yang memiliki potensi untuk terus beroperasi dan bertahan meskipun sedang mengalami kesulitan keuangan.

Selain itu, UU K-PKPU yang baru mengakomodasi beberapa hal, termasuk syarat kepailitan suatu perusahaan seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU K-PKPU. Menurut ketentuan ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pernyataan pailit, yaitu: (1) debitur memiliki utang yang tidak dapat dibayar; (2) salah satu utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih; dan (3) debitur mempunyai sedikitnya 2 (dua) kreditur atau lebih. Pasal 2 ayat (1) UU K-PKPU mengenai syarat-syarat kepailitan terlihat sederhana. Persyaratan kepailitan ini ibarat pedang bermata dua karena di sisi lain dapat memberikan bantuan kepada kreditur yang ingin menagih utangnya dari debiturnya, sesuai dengan pendapat dari Erman Rajagukguk sebagaimana dikitir oleh Rudhy A. Lontoh, Denny Kalimang dan Benny Ponto, yang menyatakan bahwa, mengingat sejarah hukumnya, Undang-Undang Kepailitan dirancang sejak awal untuk melindungi para kreditur dari klaim mereka dengan memberikan cara yang jelas dan aman untuk menagih utang yang belum dibayar [4].

Namun, pada sisi lain ketentuan ini bertentangan dengan asas kelangsungan usaha. Saat ini tidak sedikit dari debitor yang mengalami dampak dari UU K-PKPU yang terbaru, permohonan kepailitan dapat mudah diajukan kepada perseroan/badan usaha. Karenanya syarat kepailitan hanya berkaitan dengan ketidakmampuan debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor, dan tidak melibatkan faktor-faktor lain seperti kondisi keuangan, aset, atau kekayaan yang dimiliki debitor. Bahkan beberapa ahli dan pakar hukum, seperti Zahrul Rabain, berpendapat bahwa UU K-PKPU terlalu mudah dalam menjatuhkan status kepailitan pada perusahaan, dan hakim harus memutuskan perkara kepailitan dengan cepat. Pendapat ini menyoroti kekhawatiran bahwa UU K-PKPU yang terbaru tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap kelangsungan usaha perusahaan yang sebenarnya masih memiliki potensi untuk memulihkan diri [9] .

Ketentuan ini berkaitan dengan pengajuan permohonan pailit dan pemberitahuan pailit debitur yang dianggap berisiko. Dalam hal ini ditegaskan bahwa kesanggupan debitur untuk membayar hutang atau piutang tidak diperhitungkan dalam mengajukan permohonan pailit atau pernyataan pailit. Pengajuan tersebut hanya dapat dilakukan dengan asumsi atau pendekatan presumption terhadap debitor, serta memenuhi syarat kepailitan yang telah ditetapkan. Tidak ada minimum hutang yang disyaratkan untuk pengajuan ini, sehingga setiap kreditur berhak mengajukan permohonan pailit ke debitur, meskipun jumlah hutangnya sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan tersebut dapat menyebabkan situasi yang rentan. Misalnya, seorang debitor dapat dihadapkan pada ancaman kepailitan meskipun utang yang dimilikinya relatif kecil dan mungkin masih bisa dilunasi dengan upaya tertentu.

Pengajuan kepailitan oleh kreditor dengan jumlah utang yang kecil juga dapat membebani debitor secara berlebihan dan tidak sebanding dengan jumlah utang yang sebenarnya. Dalam hal ini, penting untuk mencatat bahwa ketentuan ini mungkin mempengaruhi keadilan dalam proses kepailitan. Kriteria dan persyaratan yang lebih jelas dan terukur dapat membantu memastikan bahwa pengajuan kepailitan dan pernyataan kepailitan terhadap debitor didasarkan pada pertimbangan yang lebih matang. Termasuk si debitor dalam kemampuannya membayar utang/tidak mampu membayar utang. Dengan kata lain, harus ada keseimbangan yang tepat antara melindungi kepentingan kreditur dan bersikap adil terhadap debitur dalam proses kepailitan. Karenanya, perlu adanya pengkajian dan pembaruan ketentuan yang relevan untuk memastikan bahwa proses kepailitan dapat berjalan secara adil dan proporsional, serta mempertimbangkan kondisi dan kemampuan finansial debitor secara lebih mendalam.

Ricardo Simanjuntak yang dikutip oleh Munir Fuady menyatakan, sistem tes insolvensi tidak dapat diaplikasikan dalam Hukum Kepailitan Indonesia. Alasannya adalah karena dalam UU Kepailitan Indonesia, tidak ada persyaratan yang mengharuskan perusahaan yang akan dipailitkan mengalami kerugian terus-menerus dan modalnya habis lebih dari 50% untuk dikategorikan sebagai insolven (10). Sebagai gantinya, Indonesia menerapkan asumsi ketidakmampuan membayar sebagai dasar dalam mengajukan permohonan kepailitan. Yang berdasarkan pada interpretasi hukum pada Pasal 2 ayat (1) UU K-PKPU. Dalam konteks ini, untuk mengajukan permohonan kepailitan, tidak diperlukan bukti adanya kerugian terus-menerus atau modal yang habis lebih dari 50%. Cukuplah dibuktikan bahwa debitur tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang harus dibayar. Sehingga, perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan Indonesia lebih berfokus pada asumsi ketidakmampuan membayar daripada pada persyaratan konkret seperti kerugian terus-menerus atau modal yang habis lebih dari 50%. Dalam sistem ini, fokus utama adalah pada ketidakmampuan debitur untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Interpretasi hukum ini memberikan dasar bagi pengajuan permohonan kepailitan, tanpa memerlukan bukti adanya kerugian finansial yang spesifik.

