Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i2.998

Individual Corporations in Indonesia: Fostering Economic Growth and Fairness through Simplified Business Formation


Perusahaan Perseorangan di Indonesia: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Keadilan melalui Penyederhanaan Pendirian Usaha

Universitas Islam Batik Surakarta
Indonesia
Universitas Islam Batik Surakarta
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Indonesia

(*) Corresponding Author

Economic Growth Small Entrepreneurs Business Formation Individual Corporations

Abstract

In the pursuit of an organized and conducive business environment, the Indonesian government has ratified the Job Creation Law, introducing a legal concept of Individual Corporations for small and medium-sized entrepreneurs (UMK). This normative study employs a conceptual approach through Economic Analysis of Law, using primary, secondary, and non-legal materials to analyze the implications and orientation of this policy. The research findings suggest that the implementation of Individual Corporations, requiring only one founder or shareholder for establishment, leads to ease in creation and expansion of micro-small businesses, potentially impacting the ease of doing business index positively. This policy also fosters a proportionately growing, fair national economic structure, and is expected to enhance employment opportunities. The introduction of Individual Corporations represents a significant change in Indonesia's corporate law, aligning with national goals to improve investment conditions.
Highlights:

  • Introduction of Individual Corporations requiring only one founder simplifies business formation.
  • Positive impact on the ease of doing business index and alignment with national investment goals.
  • Fosterment of a proportionate, growing, and fair economic structure, enhancing employment opportunities.

Keywords: Individual Corporations, Economic Growth, Small Entrepreneurs, Business Formation

Pendahuluan

Perusahaan swasta memiliki peran penting dengan mayoritas menentukan pilihan yang berwujud badan usaha Perseroan Terbatas (PT) yang semakin banyak diminati daripada jenis bentuk usaha lainnya, maka tidak dapat disangkal lagi jika kebanyakan usaha yang dibentuk dan melakukan usaha di Indonesia memiliki bentuk sebagai PT [1].

Perseroan Terbatas atau PT mempunyai definisi yang dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang mengungkapkan bahwasannya Perseroan Terbatas memiliki status sebagai badan hukum pendiriannya didasarkan pada kesepakatan, aktivitas usahanya dilaksanakan atas modal dasar yang semuanya dibagi berupa saham serta sesuai degan syarat yang terncantum pada undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Wujud badan usaha paling ideal daripada bermacam wujud badan usaha lain misalnya maatschap, Firma ataupun persekutuan komanditer (CV) adalah Perseroan Terbatas. Tetapi eksistensi PT tidak dapat lepas dari berbagai wujud badan usaha diatas yang lebih sederhana, meskipun ada pendapat yang menyatakan karena berkembang dengan pesat maka Perseroan Terbatas bukan lagi termasuk dari berbagai wujud badan usaha sedang di atas [2].

Konsep dasar dari Perseroan Terbatas dapat diberi makna sebagai kegiatan bisnis yang berasal dari asosiasi modal para investor dan mempunyai tanggung jawab terbatas untuk setiap modal dasarnya yang telah disetor dan ditempatkan pada bisnis. Oleh karena itu dibutuhkan setidaknya atau minimal 2 (dua) orang untuk mendirikan sebuah badan usaha berbadan hukum yang memiliki aturan adanya asosiasi modal. Pendirian itu juga harus didasarkan pada sebuah perjanjian berupa Akta Pendirian Perseroan Terbatas yang telah dibikin dan diteken didepan seorang Notaris dengan memuat Anggaran Dasar Perseroan [3].

Aturan mengenai Perseroan Terbatas yang pada awalnya tercantum pada UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, kini konsep dari PT mengalami perluasan setelah UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja diundangkan dan yang menjadi salah satu kluster pengubahan dan penambahan ketentuan adalah UU Perseroan Terbatas. Meskipun UU Cipta Kerja dicabut oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang kemudian sah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang oleh DPR saat rapat paripurna ke-19 masa persidangan IV Tahun 2022-2023 substansi mengenai Perseroan Terbatas tidak mengalami perubahan, substansinya masih sama dengan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Saat tanggal 13 Februari 2020, DPR RI secara formal telah menerima RUU Cipta Kerja sebagai rancangan undang-undang yang diajikan oleh Pemerintah. RUU Cipta Kerja tersebut memakai cara perancangan Omnibus Law yang mencakup 11 (sebelas) bidang kebijakan. tanggal 5 Oktober 2020 Dewan Perwakilan Rakyat telah resmi melakukan pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja jadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) melalui rapat paripurna. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menjadi salah satu aturan yang diubah, dan masuk dalam kelompok Kemudahan Berusaha, Bagian Kelima, tepatnya pada Pasal 109 UU Cipta Kerja. Perubahan itu memiliki hubungan dalam kemudahan berusaha untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti tertera di pengertian pada Pasal 1 angka 1 UU Cipta Kerja. Sebagai akibatnya, ada 10 (sepuluh) pasal yang disisipkan dalam UU Cipta Kerja yang menyangkut terkait Perseroan Terbatas perseorangan sesuai dengan patokan dari Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang tertera di UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah [4].

Dengan disahkannya RUU Cipta Kerja tersebut pemerintah mengaharapkan agar mampu untuk dijadikan sebagai pendorong pergerakan kemajuan struktur ekonomi yang selanjutnya bisa juga memperngaruhi berbagai sektor lain, pencapaian angka acuan progres ekonomi yang diharapkan adalah 5.7% sampai pada 6%. Melalui adanya peningkatan investasi di bidang ekonomi, didambakan bisa mempengaruhi secara positif dalam hal tercipatanya lapangan kerja. Dengan demikian maka mampu menaikkan daya konsumsi, menaikkan pendapatan, daya beli dari masyarakat dan produktivitas. Meningkatnya produktifitas masyarakat, dapat berimplikasi pula dapat meningkatkan taraf upah tenaga kerja [5].

