Constitutional Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.788

The Need for National and State Ethics Laws in Indonesia


Perlunya Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Universitas Dr. Soetomo
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Dr. Soetomo
Indonesia

(*) Corresponding Author

National and State Ethics Constitutional Law Ethical Norms

Abstract

The study of constitutional law does not only study positive law, but also includes national and state ethics. Indonesia actually has TAP MPR No. 4 on the Ethics of National Life. Although in its application the ethics of nation and state are still not effective in practice in society. This study aims to examine TAP MPR No. VI concerning the Ethics of National Life and its implementation in various aspects and future arrangements. This research is a normative legal research. Legal materials in this study include primary, secondary, and non-legal materials. The approach in this study uses a conceptual approach and a statutory approach. The results of the study confirmed that the implications of TAP MPR No. VI concerning the Ethics of National Life in constitutional law in Indonesia actually requires special arrangements in the Act so that it becomes the Law on the Ethics of National and State Life. The future implementation and regulation of the TAP MPR on National and State Ethics in Indonesian constitutional law can be carried out by establishing a Law on National and State Ethics which contains basic principles and is instrumentally and specifically determined by each agency, profession or group in society, combining the socialization of the four pillars of the MPR with the socialization of awareness of national and state ethics, and making awareness of national and state ethics as part of the national education system.

Pendahuluan

Hukum tata negara sejatinya memiliki ruang kajian yang luas dan tidak hanya berkaitan dengan hukum tata negara positif.[1] Dalam perkembangan modern, hukum tata negara tidak hanya berkaitan dengan aturan positif ketatanegaraan yang lazim disebut sebagai konstitusi. Hukum tata negara dalam perkembangannya menghendaki pengkajian yang luas, salah satunya adalah pembahasan mengenai etika, khususnya etika bernegara dan berbangsa.[2] Etika secara umum memang memiliki perbedaan dengan hukum. Akan tetapi, di era postmodern serta adanya fenomena realitas hukum yang kian berkembang beberapa aspek non-hukum juga turut berpengaruh terhadap realitas hukum.[3]

Hal ini dapat dilihat misalnya dengan berkembangnya pola norma etika yang kian berkembang layaknya norma hukum.[4] Di Indonesia misalnya, norma etika terejawentah dalam praktik misalnya di lembaga Dewan Kehormatan Pennyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) yang mulai mempraktikkan peradilan etik.[5] Lebih lanjut, di beberapa lembaga negara juga mulai ada praktik penegakan kode etik seperti adanya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di DPR dan berbagai lembaga lainnya. Berdasarkan beberapa praktik tersebut maka orientasi ke depan mengenai hukum tata negara harus bersifat lebih komprehensif yang tidak hanya sekadar pengkajian mengenai hukum tata negara positif termasuk juga etika bernegara. Dalam istilah lain dinyatakan bahwa konstitusi tidak hanya menjadi hukum tertinggi, tetapi menjadi norma tertinggi yang dalam norma itu terdapat norma hukum dan norma etika sekaligus.[6]

Perkembangan gagasan hukum tata negara modern yang menempatkan pentingnya etika ini lah yang harus menjadi orientasi hukum tata negara ke depan. Dalam hal ini, Indonesia sejatinya telah memiliki Ketetapan MPR No. VI/MPR tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa (TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa). Meski begitu, pasca reformasi kedudukan TAP MPR yang dirasa kurang relevan juga sejatinya turut berpengaruh pada esensi TAP MPR tersebut.[7] Penelitian ini berupaya mengkaji TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa serta implementasinya dalam berbagai aspek dan pengaturan ke depannya. Penelitian mengenai etika berbangsa di Indonnesia pernah dilakukan oleh Deddy Yusuf Yudhyarta (2020) tentang Pemberdayaan Etika Pancasila dalam Konteks Kehidupan Kampus yang berfokus bagaimana penerapan etika kebangsaan di lingkup perguruan tinggi.[8] Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Fannia Sulistiani Putri dan Dinie Anggtaeni Dewi (2021) tentang Implementasi Pancasila sebagai Sistem Etika yang membahas mengenai uapay mengintegrasikan Pancasila sebagai sistem etika kebangsaan.[9] Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Nurassyifa Qurotul Aini dan Dinie Anggraeni Dewi (2022) tentang Sistem Etika Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang membahas mengenai pembentukan sistem etika melalui penggalian atas nilai-nilai Pancasila.[10]

Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, kajian khusus mengenai TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa sejatinya masih belum banyak dan pada aspek hukum masih belum banyak dilakukan hal ini sebagaimana penelitian terdahulu tersebut. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini bertujuan menjawab dua rumusan masalah, yaitu (i) Bagaimana implikasi TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa dalam hukum tata negara di Indonesia? Dan (ii) Bagaimana implementasi dan pengaturan ke depan Tap MPR Etika Berbangsa dan Bernegara dalam hukum tata negara Indonesia?.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang mengkaji produk hukum berupa TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa.[11] Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UUD NRI 1945, TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Perubahan Pertama P3) dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Perubahan Keduan UU P3). Bahan hukum sekunder meliputi: kajian dan penelitian mengenai etika berbangsa serta kajian yuridis mengenai kedudukan hukum TAP MPR. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep dan pendekatan perundang-undangan.

Hasil dan Pembahasan

Implikasi TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara : Apa dan Bagaimana?

Etika sejatinya merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Etika menuntun manusia pada arah dan orientasi yang baik sehingga etika menempati dimensi pada standar kepantasan.[12] Suatu sikap atau tindakan dikatakan pantas atau tidak sejatinya merupakan ranah etika.[13] Dimensi pantas dalam etika ini jika tidak dipenuhi akan menimbulkan adanya penurunan martabat terhadap orang atau pihak yang tidak melaksanakan etika.[14] Hal ini sejatinya menegaskan bahwa etika merupakan kepantasan yang apabila tidak dipenuhi maka akan menimbulkan penurunan atau dekadensi martabat dari orang atau pihak tertentu.Martabat sejatinya menjadi penekanan khusus dalam memahami etika.[15] Hal ini karena etika bertujuan untuk mencapai martabat dan kemulian seseorang atau pihak-pihak tertentu. Dalam konteks ini, etika berorientasi pada dignity yang mana dignity merupakan hal yang hanya dimiliki oleh manusia sebagai makhluk berakal dan bermartabat.[16]

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, sejatinya terdapat dua kesalahan utama dalam memahami etika. Kesalahan pertama yaitu menganggap etika yang orientasinya berupa kepantasan untuk menjaga martabat justru direduksi menjadi sekadar kesantunan masyarakat yang parameternya adalah kebiasaan umum masyarakat.[17] Etika tentu berbeda dengan kesantunan sosial. Jika etika menekankan pada upaya penjagaan martabat, kesantunan sosial berorientasi pada peneguhan kelaziman tertentu supaya seseorang dianggap bagian dari suatu kelompok masyarakat.[18] Kesalahan kedua dalam memahami etika adalah terkadang menyamakan etika dengan hukum. Hal ini khususnya karena adanya era modernisasi hukum yang menimbulkan adanya era modernisasi norma.[19] Modernisasi norma juga terjadi pada etika, khususnya pada norma etika yang menempatkan norma etika harus diwujudkan dalam bentuk tertulis yang memiliki aparatur tertentu.

Norma etika dalam bentuk tertulis ini lah yang kemudian lazim disebut sebagai kode etik.[20] Aspek tertulis dalam norma etika tersebut sejatinya membuat etika khususnya norma etika menjadi mirip seperti norma hukum yang karena pengaruh pandangan positivisme hukum membuat hukum harus diwujudkan dalam bentuk hukum tertulis.[21] Meski secara umum antara norma etika dan norma hukum memiliki beberapa karakter yang sama, termasuk penuangannya dalam bentuk tertulis, namun pada hakikatnya etika dan hukum merupakan dua hal yang berbeda. Etika sejatinya bersumber pada internal pribadi atau suatu institusi tertentu. Hal ini berarti penegakan terhadap norma etika juga bersifat internal.[22] Hal ini karena orientasi etika adalah untuk menjaga martabat. Hukum tentu memiliki perbedaan dengan etika salah satunya adalah bahwa hukum menupakan norma yang berasal dari eksternal dan ditegakkan secara eksternal melalui aparatur hukum yang dibentuk oleh negara.[23]