Namun, sebagian orang mengatakan bahwa pengujian kepailitan/pendekatan insolvency test melanggar asas-asas umum Undang-Undang Kepailitan. Bertujuan dalam hal memberikan solusi untuk debitor juga kreditor. Ketika debitor sudahlah tidak sanggup membayar seluruh utangnya. Dalam sistem uji pailit/tes insolvensi, perusahaan yang mengalami kerugian permanen dan ekuitasnya berkurang lebih dari 50% (lima puluh persen) dapat mengajukan permohonan pailit sebelum situasinya memburuk, sehingga memberikan kesempatan kepada debitor dan kreditor untuk mencari keadilan. Namun, perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa sistem tes insolvensi tidak diterapkan dalam Hukum Kepailitan Indonesia, yang lebih berfokus pada asumsi ketidakmampuan membayar. Dalam konteks ini, pengajuan kepailitan hanya didasarkan pada asumsi ketidakmampuan debitor untuk membayar utang-utangnya, tanpa mempertimbangkan kondisi yang lebih spesifik seperti kerugian terus-menerus dan habisnya modal perusahaan. Namun, harus diingat bahwa interpretasi dan pelaksanaan undang-undang bisa berubah dari waktu ke waktu dan sistem hukum kepailitan Indonesia dapat terus berkembang. Ada kemungkinan bahwa pendekatan atau praktik baru, termasuk penggunaan tes insolvensi, dapat diperkenalkan atau dipertimbangkan di masa depan untuk memperbaiki atau memperbarui sistem kepailitan di Indonesia. Sebagai hasilnya, perkembangan hukum dan peraturan di masa mendatang dapat mempengaruhi pendekatan dan prosedur yang ada dalam penanganan kepailitan di negara ini.

Menurut Hikmahanto Juwana sebagaimana dikutip oleh Serlika Aprita, ketiadaan insolvency test dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa undang-undang tersebut lebih berfokus pada perlindungan kepentingan kreditor menunjukkan bahwa undang-undang tersebut lebih berfokus pada perlindungan kepentingan kreditor. Dalam konteks ini, ketiadaan insolvency test mengindikasikan bahwa UU Kepailitan Indonesia lebih memprioritaskan perlindungan terhadap kreditor dalam penyelesaian kasus kepailitan [10]. Lebih lanjut Surya Perdamaian berpandangan bahwa banyaknya perdebatan hukum dan masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang Kepailitan terutama dalam penerapan pailit disebabkan oleh ketidakjelasan banyak pengaturan dan memberikan peluang bagi penafsiran yang bervariasi, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum bagi mereka yang mencari keadilan [10]. Dalam proses permohonan pailit perseroan, banyak indikator yang berkaitan dengan kelangsungan usaha (on going concern) yang dapat ditemukan. Salah satu dari indikator ini adalah keadaan keuangan perusahaan yang dapat memberikan gambaran tentang kesehatan perseroan. Perseroan yang sehat biasanya memiliki laporan keuangan yang memadai dan profitabilitas yang tinggi, sehingga kemungkinan besar akan menerima opini yang baik dari auditor. Opini audit atas kelangsungan perusahaan/usaha ditentukan terutama berdasarkan hasil audit atas laporan keuangan tahunan. Sri Rahayu mengatakan perusahaan dengan pertumbuhan pendapatan yang tinggi cenderung memiliki laporan keuangan yang memadai dan lebih cenderung mendapatkan opini yang baik dari auditor [11].

Dalam contoh kasus sebagai berikut : Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan pailit terhadap PT. DI meskipun perusahaan tersebut masih solvent, artinya perusahaan masih memiliki kemampuan untuk membayar utang-utangnya. Keputusan ini didasarkan pada persyaratan yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan, di mana salah satu persyaratan adalah terdapat dua utang yang salah satunya sudah jatuh tempo. Namun, kondisi ini dapat dianggap tidak adil dalam beberapa situasi. Misalnya, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan besar dengan nilai aset yang jauh lebih besar daripada jumlah tagihan para kreditornya, tetapi masih dinyatakan pailit hanya karena terdapat dua utang yang tidak dibayar tepat waktu. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan bagi perusahaan tersebut. Dalam kasus pailit, pengelolaan aset perusahaan debitor akan diserahkan kepada seorang kurator yang ditunjuk oleh pengadilan. Kurator bertanggung jawab untuk mengelola aset perusahaan dan melakukan pembagian kepada para kreditor.

Jalannya kebangkrutan suatu perusahaan, kemudian akan menentukan masa depan perusahaan itu sendiri. Apabila telah ada kesepakatan damai antara debitor dan para kreditor, maka perusahaan memiliki kesempatan untuk pulih kembali. Kesepakatan damai adalah berupa persetujuan yang etrtuang dalam bentuk perjanjian antara debitur dan para kreditur untuk melunasi hutang yang belum terlunasi. Apabila kesepakatan tersebut disetujui oleh pengadilan, maka perusahaan dapat melanjutkan operasinya seperti semula. Namun, jika kesepakatan damai ditolak oleh para kreditor atau tidak tercapai, proses pailit akan berlanjut ke tahap eksekusi. Dalam tahap ini, pengadilan akan menyatakan debitor sebagai pailit dan aset perusahaan akan disita oleh otoritas yang berwenang. Aset tersebut kemudian akan dijual atau dilelang, dan hasil penjualan akan digunakan untuk membayar para kreditor sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh UU. Pembagian aset kepada para kreditor dilakukan secara merata, yaitu sesuai dengan proporsi utang masing-masing kreditor terhadap total utang perusahaan. Pengadilan berperan sebagai pengawas yang memastikan proses pailit dilakukan secara adil dan berkesesuaian dengan aturan hukum yang ada.

Beberapa fakta hukum menunjukkan bahwa syarat kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) K-PKPU tidak berarti dan beberapa kasus hukum, seperti kepailitan PT Telkom dan PT Prudential Life di Pengadilan Niaga, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut masih dapat menjalankan kegiatannya meskipun telah dinyatakan pailit. Hal ini menunjukkan bahwa pengajuan pailit tidak memberikan manfaat dan perlindungan hukum yang sama bagi kreditur dan debitur.

“Prinsip kelangsungan usaha dalam Undang-Undang Kepailitan berfungsi sebagai perlindungan hukum bagi debitur untuk memulihkan usahanya dan memastikan keadilan bagi semua pihak.”[12] Melalui proses restrukturisasi, debitur yang tidak mampu membayar utangnya diberi kesempatan untuk memperbaiki situasi keuangannya dan melanjutkan usahanya dengan tujuan membayar kembali utang kepada krediturnya. “Sebelum melakukan restrukturisasi, dilakukan studi kelayakan untuk menentukan apakah utang debitur cocok untuk direstrukturisasi atau tidak.”[13] Harus diingat bahwa asas kelangsungan usaha adalah landasan filosofis hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada debitur yang bangkrut dan tidak lulus uji kepailitan/insolvency test dalam penyelesaian sengketa pailit. Hal ini penting karena mengedepankan nilai keadilan dan kepastian hukum bagi debitur [14]. Junita Eko Setiyowati berpandangan bahwa Meskipun Pemerintah Republik Indonesia memberikan konsep perlindungan hukum, namun masih belum dapat memenuhi secara optimal jaminan bagi semua pihak, khususnya debitor, dalam melaksanakan hak dan kepentingan hukum mereka sebagai subjek hukum [15]. “Menurut Sudarsono, hak dalam konteks ini berarti kuasa atau wewenang yang diberikan secara sah untuk melakukan sesuatu”.[16] Negara menjamin perlindungan hukum di bawah supremasi hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU NRI Tahun 1945. Penjaminan ini mencakup perlindungan hukum debitur solven dalam hal kepailitan melalui ketentuan yang mempertimbangkan asas kelangsungan usaha hukum kepailitan yang terkandung dalam UU Kepailitan sebagai landasan filosofis perlindungan utang. Hal ini dikarenakan tidak adanya insolvency test [17].