Pengesahan dari UU Cipta Kerja menimbulkan dinamika pro kontra terkait substansi dari UU Cipta Kerja, dimana sebagian masyarakat menganggap bahwa UU Cipta Kerja condong pada perusahaan besar juga investasi asing dan abai terhadap aturan terkait perlindungan tentang isu ketenagakerjaan, lingkungan hidum, serta sumber daya alam. Sebagian masyarakat tersebut beranggapan bahwa pemerintah hanya berusaha meraih naiknya urutan dalam kemudahan berusaha (Ease of Doing Business-EODB). Diluar adanya dinamika pro kontra terhadap UU Cipta Kerja, substansi yang tercantum di UU Cipta Kerja ialah tentang kemudahan berusaha untuk UMKM, kemudahan pemberdayaan, serta perlindungan UMKM [6].

Pemerintah Indonesia memberikan dukungan secara totalitas kepada UMKM, sebab UMKM mempunyai peran penting untuk menggerakan perekonomian negara Indonesia, bagi Indonesia UMKM telah membagikan manfaat besar. Merujuk pada data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KemenkopUKM) pada Maret tahun 2021, sebanyak 64,2 juta UMKM membrikan kontribusi sebesar 61.07 persen atau setara dengan nilai Rp. 8.573,89 triliun kepada Produk Domestik Bruto. Sebanyak 97 persen total dari tenaga kerja tersedia sanggup diserap oleh UMK, serta dapat mengumpulkan hingga sebesar 60,42 persen dari jumlah investasi di Indonesia. Sebagai salah satu dari implementasi mudahnya dalam berusahan ialah adanya penambahan dari wujud perseroan terbatas yang diperuntukan untuk usaha mikro dan kecil sebagai salah satu wujud guna menaikkan urutan dalam kemudahan berusaha di Indonesia melalui indeks “memulai usaha” (starting a business). Dalam proses didirikannya Perseroan Terbatas untuk usaha mikro dan kecil menjadi salah satu penanda dalam penilaian peringkat [7].

Perseroan Terbatas Perseorangan ini adalah istilah yang digunakan unruk Perseroan Terbatas sesuai UMK, karena proses pendiriannya bisa dilakukan oleh satu orang. United Kingdom (UK) dan Uni Eropa (EU) telah mengenal konsep perseroan perseorangan, dan dipakai juga pada beberapa negara di Asia Tenggara misalnya Malaysia dan Singapura. Single-Member Private Limited Liability Company atau Single-Member Company adalah sebutan yang dipakai pada aturan perundang-undangan negara tersebut sebagai kemiripan dengan PT perseorangan yang ada dalam UU Cipta Kerja. PT perseorangan yang dimaksud UU Cipta Kerja tidak membutuhkan adanya Akta Pendirian, cukup dengan adanya surat pernyataan pendirian perseroan dengan mendapat pengesahan secara elektronik oleh Menteri Hukum dan HAM yang biaya pengesahannya dapat dibebaskan [6].

Model dari PT perseorangan juga mendapatkan pro kontra. Terdapat pihak yang mendukung adanya bentuk baru dari Perseroan Terbatas yaitu perseroan perseorangan yang dianggap sebagai inovasi baru untuk mendukung Usaha Menengah Kecil dan diharapkan berimplikasi pada adanya kenaikan indikator kemudahan berusaha (ease of doing business), berdasarkan pada tujuan Indonesia guna memunculkan iklim investasi yang baik [1]. Tetapi juga ada yang berpendapat bahwa terjadinya perluasan pengertian dari Perseroan Terbatas (PT), yang berupa wujud usaha perseroan perorangan yang berbentuk usaha mikro kecil (UMK) bertolak belakang dengan dogma yang telah dikenal selama ini yang menyatakan jika pembentukan perseroan oleh minimal 2 (dua) orang adalah hal yang wajib, ini mengakibatkan ketidakjelasan batas konseptual antara wujud usaha lain yang berbentuk perusahaan perorangan dengan Perseroan Terbatas. Serta ditiadakannya kebijakan mengenai adanya minimal modal untuk perseroan sudah menghilangkan unsur perlindungan hukum terhadap modal perseroan, dimana secara fundamenta sudah tidak sanggup untuk memberikan jaminan kepada pihak ketiga mengenai kemampuan pembayaran perseroan, sehingga akibat gagal bayar oleh perseroan sangat dimungkinkan terjadi [8].

Mengenai kebijakan hukum perseroan perseorangan yang diatur pada UU Cipta Kerja dapat dianalisis dengan metode Analysis Economic of Law untuk mengkaji apakah peraturan perundang-undangan mengenai perseroan perseorangan sudah efektif dan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Pada dasarnya Analysis Economic of Law atau Hukum dan Ekonomi (Law and Economics) mengacu pada penerapan analisis ekonomi mikro untuk permasalahan hukum. Kembali pada tahun 1500-an, aplikasi ini telah menjadi bagian dari pendekatan non neoklasik untuk “law and economics” di Jerman. Pendekatan ini telah menjadi bagian dari Sekolah Ekonomi Sejarah Jerman, dan telah mencakup topik-topik yang menjadi fokus di pemerintahan dan kebijakan publik (Staatswissenschaften). Dengan demikian, pendekatan non neoklasik telah digunakan untuk menganalisis masalah hukum, administrasi, dan masalah pemerintah [9].

Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. Pada penelitian ini, peneliti menelusuri dan mengumpulkan informasi terkini tentang kebijakan hukum perseroan perseorangan secara rinci yang bisa memberikan gambaran tentang permasalahan yang terjadi, dan menganalisis serta mengidentifikasi permasalahan tersebut [10]. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual melalui pendekatan Analysis Economic of Law yaitu pendekatan yang memanfaatkan ilmu ekonomi guna membantu menyelesaikan permasalahan hukum dalam penelitian ini digunakan untuk meninjau kebijakan hukum perseroan perseorangan yang menjadi kebijakan baru pemerintah Indonesia yang tercantum pada UU Cipta Kerja.