Karakter utama dari hukum adalah upayanya untuk menjaga hak.[24] Dalam konteks ini, hukum hadir untuk memualiakan hak sekaligus menjaga supaya hak dapat dilaksanakan selaras dengan kewajiban yang dilakukan.[25] Meski memiliki perbedaan, namun hukum dan etika tentu memiliki tujuan yang sama dalam upayanya untuk membangun peradaban bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik negara Indonesia yang memiliki nilai dan jiwa ketimuran yang seyogyanya menuntut untuk diberlakukan juga norma etika selain juga pemberlakuan norma hukum. Hukum dan etika dapat diibaratkan dua saudara kembar yang saling menopang keberlangsungan suatu negara. Kecacatan salah satunya berdampak pada upaya penegakan salah satu norma lainnya. Hal ini lah sebagaimana yang terjadi di Indonesia bahwa ketika praktik penegakan hukum semakin masif dan komprehensif tapi di sisi lain kesadaran etika tidak dihidupkan maka sama berupaya “membuat kapal besar dan mewah untuk berlayar di padang posir”.

Tentunya, hal ini merupakan suatu yang tidak optimal untuk dilaksanakan. Di Indonesia sendiri, kesadaran mengenai etika berbangsa sejatinya telah memiliki jaminan produk hukum berupa TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang secara umum berisi tentang arah dan panduan moral bagaimana kesadaran etika kebangsaan dijalankan di berbagai lini kehidupan. TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang dibentuk tahun 2001 sejatinya merupakan manifestasi dari nilai reformasi. Reformasi sejatinya merupakan tonggak penting dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia karena fenomena reformasi berupaya menghadirkan negara hukum yang substantif.[26] Reformasi sejatinya dicita-citakan supaya Indonesia tidak hanya menjadi negara yang berorientasi pada rule of law (melaksanakan dan menegakkan hukum) tetapi seklaigus menjadi negara yang berorientasi pada rule of just law yang tidak hanya sekadar melaksanakan dan menjalankan hukum, tetapi menciptakan sekaligus menegakkan hukum yang adil serta menjamin dimensi keadilan substantif di masyarakat.[27]

Dalam konteks ini lah, maka sejatinya upaya untuk menampilkan etika berbangsa dan bernegara sebagai pelengkap negara hukum seyogyanya harus dilakukan. Meski telah memiliki dasar hukum berupa TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa, namun sejatinya terdapat beberapa kelemahan TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan dianggap belum efektif dalam upayanya untuk menumbuhkembangkan kesadaran etika. Kelemahan tersebut meliputi: pertama, TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa dalam kenyataannya di masyarakat hanya dianggap sebagai lip service of law atau hanya sebagai produk hukum yang hanya secara formal menunjukkan komitmen akan pentingnya esensi etika berbangsa, tetapi dalam praktiknya TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa belum terejawentah dalam berbagai kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang mendukung terlaksananya substansi TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa hanya berkarakter semantik, yaitu berupa “simbol” komitmen negara terhadap pentingnya etika kebangsaan sedangkan dalam praktiknya seringkali diabaikan.[28]

Kedua, bentuk produk hukum TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang berupa TAP MPR (Ketetapan MPR) juga menimbulkan problematika tersendiri dari aspek hukum. Sejak diundangkannya UU P3 sebagai pemandu pokok pembentukan peraturan perundang-undangan sejatinya kedudukan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia menemui dinamika dan problematika tersendiri. Pasal 7 ayat (1) UU P3 sejatinya mendudukkan TAP MPR sebagai salah satu bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945. Penempatan TAP MPR di bawah UUD NRI 1945 juga menimbulkan beberapa problematika diantaranya karena di bawah UUD NRI 1945 maka TAP MPR sejatinya berada di atas Undang-Undang, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mekanisme pengujian jika terdapat Undang-Undang yang bertentangan dengan TAP MPR. Hal ini karena kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu MA dan MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang yang bertentangan dengan TAP MPR. Selain itu, yang menjadi pertanyaan juga adalah bagaimana jika terdapat TAP MPR yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Lembaga manakah yang berwenang mengujinya.