Situasi tersebut mengindikasikan bahwa proteksi hukum untuk debitor tidak seimbang dengan hak kreditor, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip UU K-PKPU. Konsep perlindungan hukum yang berimbang antara debitur dan kreditur dalam UU K-PKPU harus sesuai dengan konsep perlindungan kepentingan yang berimbang dalam Sila Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip ini menekankan bahwa kepentingan masyarakat harus didahulukan dan bukan membela kepentingan individu atau pribadi. Oleh karena itu, konsep proteksi hukum berlandaskan Pancasila mengandung arti hak asasi manusia, yaitu menempatkan kepentingan dan tanggung jawab semua pihak atau masyarakat pada posisi yang sama. Sesuai dengan sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab". Maksudnya ialah, sikap dengan tidak sewenang-wenang kepada orang lain harus dipraktikkan. Pembahasan ini terfokus pada bagaimana asas kelangsungan usahadapat diterapkan pada debitur yang pailit dari perspektif ekuitas/keadilan.

Metode

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian deskriptif analitis yang bertujuan untuk memberikan gambaran dan analisis yang sistematis, realistis, dan akurat mengenai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prinsip-prinsip operasional kepailitan. Tujuannya adalah untuk melindungi debitur yang masih memiliki potensi dan kemampuan untuk menjalankan usaha agar tidak dirugikan, dengan tetap memperhatikan pertimbangan keadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder.

Data sekunder terdiri dari dua jenis, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah substansi hukum yang berwibawa, yaitu kepemilikan otoritas. Sedangkan bahan hukum sekunder, merupakan penjelasan dari bahan hukum primer. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perlindungan debitur melalui prinsip kelangsungan usaha (going concern) dalam kasus kepailitan. Selain itu, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan konseptual (conceptual approach).

Hasil dan Pembahasan

A. Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Bagi Debitor Yang Dipailitkan Dalam Perspektif Keadilan

Asal usul kata "Pailit" berasal dari bahasa Perancis "Faillete" yang merujuk pada kondisi kesulitan pembayaran atau mogok bayar, dan individu yang mengalaminya disebut "Le failli". Sedangkanistilah Bahasa Inggris untuk Keailitan yaitu "bankrupt" dan "bankruptcy". Kata kerja "failir" dalam bahasa Perancis berarti gagal dan memiliki makna yang sama dalam Bahasa Latin dengan kata "failure". Pasal 1 ayat 1 UU Kepailitan berarti penyitaan semua harta kekayaan debitur yang pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan pengawasan hakim pengawas. Namun, proses pailit untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditor tidak dapat dilakukan tanpa syarat-syarat tertentu yang memungkinkan kreditur untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada debitor. Tujuan awal penyusunan UU Kepailitan adalah untuk melikuidasi seluruh kalangan debitur jika terjadi kesulitan keuangan. Salah satu asas hukum kepailitan adalah asas kelangsungan usaha, yaitu Asas kelangsungan usaha dimana perusahaan yang berpotensi terlilit hutang dapat melanjutkan usahanya tanpa segera bangkrut.

Tujuan kepailitan di Indonesia adalah untuk membagi kekayaan debitur secara merata di antara para kreditur melalui kurator yang ditunjuk. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa ada keadilan dalam pembagian harta atau aset debitor kepada seluruh krediturnya. Pendapat dari Louis Edward Levinthal dalam bukunya, The Early History of Bankruptcy Law, hukum kepailitan mencakup beberapa tujuan, yaitu [18]:

  1. Memberikan jaminan atas pembagian harta kekayaan debitor secara adil dan merata kepada para kreditur;
  2. Mencegah perbuatan merugikan debitor yang dapat berdampak pada kreditur-krediturnya;
  3. Memberikan perlindungan hukum bagi debitur yang bonafid dari para krediturnya dengan cara mengajukan kepailitan dan pembebasan utang.

Syarat penting untuk pengajuan kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) K-PKPU, yaitu bahwa debitur harus memiliki sedikitnya dua kreditur dan tidak dapat membayar salah satu utangnya yang telah jatuh waktu tetapi masih dapat ditagih. Permohonan kepailitan dapat diajukan oleh debitor sendiri atau salah satu atau beberapa kreditornya. Syarat ini dikenal sebagai concursus creditorium, yang memberikan keharusan debitor memiliki minimal dua kreditor. Dengan kata lain, syarat-syarat kebangkrutan adalah debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan setidaknya satu utang yang masih terbuka dan belum dibayar :

  1. Utang didefinisikan sebagai kewajiban debitur untuk membayar dalam mata uang lokal sesuai dengan perjanjian atau hukum dan memberikan hak kepada kreditur untuk menerima aset debitur.
  2. Syarat utama untuk mengajukan kepailitan adalah setidaknya satu dari utang debitur telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal ini termasuk utang yang telah diperjanjikan, dengan waktu pengembalian yang dipercepat, pengenaan sanksi/denda atau setelah adanya keputusan pengadilan atau majelis arbitrase.
  3. Untuk mengajukan pailit, debitur harus memiliki utang yang dapat ditagih di pengadilan dan kreditur harus memiliki utang yang dapat ditagih di pengadilan berdasarkan perjanjian atau undang-undang.
  4. Persyaratan penting lainnya untuk mengajukan pailit adalah bahwa debitur memiliki sekurang-kurangnya dua kreditur dan tidak berhak untuk membayar hutang-hutang yang belum dilunasi, dengan harapan harta kekayaan debitur yang pailit dapat digunakan sebagaimana mestinya untuk membayar semua hutang debitur dengan adil.