Penggunaan sumber penelitian hukum berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan non hukum. Penggunaan bahan hukum primer berupa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Penggunaan bahan hukum sekunder didapatkan melalui buku-buku hukum, jurnal hukum, artikel hukum yang masih ada kaitannya dengan topik pada penelitian ini yaitu Analysis Economic of Law pada perubahan kebijakan Pemerintah Indonesia atas munculnya ketentuan perseroan perseorangan pada UU Cipta Kerja. Bahan nonhukum yang digunakan adalah buku-buku, artikel, jurnal yang dapat digunakan untuk menunjang analisis terkait topik permasalahan penilitian ini dan masih memiliki keterkaitan dalam pembahasannya. Bahan hukum penelitian ini dikumpulkan melalui metode studi kepustakaan.

Hasil dan Pembahasan

Peran serta negara dalam menunjang perkembangan ekonomi nasioal dapat dilihat dari tindakan pemerintah dengan merubah dan menyesuaikan aturan terkait dengan Perseroan Terbatas di Indonesia. Disusunnya peraturan di bidang hukum Perseroan Terbatas merupakan bentuk sokongan dari pemerintah terhadap keberadaan Perseroan Terbatas supaya dapat mewujudkan keteraturan yang kondusif dalam sistem pelaksanaan kegiatan bisnis. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah dengan merubah beberapa aturan yang ada di UU Perseroan Terbatas lewat UU Cipta Kerja. Kehadiran bentuk baru dari badan usaha dalam kajian hukum perusahaan Indonesia adalah hadirnya Perseroan Perseorangan untuk pelaku UMK sebagai salah satu bentuk perubahan oleh pemerintah Indonesia [3].

Istilah perseroan memperlihatkan terhadap penentuan dan pengikatan yang bertumpu pada modal. Dalam istilah bahasa Belanda disebut dengan Naamlose Vennotschaap (persekutuan tidak bernama) karena pada persekutuan perseroan yang bersekutu adalah modal (kapital) dan modal selamanya tidak memiliki nama, melainkan memiliki nilai nominal. Modal pada perseroan terbagi atas sero (saham), setiap lembar saham terkandung satu bagian hak (suara). Seberapa besar kepemilikan atas bagian hak oleh pemegang sero (saham) tergantung seberapa banyak saham yang dikuasi atau dimilikinya [11].

Definisi Pserseroan Terbatas dari UU PT 1995 dan UU PT 2007 tidak mengalami perubahan yakni Perseroan Terbatas atau perseroan ialah persekutuan modal berstatus badan hukum, dengan perjanjian sebagai landasannya, guna melaksanakan suatu kegiatan bisnis yang dilakukan atas modal dasar yang semuanya dibagi berupa bentuk saham dan sesuai syarat yang diatur pada undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Sehingga ada beberapa unsur Perseroan terbatas, yakni [2] :

  1. Perseroan Terbatas berstatus badan hukum;
  2. Perseroan Terbatas adalah persekutuan modal;
  3. Perjanjian adalah dasar pendirian Perseroan Terbatas;
  4. Kegiatan Usaha dilakukan dengan modal dasar;
  5. Saham adalah wujud pembagian modalnya; dan
  6. Pendiriannya (Perseroan Terbatas) wajib memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksananya.

Saat ini dengan adanya semangat dalam pemerintahan yang gencar memberikan dukungan progresifitas hukum ekonomi dan bisnis ataupun perancangan aturan guna meningkatkan perekonomian negara. Telah memberikan akibat kepada paradigma hukum korporasi, ataupun pengertian mengenai Perseroan Terbatas. Dimana dewasa ini, pemerintah mensahkan aturan perundang-undangan yang komprehensif yang dikenal Omnibus Law. Aturan ini mengurus macam-macam kluster perundang-undangan yang dirubah serentak menjadi satu kesatuan undang-undang, UU Perseroan Terbatas menjadi salah satu aturan yang diubah. Aturan itu adalah UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja [1].

Sesuai dengan penjelasan Christiawan dalam buku yang ditulisnya berjudul Omnibus Law, istilah omnibus law mengacu pada sebutan dari suatu aturan dengan teknik penyusunannua menggunakan cara tertentu (omnibu) bukan mengacu pada jenias aturan tertentu. Selanjutnya isitilah dari omnibus law memiliki arti banyak isi muatan yang dijadikan satu dalam satu aturan atau undang-undang. Gunter menulis asal dari terminologi omnibus adalah bahasa latin yang memiliki arti “untuk segalanya”, dimana untuk hukum dapat diartikan adanya bermacam-macam topik pembahasan yang terdiri dari beberapa kriteria dijadikan sebagai suatu dokumen tunggal. O’Brien dan Bosc selanjutnya memberikan paham omnibus law sebagai aturan yang merubah, mengganti, atau menerapkan beberapa aturan dalam satu undang-undang [8].

Terkait metode penyusunan undang-undang menggunakan metode omnibus law terdapat 4 (empat) kelebihan yakni: (i) proses legislasi yang singkat sebab tidak mesti mengusulkan pergantian satu demi satu terhadap undang-undang pada saat mau merubah banyak ketentuan; (ii) menghindari adanya kebutuan saat membahas RUU di Parlemen karena anggotan parlemen memiliki kesempatan dalam melakukan dialektika ketika saling menukarkan kepentingannya sebagai akibat terdapat banyaknya substansi yang dimuat dalam omnibus law; (iii) tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mengadakan perubahan pada masing-masing aturan yang mengakibatkan efisiensi biaya dalam proses legislasi karena jika menggunakan teknik perubahan aturan seperti biasanya banyak membutuhkan biaya; (iv) karena perubahan atas banyaknya ketentua yang tersebar dari bermacam-macam aturan dilakukan pada satu waktu oleh omnibus law akan menjaga harmonisasi pengaturan [12].

Selain memiliki kelebihan, penyusunan undang-undang yang menerapkan teknik legislasi omnibus law juga mempunyai beberapa kekurangan diantaranya yakni: (i) kurang demokratis dan pragmatis; (ii) terbatasnya ruang partisipasi sehingga tidak sesuai dengan demokrasi deliberatif; (iii) dalam penyusunannya dapat mengakibatkan kekurang hati-hatian dan kurang cermat; dan (iv) terbatasnya partisipasi dan kurangnya kehati-hatian ketika membahas aturan dapat berpotensi melampaui ketentuan yang ada dalam konstitusi [12].

