Notarial Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i2.999

Legitimacy of the Notary Inspection Board within the Indonesian Legal Framework


Legitimitasi Majelis Pemeriksa Notaris dalam Kerangka Hukum Indonesia

Fakultas Hukum, Universitas Jember
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Jember
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Jember
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Jember
Indonesia

(*) Corresponding Author

Notary Examination Board Notary Supervisory Board Ministerial Regulation 15/2020 Law on Notary Position legal harmonization

Abstract

This study examines the position and legitimacy of the establishment of a Notary Inspection Board within the Indonesian legal framework, with a particular focus on the Law on Notary Position (UUJN) and Ministerial Regulation of Law and Human Rights (Permenkumham) Number 15 of 2020. The research employs a normative legal method to scrutinize norms within the UUJN and Permenkumham 15/2020, prompted by perceived normative disharmony between these regulations regarding oversight and sanctioning of notaries. Contrary to prior research that suggested a normative disharmony, this study finds that the Inspection Board acts on behalf of the Notary Oversight Board, as its members are part of the latter, with duties delegated by the Chairperson of the Notary Oversight Board. Thus, Permenkumham 15/2020 does not contradict the UUJN. Nevertheless, for greater clarity, the study recommends revisions to Permenkumham 15/2020, emphasizing the basis of authority and formation of the Inspection Board.
Highlights:

  1. No legal disharmony between Ministerial Regulation 15/2020 and the Law on Notary Position.
  2. Notary Examination Board is part of the Notary Supervisory Board.
  3. Amendments to Regulation 15/2020 are suggested for clearer authority and establishment process.

Keywords: Notary Examination Board, Notary Supervisory Board, Ministerial Regulation 15/2020, Law on Notary Position, legal harmonization.

 

Pendahuluan

Interaksi antara subjek hukum merupakan hal umum dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah melalui perjanjian, di mana satu pihak mengikatkan diri dengan pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai keinginan apa yang dikehendakinya. akan tetapi, seringkali muncul masalah atau sengketa karena adanya gesekan kepentingan atau pelanggaran perjanjian tersebut. Kekurangan jaminan kepastian hukum atas perilaku dalam perjanjian menjadi penyebabnya. Untuk melindungi para pihak, diperlukan instrumen yang dapat memberikan kepastian hukum, dan itulah peran akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Salah satu sosok pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh negara untuk membuat suatu akta otentik adalah Notaris sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (untuk seterusnya disebut UUJN). Sebagai pejabat umum, seorang notaris harus bertindak profesional karena mewakili negara dalam menjalankan tugas dan fungsi sosialnya khususnya dalam rangka pembuatan akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna. Sempurna dalam hal ini karena jika diuji di muka persidangan sebagai alat bukti, akta otentik tidak membutuhkan lagi alat bukti penunjang lainnya untuk membuktikan jika akta otentik itu ialah benar, ini terjadi karena bahwa akta otentik memuat kebenaran-kebenaran fomal yang telah sejalan dengan yang dituangkan para pihak terhadap pejabat umum yang membuatnya. Adanya akta yang memuat kehendak pihak-pihak yang ada di dalamnya bertujuan menciptakan kejelasan dan kepastian hukum, sehingga akta mempunyai peran sentral sebagai alat pembuktian terkait segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak.

Berdasarkan paragraf di atas, dapat dikatakan bahwa notaris dengan segala kewenangannya mempunyai peran yang penting bagi masyarakat dan karenanya notaris dituntut untuk selalu menambah pengetahuan khususnya dalam bidang hukum perdata dan seyogyanya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya. Oleh karena itu, seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan perilakunya harus tunduk pada kode etik profesi. Hal ini dimaksudkan agar notaris sebisa mungkin untuk menghindari segala resiko pelanggaran perilaku dan pelaksanaan jabatan. Seringkali banyak notaris yang terjerat pelanggaran hukum atas laporan dari para penghadapnya sehingga mengakibatkan notaris yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya. Banyak kasus yang bahkan menjerat notaris hingga menerima sanksi pidana akibat melakukan pelanggaran hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan jabatannya. Pelanggaran hukum yang dilakukan oknum notaris tersebut menimbulkan akibat hukum yang berujung pada adanya gugatan baik melalui pengadilan negeri maupun pengadilan tata usaha negara, hingga pelaporan dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum.

Terkait hal tersebut, untuk menjamin perlindungan hukum bagi warga masyarakat khususnya para penghadap atau klien yang menggunakan jasa notaris serta guna menjaga harkat dan martabat profesi notaris sebagai suatu jabatan yang mulia (officium nobile) perlu dilakukan pengawasan terhadap profesi notaris. Sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) UUJN yang pada pokoknya menyatakan bahwa pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (untuk seterusnya disebut Menteri). Guna melaksanakan ketentuan tersebut, menteri membentuk suatu badan yang disebut Majelis Pengawas Notaris. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2020 (untuk seterusnya disebut Permenkumham 15/2020) disebutkan bahwa Majelis Pengawas Notaris berwenang untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris. Majelis Pengawas Notaris terdiri atas Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas Wilayah (MPW), dan Majelis Pengawas Pusat (MPP).