Hal ini karena MK secara expressive verbis hanya memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945.[29] Secara teleologis, dapat dilihat bahwa upaya penempatan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan khususnya dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 sejatinya bersifat temporal.[30] Sifat dan karakter temporal ini sejatinya menegaskan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU P3 yang memfasilitasi TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah untuk memfasilitasi beberapa TAP MPR yang masih berlaku dan seyogyanya memerlukan pengaturan tersendiri dalam bentuk produk hukum lainnya, khususnya Undang-Undang. Salah satu TAP MPR yang dianggap masih berlaku dan perlu difasilitasi oleh Pasal 7 ayat (1) UU P3 adalah TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Hal ini sejatinya menegaskan bahwa jika penempatan TAP MPR dalam dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 sejatinya bersifat temporal dan hanya untuk memfasilitasi sementara TAP MPR yang masih berlaku sebelum dibentuk produk hukum yang dapat mengakomodasi adanya TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dengan demikian, kedudukan hukum TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa dalam hierarki peraturan perundang-undangan dapat dikatakan tidak memiliki kedudukan yang kuat karena tujuan dari Pasal 7 ayat (1) UU P3 sejatinya bersifat temporal dan hanya untuk memfasilitasi sementara TAP MPR yang masih berlaku sebelum dibentuk produk hukum yang dapat mengakomodasi adanya TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Ketiga, tidak kuatnya kedudukan TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia membuat TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa layaknya hukum yang sedang tertidur (sleeping law).[31] Hukum yang tertidur sejatinya merupakan istilah “sarkasme” terhadap hukum yang hanya menjadi “macan kertas”. Dalam konteks ini, aturan hukum itu hanya baik dalam teks namun belum terejawentah dalam konteks kehidupan kemasyarakatan. Mengenai TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sejatinya seperti produk hukum yang “tertidur” karena selain berbentuk TAP MPR yang seyogyanya harus diakomodasi oleh Undang-Undang, TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa juga jarang dijadikan rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya dalam konsideran mengingat. Hal ini karena kedudukan dari TAP MPR yang berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU P3 lebih bersifat temporal dan bukan bersifat esensial.

Berdasarkan uraian di atas, implikasi TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa dalam hukum tata negara di Indonesia sejatinya memerlukan pengaturan khusus dalam Undang-Undang sehingga menjadi Undang-Undang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Dalam konteks ini, penuangan substansi etika kebangsaan dalam Undang-Undang bukan berarti menuangkan norma etika dalam bentuk norma hukum. Penuangan substansi etika kebangsaan dalam TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang diakomodasi dalam Undang-Undang bersifat fasilitatif dan regulatif. Hal ini berarti Undang-Undang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang ke depan hendak dibentuk adalah upaya mempertegas eksisnya nilai etika berbangsa dan bernegara sekaligus upaya menjaga keberlangsungan norma etika yang wajib diterapkan dalam berbagai institusi maupun dalam praktik kehidupan masyarakat.

Ius Constituendum TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara : Konsep dan Praktik

Black’s Law Dictionary mendefinisikan bahwa etika merupakan, “…the foremost concepts and principles of proper human conduct..”.[32] Dalam konteks ini, etika menunjukkan bagaimana seyogyanya orang berperilaku berdasarkan kapasitasnya. Hal ini lah yang seyogyanya menegaskan bahwa etika berkaitan dengan upaya menjaga martabat dan profesionalitas perilaku seseorang berdasarkan kapasitasnya.[33] Meski Indonesia sudah memiliki TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebagai pedoman penyelenggaraan etika berbangsa dan bernegara, namun hal itu belum cukup untuk membudayakan pemahaman etika di masyarakat. Pada perkembangan hukum tata negara yang kian masif, sinergi antara hukum dan etika perlu untuk dipertegas dan diorientasikan melalui berbagai hukum dan kebijakan di masyarakat.[34]

Menurut hemat penulis, pentingnya sinergi antara hukum dan etika diperlukan di Indonesia khususnya menyangkut adanya krisis moral dan kepercayaan publik terhadap para pemimpin dan aparatur sipil negara.[35] Dimensi keteladanan yang kian terkisis terbukti dengan fenomena gaya hidup pejabat yang glamor dan tidak mencerminkan esensi sebagai pelayan masyarakat. Lebih lanjut, beberapa pejabat bahkan secara lantang menyatakan bahwa, “Jika saya melanggar hukum. Coba penjarakan saya”. Pemahaman terhadap realitas tersebut sejatinya meneguhkan bahwa suatu pelanggaran atau tindakan tercela pejabat publik hanya dianggap tercela apabila terbukti secara dan meyakinkan melakukan pelanggaran hukum. Padahal, fungsi dan ranah antara hukum dan etika sejatinya berbeda. Soal sikap tercela atau tidak tercela sejatinya merupakan ranah etika karena perilaku tercela sejatinya merupakan pelanggaran kepantasan yang bersifat mereduksi martabat pribadi.[36] Hal ini tentu tidak relevan mengaitkan antara perilaku tercela dengan pelanggaran hukum.