Pasal 178 ayat (1) UUK menyatakan bahwa jika tidak ada penyelesaian dan harta pailit tidak mampu membayar semua utang hukum, ada kasus kepailitan. Dalam proses kepailitan, kepailitan dianggap bangkrut jika salah satu dari tiga kondisi berikut dipenuhi :

  1. Tidak ada perdamaian yang ditawarkan dalam rapat verifikasi;
  2. Perdamaian diberikan tetapi ditolak; atau
  3. Ratifikasi perdamaian secara definitif ditolak.

Isi Pasal tersebut hanya berkaitan dengan prosedur mengenai jatuhnya pernyataan kepailitan, sedangkan mengenai substansi keadaan tidak mampu bayar yang dijelaskan dalam Pasal 178 ayat (1) UU Kepailitan tidak dijelaskan secara rinci. Namun, tes insolvensi terutama dapat digunakan untuk menentukan suatu perusahaan bangkrut atau tidak. Tes ini biasanya dilakukan melalui audit going concern. Dalam penerapannya, hukum harus memenuhi nilai-nilai hukum yang fundamental seperti keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dikenal dengan karya Gustav Radbruch [19]. Meskipun keadilan, kepentingan, dan kepastian hukum dianggap sebagai nilai-nilai hukum yang fundamental, namun sering terjadi ketegangan di antara ketiga nilai tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena setiap nilai dasar memiliki tuntutan yang berbeda-beda sehingga memiliki potensi untuk saling bertentangan. Seperti inti ajaran Gustav Radbruch, tiga nilai dasar tujuan hukum harus menjadi landasan pelaksanaan hukum. Namun, di negara hukum seperti Indonesia, ketiga nilai dasar tersebut dapat menimbulkan ketegangan dalam pelaksanaannya. Kepastian hukum seringkali berbenturan dengan eksploitasi atau keadilan, meskipun dalam beberapa kasus sulit untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum secara bersamaan [20].

Dalam menyelesaikan sengketa kepailitan, penting untuk menjaga keseimbangan antara nilai-nilai hukum fundamental yang ditetapkan dalam UU K-PKPU, seperti keadilan, kepentingan, dan kepastian hukum. Hal ini berlaku khususnya pada prinsip kelangsungan usaha (going concern), yang merupakan dasar filosofis untuk memberikan perlindungan hukum kepada debitur yang pailit. Sebagaimana diketahui, ketiadaan uji kepailitan dalam proses kepailitan merupakan faktor utama yang mempengaruhi ketiadaan uji kepailitan. Menjadi penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam proses penyelesaian. Pertama, keadilan berasal dari kata "adil" yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keadaan yang tidak sewenang-wenang, tidak berat sebelah, atau tidak memihak [21]. Suatu keputusan atau tindakan dianggap adil jika didasarkan pada standar hukum yang berlaku, memperhatikan kepentingan masyarakat dan berlaku sama bagi semua pihak yang terlibat. Adil berarti keputusan atau tindakan tidak sewenang-wenang, tidak memihak atau berat sebelah [22]. Menurut Aristoteles pada bukunya "Rhetorica", keadilan berarti memberikan hak yang seharusnya diterima oleh setiap orang, yang membutuhkan peraturan yang berbeda-beda untuk setiap kasusnya. Oleh karena itu, hukum harus mengadakan peraturan umum yang disebut "Algemeene Regels".

Menurut Soeroso, pandangan Aristoteles Hal ini mengindikasikan bahwa tujuan dari peraturan hukum adalah untuk menghadirkan teraturnya kehidupan bermasyarakat yang tertib, walaupun pada suatu saat mungkin bisa menyebabkan timbulnya ketidakadilan [23]. Artinya, undang-undang harus mengatur dan mengeneralisasikan peraturan-peraturan umum [24]. Aristoteles menjelaskan bahwa konsep keadilan adalah ketika setiap orang menerima haknya, yang disebut "ius suum cuique tribuere" dalam bahasa Latin oleh orang Romawi[25]. John Rawls berpendapat bahwa keadilan dapat dicapai dengan memperhatikan kesetaraan dari berbagai kepentingan yang berbeda dan tidak memberikan perlakuan khusus terhadap satu kepentingan tertentu. Dengan begitu, terciptalah suatu keseimbangan yang adil bagi semua pihak [26]. Dalam konteks mekanisme kepailitan, prinsip keadilan sebagaimana didefinisikan oleh Aristoteles dan John Rawls harus dipertimbangkan dan dijadikan panduan dalam proses pengelolaan dan penyelesaian harta kekayaan debitor yang bangkrut [27]. Menurut John Rawls, keadilan adalah fairness (keadilan sebagai keadilan). Pandangan John Rawls ini didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh John Locke, J.J. Rousseau dan Immanuel Kant, yaitu teori kontrak sosial dan deontologi. Pendapat yang memengaruhi John Rawls tentang keadilan yaitu:

1. Keadilan adalah hasil dari keputusan yang adil;

2. Menurut fairness keadilan, Ini adalah konsekuensi dari keadilan prosedural murni, yaitu tidak ada kriteria untuk menentukan apa yang "adil", terlepas dari prosedur yang digunakan. Keadilan tidak dinilai dari hasil akhir, tetapi dari sistem (atau prosedur) itu sendiri.

3. Dua (2) Prinsip Keadilan

Prinsip pertama adalah prinsip kebebasan yang setara secara maksimal. Prinsip ini mencakup beberapa hal, seperti :

  1. “Kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, seperti hak untuk memilih dan mencalonkan diri sebagai kandidat;
  2. kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers;
  3. kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan beragama;
  4. kebebasan untuk menjadi diri sendiri (person);
  5. Hak untuk memiliki properti pribadi.”

Kedua, dibagi menjadi dua bagian, yaitu prinsip perbedaan/the difference principle dan prinsip persamaan persamaan yang adil dalam peluang/the principle of fair equality of opportunity. Prinsip pertama menekankan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatasi dengan cara yang menguntungkan pihak yang kurang beruntung. Dalam prinsip perbedaan, istilah "perbedaan sosio-ekonomi" merujuk pada ketidaksetaraan kemampuan individu untuk mencapai unsur-unsur dasar kesejahteraan seperti pendapatan dan kekuasaan. Sementara itu, istilah "kurang beruntung" saat ini mengacu pada orang-orang yang memiliki akses terbatas terhadap kekayaan, pendapatan, dan kekuasaan. Oleh karena itu, prinsip keragaman mengarahkan struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga prospek yang berbeda untuk memperoleh elemen dasar kekayaan, pendapatan, dan kekuasaan dimiringkan untuk mendukung yang paling rentan.