Pasal 109 angka 1 UU Cipta Kerja konsep mengenai perseroan telah terjadi perluasan dimana pada definisi dari perseroan terbatas diperkenalkan adanya istilah baru yakni Perseroan Perorangan. Pasal 109 angka 1 UU Cipta Kerja menyatakan bahwasannya Perseroan Terbatas yang dikenal dengan perseroan ialah suatu persekutuan modal yang berstatus badan hukum, pendiriannya didasrkan pada sebuah kesepakatan guna menjalankan aktivitas usaha melalui modal dasar yang semuanya dibagi dengan wujud saham atau badan hukum perorangan yang telah sesuai tolak ukur dari Usaha Mikro dan Kecil seperti yang ditertera pada peraturan perundang-undangan terkait Usaha Mikro dan Kecil.

Adanya ketentuan tambahan badan hukum perseorangan yang memiliki kesesuaian dengan kriteria Usaha Mikro dan Kecil seperti tercantum pada peraturan perundang-undangan tentang Usaha Mikro dan Kecil yang dapat mendefinisikan bahwasannya terdapat kaidah baru yang memberikan legalitas untuk membentuk sebuah badan usaha berstatus badan hukum bagi sebuah UMK yang hanya memiliki investor sebanyak 1 (satu) orang. Maka bisa diartikan dari pengertian yang baru mengenai perseroan bahwa kini ada 2 (dua) jenis perseroan yakni pertama perseroan yang pendiriannya dilakukan oleh minimal dua orang kedua perseroan yang pendiriannya dilakukan hanya oleh satu orang. Bentuk baru dari perseroan perseorangan yang baru diatur dalam UU Cipta Kerja tidak diberikan paham lebih lanjut terkait apa yang dimaksud dengan perseroan perseorangan [7].

Kebaharuan (novelty) pada pengertian serta unsur-unsur dari Perseroan Terbatas di aturan UU Cipta Kerja ada 2 (dua) hal yaitu: pertama, Badan hukum perseorangan; kedua terpenuhinya kriteria usaha mikro dan kecil sesuai pada aturan perundang-undangan tentang usaha mikro dan kecil. Sehingga terkait mengenai pembentukan badan hukum Perseroan Terbatas ada 2 (dua) pilihan skema yakni antara Perseroan Terbatas dengan status badan hukum persekutuan, dengan Perseroan Terbatas dengan status badan hukum perorangan [1].

Pembentukan PT berupa PT Perseorangan dimana terdapat adanya batas tanggung jawab pada modal sebatas modal yang diserahkan oleh investor, merangkap Direktur, dan juga sebagai Pendiri PT adalah suatu kemudahan yang diberikan oleh UU Cipta Kerja guna memberdayakan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) [13]. Salah satu yang menjadi kendala yang dialami oleh UMKM untuk dapat berkembang di Indonesia adalah masih banyak UMKM yang tidak berbentuk usaha formal. World Bak telah melakukan studi dengan hasil studi, pada sekarang ini UMKM yang berstatus usaha informal atau tidak ada kejelasan bentuk usaha, memiliki jumlah lebih banyak daripada UMKM berstatus badan usaha formal berupa Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Vennotschap (CV), Firma, dan lainnya. Pada kisaran jumlah sebanyak 70 juta sampai dengan 100 juta UMKM formal dan sebanyak 285 juta sampai dengan 345 juta UMKM informal. UMKM akan mengalami kestabilan jika ketikan menjalankan usahanya telah berbentuk badan usaha formal, hal ini disebabkan UMKM akan memperoleh akses yang lebih unggul pada pendanaa, profit yang lebih menguntungkan, dan dapat mengakibatkan kenaikan pada pajak negara menurut pada penilian yang dilakukan oleh The World Bank [5].

Tujuan dari pemberdayaan UMKM termuat dalam Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menyatakan bahwa arah pemberdayaan UMKM yakni: pertama, terwujudnya struktur ekonomi nasional secara proporsional berkembang, dan adil; kedua meningkatkan dan memajukan keunggulan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah agar menjadi usaha yang kredibel dan independen; dan ketiga, peningkatan terhadap kedudukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk pembuatan lapangan kerja, kesetaraan pendapatan, kenaikan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Adanya perluasan definisi dari Perseroan Terbatas berdasarkan pada UU Cipta Kerja maka ada pula 2 (dua) sistem pendirian perseroan yang berbeda. Jika melihat definisi Perseroan Terbatas dari UU PT maka PT pendiriannya hanya dilakukan oleh paling sedikit dua orang. Hal ini adalah makna dari kalimaat “berdasarkan perjanjian” yang manas perjanjian dipastikan perbuatan antara 2 (dua) orang atau lebih [6]. Pada UU Cipta Kerja kemudian diubah dengan aturan bahwasannya pembentukan perseroan bisa dilakukan hanya oleh 1 (satu) orang.

Telah ditegaskan sebelumnya bahwa perseroan proses pendiriannya dilakukan oleh sedikitnya 2 (dua) orang melalui akta pendirian perseroan dihadapan notaris dengan menggunaakn Bahasa Indonesia memiliki tujuan supaya dapat dikendalikan dan diawasi oleh minimal 2 (dua) orang, terutama ketika melaksanakan fungsi check and balances saat mengambil keputusan. Setiap tindakan hukum dan kemerosotan perusahaan dijadikan beban pribadi pendiri atau investor adalah akibat dari syarat minimal 2 (dua) orang tidak terpenuhi dan keadaan tersebut bertentangan dengan UU Perseroan Terbatas. Di mata hukum sebuah akta yang dibuat oleh seorang Notaris mempunyai perang yang esensial sebab akta tersebut adalah akta otentik yang mempunyai peran guna menciptkan kepastian hukum dan memiliki sifat yang mengikat dan sempurna [14].