Secara normatif, Majelis Pengawas Notaris memiliki wewenang untuk mengadakan sidang atas laporan dari masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik atau Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut akan dikenai sanksi administratif, seperti peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Penyelenggaraan pemeriksaan dalam persidangan dan penjatuhan sanksi dilakukan oleh Majelis Pemeriksa yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris sesuai Pasal 1 angka 4 Permenkumham 15/2020. Ketentuan tersebut menimbulkan problematik di mana UUJN hanya memberikan wewenang kepada menteri dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris dalam rangka menyelenggarakan sidang terhadap notaris yang diduga melakukan pelanggaran UUJN dan/atau kode etik, akan tetapi pada pelaksanaannya wewenang tersebut dijalankan oleh Majelis Pemeriksa. Hal ini menandakan bahwa terjadi konflik norma antara norma yang ada pada UUJN dan Permenkumham 15/2020 berkaitan dengan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap notaris. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini adalah, pertama, apakah ketentuan Permenkumham 15/2020 bertentangan dengan UUJN dalam kaitannya dengan wewenang Majelis Pemeriksa dalam hal pemeriksaan dan penjatuhan sanksi notaris. Kedua, bagaimana prospek pengaturan kedepannya terkait wewenang penyelenggaraan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi notaris oleh Majelis Pemeriksa.

Penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa terdapat tumpang tindih kewenangan antara Majelis Pemeriksa dan Majelis Pengawas Notaris dalam hal penjatuhan sanksi bagi notaris dan karenanya Permenkumham 15/2020 dinyatakan bertentangan dengan UUJN. Terkait hal tersebut, orisinalitas atau kebaharuan dalam penelitian ini menemukan bahwa pada hakikatnya Majelis Pemeriksa merupakan bagian dari Majelis Pengawas. Majelis Pemeriksa dalam menjalankan tugasnya bertindak atas nama Majelis Pengawas Notaris. Terkait hal tersebut tanggung jawab dan tanggung gugat atas wewenang pemeriksaan dan penjatuhan sanksi notaris tetap berada pada Majelis Pengawas Notaris dan karenanya Permenkumhan 15/2020 tidak bertentangan dengan UUJN.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Tujuan penggunaan metode penelitian ini adalah untuk menemukan kesesuaian antara norma yang terdapat pada UUJN dan Permenkumham 15/2020 terkait wewenang badan atau lembaga dalam hal pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap notaris. Penelitian dengan metode ini dilakukan dengan cara meneliti terhadap sinkronisasi vertikal peraturan perundang-undangan diberlakukan saat ini. Guna mencapai tujuan penggunaan metode penelitian tersebut, maka diperlukan pendekatan yang berfungsi menentukan arah analisis terhadap isu hukum yang hendak dikaji. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu telaah terhadap seluruh aturan hukum yang telah ter-inventarisir yang berkaitan dengan majelis pemeriksa. Pendekatan lain yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan konsep (conceptual approach) yang dilakukan dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan pada paradigma para akademisi hukum atau pada doktri-doktrin hukum. Tujuan digunakannya pendekatan ini adalah untuk menemukan jawaban atas isu konflik norma dengan menggunakan konsep atau teori kewenangan hukum, asas-asas pemberlakuan hukum serta kepastian hukum.

Pembahasan

Disharmonisasi Norma Antara UUJN dan Permenkumham Terkait Majelis Pemeriksa Notaris

Proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap notaris yang diduga melanggar hukum (UUJN) atau perilaku (kode etik) bertujuan untuk menjaga ketertiban dan marwah profesi notaris yang mulia. Penanganan pelanggaran perilaku dan pelaksanaan jabatan notaris penting agar masyarakat tetap percaya pada jasa notaris, terutama dalam pembuatan akta untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut, negara sudah semestinya melalui organ-organ pemerintahannya menjalankan fungsi pemerintahannya dengan langkah preventif dan represif untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat terkait profesi jabatan notaris, sesuai dengan fungsi pelindungannya. Fungsi perlindungan berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (seterusnya disebut UUAP) diselenggarakan guna menjamin hak-hak dasar dan memberikan perlindungan kepada masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum. Pengawasan terhadap kinerja individu, baik sebagai pejabat umum, pejabat publik atau dalam hal keprofesian (notaris) harus dijalankan demi terlaksananya fungsi pelindungan tersebut.

Proses pengamatan terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan yang bertujuan menjamin semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya disebut pengawasan. Melalui pengawasan diharapkan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauh mana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Melihat pentingnya arti pengawasan tersebut, negara melalui instrumen hukumnya harus mengatur dengan tegas dan jelas terkait dasar pelaksanaan pengawasan. Maksudnya setiap organ pemerintahan yang menjalankan pengawasan tersebut harus berdasarkan sumber kewenangan yang sah. Secara umum, dalam doktrin hukum administrasi negara kewenangan dapat diperoleh dengan 3 (tiga) cara, yakni atribusi, delegasi, dan mandat.