Prinsip kedua adalah Prinsip Keadilan dalam Pemeriksaan Perkara dan Perlindungan Hukum bagi Debitur yang Bangkrut dengan prinsip kelangsungan usaha, yang tidak termasuk dalam penyelesaian sengketa kepailitan tanpa tes insolvensi. Oleh karena itu, prinsip ini harus menjadi panduan dalam pengelolaan dan likuidasi aset debitur pailit oleh kurator. Bertujuan untuk memberikan peningkatan nilai harta pailit dan memungkinkan debitur untuk melanjutkan usahanya setelah semua utang dibayarkan. Kepastian hukum memiliki dua makna yang berbeda, yaitu:

  1. Aturan yang berlaku secara umum harus dapat memberikan pemahaman bagi individu mengenai apa yang diperbolehkan atau tidak dalam suatu tindakan, dan
  2. Perlindungan hukum bagi individu terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, dan peraturan yang diterima secara umum memungkinkan individu untuk mengetahui tindakan apa yang dapat diambil pemerintah terhadap mereka. Dalam hal putusan pengadilan, kepastian hukum tidak hanya didasarkan pada pasal-pasal dalam undang-undang, tetapi juga pada konsistensi putusan pengadilan sebelumnya dalam kasus yang sama (26). Kepastian hukum asas kelangsungan usaha (going concern) sebagai dasar perlindungan hukum terhadap debitor pailit merupakan konsekuensi dari prinsip likuidasi oleh kurator yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK) dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Prinsip ini menjamin penyelesaian masalah utang secara cepat, adil, efisien dan transparan tanpa pengendalian kebangkrutan/insolvency test.

Ketiga, Kemanfaatan adalah nilai yang penting dalam menentukan apakah hukum berguna atau bermanfaat bagi masyarakat. Dengan mengambil prinsip going concern sebagai dasar filosofis perlindungan hukum terhadap debitur yang pailit, maka nilai kepentingan tersebut tercermin dalam prinsip penyelesaian utang yang adil, cepat, transparan, dan efisien, serta prinsip kepailitan, sebagai upaya terakhir antara debitur dan kreditur sebagai perlindungan hukum debitur. Selain itu, nilai kemanfaatan juga tercermin dalam prinsip-prinsip yang dapat dipahami oleh masyarakat umum. Penilaian keabsahan suatu standar hukum dilakukan tidak hanya dari segi kaidah-kaidahnya, tetapi juga memerlukan pengetahuan tentang nilai-nilai hukum lainnya, yaitu asas-asas hukum, sosiologis, dan filosofis. Aturan hukum berfungsi sebagai pedoman perilaku manusia dalam masyarakat. Meskipun undang-undang dapat berubah, undang-undang (peraturan khusus) tetap mengikat.

Jika keadilan, kepentingan, dan kepastian hukum terpenuhi, maka suatu tindakan atau keputusan dianggap sah. Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan sebagai asas dalam bentuk prinsip tertentu seperti asas hukum. Gabungan kata "asas" dengan "hukum" merujuk pada prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan pemikiran dan penegakan hukum [28]. Dalam arti yang lebih mudah dipahami, asas hukum dapat diartikan sebagai dasar atau fondasi dari segala hal yang terkait dengan hukum, baik itu dalam bentuk materi hukum, penegakan hukum, atau pelaksanaannya [29]. Asas hukum memberikan nilai etis pada peraturan-peraturan hukum, yang kemudian dihubungkan masyarakat dengan pandangan etis yang ditegaskan sedemikian rupa sehingga menimbulkan keselarasan antara ketentuan hukum dan kehendak masyarakat [30]. Prinsip keadilan memiliki kekuatan yang tidak akan pernah habis, karena terus-menerus melahirkan peraturan-peraturan baru. Sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo dari Paton, asas hukum dipandang sebagai sarana dimana hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang, termasuk nilai-nilai dan syarat-syarat etis, dan bukan hanya sebagai pedoman perilaku [31].

Asas-asas hukum seperti dimaksud disini ialah asas-asas yang berlaku dalam suatu bidang hukum tertentu.33 Sutan Remy Syahdeini menjelaskan 'aturan khusus terkait kepailitan', yang berarti suatu aturan hukum yang berlaku secara khusus untuk industri kepailitan. Dalam pandangannya, UU K-PKPU secara langsung atau tidak langsung memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia. Pada umumnya, asas-asas kepailitan di suatu negara meliputi permohonan pailit hanya bisa diajukan daripada debitor insolven atau tidak bisa membayarkan utangnya terhadap mayoritas kreditor. Oleh karena itu, pengadilan hanya dapat menyatakan debitor pailit jika dalam keadaan insolvensi. Namun, pada praktiknya, konsep uji insolvensi tidak lagi digunakan untuk mengkategorikan status pailit seorang debitur. Dengan kata lain, penentuan bahwa sebuah perusahaan debitur terbukti pailit tidak memerlukan pengujian apakah masih ada harapan untuk melindungi dan menyelamatkan perusahaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa UUK masih belum memenuhi asas kelangsungan usaha karena belum adanya uji kepailitan/insolvency test bagi debitur. Karena tidak adanya insolvency test, debitor yang masih mampu melakukan restrukturisasi utangnya harus dinyatakan pailit. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Kepailitan lebih melindungi kepentingan kreditor daripada debitor. Sebagai contoh, perubahan undang-undang kepailitan, misalnya, mengatur perlindungan kepentingan kreditur dan mensyaratkan bahwa pernyataan kepailitan tidak boleh memuat uji kepailitan. Kreditor ingin mendapatkan tagihan melalui debitor yang mengalami kesulitan likuiditas secepat mungkin hingga hukum kepailitan digunakan dalam hal mempailitkan debitor meski debitor masih dalam keadaan solven [10].