Upaya untuk memperteguh norma etika sejatinya dapat dikatakan sudah ada di beberapa profesi maupun institusi. Hal ini dapat dicontohkan dengan adanya divisi penegakan kode etik dalam berbagai institusi. Selain itu, di berbagai profesi juga terdapat kode etik profesi tertentu yang orientasinya untuk menjaga martabat dari suatu profesi tertentu.[37] Hadirnya kode etik beserta instrumen penegakannya dalam profesi tertentu sejatinya merupakan salah satu upaya untuk menegakkan kode etik. Meski begitu, pemahaman mengenai kesadaran etik sejatinya masih parsial di Indonesia.[38] Hal ini menurut hemat penulis disebabkan oleh tiga aspek, yaitu: pertama, penegakan kode etik oleh institusi maupun profesi tertentu lebih bersifat sporadis dan terkesan tidak terkoordinir. Hal ini dikarenakan masing-masing profesi maupun institusi memandang paling memahami kode etik profesi maupun institusi masing-masing. Padahal, dalam pembudayaan kesadaran etika berbangsa dan bernegara, sejatinya peran negara juga penting khususnya ketika negara melalui berbagai institusi melakukan sosialisasi empat pilar MPR, juga seyogyanya melakukan sosialisasi sekaligus keteladanan mengenai etika Pancasila. Koordinasi dan pembinaan yang belum komprehensif dari negara ini lah yang membuat penyadaran etika berbangsa dan bernegara seakan “jalan di tempat”.

Kedua, dalam ranah pembentukan peraturan perundang-undangan, TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa belum dijadikan rujukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, padahal seyogyanya terdapat beberapa Undang-Undang yang seyogyanya merujuk pada TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Beberapa Undang-Undang tersebut seperti Undang-Undang Pendidikan, Undang-Undang ASN, serta Undang-Undang yang berkaitan dengan profesi atau pun aparatur negara. Akan tetapi, pada faktanya TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa juga belum dijadikan rujukan oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan belum dijadikannya TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebagai rujukan oleh berbagai peraturan perundang-undangan, maka substansi dan spirit TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa belum terejawentah dalam berbagai peraturan perundang-undangan apalagi dalam praktiknya. Tidak dijadikannya TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebagai rujukan oleh berbagai peraturan perundang-undangan dapat dipahami karena kedudukan TAP MPR yang masih sumir dalam UU P3. Untuk itu, ke depan perlu adanya Undang-Undang yang mengakomodasi susbtansi dari TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa sehingga dapat dibentuk menjadi Undang-Undang.

Ketiga, minimnya konten maupun keteladanan yang orientasinya menekankan penyadaran mengenai etika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek dalam lingkup kehidupan di masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena etika masih dianggap sebagai syarat formal suatu institusi dan belum menjadi menjadi budaya secara umum. Terlebih lagi, sanksi norma etika yang dianggap lebih lembut (soft) yang lebih bersifat teguran maupun pemecatan dianggap sebagai sanksi yang kurang bertaji jika dibandingkan dengan sanksi hukum yang terkenal tegas dank eras (lex dura sed tamen scripta).[39] Meski begitu, membandingkan sanksi norma etika dan sanksi norma hukum tanpa pemahaman substantif sejatinya tidak tepat. Hal ini dikarenakan sanksi norma hukum dapat ditegakkan secara eksternal oleh aparat penegak hukum.[40] Lebih lanjut, sanksi norma hukum bahkan dapat mengurangi eksistensi hak asasi manusia yang melekat pada pribadi. Sedangkan sanksi etika tidak bersifat mengurangi hak asasi pribadi, tetapi memulihkan martabat akibat adanya perbuatan yang tidak pantas dilakukan sesuai kapasitasnya.[41] Berdasarkan ketiga permasalahan terkait penyadaran etika berbangsa dan bernegara tersebut, maka perlu dibentuk upaya hukum maupun berbagai kebijakan yang mampu meningkatkan kesadaran etika berbangsa dan bernegara di masyarakat.