Atribusi diartikan sebagai wewenang atau kekuasaan untuk bertindak bagi organ pemerintahan yang langsung berasal dari undang-undang sebagai legalitas formalnya. Secara normatif, atribusi diatur pada Pasal 1 angka 22 juncto pasal 12 ayat (1) UUAP menyebutkan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan yang diberikan kewenangan oleh konstitusi atau Undang-undang. Implikasi dari adanya wewenang secara atribusi yakni tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima atribusi selama tidak ada perubahan peraturan perundang-undangan. Sesuai Pasal 67 ayat (1) UUJN wewenang pengawasan terhadap profesi notaris secara atributif berada pada Menteri. Adapun yang dimaksud delegasi yaitu pelimpahan atau pengalihan wewenang oleh suatu badan administrasi kepada badan administrasi lain, untuk mengambil keputusan yang pelaksanaannya di bawah tanggung jawabnya sendiri (badan/pejabat penerima delegasi). Konsekuensi adanya pendelegasian wewenang tersebut adalah tanggung jawab dan tanggung gugat beralih pula kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima delegasi. Guna melaksanakan pengawasan tersebut, Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris sesuai Pasal 67 ayat (2) UUJN dan untuk menindaklanjuti hal tersebut maka pengaturan perihal struktur serta tata cara pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris diundangkanlah Permenkumham 15/2020. Atas dasar dengan hal tersebut, maka wewenang Majelis Pengawas Notaris diperoleh melalui pendelegasian dari Menteri.

Mandat merupakan cara perolehan kewenangan yang didapatkan melalui penugasan wewenang dari atasan pejabat kepada bawahannya. Konsekuensi dari perolehan wewenang melalui mandat tersebut bahwa pejabat yang memberi tugas atau mandat bertanggung jawab atas segala keputusan atau tindakan pejabat atau organ penerima mandat. Guna meluruskan pemahaman tersebut, maka sesuai penjelasan Pasal 14 ayat (4) UUAP menyatakan bahwa wewenang mandat dilaksanakan dengan menyebut atas nama (a.n), untuk beliau (u.b), melaksanakan mandat (m.m), dan melaksanakan tugas (m.t).

Pengawasan yang dilakukan Majelis Pengawas Notaris bersifat preventif dan kuratif sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 tahun 2021 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian, serta Anggaran Majelis Pengawas Notaris (seterusnya disebut Permenkumham 16/2021). Pengawasan yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah Notaris tidak melakukan pelanggaran perilaku dan pelaksanaan jabatan, sedangkan pengawasan yang bersifat kuratif dilakukan dengan tujuan untuk menindak notaris yang melakukan pelanggaran hukum atau pelanggaran etik. Adanya tindakan pengawasan terhadap notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris merupakan salah satu bentuk fungsi pemerintahan yakni perlindungan yang menjadi urusan pemerintahan. Pengawasan sebagai bentuk perlindungan yang dimiliki badan tata usaha negara hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan keteraturan dan menciptakan rasa aman bagi warga masyarakat. Oleh karena itu, Majelis Pengawas Notaris yang melaksanakan pengawasan terhadap notaris ditinjau dari segi fungsinya telah menjalankan fungsi pemerintahan dan karenanya cukup beralasan bahwa Majelis Pengawas Notaris dikualifikasikan sebagai badan tata usaha negara. Guna menjawab permasalahan terkait apakah terdapat pertentangan antara norma yang terkandung dalam UUJN dengan norma yang ada pada Permenkumham 15/2020 terkait kedudukan Majelis Pemeriksa, maka terlebih dahulu diuraikan hal-hal sebagai berikut:

Seperti yang diketahui, pengawasan terhadap notaris dilakukan melalui Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Menteri. Majelis Pengawas Notaris mendapatkan wewenang pengawasan atas notaris melalui delegasi dari Menteri. Akan tetapi, tata cara pemeriksaan terhadap notaris sebagai salah satu bentuk pengawasan yang bersifat kuratif dilakukan oleh Majelis Pemeriksa. Pengaturan perihal Majelis Pemeriksa terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 4 Permenkumham 15/2020 yang menyatakan bahwa Majelis Pemeriksa adalah tim pemeriksa yang memiliki wewenang melakukan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris. Pembentukan Majelis Pemeriksa dalam rangka penyelenggaraan sidang terhadap notaris yang dilaporkan masyarakat terkait dugaan pelanggaran UUJN dan/atau kode etik berbeda dengan pembentukan Majelis Pengawas Notaris oleh Menteri. Menteri mendapat kewenangan langsung dari UUJN (secara atributif) untuk membentuk Majelis Pengawas Notaris. Akan tetapi ketentuan UUJN tidak memberikan penjelasan terkait wewenang pembentukan Majelis Pemeriksa oleh Majelis Pengawas Notaris.