Upaya guna mencegah itikad buruk pemohon pailit kepada suatu perseroan yang masih mampu beroperasi berdasar asas going concern dan melindungi debitor yang memiliki niat baik guna melakukan penyelesaian utang-utangnya adalah penting dalam definisi keadaan tidak mampu. Insolvency test menjadi krusial, terutama dalam kasus perseroan besar dengan banyak pihak yang terlibat, seperti karyawan, kreditor (yang mungkin tidak semua setuju untuk mempailitkan debitornya), dan pihak pajak. Erman Rajagukguk mengatakan bahwa kelangsungan usaha memiliki peranan yang penting dalam proses pengajuan dan putusan pailit. Bahkan jika syarat-syarat untuk mengajukan kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) UUK telah terpenuhi, hakim pengadilan niaga harus memeriksa keadaan debitur untuk memastikan kelangsungan usaha debitur. Ini adalah pendapat Erman Rajagukguk [4] :

Setelah membuat keputusan pailit, hakim harus mempertimbangkan kondisi debitur, ketika debitur memiliki harapan untuk mengembalikan dan membayar utangnya kepada kreditur, karena bisnis apa pun membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Dalam beberapa kasus, debitur yang jujur ​​harus diberi kesempatan untuk melanjutkan usahanya, dan keputusan ini dapat melindungi kepentingan kreditur dan kebutuhan masyarakat..

Asas tersebut digunakan sebagai pertimbangan tidak hanya dalam konteks etis pada perkara pailit dan kepailitan, namun juga digunakan sebagai dasar untuk memutuskan pentingnya hak-hak debitur dilindungi dan mendorong debitur dalam memenuhi kewajiban terhadap pihak yang terkait dengan perkara tersebut yakni kreditur. Contoh putusan pengadilan yang memberikan prioritas pada hak-hak debitur adalah Putusan Peninjauan Kembali dalam perkara PT Citra Jimbaran Indah Hotel vs Sangyong Engineering & Construction Co.Ltd, dimana permohonan peninjauan kembali dikabulkan, dengan pertimbangan apabila debitur masih memiliki potensi dan prospek, maka harus diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, kepailitan harus dihindari. Jika usaha debitur masih berpotensi untuk berkembang, maka ia dapat memenuhi kewajibannya kepada semua kreditur sehingga tidak dianggap sebagai debitur yang buruk [32]. Keputusan pailit oleh hakim adalah pilihan terakhir. Pengadilan berpendapat bahwa menerima kepailitan debitur sebagai dasar putusan PK tidak dibenarkan jika debitur memiliki potensi dan prospek komersial untuk dikembangkan. Tujuannya agar suatu saat debitur dapat melunasi seluruh utangnya kepada para krediturnya.

Laporan audit mengenai going concern menyiratkan bahwa auditor telah menilai risiko kemampuan auditee (perusahaan yang diaudit) untuk bertahan dalam bisnis. Proses penilaian ini melibatkan analisis akuntansi, yang mengharuskan auditor untuk menilai kinerja entitas, kondisi ekonomi yang mempengaruhinya, kemampuannya untuk membayar utang dan kebutuhan likuiditas di masa depan [10]. Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan, berdasar Pasal 1 ayat (1) Fv, Seorang debitur dapat dinyatakan pailit jika ia telah membayar semua utangnya. Kegagalan pembayaran harus didasarkan pada fakta obyektif bahwa debitur tidak lagi mampu membayar utang karena kondisi keuangan yang tidak memadai [33].

Pada prinsipnya debitur dapat melunasi utangnya secara obyektif sebelum permohonan pailit dapat diajukan. Artinya, tidak cukup jika debitur tidak mau membayar utangnya. Audit atau audit kewajiban keuangan oleh kantor akuntan independen diperlukan untuk menentukan secara obyektif dan independen apakah debitur tidak mampu membayar utangnya atau pailit. [33]Menurut Standar Akuntansi Keuangan dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Asas Kelangsungan Usaha menyatakan bahwa semua perusahaan diharapkan dapat bertahan lama dan tidak mengalami kebangkrutan di masa depan untuk memenuhi tujuan dan kewajibannya, meskipun sebenarnya sulit untuk memperkirakan usia suatu perusahaan. Asumsi-asumsi ini mempengaruhi prinsip-prinsip penilaian untuk item-item pelaporan keuangan seperti penilaian aset, di mana aset biasanya dinilai berdasarkan biaya perolehan dan bukan berdasarkan nilai likuidasi. Namun, asumsi tersebut tidak berlaku jika perusahaan atau badan hukum didirikan dengan batas usia yang ditentukan [34].

Permohonan pailit suatu perseroan karena melalui pembukuan sehingga bergantung pada pembukuan juga, kondisi keuangan perusahaan bisa diketahui. Dalam praktik kepailitan, pemeriksaan pembukuan debitur adalah langkah pertama yang dilakukan oleh pengurus kepailitan untuk membereskan harta pailit. Pembukuan adalah sumber utama informasi keuangan, termasuk kewajiban, modal, pendapatan, dan biaya yang dicatat dalam neraca dan laporan laba rugi perusahaan atau bisnis [10]. Pembukuan dalam sebuah perusahaan atau komunitas penting untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban yang terkait dengan masing-masing struktur yang membentuk dan membangun entitas bisnis. Namun, data dalam pembukuan adalah informasi rahasia dan hanya dapat diungkapkan bila situasi/kondisi yang memungkinkan sesuai dengan aturan hukum, sebagai berikut [35]:

  1. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan pembagian warisan;
  2. Bagi mereka yang juga tertarik dengan usaha patungan;
  3. Untuk kebaikan perusahaan;
  4. Bagi mereka yang juga menunjuk wakil atau kuasa untuk suatu perusahaan dengan kepentingan langsung; dan
  5. Dalam kepailitan untuk keperluan pada kreditor.

Kepailitan sebuah badan usaha atau perseroan tidak hanya berdampak hukum terhadap debitor, tetapi juga memengaruhi kepentingan perpajakan, karyawan, dan investasi. Proteksi dalam hal ini hanya berlaku bagi debitor yang berikhtiar untuk melunasi utangnya kepada para kreditor.

B . Insolvency Test Sebagai Sarana Kebaharuan Bagi Hukum Kepailitan di Indonesia

Berdasarkan asas Pancasila dan UU NRI Tahun 1945, tujuan pembangunan perundang-undangan nasional Indonesia adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, undang-undang dibuat dan diperintahkan untuk membuat undang-undang dan peraturan yang dapat mendukung sistem hukum nasional. yang mendongkrak perekonomian negara. Dalam konteks globalisasi ekonomi, perkembangan ini mendorong terciptanya iklim investasi yang kompetitif dengan memfasilitasi transaksi bisnis. Menumbuhkan lingkungan investasi yang kompetitif untuk pembangunan ekonomi Indonesia membutuhkan undang-undang dan peraturan yang memungkinkan perusahaan dan individu mengakses modal dan sumber keuangan lainnya untuk pengembangan bisnis.