Seseorang tidak diharuskan untuk mencari partner bisnis dalam mendirikan perusahaan dengan jenis perseroan perseorangan asalkan perusahaan tersebut sesuai dengan persyaratan UMK. Kemungkinan adanya penipuan menjadi lebih besar sebagai akibat dari perusahaan yang dibangun dan diarahkan oleh hanya satu orang, sebab mampu memanfaatkan tanggung jawab yang terbatas pada pihak ketiag. Pada aturan dalam Pasal 153A UU Cipta Kerja dan Pasal 6 PP 8 Tahun 2021 menyatakan tidak diperlukan adanya akta notaris untuk mendirikan suatu perseroan UMK. Pendirian perseroan untuk UMK dapar didirikan dengan Cuma membikin surat pernyataan pendirian yang mencantumkan niat dan tujuan, modal dasar, kegiatan usaha dan pembahasan lainnya yang masih relevan dengan pembentukan perseroan terbatas. Kemudian surat tersebut dikirimkan untuk pendaftaran secara elektronik yang ditujukan pada Kementerian Hukum dan HAM. Berdasarkan pada prespektif pelaku usaha UMK kebijakan mengenai kemudahan memulai usaha yang diberikan oleh Pemerintah dinilai sangat membantu karena tidak membutuhkan biaya yang mahal. Tetapi di sisi lain juga berakibat pada hilangnya peran notaris pada proses didirikannya badan hukum yang akhirnya notaris tidak dapat melaksanakan pengawasan terhadap perusahaan tersebut [15].

Perubahan juga terjadi dalam hal modal, ketentuan modal dasar pada perseroan perseorangan mengikuti ketentuan modal yang diatur untuk UMK yang berdasarkan pada Pasal 5 dan Pasal 7 PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Hasil penjualan dan kriteria modal dasarnya yakni: (1) Modal Usaha: a. Modal usaha yang dimiliki oleh usaha mikro maximum Rp 1 miliar kecuali tanah dan bagunan tempat usaha; dan b. modal usaha yang dimiliki oleh Usaha Kecil lebih dari Rp 1 miliar dan maximum Rp 5 miliar kecual tanah dan bangunan yang digunakan untuk tempat usaha; dan (2) Hasil Penjualan: a) hasil penjualan tahunan yang dimiliki oleh Usaha Mikro maximum Rp 2 Miliar; b) hasil penjualan tahunan yang dimiliki oleh Usaha Kecil lebih dari Rp 2 miliar dan maximum Rp 15 miliar [1].

Kriteria nilai nominal modal usaha dan kriteria hasil penjualan dapat diubah mengikuti dari perkembangan ekonomi. Penentuan rentang kriteria nilai nominal modal usaha ataupun hasil penjualan ini esensial sebagai indikator dan pemutusan untuk pendiri usaha perorangan jenis apa yang akan didirikannya dan berguna untuk alat pemerintah guna memantau adanya status usaha yang berubah atas usaha perseorangan terkait [16]. Pasal 32 ayat (1) UU Perseroan Terbatas diatur untuk pendirian perseroan terbatas harus memuliki modal dasar minimal Rp 50 juta, untuk lebih banyaknya modal dasar sepenuhnya diserahkan pada keputusan pendiri dan investor sesuai dengan persetujuan dari para pihak terkait yang ada pada akta notaris serta memperoleh legalisasi dari Kementerian Hukum dan Ham. Adanya modal yang disetor menjadi keserasian antara Perseroan terbatas dan Perseroan Perorangan. Sebanyak 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar perseroan harus ditaruh dan diserahkan yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah [15].

Terkait organ perseroan baik pada Perseroan terbatas dan Perseroan Perorangan perbedaannya tidak signifikan jika melihat dan menganalisis UU Perseroan Terbatas, UU Cipta Kerja, dan PP No.8 Tahun 2021 tidak mengatur tentang perubahan susunan organ. Pada ketentuan tersebut terdapat 3 (tiga) kategori organ perseroan yakni: Direksi, Dewan Komisaris dan RUPS. Dimana untuk setiap organ melaksanakan tugasnya sendiri-sendiri dan mempunyai hak serta kewajiban berbeda satu sama lain untuk meraih tujuan perusahaan. Hubungan antara Direksi, Dewan Komisaris, dan RUPS adalah sederajat. Tiap organ mempunyai wewenang dan tugas yang tidak bisa diganggu oleh organ satu dengan yang lainnya [7].

Direksi memiliki tugas pada Perseroan Perseorangan sesuai dengan ketentuan UU Cipta Kerja yakni melaksanakan perseroan setara dengan tujuan perseroan dan bertugas dalam menyusun laporan keuangan. Laporan keuangan wajib dibuat supaya bisa dipakai pemerintah untuk memantau dalam hal keuangan perusahaan serta status usaha dapat diketahui dari laporan keuangannya [15]. Terkait ketentuan dalam membuat laporan keuangan yang wajib dilakukan oleh Direksi dalam Perseroan Perseorangan diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP No. 8 Tahun 2021 yang mengatur bahwasannya pelaporan dari laporan keuangan dilakukan secara elektronik selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah akhir dari periode akuntasin berjalan kepada Menteri dengan memenuhi pengisian format penyampaian laporan keuangan. Untuk formatnya harus mengandung laporan laba rugi, laporan posisi keuangan, dan catatan laporan keuangan tahun berjalan. Sanksi administratis yang berwujud teguran tertulis, penghentian hak akses atas layanan, atau pencabutan status badan humum dapat diberikan kepada perseroan perseorangan yang tidak menyampaikan laporan keuangannya [4].