Berdasarkan paragraf di atas, terdapat kesan seolah-olah norma yang terkandung dalam Permenkumham 15/2020 memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Majelis Pengawas Notaris yang nyatanya hal tersebut tidak terdapat pada ketentuan UUJN sebagai dasar hukum pelaksanaan jabatan notaris yang secara hierarkis kedudukannya lebih tinggi dari Permenkumham 15/2020. Keadaan yang demikian sering terjadi dalam konteks pembentukan regulasi di Indonesia. Namun keadaan tersebut tidak dapat dijustifikasi atau diambil kesimpulan secara langsung bahwa Permenkumham 15/2020 bertentangan dengan UUJN. Pertentangan atau konflik norma yang demikian sering terjadi akibat pengaruh sistem pemerintahan suatu negara yang memiliki banyak organ untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, sehingga egosentiris yang bersifat sektoral antar otoritas pembentuk peraturan perundang-undangan acapkali terjadi. Hal tersebut berimplikasi pada semakin besarnya potensi disharmonisasi dan tumpang tindih antar regulasi yang telah dibentuk dan diundangkan.

Berkaitan dengan persoalan disharmonisasi norma tersebut, dalam pembentukan perundang-undangan harus bersandar pada asas-asas hukum. Salah satu asas hukum yang dimaksud berkaitan dengan peraturan perundang-undangan pada penelitian ini yaitu asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori. Makna yang terkandung pada prinsip atau asas ini yaitu keberlakuan norma yang kedudukannya lebih tinggi meniadakan keberlakuan norma yang derajatnya lebih rendah. Menanggapi hal tersebut, untuk menentukan hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (untuk seterusnya disebut UU 12/2011) yang menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan peraturan perundang-undangan dimulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap. MPR), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppuu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi (Perda Prov.), Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/kota).

Terkait demikian, dapat dipahami bahwa kedudukan UUJN yang merupakan kaidah atau norma tentang pelaksanaan jabatan notaris berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut menempati posisi ketiga setelah Tap. MPR, sedangkan ketentuan yang dibentuk oleh Menteri yang dalam hal ini Permenkumham 15/2020 yang substansinya khusus mengatur tata cara pemeriksaan notaris oleh Majelis Pengawas Notaris tidak termasuk dalam jenis dan hierarki tersebut. Akan tetapi, bukan berarti peraturan yang dibuat oleh Menteri (Permenkumham 15/2020) keberadaannya tidak diakui dan tidak memiliki daya kekuatan hukum. Peraturan yang dibuat oleh Menteri diatur pada Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 yang merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang tidak terdapat pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yang keberadaannya diakui serta mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pemberlakuan peraturan Menteri dilakukan dengan syarat diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Sesuai penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 bahwa Peraturan Menteri merupakan peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Selaras dengan hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 81 UUJN yang menyatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan tata kerja, serta tata cara pemeriksaan Majelis Pengawas diatur dengan Peraturan Menteri. Pembentukan peraturan Menteri harus didasarkan pada sumber kewenangan yang jelas. Dengan demikian dapat dipahami bahwa UUJN mendelegasikan Menteri untuk membentuk peraturan yang berkenaan dengan pemeriksaan notaris. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan UUJN secara hierarkis lebih tinggi dari kedudukan Permenkumham 15/2020 dan karenanya norma yang terkandung dalam Permenkumham 15/2020 tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang terdapat pada UUJN.

Selaras dengan hal tersebut di atas, norma yang terdapat pada UUJN hanya mengatur bahwa Menteri membentuk organ yang menyelenggarakan pengawasan terhadap notaris yaitu Majelis Pengawas Notaris. UUJN tidak memberikan ketentuan yang lebih lanjut terkait wewenang pembentukan oleh Majelis Pemeriksa. Terkait hal tersebut, pada penelitian ini tidak sependapat dengan hasil penelitian Eka Sulistya yang pada kesimpulannya menyatakan bahwa Permenkumham 15/2020 bertentangan dengan UUJN dan karenanya sulit diterapkan wewenang pemeriksaan dan penjatuhan sanksi bagi notaris oleh Majelis Pemeriksa. Ketentuan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi yang terdapat pada UUJN merupakan ketentuan yang mengatur secara umum, sedangkan teknis pelaksanaan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terdapat pada Permenkumham 15/2020.