Untuk mewujudkan asas kelangsungan usaha dan juga untuk memenuhi asas keadilan, dengan melihat dari Profesor Dr. Mochtar Kusumaatmaja, S.H., LL.M., bahwa teori hukum pembangunan menarik perhatian besar karena beberapa argumen penting yang terkandung. di dalamnya. Jika aspek-aspek tersebut dijelaskan secara global, maka dapat dijelaskan yaitu :

Pertama, Teori hukum pembangunan yang diciptakan oleh orang Indonesia menjadi sangat penting di Indonesia karena mempertimbangkan besarnya masyarakat dan budaya setempat. Kondisi majemuk dan pluralitas masyarakat Indonesia, membuat teori tersebut relevan dengan situasi sosial di Indonesia.

Kedua, teori hukum pembangunan pada dimensi ini menerapkan pandangan hidup kekeluargaan yang berdasarkan pada sila pancasila yang dianut oleh rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, norma, asas, pranata dan kaidah teori hukum evolusioner sesuai dengan dimensi struktur, budaya dan isi yang digariskan oleh Lawrence W. Friedman.

Ketiga, Teori hukum pembangunan memberikan landasan fundamental bagi berfungsinya hukum sebagai “instrumen perencanaan sosial”, dan sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan sistem hukum yang kuat. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa tujuan utama hukum, bila dibatasi pada satu hal, adalah untuk mewujudkan ketertiban sebagai syarat utama masyarakat tertib. Tujuan lain dari undang-undang adalah pelaksanaan undang-undang, yang isi dan ruang lingkupnya berbeda-beda tergantung pada masyarakat dan waktu. Di samping itu, terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang teratur memerlukan kepastian hukum dalam pergaulan masyarakat, karena tanpa kepastian dan ketertiban hukum, manusia tidak dapat secara optimal mengembangkan kesempatan dan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan.

Namun, ketika melihat pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, fungsi hukum tidak hanya sebatas menjamin kepastian dan ketertiban. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa harapan terhadap hukum lebih dari itu, yaitu sebagai "sarana pembaharuan masyarakat" atau "sarana pembangunan". Sehingga hukum dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan memenuhi aspek asas keadilan.

C. Urgensi Penerapan Insolvency Test dalam Ius Constituendum untuk Memperkuat Asas Kelangsungan Usaha

Standar atau peraturan yang berlaku di negara mengenai persyaratan kepailitan dapat berdampak signifikan terhadap perekonomian negara. Permohonan pailit dapat diajukan tanpa masalah jika dapat ditunjukkan bahwa rezim pailit di negara yang bersangkutan tidak kuat dan mudah ditembus. Dalam hal ini dapat menyebabkan para pelaku ekonomi menjadi takut untuk berinvestasi di negara yang bersangkutan. Tindakan penyalahgunaan lembaga kepailitan bisa terjadi, ketika semestinya menjadi tempat untuk menyelesaikan masalah pembayaran utang antara debitur dan kreditur, namun malah digunakan sebagai ancaman agar debitur membayar hutang sesuai keinginan kreditur.

Salah satu asas hukum kepailitan yang umum diterima adalah asas universal yaitu hanya debitur pailit yang dapat dijatuhi status pailit oleh pengadilan. Dalam hal ini, kepailitan berarti kondisi keuangan dimana nilai seluruh hutang melebihi nilai total asset dari seorang debitur. Untuk mengetahui apakah debitor telah insolven maka diperlukan adanya insolvency test. Insolvency test ini sebelumnya telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissement-Verordening 1906, Setiap debitur yang tidak mampu membayar utangnya dan telah berhenti membayar atas permintaannya sendiri atau atas permintaan satu atau lebih kreditur dapat dinyatakan pailit oleh hakim. Dapat diperjelas bahwa dalam ketentuan ini hanya debitur yang tidak mampu membayar utangnya yang dapat dinyatakan pailit. Setelah pemeriksaan kepailitan, hanya dapat ditentukan utang mana yang tidak dapat dibayar oleh debitur. Pemeriksaan kepailitan menentukan apakah jumlah nilai kekayaan debitur lebih besar atau lebih kecil dari jumlah keseluruhan utangnya (balance sheet insolvency). Jika jumlah total utang debitor melebihi semua aset yang dimilikinya, maka debitor dianggap tidak mampu membayar hutangnya kepada para kreditor, sebab meskipun seluruh aset debitor dijual tetap tidak bisa secara langsung utang-utangnya lunas terhadap kreditur.

Auditor independen dan akuntan publik yang dipilih oleh debitur dan kreditur berhak melakukan audit kepailitan. Insolvency test ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah debitur tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur karena kurang solvabilitas (ability to repay) atau karena tidak mau membayar (willingness to repay). Walaupun begitu, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 belum memuat peraturan mengenai insolvency test sebagai persyaratan untuk menetapkan status kepailitan pada debitur. Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU menjelaskan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur agar Pengadilan Niaga dapat menyatakan mereka pailit dengan rumusan : Debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur dan gagal membayar setidaknya satu utangnya dinyatakan pailit dengan perintah pengadilan, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan satu atau lebih kreditur. Dalam rumusan tersebut, terdapat 2 (dua) syarat utama yang harus dipenuhi agar debitor dinyatakan pailit, yaitu adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan adanya lebih dari satu kreditor. Pasal 8 ayat (4) UU PKPU menegaskan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila telah terbukti secara sederhana sesuai dengan rumusan Pasal 2 ayat (1). Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa UU K-PKPU tidak menambahkan persyaratan baru selain yang sudah ada. Bahkan, undang-undang ini tidak mencantumkan syarat-syarat seperti jumlah minimum utang dan kondisi kebangkrutan, di mana aktiva si debitur jauh lebih sedikit daripada total utang yang dimiliki. Biasanya hal ini diukur melalui uji kebangkrutan (insolvency test). Meskipun demikian dalam Pasal 57 ayat (1) UU KPKPU diatur mengenai pengertian terkait Insolvensi, Meskipun pasal ini tidak memuat ketentuan tentang uji kepailitan sebagai prasyarat untuk menentukan apakah debitur pailit atau tidak, namun menerima praduga pailit berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU K-PKPU. Kurangnya uji kebangkrutan/insolvency test sebagai prasyarat kebangkrutan di Indonesia dapat menyebabkan kebangkrutan bagi perusahaan yang pada dasarnya masih dalam keadaan solvabilitas. Dimana hal ini dapat berdampak luas, hingga bisa menghilangkan rasa percaya investor asing dalam menanamkan modal di Indonesia. Apabila dirinci maka setidaknya terdapat 3 (tiga) dampak dari tidak diterapkannya insolvency test dalam hukum kepailitan di Indonesia yakni: 1) Penundaan investasi di Indonesia; 2) tidak tercapainya tingkat perlindungan yang seimbang antara debitur, kreditur dan pemangku kepentingan; dan 3) menimbulkan risiko terhadap stabilitas pembangunan ekonomi Indonesia. Setelah meilihat dari latar belakang tersebut, sangat penting bagi Indonesia untuk menerapkan uji kepailitan sebagai prasyarat kebangkrutan.