Selanjutnya yang menjadi topik dalam kebanyakan pembahasan dalam perseroan perseorangan dalam UU Cipta Kerja adalah seputar persamaan prinsip pertanggung jawaban Perseroan Terbatas dan Perseroan Perorangan, yakni investor tidak memiliki tanggung jawab secara pribadi terhadap permufakatan yang dibuatd dengan menggunakan nama perseroan dan tidak punya tanggung jawab akan adanya kerugian yang terjadi dalam perseroan lebih dari saham yang dimilikinya [15]. Pasal 153j ayat (2) UU Cipta Kerja menegaskan bahwasannya aturan terkait tanggung jawab yang terbatas dari investor perseroan perseorangan untuk Usaha Mikro Kecil tidak berlaku jika: a) perseroan tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum; b) adanya itikad buruk baik langsung maupun tidak langsung dalam memanfaatkan perseroan demi kepentingan pribadi pemegang saham bersangkutan; c) masuknya pemegang saham dalam perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d) menggunakan kekayaan Perseroan yang bertentangan dengan hukum baik langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh pemegang saham sehingga Perseroan menjadi kurang untuk dapat membayar utang perseroan.

Pada Pasal 153j UU Cipta Kerja terdapat dogma yang disebut dengan piercing the corporate veil yang memiliki arti membuka tirai perseroan, dimana tanggung jawab yang pada awalnya terbatas dibuka dan diterabas untuk dijadikan tanggung jawab tak terbatas sampai pada kekayaan pribadi jika terdapat adanya distorsi, pelanggaran atau kesalahan ketika melaksanakan urusan perseroan [15]. Pencegahan terjadinya penyalahgunaan perlindungan hukum yang diberikan kepada investor atas dasari limited liability seperti peerbuatan dengan iktikad buruk, melakukan kelalaian atau cerobih, dan tidak sesuai dengan kepentingan perusahaan yang berakibat pada kerugian perusahaan adalah maksud dari penerobosan tanggung jawab investor atas dasar prinsip piercing the corporate veil [17]. Sangat susah untuk dapat menghindari percampuran harta dalam suatu perseroan perseorangan untuk UMK karena dalam menjalankan kegiatan usahanya kebanyakan didasarkan pada pertimbangan keluarga atau pertimbangan ekonomi. Kondisi itu mengakibatkan batasan pertanggung jawaban semakin sukar dilihat dalam hal pengelolaan perseroan secara profesional [18].

Kebijakan mengenai hukum perseroan perseorangan sebagai model baru dari sebuah badan usaha yang tercantum dalam UU Cipta Kerja, pada dasarnya sejalan dengan konsep dari Economic Analysis of Law. Pemikiran mengenai Economic Analysis of Law dapat dilacak dari pemikiran Jeremy Bentham terhadap pemikiran pada konsep keadilan yang dicetuskan pada aliran utilitarianisme. Keinginan dasara untuk meraih kenikmatan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain) adalah motivasu manusia yang dipercayai oleh Bentham. Pemikiran itu dijadikan sebagai landasan filosofis prinsip utilitas (perhitungan antara pain dan pleasure) sebagai dasar dari nilai moral dan hukum. Dalam perkembangan dari teori utilitarian diutarakan pada diskusi yang membahas mengenai hukum dan menjadi tiang dari Economic Analysis of Law [19].

Economic Analysis of Law bukanlah praktik kesatuan tunggal tetapi serangkaian proyek yang berbagi pendekatan metodologis. Tipikal Analisis hukum ekonomi tidak menetapkan tugas dalam bentuk teori hukum umum. Sebaliknya, ini menjawab pertanyaan khusus mengenai penyebab atau konsekuensi atau nilai sosisal dari aturan hukum tertentu atau seperangkat aturan hukum. Dengan kata lain, tipikal Economic Analysis of Law menyelidiki aturan yang spesifik atau lembaga hukum tertentu dibandingkan menciptakan klaim umum mengenai sifat hukum [20].

Dalam Economic Analysis of Law memiliki beberapa konsep fundamental diantaranya adalah: Pertama, konsep rasional (rational) yang berupa kerangka utama pemikiran untuk mengerti tingkah laku manusia; kedua konsep pilihan (choice) adanya kelangkaan memaksa sesorang untuk menentukan pilihan yang bisa memberikan kepuasan dirinya; ketiga konsep nilai (value) sesuatu yang substansial atau penting (significance), kemauan atau hasrat (desirability) pada sesuatu, baik secara moneter atau non-moneter, akibatnya sifat yang melekat padanya berwujud kepentingan pribadi (self-interest) manusia guna meraih kenikmatan; keempat konsep efisiensi (Efficiency) konsep ini selalu dihubungkan dengan definisi penghematan yang memiliki kaitan pada pendangan ekonomis dari suatu barang dan/atau jasa; kelima konsep utilitas (utility) yakni fungsi yang digunakan untuk mencari faedah dari barang ekonomi yang memebrikan keuntungan, secara general dapat ditafsirkan kemakmuran; keenam konsep permainan (game) yakni studi mengenai bagaimana perilaku seseorang dalam situasi dimana perbuatannya itu dapat memberi pengaruh terhadap reaksi orang lain; ketujuh konsep biaya transaksi (Transaction Cost) yakni semua biaya yang dikeluarkan karena terdapat faktor eksternalitas ketika melakukan interaksi atau tindakan [21].

Pada hakikatnya Economic Analysis of Law adalah bidang dari ilmu hukum yang memanfaatkan bantuan dari ilmu ekonomi guna menganalisis dan mempelajari lebih dalam terkait ilmu hukum. Cara-cara ekonomis melalui dimensi ekonomi digunakan untuk mengkaji dan meilihat serta menelaah lebih luas hukum dan ilmu ekonomi sebagai objek pembahasan. Posner memiliki pendapat yakni ilmu pengetahuan yang membahas mengenai pilihan logis di tengah terbatasnya sumber yang didambakan manusia adalah definisi dari ilmu ekonomi. Tetapi eksistensi hukum ditengah kehidupan masyarakat, pada hakikatnya adalah sebagai alat dari peraturan atau sanksi yang memiliki tujuan guna menngkontrol sikap manusia yang secara fundamental memiliki keinginan agar dapar meningkatkan kepuasannya, seperti hal ini menjadi bagian dari adanya ilmu ekonomi. Tujuan meningkatkan kepentingan umum seluas-luasnya adalah tujuan dari hukum dibuat dan digunakan [21].