Majelis Pemeriksa di setiap jenjangnya dibentuk oleh Ketua Majelis Pengawas Notaris Majelis sesuai jenjangnya pula. Sesuai ketentuan Pasal 23 ayat (1) Permenkumham 16/2021 juncto Pasal 4 ayat (1) Permenkumham 15/2020 yang menyatakan pada pokoknya bahwa dalam rangka melaksanakan tugasnya terkait pemeriksaan notaris Majelis Pengawas membentuk Majelis Pemeriksa. Lebih lanjut pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) Permenkumham 15/2020 disebutkan bahwa susunan Majelis Pemeriksa berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang anggota dengan komposisi yang terdiri dari unsur, pemerintah, notaris, dan akademisi. Kendati susunan atau komposisi Majelis Pemeriksa sama dengan susunan Majelis Pengawas Notaris akan tetapi Permenkumham 15/2020 tidak mengatur dengan jelas dan tegas apakah susunan Majelis Pemeriksa merupakan Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa struktur Majelis Pemeriksa diambil dari internal kepengurusan Majelis Pengawas Notaris sendiri atau pihak diluar Majelis Pengawas Notaris dengan unsur yang serupa. Guna menjawab persoalan tersebut ditemukan berita terkait pembacaan putusan penjatuhan sanksi notaris dari situs resmi kementerian hukum dan hak asasi manusia provinsi jawa tengah di mana penggalan berita tersebut menyatakan “Pembacaan putusan ini dilakukan oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, Nur Ichwan sebagai Ketua Majelis Pemeriksa yang merangkap sebagai Anggota MPWN (Majelis Pengawas Wilayah Notaris) Provinsi Jawa Tengah, Anggota MPWN Provinsi Jawa Tengah, Dr. Widhi Handokoelaku dan Dr. Siti Malikhatun Badriyah serta Sekretaris MPWN Provinsi Jawa Tengah sekaligus Kepala Bidang Pelayanan Hukum, Agustinus Yosi Setyawan, S.H., M.H.”…

Berdasarkan informasi ditas diperoleh keterangan bahwa pada praktiknya, Majelis Pemeriksa bukan merupakan organ yang berdiri sendiri (independen) layaknya Majelis Pengawas Notaris. Susunan Majelis Pemeriksa merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari Majelis Pengawas Notaris. Dengan demikian, penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat tumpang tindih kewenangan antara Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Pemeriksa sebagaimana penelitian terdahulu.

Dalam rangka menguatkan argumen diatas, dasar hukum yang dapat digunakan sebagai sumber pendukung terdapat dalam Pasal 14 Permenkumham 15/2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyelenggaraan atas pelaksanaan sidang pemeriksaan notaris menjadi tanggung jawab Ketua Majelis Pengawas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan hasil pemeriksaan notaris oleh Majelis Pemeriksa tetap menjadi tanggung jawab Majelis Pengawas Notaris. Sebagai contoh pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pemeriksa terkait hasil pemeriksaan dituangkan dalam putusan yang memuat pertimbangan-pertimbangan hukum.

Secara resmi, bentuk putusan hasil pemeriksaan notaris tersebut dapat ditemukan dalam lampiran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 61 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penjatuhan Sanksi Administratif Terhadap Notaris. Berdasarkan lampiran tersebut, dapat diketahui bahwa setiap keputusan yang dibuat oleh Majelis Pemeriksa ditetapkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis Pengawas Notaris. Kedudukan Majelis Pemeriksa hanya menjalankan tugas atas nama Ketua Majelis Pengawas dan karenanya tanggung jawab tetap berada di tangan Majelis Pengawas. Dengan demikian, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi tetap dapat dijalankan dan karenanya norma yang terkandung dalam Permenkumham 15/2020 terkait Majelis Pemeriksa tidak dapat dikatakan bertentangan dengan UUJN.

Prospek Pengaturan Majelis Pemeriksa Notaris

Berdasarkan hasil analisis pada subbab sebelumnya, dapat diketahui bahwa Majelis Pengawas Notaris memperoleh kewenangan pengawasan yang bersifat kuratif dalam bentuk pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap notaris melaui delegasi dari Menteri. Adapun terkait Majelis Pemeriksa merupakan tim pemeriksa yang susunannya berasal dari internal Majelis Pengawas Notaris itu sendiri. Majelis Pemeriksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya terkait pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada hakikatnya bertindak atas nama Majelis Pengawas Notaris. Hal ini dikarenakan pada akhirmya setiap tindakan atau keputusan yang dibuat Majelis Pemeriksa tetap menjadi tanggung jawab Majelis Pengawas Notaris. Tentu timbul kesan bahwa seolah-olah pembentukan Majelis Pemeriksa mengurangi efektifitas dan efisiensi pemeriksaan saja. Namun demikian, para pemangku kebijakan dalam merumuskan dan membentuk aturan hukum tentu berdasarkan pembahasan dan pertimbangan yang matang. Demi terwujudnya negara hukum yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban masyarakatnya, maka segala proses penegakan hukum harus tetap dijalankan. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran hukum, maka harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya tak terkecuali bagi notaris.