Implementasi TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa penting untuk dilaksanakan dan dibudayakan di masyarakat khususnya dengan mengedepankan beberapa upaya, diantaranya: pertama, membentuk Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara sebagai upaya mengakomodasi TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara menjadi salah satu hal yang urgen dilakukan sebagai upaya untuk mempertegas adanya dasar hukum dalam upaya penyadaran etika berbangsa dan bernegara. Meski begitu, Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara yang hendak dicanangkan diorientasikan supaya berisi prinsip-prinsip pokok dan secara instrumental maupun spesifik ditentukan oleh masing-masing instansi, profesi, maupun kelompok di masyarakat. Hal ini supaya hadirnya Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara tidak menjadi upaya untuk “menormakan norma etika ke dalam norma hukum”. Hal ini harus dipahami bahwa karakter norma hukum dan norma etika adalah berbeda dan oleh karena itu norma etika harus diberikan ruang untuk menegakkan normanya secara independen. Oleh karena itu, diharapkan selain perlunya membentuk Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara, perlu juga mempertegas pembentukan Undang-Undang tersebut sebagai upaya memfasilitasi norma etika dan bukan sebagai upaya untuk membatasi norma etika menjadi norma hukum. Kedua, sosialisasi dan keteladanan mengenai kesadaran etika berbangsa dan bernegara menjadi penting supaya etika berbangsa dan bernegara dapat dipahami serta menjadi bagian dari pedoman berperilaku di masyarakat. Sosialisasi dan keteladanan mengenai kesadaran etika berbangsa dan bernegara dapat dimasukkan sebagai bagian dari sosialisasi empat pilar MPR maupun sosialisasi lainnya yang tentunya berbasis keteladanan. Hal ini tentunya bukan sosialisasi yang sifatnya instrumentalistik dan top-down yang terkesan kaku dan penuh paksaan.

Ketiga, pembudayaan kesadaran etika berbangsa dan bernegara harusnya menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan menempatkan pembudayaan kesadaran etika berbangsa dan bernegara sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional tentu orientasi dan upaya membangun pendidikan di Indonesia tidak hanya sekadar membentuk intellectual aspect tetapi termasuk pula membentuk dimensi morality aspect dan religious aspect yang salah satunya melalui pembudayaan kesadaran etika berbangsa dan bernegara.[42] Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi dan pengaturan ke depan TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara dalam hukum tata negara Indonesia dapat dilakukan dengan membentuk Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara yang berisi prinsip-prinsip pokok dan secara instrumental maupun spesifik ditentukan oleh masing-masing instansi, profesi, maupun kelompok di masyarakat serta tidak terkesan “menormakan norma etika ke dalam norma hukum”. Selanjutnya, implementasi TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara juga dapat dilakukan dengan menggabungkan sosialisasi empat pilar MPR dengan sosialisasi penyadaran etika berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, implementasi TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara juga dapat dilakukan dengan menjadikan penyadaran etika berbangsa dan bernegara sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

Simpulan

Implikasi TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa dalam hukum tata negara di Indonesia sejatinya memerlukan pengaturan khusus dalam Undang-Undang sehingga menjadi Undang-Undang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Dalam konteks ini, penuangan substansi etika kebangsaan dalam Undang-Undang bukan berarti menuangkan norma etika dalam bentuk norma hukum. Penuangan substansi etika kebangsaan dalam TAP MPR No. VI tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang diakomodasi dalam Undang-Undang bersifat fasilitatif dan regulatif. Hal ini berarti Undang-Undang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang ke depan hendak dibentuk adalah upaya mempertegas eksisnya nilai etika berbangsa dan bernegara sekaligus upaya menjaga keberlangsungan norma etika yang wajib diterapkan dalam berbagai institusi maupun dalam praktik kehidupan masyarakat.

Implementasi dan pengaturan ke depan TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara dalam hukum tata negara Indonesia dapat dilakukan dengan membentuk Undang-Undang Etika Berbangsa dan Bernegara yang berisi prinsip-prinsip pokok dan secara instrumental maupun spesifik ditentukan oleh masing-masing instansi, profesi, maupun kelompok di masyarakat serta tidak terkesan “menormakan norma etika ke dalam norma hukum”. Selanjutnya, implementasi TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara juga dapat dilakukan dengan menggabungkan sosialisasi empat pilar MPR dengan sosialisasi penyadaran etika berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, implementasi TAP MPR Etika Berbangsa dan Bernegara juga dapat dilakukan dengan menjadikan penyadaran etika berbangsa dan bernegara sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