Sejalan dengan ajaran utilitarianisme yang fundamental didalam Economic Analysis of Law, sebuah aturan harus dapat memberikan manfaat bersih untuk masyarakat, tidak hanya untuk kelompok atau sektor tertentu. Aturan juga harus terintegrasi dan konsisten dengan hukum dan mampu beradaptasi dengan keadaan yang berubah-ubah [22]. Hal ini menandakan bahwa sebuah aturan hukum harus memberikan manfaat pada setiap perkembangan masyarakat. Usaha dari aturan hukum untuk dapat memberikan manfaat kepada masyarakat salah satunya adalah dengan adanya perluasan konsep Perseroan Terbatas yang diperluas dengan adanya PT Perseorangan untuk UMK. Konsep PT Perseorangan merupakan konsep yang sejalan dengan orientasi dari Economic Analysis of Law setidaknya didasarkan pada tujuh konsep dari Economic Analysis of Law.

Pertama adalah konsep rasional (rational) dimana kebijakan mengenai perseroan perseorangan dimakasudkan untuk mengatur aktivitas ekonomi dari para pelaku UMKM dan juga guna menaikkan grafik kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business di Indonesia lewat penerapan regulasi, standar, prinsip-prinsip yang memudahkan UMKM. Karena salah satu hambatan dari UMKM adalah mendapatkan legalitas usaha agar mempermudah mendapatkan modal. Kedua, konsep pilihan berawal dari jarangnya UMK memiliki bentuk usaha formal seperti pada hasil riset yang dilaksanakan oleh World Bank yang menunjukan hingga sekarang UMK dengan macam badan usaha informal atau tanpa bentuk usaha yang tegas, jumlahnya lebih banyak daripada UMK dengan status badan usaha formal berwujud Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV), dan Firma [3]. Sehingga diambil keputusan yang dirasa terbaik yakni dengan memperkenalkan bentuk baru PT Perseorangan agar UMK dapat lebih stabil dalam menjalankan usahanya.

Ketiga adalah konsep nilai kebijakan perseroan perseorangan yang memberikan kemudahan bagi UMKM dinilai penting (significance) karena pada tahun 2020 Indonesia masih menduduki posisi kelima terendah di ASEAN untuk indeks kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business) [23]. Sehingga pemerintah memberikan kemudahan berbisnis dengan mendasarkan bahwa kemudahan berbisnis dapat memenuhi keinginan pemerintah untuk mewujudkan kegiatan ekonomi yang kondusif. Keempat adalah konsep efisiensi dimana dengan adanya perseroan perseorangan yang boleh didirikan dengan hanya 1 (satu) orang maka pemilik usaha tidak perlu mencari partner untuk dapat mendirikan usaha. Serta diberlakukan pendaftaran secara elektronik telah memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mendaftarkan usahanya.

Kelima ditinjau dari konsep utilitas, hal ini masih memiliki korelasi dengan efisiensi karena utilitas mencerminkan faedah dan kemanfaatan. Jika seseorang memiliki kepercayaan terhadap tindakannya itu secara sukses efisien, maka dapat disimpulkan pada saat bersamaan jika hasilnya adalah memuaskan [21]. Perseroan perseorangan dapat dinilai efisien maka juga dapat dinilai memiliki kemanfaatan bagi masyarakat secara umum karena dengan mudah mendirikan perseroan perseorangan maka menjadi harapan juga dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja. Karena daya muat tenaga kerja UMKM adalah sebanyak 117 juta pekerja atau 97% dari daya muat tenaga kerja dunia usaha [5],

Keenam adalah konsep permainan, dimana kebijakan perseroan perseorangan merupakan suatu tindakan dari pemerintah dalam situasi untuk meningkatkan pergerakan pertumbuhan sektor ekonomi, yang selanjutnya juga dapat menggerakan sektor-sektor lainnya. Ketujuh biaya transaksi yang dikeluarkan untuk mendirikan perseroan perseorangan tidak membutuhkan biaya banyak karena tidak melibatkan notaris dan pendaftarannya dilakukan secara elektronik melalui surat pernyataan pendirian yang mengandung niat dan tujuan, modal dasar, kegiatan usaha, dan pembahsan lain yang ada kaitannya dengan tujuan didirikannya perseroan terbatas.

Berdasarkan pada perspektif Economic Analysis of Law terhadap kebijakan perseroan perseorangan, maka pada dasarnya adanya kebijakan perseroan perseorang relevan dengan upaya pemerintah dalam menguatkan peran UMKM sebagai salah satu pelaku usaha di Indonesia yang menduduki posisi yang esensial. Karena kebutuhan dasar masyarakat dekat dengan bidang usaha yang diakukan oleh seluruh pelaku usaha UMK, hal ini menjadikan pelaku usaha UMK menjadi salah satu pelaku ekonomi terbesar di Indonesia.

Terdapat pengenalan bentuk badan usaha berbadan hukum dala UU Cipta Kerja yakni perseroan perorangan dimana cuma membutuhkan 1 (satu) orang pendiri atau pemegang saham, dan salah satu syarat pendiriannya hanya perlu dengan membuat surat pernyataan pendirian yang mengandung niat dan tujuan, modal dasar kegiatan usaha, dan pembahasan lain yang ada relevansinya dengan didirikannya perseroan terbatas. Implikasi dan orientasi dari kebijakan perseroan perseorangan adalah untuk mewujudkan struktur ekonomi nasional yang proporsional berkembang, dan adil. Karena adanya kemudahan dalam proses pendiriannya.

Simpulan

Kebijakan perseroan perorangan ini dalam dari prespektif Economic Analysis of Law dapat membawa keuntungan bagi pelaku usaha UMK dimana untuk pembentukan badan hukum perseroan perseorangan hanya membutuhkan 1 (satu) orang pendiri atau investor dan proses pembentukannua relatif mudah. Serta membawa kemudahan dalam proses perluasan usaha mikro kecil dan diharapkan dapat berpengaruh terhadap meningkatnya indeks kemudahan berusaha (ease of doing business) sesuai tujuan pemerintah Indonesia untuk menbuat kondisi investasi yang baik. Selain itu juga dinilai memiliki kemanfaatan bagi masyarakat secara umum karena dengan mudah mendirikan perseroan perseorangan maka diharapkan juga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja.