Terkait hal tersebut tentu terdapat pro atau kontra peihal urgensi pembentukan Majelis Pemeriksa. Habib Adjie menyatakan bahwa baiknya kewenangan pemeriksaan terhadap notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris saja karena adanya Majelis Pemeriksa hanya memperpanjang mata rantai pengawasan dan pemeriksaan. Seorang notaris yang dilaporkan oleh masyarakat terkait dugaan pelanggaran hukum dan kode etik harus diperiksa oleh Majelis Pemeriksa dalam prosesnya harus dilakukan secara adil, transparan dan tidak memihak. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin rasa aman bagi masyarakat dan karenanya kepercayaan kepada Majelis Pengawas Notaris sebagai organ pemerintahan dapat terus terjaga. Guna mewujudkan hal tersebut, pembentukan Majelis Pemeriksa tentu memiliki arti penting dalam rangka pemeriksaan notaris. Salah satu bentuk urgensi dari pembentukan Majelis Pemeriksa tersebut adalah demi menjamin ketidakberpihakan terhadap notaris yang tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Permenkumham 15/2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Majelis Pemeriksa dilarang memeriksa notaris yang masih mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat, dan garis lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris yang akan diperiksa.

Seorang notaris yang diperiksa tidak menutup kemungkinan untuk memiliki hubungan perkawinan atau hubungang kekeluargaan dengan Majelis Pemeriksa. Oleh karena itu pembentuk aturan merumuskan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Permenkumham 15/2020 yang bertujuan untuk mencegah keberpihakan sehingga mencederai hak-hak pihak yang melaporkan. Ketua Majelis Pengawas sebagai pemangku kebijakan harus cermat dalam membentuk Majelis Pemeriksa untuk mencegah terjadinya kerugian para pihak yang diperiksa. Berdasarkan hal tersebut, eksistesnsi Majelis Pemeriksa harus tetap diakui dan karenanya setiap keputusan yang dibuat memiliki kekuatan hukum mengikat.

Fenomena pembentukan tim khusus yang berkaitan dengan pemeriksaan notaris diluar ketentuan UUJN belakangan ini sering dijumpai. Salah satu tim khusus yang dimaksud adalah Tim Investigasi Permasalahan Notaris. Sama halnya dengan Majelis Pemeriksa, pembentukan Tim Investigasi ini menjadi isu tersendiri khususnya perihal tumpang tindih kewenangan dengan Majelis Pengawas Notaris. Tim khusus ini dibentuk berdsarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-03.UM.01.01 Tahun 2018 Tentang Tim Investigasi Penyelesaian Masalah Notaris. Kehadiran Tim Investigasi di tengah masyarakat untuk membantu proses penyelesaian laporan terhadap Notaris sebagai Terlapor dugaan pelanggaran UUJN. Terkait demikian pembentukan tim investigasi hanya dimaksudkan untuk membantu Majelis Pengawas Notaris dalam menjalankan kewenangannya. Sebagaimana diuraikan dalam tabel 1.

Majelis Pengawas Notaris Tim Investigasi
Susunan keanggotaan terdiri atas pemerintah, notaris, akademisi Hanya dari unsur pemerintah saja
Masa jabatan 3 (tiga) tahun Masa jabatan hanya 10 (sepuluh) bulan
Berkedudukan di daerah, wilayah dan provinsi Berkedudukan di wilayah dan pusat
Memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi Tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanki
Mayoritas kasus yang masuk diperiksa berasal dari laporan pengaduan masyarakat. Kasus yang ditangani tidak memerlukan laporan pengaduan
Table 1.Perbedaan Tim Investigasi dengan Majelis Pengawas Notaris

Berdasarkan tabel 1 perlu ditegaskan kembali mengenai kedudukan Majelis Pemeriksa guna mendukung argumentasi pada penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk menjawab persoalan yang ada. Salah satu persoalan yang mungkin menjadi kekhawatiran adalah terkait teknis pelaksaan pemeriksaan dan anggaran dana yang digunakan dalam proses pemeriksaan atau sebagai honorarium bagi Majelis Pemeriksa. Sekali lagi ditegaskan bahwa Menteri mendelegasikan kewenangannya dalam hal pengawasan atas notaris kepada Majelis Pengawas Notaris. Selanjutnya, dalam hal pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas Notaris membentuk Majelis Pemeriksa. Namun demikian, tidak semua jenjang Majelis Pengawas Notaris berwenang untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi terhadap notaris.

Terkait hal tersebut Permenkumham 15/2020 mengatur wewenang Majelis Pemeriksa pada masing-masing jenjangnya. Wewenang Majelis Pemeriksa Daerah sesuai Pasal 18 Permenkumham 15/2020 yaitu untuk melakukan pemeriksaan terhadap laporan pengaduan masyarakat, protokol notaris dan/atau fakta hukum terhadap dugaan pelanggaran hukum dan etik notaris. Terkait hal tersebut, dapat dipahami bahwa Majelis Pemeriksa di tingkat daerah tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi apapun terhadap notaris. Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang untuk memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan yang telah dilakukan di tingkat Majelis Pengawas Daerah sesuai Pasal 24 ayat (2) Permenkumham 15/2020. Lebih lanjut pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Permenkumham 15/2020 menerangkan bahwa Majelis Pemeriksa Wilayah dapat menjatuhkan putusan yang berisi sanksi baik peringatan lisan, peringatan tertulis, usulan pemberhentian semantara, usulan pemberhentian dengan hormat, atau usulan pemberhentian secara tidak hormat. Wewenang Majelis Pemeriksa Pusat sesuai Pasal 31 ayat (1) yaitu memeriksa dan memutus permohonan upaya banding administrasi terhadap keberatan atas putusan di tingkat Majelis Pengawas Wilayah, usulan penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah, atau fakta hukum terhadap pelanggaran UUJN dan kode etik. Hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Pusat dapat menguatkan, mengubah atau membatalkan putusan Majelis Pengawas Wilayah. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa hanya Majelis Pemeriksa pada jenjang MPW dan MPP saja yang berwenang menjatuhkan sanksi terhadap notaris.