References

  1. R. Gupta, “The case for tax in democracies,” Aust. Tax Forum, vol. 35, no. August 2019, pp. 1–30, 2020.
  2. M. Crouch, “The challenges for court reform after authoritarian rule: The role of specialized courts in indonesia,” Const. Rev., vol. 7, no. 1, pp. 1–25, 2021, doi: 10.31078/consrev711.
  3. C. R. Burset, “Why didn’t the common law follow the flag?.,” Va. Law Rev., vol. 105, no. 3, pp. 2305–2341, 2019.
  4. H. Salwén, “Research Ethical Norms, Guidance and the Internet,” Sci. Eng. Ethics, vol. 27, no. 67, p. 68, 2021.
  5. M. Nurdin, “Eksistensi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp) Dalam Penegakan Etika Penyelenggara Pemilu,” Veritas, vol. 5, no. 2, p. 3, 2019.
  6. J. Asshidiqie, Perkembangan Baru Tentang Konstitusi dan Konstitusionalisme dalam Teori dan Praktik, 1st ed. Yogyakarta: Genta Publishing, 2018.
  7. M. Al Arif, “Mengkaji Konstruksi Politik Hukum Pengaturan Otonomi Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,” Arena Hukum, vol. 11, no. 1. pp. 119–138, 2018, doi: 10.21776/ub.arenahukum.2018.01001.7.
  8. D. Y. Yudhyarta, “Pemberdayaan Etika Pancasila dalam Konteks Kehidupan Kampus,” Al Liqo, vol. 5, no. 1, p. 45, 2020.
  9. D. A. D. Fannia Sulistiani Putri, “Implementasi Pancasila sebagai Sistem Etika,” EduPsyCouns J. Educ. Psychol. Couns., vol. 3, no. 1, p. 178, 2021.
  10. D. A. D. Nurassyifa Qurotul Aini, “Sistem Etika Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” J. Pendidik. Tambusai, vol. 6, no. 2, p. 11121, 2022.
  11. Irwansyah, Penelitian Hukum: Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel, 3rd ed. Yogyakarta: Mira Buana Media, 2020.
  12. A. Aryati, “Memahami Manusia Melalui Dimensi Filsafat (Upaya Memahami Eksistensi Manusia),” EL-AFKAR J. Pemikir. Keislam. dan Tafsir Hadis, vol. 7, no. 2, p. 79, 2018, doi: 10.29300/jpkth.v7i2.1602.
  13. C. Horn, “Aristotle on the Legal and Moral Aspects of Law,” in Ethics in Ancient Greek Literature, De Gruyter, 2020, pp. 81–100.
  14. F. P. Disantara, “Perspektif Keadilan Bermartabat dalam Paradoks Etika dan Hukum,” J. LITIGASI, vol. 22, no. 2, pp. 205–229, 2021.
  15. T. Prasetyo, M. Muhammad, and I. Budhiati, Filsafat Pemilu Berbasis Teori Keadilan Bermartabat. Yogyakarta: Penerbit K-Media, 2021.
  16. M. Vatter, “Dignity and the Foundation of Human Rights: Toward an Averroist Genealogy,” Polit. Relig., vol. 13, no. 2, pp. 304–332, 2020, doi: 10.1017/S1755048319000336.
  17. B. Deffains and C. Fluet, “Social Norms and Legal Design,” J. Law, Econ. Organ., vol. 36, no. 1, pp. 139–169, Aug. 2019, doi: 10.1093/jleo/ewz016.
  18. F. Casoria, F. Galeotti, and M. C. Villeval, “Perceived social norm and behavior quickly adjusted to legal changes during the COVID-19 pandemic,” J. Econ. Behav. Organ., vol. 190, pp. 54–65, Oct. 2021, doi: 10.1016/j.jebo.2021.07.030.
  19. D. E. Prasetio, F. P. Disantara, N. H. Azzahra, and D. Perwitasari, “The Legal Pluralism Strategy of Sendi Traditional Court in the Era of Modernization Law,” Rechtsidee, vol. 8, pp. 1–14, Mar. 2021, doi: 10.21070/jihr.2021.8.702.
  20. N. A. Sinaga, “Kode Etik Sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum Yang Baik,” Ilm. Huk. Durgantara, vol. 10, no. 2, p. 3, 2020.
  21. K. E. Himma and B. Bix, Law and Morality. Routledge, 2017.
  22. J. Asshidiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, 1st ed. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