References

  1. Y. Kornelis, “Implikasi Hukum Perseroan Perseorangan Terhadap Indeks Ease of Doing Business Indonesia,” J. Yustisiabel, vol. 6, no. 2, hal. 132, 2022, doi: 10.32529/yustisiabel.v6i2.1847.
  2. Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2019.
  3. D. P. D. A.A. Kasih, G. D. H. Santosa, I. M. M. Wijaya, dan P. T. Dwijayathi, “Perseroan Perorangan Pasca UU Cipta Kerja: Perubahan Paradigma Perseroan Terbatas Sebagai Asosiasi Modal,” Arena Huk., vol. 15, no. 1, hal. 20–37, 2022.
  4. Y. D. Harahap, B. Santoso, dan M. H. Prasetyo, “Pendirian Perseroan Terbatas Perseorangan Serta Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja,” Notarius, vol. 14, no. 2, hal. 725–738, 2021, doi: 10.14710/nts.v14i2.43800.
  5. O. I. Khair, C. Widiatmoko, dan R. P. Simarmata, “Analisis UU Cipta Kerja dan Kemudahan Berusaha Bagi UMKM,” J. Ilm. Indones., vol. 7, no. 2, hal. 1–12, 2022.
  6. M. F. Aziz dan N. Febriananingsih, “Mewujudkan Perseroan Terbatas (PT) Perseorangan Bagi Usaha Mikro Kecil (UMK) Melalui Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja,” J. Rechts Vinding Media Pembin. Huk. Nas., vol. 9, no. 1, hal. 91, 2020, doi: 10.33331/rechtsvinding.v9i1.405.
  7. W. Fauzi, “Kajian Yuridis Konsep Perseroan Perseorangan Sebagai Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia,” Unes Law Rev., vol. 5, no. 4, hal. 1772–1783, 2023.
  8. A. Arief dan R. Ramadani, “Omnibus Law Cipta Kerja dan Implikasinya Terhadap Konsep Dasar Perseroan Terbatas,” Al-Adalah J. Huk. dan Polit. Islam, vol. 6, no. 2, hal. 106–120, 2021, doi: 10.35673/ajmpi.v6i2.1550.
  9. M. G. S. S. Conboy, “Integrating Law And Economics In Indonesia,” Law Rev., vol. 18, no. 3, hal. 1–23, 2019.
  10. Suteki dan G. Taufani, Motodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik), Cetakan 3. Depok: RajaGrafindo Persada, 2020.
  11. D. I. Atmadjaja, Hukum Dagang Indonesia Sejarah, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Hukum Dagang. Malang: Setara Press, 2016.
  12. B. D. Anggono, “Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang: Peluang Adopsi dan Tantangannya Dalam SIstem Perundang-Undangan Indonesia,” RechtsVinding, vol. 9, no. 1, hal. 17–37, 2020.
  13. Y. A. Sudjateruna dan G. M. Swardhana, “Pengaturan Organ Komisaris Dalam Perseroan Terbatas Perseorangan Menurut Perspektif Undang-Undang Cipta Kerja,” Acta Com., vol. 6, no. 03, hal. 474, 2021, doi: 10.24843/ac.2021.v06.i03.p2.
  14. D. Isnaeni, “Peran Notaris Dalam Pendirian PT Usaha Mikro Dan Kecil,” J. Huk. dan Kenotariatan, vol. 5, no. 2, hal. 202, 2021, doi: 10.33474/hukeno.v5i2.11003.
  15. S. Putri dan D. Tan, “Analisis Yuridis Perseroan Perorangan Ditinjau Dari Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Perseroan Terbatas,” Unes Law Rev., vol. 4, no. 3, hal. 317–331, 2022.
  16. S. Pangesti, “Penguatan Regulasi Perseroan Terbatas Perorangan Usaha Mikro dan Kecil Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Masa Pandemi Covid-19,” J. Rechtsvinding, vol. 10, no. 1, hal. 117–131, 2021, [Daring]. Tersedia pada: https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/650.
  17. A. S. K. Dewi, “Karakteristik Perseroan Perorangan Sebagai Perseroan Yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro Dan Kecil,” Yurispruden J. Fak. Huk. Univ. Islam Malang, vol. 5, no. 1, hal. 31, 2022, doi: 10.33474/yur.v5i1.13747.
  18. R. Sitorus, “Eksistensi Perseroan Umk Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Kepailitan Menurut Sistem Hukum Di Indonesia,” Maj. Huk. Nas., vol. 51, no. 1, hal. 21–39, 2021, doi: 10.33331/mhn.v51i1.141.
  19. K. P. Isyunanda, “Pemanfaatan Law and Economics Sebagai Metodologi Analisis Hukum Di Indonesia,” Mimb. Huk., vol. 34, no. 1, hal. 125–160, 2022.
  20. L. Kornhauser, “The Economic Analysis of Law,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2022. https://plato.stanford.edu/entries/legal-econanalysis/ (diakses Jul 05, 2023).
  21. Cahyono, “Penyelesaian Sengketa Berbasis Konsep ‘Economic Analysis of Law,’” Banda Aceh, 2019. [Daring]. Tersedia pada: https://pn-bandaaceh.go.id/wp-content/uploads/Penyelesaian-Sengketa-Berbasis-Konsep.pdf.
  22. F. Sugianto, V. Tanaya, dan V. Putri, “Penilaian Efisiensi Ekonomi Dalam Penyusunan Langkah Strategis Terhadap Regulasi,” J. Rechts Vinding Media Pembin. Huk. Nas., vol. 10, no. 3, hal. 447, 2021, doi: 10.33331/rechtsvinding.v10i3.694.
  23. D. H. Jayani, “Indonesia Peringkat Kelima Terendah di ASEAN Dalam Kemudahan Bisnis,” Katadata.co.id, 2019. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/25/indonesia-peringkat-kelima-terendah-di-asean-dalam-kemudahan-bisnis (diakses Jul 05, 2023).