Selanjutnya terkait penegasan perolehan wewenang Majelis Pemeriksa. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan larangan pemeriksaan terhadap notaris yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Majelis Pemeriksa sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1) Permenkumham 15/2020. Jika saja notaris yang diperiksa memiliki hubungan perkawinan atau hubungan sedarah, maka sesuai Pasal 5 ayat (2) Permenkumham 15/2020, maka Ketua Majelis Pengawas menunjuk penggantinya. Ketentuan tersebut juga memberikan keterangan bahwa hakikatnya Majelis Pemeriksa merupakan anggota Majelis Pengawas yang ditetapkan oleh Ketua Majelis Pengawas. Hal ini juga mendukung argumentasi pada penelitian ini bahwa wewenang Majelis Pemeriksa bersumber pada mandat dari Ketua Majelis Pengawas Notaris sebagai atasan pejabat. Wewenang mandat merupakan pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Perolehan mandat terjadi dalam hal penerima mandat ditugaskan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan di atasnya sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf a UUAP, terkait hal tersebut, maka Majelis Pemeriksa yang ditetapkan oleh Ketua Majelis Pengawas untuk melakukan tugas pemeriksaan dan penjatuhan sanksi merupakan pelimpahan wewenang secara mandat sesuai unsur pasal tersebut.

Problematik selanjutnya berkaitan dengan anggaran operasional pengawasan notaris. Anggaran pemeriksaan dan honorarium bagi Majelis Pengawas Notaris dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam pembinaan dan pengawasan notaris ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan Pasal 39 Permenkumham 16/2021. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa susunan anggota Majelis Pemeriksa sama persis dan ditetapkan dari internal keanggotaan Majelis Pengawas Notaris, maka tidak perlu ada kekhawatiran akan penggunaan anggaran yang berlipat ganda. Hal ini disebabkan oleh karena konsekuensi Majelis Pemeriksa sebagai bagian dari Majelis Pengawas Notaris. Selaras dengan paragraf di atas pada dasarnya penyelenggaraan sidang guna pemeriksaan dan penjatuhan sanki oleh Majelis Pemeriksa tetap berpedoman pada UUJN. Sejauh penelusuran peneliti, dalam Permenkumham 15/2020 tidak ditermukan tugas yang melampau kewenangan yang telah diatur pada UUJN. Guna memperjelas argumentasi tersebut, pada penelitian ini diuraikan pada tabel 2.

Majelis Pengawas Notaris Majelis Pemeriksa
Susunan keanggotaan terdiri atas pemerintah, notaris, akademisi Terdiri dari unsur yang sama, dan keanggotaannya berasal dari keanggotaan Majelis Pengawas Notaris dibantu dengan 1 (satu) orang sekretaris
Susunan keanggotaan terdiri dari 9 (sembilan) orang Terdiri dari 1 (satu) orang ketua, dan 2 (dua) orang anggota
Wewenang dijalankan dengan masa jabatan 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali wewenang berakhir setelah tugas pemeriksaan dan penjatuhan sanksi selesai
Berkedudukan di daerah, wilayah dan provinsi Tempat kedudukan sama sesuai jenjang Majelis Pengawas Notaris
Sumber kewenangan berasal dari pendelegasian dari Menteri Sumber kewenangan berasal dari Ketua Majelis Pengawas Notaris (mandat)
Diangkat dan ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri. Dibentuk berdasarkan penetapan Ketua Majelis Pengawas Notaris
Table 2.Hubungan antara Majelis Pemeriksa dan Majelis Pengawas

Berlkaitan dengan hal tersebut tentu tidak mudah untuk mengidentifikasi suatu organ yang tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan apakah dikatakan melanggar hukum atau tidak. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak kekurangan khususnya penjelasan dan penegasan terkait dasar kewenangan dan dasar pembentukan Majelis Pemeriksa. Hal ini diperlukan karena konsekuensi dari Majelis Pemeriksa yang merupakan bagian dari Majelis Pengawas Notaris sebagai badan tata usaha negara/pemerintahan. Segala tindakan atau keputusan yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintahan harus dapat dipertanggung jawabkan. Jika terdapat pihak yang merasa dirugikan atas adanya tindakan atau keputusan tersebut, maka pihak tersebut dapat menempuh upaya hukum di peradilan tata usaha negara.