  23. G. Duke, “Law’s Normative Point,” Law Philos., vol. 38, no. 1, pp. 1–27, Feb. 2019, doi: 10.1007/s10982-018-9334-8.
  24. E. Alistar (Hîrlav), “The Relation Between Law and Morality,” in Research Association For Interdisciplinary Studies, 2019, no. 3, pp. 2–4, doi: 10.2139/ssrn.3388103.
  25. M. Iovan, “Analysis of the Connections Between Law and Morals, Between Customs and Contemporaneity,” J. Legal Stud., vol. 25, no. 39, pp. 57–68, Jun. 2020, doi: 10.2478/jles-2020-0004.
  26. N. Ata, “Praktik Ijon Politik Pada Kasus Korupsi Kepala Daerah; Studi Kasus Korupsi Dana Alokasi Khusus (Dak) Pendidikan,” J. Gov. Innov., vol. 4, no. 1, pp. 65–83, 2022, doi: 10.36636/jogiv.v4i1.1187.
  27. S. Roy, “Theory of Social Proof and Legal Compliance: A Socio-Cognitive Explanation for Regulatory (Non) Compliance,” Ger. Law J., vol. 22, no. 2, pp. 238–255, Mar. 2021, doi: 10.1017/glj.2021.5.
  28. D. E. Prasetio, “Menelisik Perjuangan Artidjo Alkostar: dari Paradigma Hukum Profetik Hingga Penegakan Hukum Korupsi Politik.” syakal.iainkediri.ac.id, Kediri, p. 3, 2021.
  29. B. S. Prabowo and W. Wiryanto, “Konsistensi Pembuatan Norma Hukum dengan Doktrin Judicial Activism dalam Putusan Judicial Review,” J. Konstitusi, vol. 19, no. 2, p. 359, Jun. 2022, doi: 10.31078/jk1925.
  30. K. F. Desip Trinanda, Yuliandri, “Problematika TAP MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan dan Peluang Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi,” Legis. Indones., vol. 19, no. 3, p. 398, 2022.
  31. S. Suatmiati and E. Kastro, “Legal and Institutional Framework on Counter-Terrorism in Indonesia,” J. Media Huk., vol. 27, no. 1, pp. 68–78, 2020, doi: 10.18196/jmh.20200143.
  32. B. A. Garner and H. C. Black, Black’s Law Dictionary, 11th ed. Minnesotta: West Publishing Co, St. Paull, 2019.
  33. Herabudin, “Implementation Of Norms And Ethics In Public Services In Indonesia,” J. Ilm. MEA (Manajemen, Ekon. Akuntansi), vol. 6, no. 2, p. 1901, 2022.
  34. A. Atilgan, Global Constitutionalism: A Socio-legal Perspective, 1st ed. Berlin: Springer Nature, 2018.
  35. M. Mahrus, “Desain Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,” J. Pendidik. Islam, vol. 7, no. 1, pp. 81–100, 2021, doi: 10.37286/ojs.v7i1.93.
  36. C. G. Geyh, “Judicial Ethics: A New Paradigm for a New Era,” St. Mary’s J. Leg. Malpract. Ethics, vol. 9, no. 2, pp. 239–255, 2019.
  37. Gladwin Lukman, F. Khu, Indra Kho, and Edric Victori, “Batas Tanggung Jawab Hukum Dan Etis Atas Perilaku Tercela Advokat Dalam Persidangan,” J. Huk. Samudra Keadilan, vol. 15, no. 1, pp. 86–98, 2020, doi: 10.33059/jhsk.v15i1.2111.
  38. T. Oduol, “Teacher Professional Codes of Ethics of New Zealand and Kenya: A Document Analysis,” Int. J. Educ. Res., vol. 8, no. 12, p. 150, 2020.
  39. P. F. P. Pratiwi, Suprayitno, and Triyani, “Existence of Customary Law through Comparative Education between Dayak Ngaju Customary Law and National Law,” Budapest Int. Res. Critics Inst. Humanit., vol. 3, no. 2, 2020, doi: https://doi.org/10.33258/birci.v3i2.882.
  40. G. G. Bateman, “The Ough To Be a Law: Gustav Radbruch, Lon L. Fuller, and H.L.A. Hart on The Choice Between Natural Law and Legal Positivism,” J. Jurisprud., vol. 271, no. 1, pp. 13–15, 2019, doi: 10.1093/ojls/gqi042.
  41. W. B. Wendel, Ethics and Law: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press, 2014.
  42. O. Rosadi and A. Marwan, “Transformation of Legal Education in Indonesia Based on Social Justice,” J. Polit. Law, vol. 13, no. 1, p. 143, 2020, doi: 10.5539/jpl.v13n1p143.