Dengan dilaksanakannya uji kepailitan terhadap permohonan pailit debitur sebagai wujud pelaksanaan asas keadilan berdasarkan Pancasila, maka filosofi permohonan pailit menjadi salah satu jalan keluar terbaik untuk lepas dari tanggung jawab bagi debitur [36]. Permohonan pailit debitur tidak boleh digunakan sebagai sarana untuk menagih utang dari para debitur, dengan menyatakan dirinya pailit, sebaiknya pailit digunakan sebagai sarana untuk mencari jalan keluar dari kesulitan keuangan yang dihadapi debitur dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya. telah jatuh tempo kepada kreditur. Saat ini, hal yang paling kritis adalah bagaimana meningkatkan pengembalian pinjaman melalui sistem yang lebih baik, bukan hanya kasus likuidasi tetapi kasus rehabilitasi. Sistem yang dibutuhkan adalah yang dapat menjamin pengembalian pinjaman kepada kreditur, bukan hanya membuat debitur bangkrut.

Simpulan

Landasan filosofis pengaturan prinsip kelangsungan usaha dalam UU K-PKPU adalah perlindungan debitur melalui perlindungan hukum dalam putusan pailit tanpa pemeriksaan kepailitan. Hal ini erat kaitannya dengan kajian nilai-nilai hukum seperti keadilan, kepastian dan kepentingan hukum, serta asas-asas umum dan kepailitan. Selain itu, terdapat penjelasan tentang prinsip-prinsip khusus hukum kepailitan terkait dengan prinsip kelangsungan usaha. Saat ini, mekanisme dan bentuk perlindungan hukum bagi kelangsungan usaha calon debitur dalam proses kepailitan adalah dengan melakukan pemeriksaan kepailitan dan pemeriksaan laporan keuangan perusahaan yang dimohonkan pailit, sehingga hakim dapat menilik apakah perusahaan tersebut masih dapat bertahan survive dan melanjutkan usahanya atau tidak. karena hakim harus bersikap netral dan melindungi semua kepentingan yang ada dalam proses kepailitan ini.

References

  1. W. Ardytia, “Perlindungan Hukum Kreditor Dalam Kepailitan: Studi Kasus Terhadap Peninjauan Kembali Reg.No.07.PK/N/2004,” Universitas Diponogoro, 2009.
  2. A. Manan, Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.
  3. M. Hikmah, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Perkara-Perkara Kepailitan. Bandung: Refika Aditama, 2007.
  4. R. A. Lontoh, D. Kalimang, and B. Ponto, Eds., Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2001.
  5. S. Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan Kepailitan. Bandung: Nuansa Aulia, 2006.
  6. K. Muljadi, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Tata Nusa, 2000.
  7. K. Muljadi, “Perubahan Faillisements Verordening dan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU tentang Kepailitan menjadi UU,” in Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta, 2003, pp. 1–10.
  8. R. Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase. Jakarta: Kencana, 2009.
  9. Ali, “Hakim Karier Menilai Proses Kepailitan Terlalu Mudah,” Hukumonline.com, 2013.
  10. S. Aprita, PENERAPAN ASAS KELANGSUNGAN USAHA MENGGUNAKAN UJI INSOLVENSI: Upaya Mewujudkan Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Restrukturitatif bagi Debitor Pailit dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan, Pertama. Jawa Timur: CV. Pustaka Abadi, 2019.
  11. S. Rahayu, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada Perseroan Manufaktur Publik,” J. Kaji. Akunt., vol. 4, no. 2, 2009.
  12. A. Sutendi, Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
  13. Y. Harahap, “Analisis Hukum mengenai Restrukturisasi Utang PT. Terbuka Pada Proses Perdamaian Menurut Undang Kepailitan,” Universitas Sumatera Utara, 2008.
  14. R. D. Widijowati, Hukum Dagang. Yogyakarta: ANDI, 2012.
  15. J. E. Setiyowati, Perlindungan Hukum Peserta bagi Hasil di Suatu Perusahaan. Bandung: CV Mandar Maju, 2003.
  16. Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
  17. M. Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan. Bandung: CV Mandar Maju.
  18. L. E. Levinthal, “The Early History of Bankruptcy Law,” Univ. Pennsylvania Law Rev. Am. Law Regist., vol. 66, no. 5/6, 1918.
  19. M. Muslih, “Negara Hukum Indonesia Dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch (Tiga Nilai Dasar Hukum),” Leg. J. Huk., vol. 4, no. 1, pp. 130–152, 2017, doi: http://dx.doi.org/10.33087/legalitas.v4i1.117.
  20. M. Mas, Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
  21. E. H. Wiyono, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Jakarta: Akar Media, 2007.
  22. M. A. Santoso, Hukum, Moral, dan Keadilan. Jakarta: Kencana, 2012.
  23. R. Soeroso, Pengantar ilmu hukum, 1st ed. jakarta: Sinar Grafika, 2017.
  24. L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnja Paramita, 1968.
  25. P. M. Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, 10th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  26. K. Leback, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis terhadap Pemikiran J. S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda. Bandung: Nusa Media, 2012.
  27. A. Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan atas Asas Kepastian Hukum. Bandung: Alumni, 2012.
  28. M. D. Ali, Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
  29. A. R. Budiono, Pengantar Ilmu Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2005.
  30. A. Sidharta, Refleksi Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
  31. S. Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014.
  32. C. Irianto, “Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaraan Utang (PKPU),” J. Huk. dan Peradil., vol. 4, no. 3, pp. 399–418, 2015.
  33. S. R. Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010.
  34. Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
  35. S. Sembiring, Hukum Dagang. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
  36. I. Ikhwansyah and L. M. J. Sidabutar, “The Implementation of Insolvency Test on Debtors’ Bankruptcy in Performing the Principle of Justice,” Media Huk., vol. 26, no. 2, pp. 240–251, 2019.