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa pertama, norma yang terkandung Permenkumham 15/2020 berkenaan dengan Majelis Pemeriksa tidak bertentangan dengan UUJN sebagai aturan hukum yang secara hierarkis lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena Majelis Pemeriksa pada dasarnya bukan organ yang terpisah dari Majelis Pengawas Notaris. Susunan Majelis Pemeriksa merupakan orang-orang yang secara struktural menjadi anggota Majelis Pengawas. Kedua, prospek pengaturan tentang Majelis Pemeriksa kedepannya adalah dengan mempertegas dan memperjelas dasar kewenangan dan pembentukan Majelis Pemeriksa pada peraturan perundang-undangan yang terkait, khususnya pada Permenkumham 15/2020.

Meskipun tidak terjadi disharmonisasi regulasi, dalam rangka menghindari perbedaan tafsir terhadap ketentuan aquo, peneliti menyarankan agar dilakukan perubahan terhadap ketentuan Permenkumham 15/2020. Perubahan yang dimaksud adalah dengan menambah ketentuan perihal pembentukan Majelis Pemeriksa di setiap jenjangnya ditetapkan dengan keputusan Ketua Majelis Pengawas Notaris sesuai tingkatan jenjangnya. Selanjutnya harus ditegaskan bahwa susunan Majelis Pemeriksa merupakan anggota Majelis Pengawas Notaris yang ditunjuk langsung oleh Ketua Majelis Pengawas dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan notaris. Hal ini dilakukan untuk mempertegas dan memperjelas wewenang Majelis Pemeriksa diperoleh melalui mandat dan karenanya tanggung jawab tetap berada di tangan Majelis Pengawas Notaris.

References

  1. Adjie, Habib, Memahami: Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN), cetakan kesatu ed (Bandung: PT Refika Aditama, 2017).
  2. Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ketiga ed (Malang: Bayumedia, 2007).
  3. Munaf, Yusri, Hukum Administrasi Negara, cetakan pertama ed (Pekanbaru: Marpoyan Tujuh Publishing, 2015).
  4. Prajitno, AA Andi, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?, cetakan 2 ed (Malang: SELARAS, 2013).
  5. Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), cetakan ke-20 ed (Depok: Raja Grafindo Persada, 2021).
  6. Sulistya, Eka, Sanksi Pelanggaran Pelaksanaan Jabatan Notaris dan Perilaku Notaris Setelah Berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris. (Tesis, Universitas Islam Indonesia, 2021) [unpublished].
  7. Susanti, Dyah Ochtorina & A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), cetakan ketiga ed (Jakarta: Sinar Grafika, 2018).
  8. Budiono, Brenda, Winanto Wiryomartani & Widodo Suryandono, “TUGAS DAN Kewenangan Tim Investigasi Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Berkaitan Dengan Pembinaan Dan Pengawasan Notaris” (2019) 1:2 Indonesian Notary Universitas Indonesia.
  9. Gandara, Moh, “Kewenangan Atribusi, Delegasi dan Mandat” (2020) 2:3 Khazanah Hukum 92–99.
  10. Irfani, Nurfaqih, “Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum” (2020) 16:3 Komitas Yustisia.
  11. Langkay, Jefferson Gerald, Ronald J Mawuntu & Dani R Pinasang, “Kajian Hukum Pelampauan Batas Kewenangan Pejabat Administrasi Yang Bertentangan Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi PemerintahaN” (2023) 11:4 Lex Administratum.
  12. Pranoto, Pratisto Ilham & Gayatri Dyah Suprobowati, “Kedudukan Peraturan Menteri Dalam Sistem Perundang- Undangan Indonesia” (2022) 1:3 Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional.
  13. Selly, Shahananda, “Penegakan Peraturan Jabatan Dan Kode Etik Notaris Terhadap Notaris Yang Terlibat Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor 11/B/MPPN/III/2020)” (2021) 3:3 Indonesian Notary.
  14. Septianingsih, Komang Ayuk, I Nyoman Putu Budiartha & Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara Perdata” (2020) 2:3 AH 336–340.
  15. Setiadewi, Kadek & Dewa Gde Rudy, “Kewenangan dan Tanggung Jawab Tim Investigasi Dalam Pengawasan Dan Pembinaan Notaris” (2021) 6:03 AC 461.
  16. Susanto, Sri Nur Hari, “Metode Perolehan Dan Batas-Batas Wewenang Pemerintahan” (2020) 3:3 Administrative Law.
  17. Puspatika, Kartini, “Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi Jawa Tengah Gelar Pembacaan Putusan Perkara Notaris”, (2023), online: jateng.kemenkumham.go.id <https://jateng.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/artikel/8164-majelis-pemeriksa-wilayah-notaris-provinsi-jawa-tengah-gelar-pembacaan-putusan-perkara-notaris>.
  18. Saputra, Andi, “Terungkap Deretan Pelanggaran Notaris, Ada yang Sudah Mati Bisa Bikin Akta”, online: detiknews <https://news.detik.com/berita/d-6197267/terungkap-deretan-pelanggaran-notaris-ada-yang-sudah-mati-bisa-bikin-akta>.